BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Migren merupakan sindrom nyeri kepala episodik dengan perubahan neurologis, gastrointestinal, dan otonom yang mempengaruhi populasi dunia, dengan prevalensi tertinggi pada wanita. Karakteristik migren berupa nyeri kepala berdenyut, unilateral, intensitas sedang atau berat yang disertai anoreksia, nausea, muntah, fotofobia atau fonofobia (Villalon dkk, 2003).
Studi epidemiologi penderita migren pada populasi umum yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2002 pada usia 18 hingga 65 tahun dengan wawancara melalui telepon diperoleh prevalensi migren pria 6% dan wanita 17.2%. Frekuensi serangan migren lebih atau sama dengan satu kali sebulan adalah 63%. Untuk migren dengan aura diperoleh prevalensi pria adalah 1.9% sedangkan wanita 5.3% (Manzoni dkk, 2003).
Hasil penelitian berbasis rumah sakit pada 5 rumah sakit besar di Indonesia, diperoleh bahwa prevalensi penderita migren tanpa aura adalah 10% dan migren dengan aura 1,8% dari semua penderita nyeri kepala primer (Sjahrir, 2004).
penting dalam patogenesis migren. Kekurangan magnesium dapat mencetuskan cortical spreading depression, hiperagregasi platelet, merusak fungsi reseptor serotonin, dan mempengaruhi sintesis dan pelepasan beragam neurotransmiter. Defisiensi magnesium jauh lebih lazim pada penderita migren dibanding pada kontrol orang sehat (Mauskop dkk, 2012).
Reseptor N-methyl D-aspartate (NMDA) berhubungan dengan nosiseptik dan menghasilkan perubahan neuroplastik pada neuron nosiseptik trigeminal dan regulasi aliran pembuluh darah. Ion Mg dapat memblok reseptor NMDA, dengan demikian mencegah ion kalsium dari perpindahan intraseluler, dan menghentikan efek kalsium pada neuron dan vaskular serebral. Kadar magnesium menurun akan menfasilitasi reseptor NMDA, meningkatkan efek pada cortical spreading depression
Penelitian Thomas dkk melakukan pemeriksaan kadar magnesium total pada plasma, eritrosit, limfosit, dan Ionized magnesium (Mg2+) limfosit pada 29 pasien migren dan 18 subyek kontrol. Dan diperoleh bahwa kadar magnesium total dan Mg2+ lebih rendah dibanding kelompok kontrol (Thomas dkk, 2000).
Penelitian Masoud melakukan pemeriksaan kadar magnesium terhadap lima puluh penderita migren saat serangan dan saat bebas nyeri diperoleh bahwa kadar rata-rata magnesium serum selama serangan 1.7 (1.7±0.18) dan saat bebas nyeri adalah 2.1 (2.1±0.29). Walaupun keduanya berada dalam rentang normal (nilai normal 1.6-2.7), namun kadar magnesium serum lebih rendah saat terjadi serangan dibandingkan kadar saat fase remisi (Masoud, 2003).
Sebuah studi kasus kontrol tentang kadar magnesium 140 penderita migren pada fase bebas serangan dan dibandingkan dengan kelompok kontrol, diperoleh hasil bahwa kadar rata-rata magnesium serum pada penderita migren adalah signifikan rendah dibandingkan dengan orang normal. Hubungan antara kadar magnesium dengan usia, onset migren, frekuensi dan durasi migren, diperoleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar magnesium yang rendah dengan frekuensi serangan migren (Talebi dkk, 2011).
sehat. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa kadar rata-rata Mg serum secara signifikan berkurang pada pasien migren dibandingkan dengan kelompok sehat. Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar total Mg serum pada penderita migren saat serangan dengan fase diantara serangan migren (1.86 ± 0.41 mg/dL versus 1.95 ± 0.35 mg/dL,
p=0.224) (Samaie dkk, 2012).
Penelitian Cojocaru dkk tentang hubungan antara konsentrasi Magnesium dengan 40 penderita migren dengan aura, yang dibandingkan dengan 18 orang sehat, diperoleh konsentrasi Mg serum penderita migren dan kontrol adalah 0.65±0.07 mmol/L dan 0.89±0.08 mmol/L (p <0.001), Konsentrasi Mg serum penderita migren adalah 47.4% dibawah rentang referensi normal (Cojocaru dkk, 2004).
Lodi dkk melakukan penelitian untuk menilai konsentrasi Mg2+ bebas cytosolic dan free energy released by the reaction of adenosine triphosphate hydroliysis (∆GATPhyd) otak dengan menggunakan
nyeri klinis,dimana keduanya menunjukkan nilai terendah pada pasien dengan stroke migren dan tertinggi pada penderita migren tanpa aura (Lodi dkk, 2001).
Penelitian yang dilakukan Welch dkk diperoleh bahwa terdapat gangguan fosforilasi oksidatif mitokondria dan pengurangan Mg2+ bebas di otak dan jaringan tubuh pada penderita migren diantara dan selama serangan migren. Periode diantara serangan migren menunjukkan perubahan metabolik sehingga terjadi ketidakstabilan fungsi neuronal yang meningkatkan kerentanan otak untuk serangan migren (Welch dkk, 1995).
Penderita migren mungkin menjadi defisiensi magnesium diakibatkan adanya ketidakmampuan genetik untuk mengabsorbsi magnesium, pembuangan magnesium direnal yang diwariskan, ekskresi jumlah magnesium berlebihan oleh adanya stress, asupan nutrisi rendah. Defisiensi magnesium mungkin terjadi pada hampir setengah penderita migren (Mauskop dkk, 2012).
serta aliran di regio insular setelah terapi dbandingkan pada pre-terapi magnesium, dimana pada kelompok pasebo tidak terjadi perubahan aliran darah (Koseoglu dkk, 2008).
Salah satu terapi profilaksis migren adalah calcium channel blocker, dan magnesium merupakan penjaga kanal kalsium. Magnesium di sel dipelihara pada konsentrasi 10.000 kali lebih banyak dibanding kalsium. Magnesium mengizinkan hanya sejumlah tertentu kalsium memasuki sel untuk menciptakan transmisi elektrik, dan kemudian menolak kalsium segera setelah transmisi terjadi. Jika kalsium terakumulasi di sel, ini akan menyebabkan hipereksitasi (Dean, 2011).
Akumulasi besi yang berlebihan dapat secara langsung menyebabkan disfungsi talamus, basal ganglia, misalnya dengan merusak sinaptik atau modulasi sintesis protein, menyebabkan baik kenaikan maupun penurunan kadar lokal neurotransmiter. Secara tidak langsung, mekanisme peningkatan konsentrasi besi menjadikan otak menjadi lebih rentan terhadap stres oksidatif (Zecca dkk, 2004; Kruit dkk, 2009).
Terjadi peningkatan konsentrasi besi pada PAG akibat cedera radikal bebas yang dikatalisasi besi selama episode berulang hyperoxia
Pada magnetic resonance imaging (MRI) menemukan akumulasi besi di otak, khususnya pada periaqueductal gray (PAG) dan nukleus merah yang dihubungan dengan durasi penyakit migren dan frekuensi serangan migren (Tepper dkk, 2012).
Besi mempunyai kemampuan untuk memberikan elektron kepada oksigen sehingga terjadi pembentukan radikal hydroxyl dan anion hydroxyl
melalui reaksi Fenton. Peningkatan kadar besi juga membangkitkan radikal peroxyl/alkoxyl sebagai akibat Fe2+ terhadap peroksidasi lipid.
Reactive-oxygen species (ROS) ini dapat menyebabkan kerusakan seluler (Mills dkk, 2010).
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian – penelitian terdahulu seperti yang telah diuraikan di atas dirumuskanlah masalah sebagai berikut : Apakah ada hubungan kadar magnesium dan ferritin serum dengan frekuensi, durasi dan intensitas nyeri migren?
I.3. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan : I.3.1. Tujuan Umum
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan kadar magnesium dan ferritin serum dengan frekuensi, durasi dan intensitas migren di RSU H. Adam Malik Medan.
2. Untuk mengetahui perbedaan kadar magnesium serum antara migren tanpa aura dengan migren dengan aura.
3. Untuk mengetahui hubungan kadar magnesium serum dengan frekuensi serangan migren di RSUP H.Adam Malik Medan.
4. Untuk mengetahui hubungan kadar magnesium serum dengan durasi migren di RSUP H. Adam Malik Medan.
5. Untuk mengetahui hubungan kadar magnesium serum dengan intensitas migren di RSUP H. Adam Malik Medan.
6. Untuk mengetahui hubungan kadar ferritin serum dengan frekuensi serangan migren di RSUP H. Adam Malik Medan.
7. Untuk mengetahui hubungan kadar ferritin serum dengan durasi migren di RSUP H. Adam Malik Medan.
8. Untuk mengetahui hubungan kadar ferritin serum dengan intensitas migren di RSUP H. Adam Malik Medan.
I.4. HIPOTESA
Ada hubungan kadar magnesium dan ferritin serum dengan frekuensi, durasi dan intensitas nyeri migren.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
1.5.1. Manfaat penelitian untuk ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara keilmuan tentang hubungan kadar magnesium dan ferritin serum dengan frekuensi, durasi dan intensitas migren.
1.5.2. Manfaat penelitian untuk penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya tentang kadar ferritin dan efek terapi magnesium pada penderita migren.
1.5.3. Manfaat penelitian untuk masyarakat