BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. NYERI PUNGGUNG BAWAH II.1.1. Definisi
Nyeri punggung bawah adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki. Nyeri yang berasal dari daerah punggung bawah dapat dirujuk ke daerah lain atau sebaliknya nyeri yang berasal dari daerah lain dirasakan di daerah punggung bawah (referred pain) (Sadeli dkk, 2001).
Gambar 1. Kondisi pathoanatomical yang umum dijumpai pada lumbal Dikutip dari: Deyo, R.A. and Weinstein, J.N. 2001. Low Back Pain. The New England Journal of Medicine. 344(5): 363-370.
II.1.2. Epidemiologi
menderita nyeri punggung bawah pada banyak kesempatan, dan nyeri punggung bawah kronik merupakan faktor terbesar yang menyebabkan keterbatasan aktivitas pada dewasa muda dibawah usia 45 tahun. Investigasi epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan perkiraan prevalensi kejadian nyeri punggung bawah sebanyak 5-20% pertahunnya. Nyeri punggung bawah mengganggu keseharian kehidupan dari penderita nyeri punggung bawah, bahkan menurunkan kualitas kehidupan mereka. Biaya yang berkaitan dengan kondisi ini adalah sangat besar, termasuk biaya langsung pada tindakan medis dan biaya tidak langsung, seperti penurunan produktivitas di tempat kerja. Oleh karena itu, nyeri punggung bawah bukan hanya merupakan masalah kesehatan, tetapi juga merupakan masalah sosio-ekonomi (Zhang dkk, 2009).
II.1.3. Faktor Resiko
Tabel 1. Faktor resiko nyeri punggung bawah
Dikutip dari: Walsh, N.E. 2000. Back Pain Matters. Available from: http://www.karger.com/gazette/65/walsh/index.htm
II.1.4. Etiologi
Etiologi nyeri punggung bawah banyak dan meliputi kongenital, metabolik, infeksi, inflamasi, neoplastik, trauma, degenereatif, toksik, vaskular, visceral dan psikososial.
Tabel 2. Etiologi nyeri punggung bawah
Dikutip dari: Vukmir R.D. 1991. Low Back Pain: Review of Diagnosis and Therapy. Am J Emerg Med. 9:328-335.
II.1.5. Patofisiologi
Berbagai bangunan peka nyeri terdapat di punggung bawah. Bangunan tersebut adalah periosteum, 1/3 bangunan luar anulus fibrosus, ligamentum, kapsula artikularis, fasia dan otot. Semua bangunan tersebut mengandung nosiseptor yang peka terhadap berbagai stimulus (mekanikal, termal, kimiawi). Bila reseptor dirangsang oleh berbagai stimulus lokal, akan dijawab dengan pengeluran berbagai mediator inflamasi dan substansi lainnya, yang menyebabkan timbulnya persepsi nyeri, hiperalgesia maupun alodinia yang bertujuan mencegah pergerakan untuk memungkinkan perlangsungan proses penyembuhan. Salah satu mekanisme untuk mencegah kerusakan atau lesi yang lebih berat ialah spasme otot yang membatasi pergerakan. Spasme otot ini menyebabkan iskemia dan sekaligus menyebabkan munculnya titik picu (trigger points), yang merupakan salah satu kondisi nyeri (Meliala dkk, 2003).
II.2. TIDUR II.2.1. Definisi
Tidur adalah keadaan hilangnya persepsi dan responsi yang reversible terhadap lingkungan luar (Dodick dkk, 2003).
II.2.2. Arsitektur Tidur
nyata, yaitu stadium Rapid Eye Movement (REM) Sleep dan Non-Rapid Eye Movement Sleep (NREM).
Tidur Non-REM dibagi lagi atas 4 tingkat (stadium), yaitu: Tingkat 1: Tidur ringan
Tingkat 2: Tidur konsolidasi (consolidated sleep)
Tingkat 3 dan 4: Tidur dalam atau tidur gelombang lambat
Stadium atau tingkat 1: keadaan mengantuk, tidur ringan, dapat terlihat perlambatan reaksi terhadap rangsangan dan ketajaman intelektual menurun. Stadium ini ditandai oleh aktivitas theta dengan amplitudo yang relatif rendah bercampuran (intermixed) dengan episode aktivitas alpha.
Stadium 2: Pada stadium ini gerakan badan berkurang dan ambang-bangun terhadap rangsang taktil dan bicara lebih tinggi. Stadium ini ditandai oleh K-kompleks dan sleep-spindles.
Tidur REM berasosiasi dengan bermimpi. Pada tidur REM ditandai oleh aktivitas simpatetik yang intens dan didapatkan gambaran EEG yang serupa dengan keadaan bangun, dengan aktivitas cepat dan amplitudo rendah, dan gerakan bola mata serupa dengan keadaan bangun (Lumbantobing, 2004).
II.2.3. Siklus Tidur
Waktu tidur normal, stadium ini cenderung terjadi berurutan, membentuk arsitektur tidur. Umumnya, dari keadaan bangun seseorang jatuh ke tingkat 1, diikuti tingkat 2, 3 dan 4 dan tidur REM. Urutan stadium tidur, yang berakumulasi pada tidur REM, membentuk satu ”siklus tidur”. Lama serta isi siklus tidur (sleep cycle) berubah sepanjang malam dan usia. Persentase tidur-dalam paling tinggi pada siklus tidur pertama dan kemudian mengurang dengan berlanjutnya malam dan lamanya tidur. Rapid Eye Movement meningkat selama sepanjang malam. Pada orang dewasa normal, tidur malam hari terdiri atas 4-6 siklus tidur yang masing-masing siklus berlangsung 90 menit yang terdiri atas tidur NREM dan tidur REM (Sjahrir, 2008; Lumbantobing, 2004).
deprivasi tidur, stres, olahraga, perubahan suasana hati dan berbagai penyakit (Lumbantobing, 2004).
II.2.4. Kebutuhan Tidur
Tiap makhluk hidup membutuhkan tidur. Dengan demikian tidur merupakan kebutuhan hidup. Bila dilakukan deprivasi tidur secara eksperimental pada hewan, hal ini dapat mengakibatkan kematian dalam beberapa hari atau minggu (Lumbantobing, 2004).
Tabel 3. Kebutuhan tidur, lama tidur dan stadium tidur dengan usia
Dikutip dari: Lumbantobing, S.M. 2004. Gangguan Tidur. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta.
II.2.5. Gangguan Tidur
1. Insomnia
Merupakan masalah tidur yang paling umum yang secara sederhana didefinisikan sebagai kesulitan untuk memulai tidur (jatuh tidur), sulit mempertahankan keadaan tidur, dan bangun terlalu pagi.
2. Sleep Related Breathing Disorders
Sleep Related Breathing Disorders dikarakteristikkan oleh adanya pernafasan abnormal selama tidur. Gangguan ini diklasifikasikan pada ICSD-2 seperti central sleep apnea (CSA) syndrome, obstructive sleep apnea (OSA) syndrome, sleep-related hypoventilation and hypoxemic syndrome, dan sleep-related hypoventilation and/or hypoxemia caused by a medical condition. Gangguan tidur ini kebanyakan umum dijumpai pada fasilitas pengujian tidur atau sleep testing facility.
3. Hipersomnia of Central Origin
Merupakan suatu keadaan dimana pasien biasanya tetap mengantuk, walaupun jumlah jam tidurnya adekuat. Gangguan tidur ini tidak disebabkan oleh gangguan tidur malam hari atau gangguan ritme sirkadian.
4. Circadian Rhythm Disorders
5. Parasomnia
Menggambarkan keadaan-keadaan yang tidak diinginkan yang terjadi waktu sedang tidur.
6. Sleep Related Movement Disorders
Sleep Related Movement Disorders merupakan kondisi dimana gerakan tubuh menyebabkan penundaan onset tidur atau mengganggu tidur. Gangguan tidur atau mengantuk yang berlebihan pada siang hari merupakan syarat untuk penegakan diagnosis sleep related movement disorders.
II.2.6. Prevalensi Gangguan Tidur
Prevalensi masalah tidur ini mungkin mencapai setinggi 30% pada anak dan dewasa, dan lebih tinggi lagi pada kelompok usia-lanjut (usila) (Lumbantobing, 2004).
II.2.7. Siklus Tidur Bangun
melatonin mempunyai peranan yang lebih spesifik. Melatonin berperan memodulasi aktivitas neuron jam sirkadian dan terus menerus mengikuti irama sirkadian(Cohen cit Sjahrir, 2008; Dodick dkk, 2003).
Gambar 2. Sistem ascending arousal mengirimkan sinyal dari batang otak dan hipotalamus posterior menuju seluruh forebrain
II.3. DEPRESI II.3.1. Definisi
Gangguan depresi, dalam buku Synopsis of Psychiatry berada dibawah naungan gangguan mood. Mood merupakan subjektivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat diutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi. Kepustakaan lain, mengungkapkan mood, merupakan perasaan, atau nada ”perasaan hati” seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetatif (Ismail dan Siste, 2010).
II.3.2. Epidemiologi
II.3.3. Etiologi
Etiologi depresi dapat berupa faktor organobiologi, faktor kepribadian, faktor psikodinamik, faktor psikososial dan faktor genetik (Ismail dan Siste, 2010; Barroso, 2003).
II.3.4. Tanda dan Gejala
Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga.
masalah yang dihadapi. Kebanyakan pasien mengalami perubahan pada nafsu makan dan berat badan (Ismail dan Siste, 2010).
II.3.5. Kriteria Diagnosis Depresi
Kriteria diagnosis depresi menurut Tenth Revision of the International Classification of Diseases (ICD-10).
Kriteria diagnosis depresi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Diagnosis Gangguan Depresi menurut Tenth Revision of the International Classification of Diseases (ICD-10)
II.3.6. Patofisiologi Depresi
Patofisiologi gangguan depresi melibatkan sistem Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis (HPA-Axis). Dimana sistem HPA Axis terlibat pada proses adaptasi terhadap keadaan-keadaan stres/ yang penuh tekanan pada lingkungan eksternal atau internal. Sebagai contoh, sebagai respons terhadap ketakutan, kemarahan, kecemasan, dan kekecewaan, hipotalamus melepaskan corticotropin releasing factor (CRF); dimana hal ini dapat mengaktivasi adenohipofisis, yang mensekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH), yang menstimulasi korteks adrenal, yang kemudian mensekresi kortisol. Dimana, peningkatan kadar kortisol dapat menginduksi timbulnya simptom depresi (Joseph, 1996; Gelder dkk, 2006; Kiecolt and Glaser, 2002; Howren dkk, 2009).
II.4. C-Reactive Protein
ligan lainnya telah teridentifikasi sejak saat itu (Black dkk, 2004; Faraj and Salem, 2012; Pepys and Hirschfield, 2003).
C-Reactive Protein merupakan bagian dari protein pentraxin family, dinamakan demikian dikarenakan CRP membentuk suatu cyclic pentamer yang terdiri dari 5 subunit nonglycosylated polypeptida yang identik, dengan ikatan non-kovalen, dimana masing-masing mengandung 206 residu asam amino. Anggota utama yang lain dari pentraxin family ini adalah serum amyloid P component. Dimana protein-protein ini terdapat selama evolusi vertebra, yang memberi kesan bahwa CRP memiliki peran pokok pada respon imun (Povoa, 2002; Pepys and Hirschfield, 2003).
Gambar 3. Struktur dari C-Reactive Protein (CRP)
Tempat sintesis dari CRP adalah hepatosit. Monomer CRP terdapat didalam struktur cyclic homopentameric didalam reticulum endoplasmik, sebelum disekresikan kedalam plasma. Sintesis CRP diregulasi sebagai bagian dari respon fase akut terhadap reaksi infeksi, inflamasi atau kerusakan jaringan. C-Reactive Protein disintesis oleh hati, terutama sebagai respons terhadap interleukin-6 (IL-6). Ditemukan adanya hubungan yang baik antara CRP dan kadar IL-6. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) juga merupakan mediator regulasi pada sintesis CRP (Rhodes dkk, 2011; Povoa, 2002).
Konsentrasi normal serum CRP pada manusia yang sehat adalah dibawah 4,9 mg/l. Sekresi CRP mulai meningkat dalam waktu 4-6 jam setelah stimulus, sekresinya meningkat dua kali lipat setiap 8 jam dan mencapai puncak dalam 36-50 jam. Dengan adanya stimulus yang sangat hebat, kadar CRP dapat meningkat diatas 500 mg/l. Setelah hilangnya stimulus, kadar CRP turun secara drastis, sebanyak setengahnya dalam 19 jam. Bagaimanapun, kadar CRP dapat tetap meningkat, bahkan dalam waktu periode yang lama, jika penyebab yang mendasarinya tetap ada (Rhodes dkk, 2011; Husain and Kim, 2002; Povoa, 2002; Pancer dkk, 2011).
pengobatan, atau deteksi awal terhadap kekambuhan/ rekurensi (Hirschfield and Pepys, 2003; Husain and Kim, 2002).
Terdapat ada 2 tes yang berbeda untuk CRP. Tes standar mengukur batas atau jarak yang lebih luas dari kadar CRP tetapi kurang sensitif pada kadar yang lebih rendah. Tes high-sensitivity CRP (hs-CRP) dapat mendeteksi secara lebih akurat konsentrasi yang lebih rendah dari protein tersebut (lebih sensitif). Penentuan kadar CRP dengan menggunakan pengujian yang sangat tinggi sensitivitasnya selanjutnya disebut sebagai high-sensitivity CRP (hs-CRP). Tes ini memberi hasil dalam waktu 25 menit dengan sensitivitas sampai 0,04 mg/L (Faraj and Salem, 2012; Sahoo dkk, 2009).
II.5. Hubungan high-sensitivity C-Reactive Protein dengan Gangguan Tidur pada Nyeri Punggung Bawah
Pada penderita nyeri punggung bawah didapati adanya kualitas tidur yang buruk, disertai dengan tingginya keluhan gangguan tidur dan insomnia (Donoghue dkk, 2009).
atau jika tidak ada reaksi perbaikan kerusakan jaringan maka mediator yang secara terus menerus diproduksi menyebabkan kerusakan jaringan (Meliala dkk, 2003).
Jika makrofag bersentuhan dengan antigen seperti yang ditemukan pada serabut yang rusak oleh penyebab apapun maka mediator sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6) akan keluar dari sel (Meliala dkk, 2003; Morrison dkk, 2011; Nystrom, 2007).
C-Reactive Protein (CRP) merupakan suatu protein fase akut, yang dilepaskan kedalam sirkulasi sebagai respons terhadap inflamasi dan kerusakan jaringan. C-Reactive Protein disintesis oleh hepatosit dibawah regulasi/ kontrol sitokin, termasuk IL-1, IL-6 dan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α). Dimana sintesis CRP terutama dikontrol oleh interleukin-6 (IL-6) (Nakou dkk, 2010; Nystom, 2007).
II.6. Hubungan high-sensitivity C-Reactive Protein dengan Depresi pada Nyeri Punggung Bawah
Pada nyeri punggung bawah, akibat kerusakan jaringan akan mengakibatkan pelepasan sel-sel inflamasi, terutama makrofag. Dimana makrofag ini memproduksi mediator-mediator inflamasi secara spontan, seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) (Sugimori dkk, 2003; Messay dkk, 2012; Dogan dkk, 2011).
Sitokin-sitokin ini menginduksi pelepasan protein fase akut, seperti CRP kedalam plasma. Dimana, C-Reactive Protein (CRP) diproduksi terutama oleh hati. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin utama yang menginduksi sintesis CRP (Scrandis dkk, 2008; Danner dkk, 2003).