• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Self-Compassion dengan Subjective Well-Being pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Self-Compassion dengan Subjective Well-Being pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Self-Compassion

1. Konsep Compassion

Ilmu Psikologi yang mana berasal dan berkembang dari teori Barat memang belum (sampai saat ini) berfokus pada konsep compassion sebagai konsep psikologis pusat (Davidson & Harrington, 2002 dalam Gilbert, 2005). Berbeda dengan sudut pandang Barat, sudut pandang Timur melihat compassion sebagai pusat dalam membebaskan pikiran individu dari kekuatan emosi destruktif seperti takut, marah, iri hati, dan dendam (Goleman, 2003 dalam Gilbert, 2005). Compassion sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu com yang berarti dengan (with) dan pati yang berarti menderita (suffer) atau menderita dengan (suffer with) (Germer, 2009).

Pada awalnya konsep compassion bergerak dari insight terbesar Buddha yang didasarkan pada pengamatan dasar tentang kehidupan dan diterangi oleh empat kebenaran mulia (four noble truths). Terdapat istilah dukkha dalam tradisi Buddhis yang mengatakan bahwa kehidupan di dunia penuh dengan penderitaan, sehingga semua manusia melakukan berbagai cara untuk dapat melepaskan diri dari penderitaan tersebut. Dalam keyakinan Buddha, kebahagiaan akan tercapai jika individu memiliki rasa kasih sayang terhadap diri sendiri dan orang lain (Gilbert, 2005).

(2)

melibatkan perasaan terbuka terhadap penderitaan diri sendiri dan orang lain, dalam cara yang non-defensif dan tidak menghakimi. Compassion juga melibatkan keinginan untuk meringankan penderitaan, kognisi yang terkait untuk memahami penyebab penderitaan, dan perilaku untuk bertindak dengan belas kasih. Oleh karena itu, kombinasi motif, emosi, pikiran dan perilakulah yang memunculkan compassion (Gilbert, 2005).Ketika individu menderita dan merasakan dorongan untuk membantu dirinya sendiri, maka individu tersebut telah mengalami yang namanya self-compassion. Menjadi seorang yang compassionate berarti bahwa individu mengenali ketika berada dalam penderitaan, meninggalkan ketakutan atau resistensi merekauntuk itu, dan seiring dengan hal tersebut maka perasaan cinta yang alami dan kebaikan akan mengalir terhadap individu yang mengalami penderitaan. Mengalami compassion adalah bentuk pengabaian menyeluruh untuk menolak ketidaknyamanan yang terjadi secara emosional, dimana penerimaan diterima secara sepenuhnya baik individunya, rasa sakit yang dialaminya, dan reaksinya akan rasa sakit atau penderitaannya itu sendiri (Germer, 2009).

2. Definisi Self-Compassion

Self-compassion adalah kasih sayang yang diarahkan ke dalam, berkaitan dengan diri individu itu sendiri sebagai objek perhatian dan kepedulian ketika dihadapkan dengan penderitaan atau peristiwa negatif yang dialami (Neff, 2003a). Self-compassionjuga merupakan bentuk dari penerimaan (acceptance), akan tetapi

(3)

menerima perasaan atau pikiran tersebut-, sedangkan self-compassion adalah penerimaan individu yang mengalami peristiwa tersebut, yaitu penerimaan diri ketika kita sedang dalam penderitaan atau peristiwa negatif (Germer, 2009).

3. Komponen Self-Compassion

Self-compassion terdiri daritiga komponen utama, yang masing-masingmemilikikutub positifdannegatif yangmewakiliperilaku compassionatevsuncompassionate yaitu self-kindness vs self-judgement; common humanityvsisolation, danmindfulnessvsover-identification. Kombinasi dari komponen-komponen tersebut nantinya akan mewakili bingkai pemikiran yang self-compassionate. Berbagai komponenself-compassion secara konseptualberbeda namun saling berhubungan satu sama lain, sertabermanfaat dalamcarayang berbeda yaitu bagaimana individumenanggapipenderitaan dankegagalansecara emosional (dengan kebaikan atau menghakimi), bagaimana individu memahamikeadaan merekasecara kognitif(sebagai bagian daripengalaman manusiaatau sebagaisesuatu yang mengisolasi), dan bagaimana individu memperhatikanpenderitaan atau kegagalan (secara sadar/seimbangatauberlebihan) (Neff, 2015).

a. Self-kindness

Self-kindness yaitu berlaku lembut dan pengertian terhadap diri sendiri

(4)

terhadap kekurangan atau peristiwa yang terjadi. Individu yang self-compassionate akan merespon kesulitan dan rintangan dengan cara yang hangat dan melalui pemahaman bukan dengan kekasaran terhadap diri sendiri (Germer, 2009), serta merespon dengan penerimaan yang tanpa syarat (Neff, 2015).

b. Common humanity

Ketika individu mengalami keadaan yang kurang menguntungkan, sebagaian individu cenderung merasa bahwa merekalah satu-satunya orang di dunia yang menderita dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Komponen kedua dari self-compassion ini membantu individu untuk merasa bahwa peristiwa negatif bisa terjadi pada siapa saja dan dialami juga oleh manusia lainnya atau common humanity. Common humanity yaitu adalah perasaan terhubung dengan orang lain dalam pengalaman hidup dan tidak merasa terisolasi dan terasing oleh penderitaan yang dialami (Neff, 2011).

c. Mindfulness

Komponen terakhir dari variabel psikologis self-compassion adalah mindfulness, yaitu melihat secara jelas dan menerima apa yang terjadi sekarang

(5)

Individu yang self-compassionate akan memandang pengalaman yang terjadi dengan tidak mengabaikan rasa sakit yang dirasakan ataupun melebih-lebihkan perasaan yang dialaminya (Neff, 2011). Mindful awareness inilah yang nantinya akan membantu individu mengenali diri merekaketika sedang mengalami hal yang menyakitkan (in pain), ketika mereka mengkritik diri mereka sendiri, dan ketika mereka mengisolasi diri mereka sendiri, yang pada akhirnya nanti akan menunjukkan jalan keluar yang compassionate (Germer, 2009).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Compassion

Terdapat setidaknya empat faktor yang mempengaruhi self-compassion pada diri individu yaitu sebagai berikut:

a. Gender

(6)

terjadi di masa lalu dapat mengarahkan munculnya depresi, sedangkan rumination mengenai potensi peristiwa negatif di masa depan akan menimbulkan anxiety (Neff, 2011). Maka dari itu hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu yang mengatakan bahwa perempuan lebih sering mengalami anxiety dan depresi dibandingkan laki-laki.

b. Periode Kehidupan (Fase Perkembangan)

(7)

Meskipun kemampuan kognitif remaja sudah berkembang, tetap saja masih ada ketidakmatangan kognitif yang menyelimuti mereka. Misalnya seperti imaginary audience dan personal fable (Elkind 1967 dalam Neff, 2003). Imaginary audience yaitu remaja membayangkan bahwa penampilan dan perilaku

mereka adalah fokus dari perhatian orang lain, sedangkan personal fable yaitu remaja percaya bahwa pengalaman mereka bersifat unik dan orang lain tidak mungkin memahami apa yang mereka alami. Menurut Elkind (dalam Papalia, 2007) bentuk-bentuk ketidakmatangan dari remaja ini mendasari banyaknya perilaku beresiko dan self-destructive yang dilakukan remaja, dan tidak diragukan lagi memberikan kontribusi peningkatan self-criticism, perasaan terisolasi, dan overidentification dengan emosi yang dirasakan. Hal ini berarti bahwa

self-compassion cenderung menjadi sangat diperlukan terlebih karena kurangnya kemampuan ini selama periode kehidupan remaja.

c. Lingkungan Keluarga

(8)

individu tersebut akan cenderung memiliki level self-compassion yang lebih rendah (Brown, 1999 dalam Neff, 2003).

d. Budaya

Jika membicarakan mengenai perbedaan budaya, maka budaya yang menjadi perbandingan adalah antara budaya Timur dan Barat dengan konsep individualistik dan kolektivistiknya. Individu dari budaya kolektivis, khususnya Asia yang telah memiliki pemaparan ajaran Buddha mengenai self-compassion melalui paparan budaya. Individu dari budaya kolektivis umumnya memiliki interdependent sense of self yang lebih dibandingkan individualis, maka dari itu diharapkan orang-orang Asia memiliki level self-compassion yang lebih tinggi dari orang Barat. Namun, penelitian juga telah menunjukkan bahwa orang-orang Asia cenderung lebih self-critical dibandingkan dengan orang Barat (Kitayama &Markus, 2000;Kitayama, Markus, Matsumoto, &Norasakkunkit, 1997 dalam Neff, 2003), yang mana hal ini justru menunjukkan sebaliknya, memiliki self-compassion yang rendah. Sebagaimana adanya sekarang, masih tidak jelas apakah

(9)

B. Subjective Well-Being (SWB) 1. Definisi Subjective Well-Being

SWB adalah namailmiah yang digunakan untuk melihat bagaimana individumengevaluasikehidupan mereka. SWB adalah penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif dan afektif. Penilaian kognitif berupa penilaian mengenai kepuasan hidup (life satisfaction) baik secara umum maupun pada domain yang spesifik, sedangkan penilaian afektif meliputi sisi emosional dari SWB yaitu mengenai positive affect dan low negative affect (Diener, 2009). Kedua komponen diukur dengan alat ukur yang terpisah namun penelitian yang menguji hubungan antara komponen kepuasan hidup dan affect balance (perbedaan frekuensi antara afek positif dan negatif), menemukan bahwa

terdapat korelasi positif diantara keduanya (Suh et al. 1998 dalam Diener, 2009). Individu dikatakan memiliki tingkat SWB yang tinggi adalah ketika mereka merasa puas terhadap kehidupan mereka, sering mengalami emosi/afek menyenangkan dan jarang merasakan emosi/afek yang tidak menyenangkan (Lucas&Gohm dalam Diener, 2000).

2. Komponen Subjective Well-Being

Terdapat dua komponen yang saling melengakapi untuk tercapainya SWB, yaitu:

a. Positive affect (PA) dan negative affect (NA)

Positive affect dan negative affect merupakan komponen penilaian afektif

(10)

Diener (1984 dalam Larsen&Eid, 2008) mengatakan bahwa PAdanNApada dasarnyatidak berkorelasi, yang artinyabahwa seberapa banyaksatuafek yang cenderung individu alami tidak punyatidak ada kaitannya denganberapa

banyakafek lainiaalami.Temuanini

menyebabkankonseptualisasikontribusiindependenmasing-masing

untukkomponenSWBsebagai rasioPAdanNAdalam kehidupanseseorang (Larsen&Eid, 2008). Individu yang bahagia umumnya memiliki tingkat emosi positif yang lebih tinggi daripada emosi negatif yang dirasakannya selama kehidupannya.

b. Life satisfaction

Life satisfaction atau kepuasan hidup adalah penilaian kognitif individu mengenai kepuasannya terhadap kehidupan yang dimilikinya secara keseluruhan (Larsen&Eid, 2008). Individu yang memiliki perasaan atau emosi positif lebih banyak dalam kehidupannya akan lebih merasa puas akan kehidupan yang dijalaninya. Penilaian bagaimana individupuasdengankeadaan mereka sekarangdidasarkan padaperbandingandenganstandaryang individubuat sendiridan bukan berasal dari luar (Diener et al., 1985).

3. Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being

(11)

tersebut menjadikan masing-masing komponen umumnya memiliki korelasi demografis dan psikologis yang berbeda.

a. Faktor Kepribadian

Pada faktor kepribadian, hubungannya terlihat lebih kuat dalam mempengaruhi komponen afektif dari SWB. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Diener, big five personality dari Costa and McCrae, terutrama extraversion dan neuroticism berkontribusi besar terhadap komponen afektif SWB

individu (1980 dalam Larsen&Eid, 2008). Hal ini berkaitan dengan faktor kepribadian extraversion mempengaruhi emosi positif individu, sedangkan neuroticism menentukan emosi negatif individu (Larsen&Buss, 2010). Penelitian

mengatakan bahwa individu dengan level yang tinggi dalam neuroticism cenderung melihat aspek negatif dan memusatkan perhatian mereka terhadap informasi yang negatif dari lingkungan mereka (Dalgeish, 1995; Matthews, 2000; et al dalam Larsen&Buss, 2010).

b. Gender

(12)

dan frekuensi emosi yang dialami, sifat empati, perbedaan pola atribusi dan coping style, perbedaan status, peran, dan harapan sosial antara laki-laki dan

perempuan (Lucas&Gohm dalam Diener, 2000).

c. Usia

Teori efek usia dalam SWB umumnya berpendapat bahwa (1) SWB dipengaruhi oleh kondisi objektif kehidupan kita (seperti pendapatan, kesehatan, dukungan sosial, dsb), yang cenderung memburuk seiring dengan bertambahnya usia (Diener dan Suh 1998; Wilson, 1967 dalam Lucas&Gohm dalam Diener, 2000); atau (2) SWB dipengaruhi oleh kemampuan kita dalam mengontrol emosi, yang mana kemampuan ini cenderung meningkat seiring bertambahnya usia (Carstensen 1995; Lawton 1996 dalam Lucas&Gohm dalam Diener, 2000). Hasil penelitian belakangan ini pada budaya barat menemukan usia memiliki hubungan yang unik pada masing-masing komponen SWB.

(13)

d. Fase Perkembangan

Pada fase perkembangan, penelitian tidak menemukan bukti kuat yang mengatakan bahwa individu pada fase perkembangan tertentu lebih bahagia dibandingkan dengan individu pada fase perkembangan lainnya, hal ini dikarenakan keadaan yang membuat individu bahagia berubah seiring dengan berubahnya usia (Larsen&Buss, 2010).

C. Mahasiswa

1. Definisi Mahasiswa

Menurut Depdiknas (2008 dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia), mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Sedangkan menurut Sarwono (1978) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18 sampai 30 tahun.

2. Fungsi dan Peran Mahasiswa

Terdapat bebrapa fungsi dan peran sebagai seorang mahasiswa yaitu sebagai berikut (Kusumah, 2007):

a. Intelektual akademisi

(14)

mahasiswa dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bentuk pengembangan wawasan keilmuan dan peradaban.

b. Cadangan masa depan (iron stock)

Terkait dengan peran dan fungsinya sebagai cadangan masa depan, mahasiswa merupakan calon-calon pemimpin di masa yang akan datang. Baik buruknya sebuah bangsa tergantung pada baik buruknya pemuda dan mahasiswa saat ini.

c. Agen perubahan (agent of change)

Terkait dengan peran dan fungsinya sebagai agen perubahan, mahasiswa dianggap sebagai pemicu dan pemacu perubahan-perubahan dalam masyarakat, baik berupa perubahan teoritis maupun praktis.

3. Karakteristik dan Potensi Mahasiswa

Mahasiswa berada dalam puncak kekuatan manusia dalam berbagai aspek potensinya yang menjadikan mahasiswa dan gerakan yang dibangunnya diperhitungkan dalam keputusan-keputusan besar dalam sebuah bangsa. Potensi-potensi mahasiswa adalah sebagai berikut (Kusumah, 2007):

a. Potensi spiritual

Mahasiswa sejatinya akan memberi dan berjuang secara ikhlas, tanpa pamrih, dan sepenuh hati dan jiwa terhadap apa yang diyakininya. b. Potensi intelektual

(15)

intelektual dan menjadikan mahasiswa berada dalam puncak kekuatan intelektualnya.

c. Potensi emosional

Keberanian, kemauan yang keras, serta semangat yang menggelora dalam diri mahasiswa mampu menularkan harapan ke dalam jiwa bangsanya. Sehingga tidak heran jika mahasiswa dapat membelokkan arah sejarah suatu bangsa.

d. Potensi fisikal

Secara fisik, seorang mahasiswa terlepas dalam dua kelemahan umum, yaitu kelemahan ketika bayi yang tidak berdaya dan kelemahan pikun ketika tua.

D. Dinamika Hubungan Self-Compassion dan SWB

(16)

peristiwa tidak menyenangkan lainnya maka peristiwa tersebut dapat dikatakan sebagai peristiwa negatif.

Peristiwa negatif tersebut dapat menjadi tekanan yang menyiksa bagi sebagian individu yang dapat menyebabkan mereka bereaksi secara tidak efektif seperti menyalahkan diri sendiri, marah kecewa, merasa sendirian, merasa tidak berdaya, putus asa, dan lain sebagainya. Perasaan tersebut tidaklah sehat bagi mental mereka karena hal tersebut menjadikan mereka sangat rentan mengalami gangguan mental seperti anxiety, depresi, gangguan makan, dan gangguan mental lainnya. Dampak lainnya yang mungkin muncul adalah rasa putus asa ketika dihadapkan dengan peristiwa negatif yang akan membentuk pemikiran bagi diri mereka bahwa mereka bukanlah pemenang dan cenderung untuk mengevaluasi kehidupannya secara negatif dan dapat memicu perilaku bunuh diri.

(17)

Kemampuan individu untuk menerima diri mereka dalam peristiwa negatifdisebut denganself-compassion. Self-compassion yaitu kemampuan individu untuk tetap menyayangi diri mereka sendiriketika dihadapkan dengan peristiwa negatif yang dialami. Komponen-komponen self-compassion terdiri dari self-kindness, common humanity, dan mindfulness(Neff, 2003a).

Komponen-komponen inilah yang nantinya bekerja sama dansaling berinteraksi untuk membuat bingkai pemikiran agar dapat menyayangi diri sendiri untuk semua pengalaman negatif, baik penyebabnya oleh kekurangan dan kegagalan pribadi, ataupun dengan situasi kehidupan yang berada di luar kendali manusia(Neff, 2015 dikutip dariShambhala Sundalam lionsroar.com).

Komponen common humanity dapat berperan dalam membingkai pemikiran bahwa individu tersebut tidaklah sendirian, dimana peristiwa negatif juga dialami oleh banyak orang. Komponen mindfulness juga menjaga emosi mereka agar tetap stabil dengan terbuka menerima peristiwa tersebut dengan tidak bereaksi dengan mengabaikannya maupun bereaksi secara berlebihan. Allen et al (2010) mengatakan bahwa individu yang self-compassionate cenderung sangat bergantung pada restrukturisasi kognitif yang positif dan cenderung tidak melakukan penghindaran ataupun pelarian diri ketika dihadapkan dengan masalah bataupun peristiwa yang tidak menyenangkan. Sedangkan komponen self-kindness dapat berkontribusi dalam bagaimana cara kita memperlakukan diri kita

ketika menghadapi peristiwa negatif.

(18)

yang positif pula. Rey (2009) menemukan SWB berkorelasi dengan academic self-efficacy;general self-efficacy;controlbelief of learning; dan gratitude; yang

mana hal yang sama juga ditemukan pada self-compassion. Iskander (2009) juga menemukan bahwa komponen-komponen self-compassion berkorelasi positif dengan self-efficacy dan controlbeliefs of learning. SWB diperoleh jika individu lebih sering mengalami afek positif dibandingkan afek negatif di dalam hidupnya. Neff, Rude, & Kirkpatrick (2007) melakukan penelitian mengenai self-compassion dalam relasinya dengan fungsi psikologis positif dan trait kepribadian, dan menemukan hasil bahwa self-compassion berkorelasi positif dengan optimisme, happiness, wisdom, kepribadian agreeableness, extroversion, conscientiousness, dsb; serta berkorelasi negatif dengan kepribadian neuroticism. Berdasarkan uraian di atas maka dapat digambarkan bahwa terdapat hubungan antara self-compassion dengan subjective well-being (SWB).

E. Skema Penelitian

Skema penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1

F. Hipotesa Penelitian

Ho : Tidak terdapat hubungan antara self-compassion dengan subjective well- being.

(19)

Gambar

Gambar 2.1 Skema Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Bertolak dari penjelasan tersebut, karya Heryanto ini dapat menjadi fondasi dalam melihat konteks politik keseharian masyarakat Indonesia dengan menjadikan budaya populer sebagai

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengambil setting di Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sukoharjo. Metode

Tetapi setelah dilakukan teguran oleh Pengadilan, pihak yang kalah tidak mengindahkan, maka putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap itu tidak dapat

Pada siklus 2 dengan kelompok yang sama dilakukan analisis penilaian dengan hasil penelitian, yaitu : 1 kelompok memiliki kemampuan sangat baik dalam mendesain alat

Tampilan seperti ini dapat memudahkan pada saat proses pelayanan antrean kapan waktu untuk maju keruang pintu loket dan kapan waktu untuk berhenti dan disamping itu juga

[r]

Bentuk persamaan regresi linear berganda diperkuat dengan uji F (F test) untuk mengetahui apakah semua variabel independen (motivasi, kreativitas, dan inovasi) yang dimasukkan dalam

Dalam menganalisa permasalahan sistem, dilakukan wawancara kepada petugas operator perpustakaan ataupun pustakawan. Sistem informasi yang berjalan selama ini tidak sepenuhnya