• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Diversi dalam Peradilan Pidana Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Diversi dalam Peradilan Pidana Anak"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran Undang-undang No. 23 Tahun 2002 (yang telah diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.1

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat perlu adanya penjaminan hukum bagi anak.

1 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, hal.

(2)

Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek, yang pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak dan aspek kedua menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.2

Anak sesuai sifatnya masih memiliki daya nalar yang belum cukup baik untuk membedakan hal-hal baik dan buruk.3 Mungkin terbukti anak melakukan tindak kenakalan, anak melanggar hukum positif, atas kelakuannya mungkin akan mengganggu tertib sosial karena kenakalannya membuat marah publik, dan karena ulahnya ada pihak yang dirugikan, bahkan karena kenakalannya akan mendatangkan kematian dan siksa orang lain. Namun, apapun alasannya, sesungguhnya dia adalah korban. Dia korban dari perlakuan salah orangtuanya, dia korban dari pendidikan guru-gurunya, dia korban kebijakan pemerintah lokal, dan dia korban dari lingkungan sosial yang memberi tekanan psikis sehingga anak-anak melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Bahkan karena ada nilai-nilai yang terinternalisasi sejak usia dini, dia tidak tahu bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah pelanggaran hukum.4

Sistem pemidanaan sedang serius-seriusnya mengatur mengenai perlindungan hukum pidana terhadap anak yang apabila anak sebagai pelaku

2 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2011, hal. 3

3 M. Joni, dkk, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak,

Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1

(3)

tindak pidana maka pengenaan pelaksanaan pemidanaan kepadanya tentu tidak dapat disamakan dengan orang dewasa sebagai pelaku kejahatan.5 Tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru ataupun terpengaruh bujuk rayu dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.6

Sistem Peradilan Pidana Anak berbeda dengan Sistem Peradilan Pidana bagi orang dewasa dalam berbagai segi. Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Dalam Peradilan Pidana Anak terdapat beberapa unsur yang saling terkait yaitu: Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak, dan Petugas Permasyarakatan Anak. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Peradilan Pidana Anak, hak-hak anak merupakan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Ini berarti bahwa peradilan pidana anak yang adil memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak, baik sebagai tersangka, terdakwa, maupun sebagai terpidana/narapidana, sebab

5 Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta,

Graha Ilmu, 2010, hal. 25

(4)

perlindungan terhadap hak-hak anak ini merupakan tonggak utama dalam Peradilan Pidana Anak.7

Lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi peneguhan terkait dengan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Undang-undang inilah yang memperkenalkan konsep diversi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana demi mewujudkan keadilan restoratif (restorative justice). Sedangkan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Upaya penanggulan kejahatan dengan pendekatan nonpenal merupakan bentuk upaya penanggulan berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa. Konsep diversi dan restorative justice

merupakan bentuk penyelesaian tindak pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. Penyelesaian dengan konsep diversi dan restorative

7 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana

(5)

justice merupakan suatu bentuk penyelesaian tindak pidana yang telah berkembang di beberapa negara dalam menanggulangi kejahatan.8

Anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia cukup memprihatinkan. Angka kejahatan seperti pencurian yang dilakukan anak di Indonesia setiap tahun berjumlah sekitar 7.000 anak. Sembilan dari sepuluh anak-anak ini akhirnya menginap di hotel prodeo (penjara atau rumah tahanan) karena pada umumnya anak yang berhadapan dengan hukum tidak mendapat dukungan dari pengacara maupun pemerintah, dalam hal ini dinas sosial.9

KOMNAS Anak pada Tahun 2011 menerima 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku tindak pidana) yang diajukan ke pengadilan. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni 730 kasus. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan atau diputus pidana.10

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Upaya pengalihan atau ide diversi ini, merupakan penyelesaian yang terbaik yang dapat dijadikan formula dalam penyelesaian beberapa kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Dengan langkah kebijakan

8

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 17

9 Steven Allen, “Kata Pengantar,” dalam Purnianti, et.al. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, (Jakarta: Unicef, 2003), hal. 1 dikutip dari: Hadi Supeno, Op.cit, hal. 70

10

Komisi Nasional Anak, 21-12-2011. “Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional

(6)

non penal anak pelaku kejahatan, yang penanganannya dialihkan di luar jalur sistem peradilan pidana anak, melalui cara-cara pembinaan jangka pendek atau cara lain yang bersifat keperdataan atau administratif.11

Menurut Setya Wahyudi, Diversi sebagai bentuk pengalihan penyampingan penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak kovensional, ke arah penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan diversi dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif praktek penyelenggaraan peradilan anak.12

Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.13 Mengembangkan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana guna mewujudkan perlindungan hukum bagi anak, diperlakukan mengerti permasalahannya menurut proporsi yang sebenarnya secara meluas, dimensional dan terpadu. Sebab pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana adalah suatu hasil interaksi adanya interrelasi antara berbagai fenomena yang saling terkait dan saling mempengaruhi.14

11 Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tinda k Pidana Narkotika

Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009, hal. 58-59 12

Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal. 59

13 Maidin Gultom, Op.cit, hal. 11

(7)

Tahun 2015 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun yang menjadi kebutuhan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis termotivasi untuk menulis dan membahas skripsi dengan judul “Pelaksanaan Diversi Dalam Peradilan Pidana Anak”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian dalam latar belakang dan sebagai pedoman agar permasalahan dapat dibahas secara sistematis serta tujuan yang hendak dicapai dapat jelas dan tegas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan diversi dalam sistem hukum peradilan pidana anak?

2. Bagaimanakah pelaksanaan diversi dalam peradilan pidana anak menurut Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui tentang pengaturan diversi dalam sistem hukum peradilan pidana anak;

(8)

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini antara lain : a. Manfaat Teoritis

1) Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

2) Untuk menambah pengetahuan mengenai Hukum Pidana khususnya tentang diversi dalam peradilan pidana anak.

b. Manfaat Praktis

1) Memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat luas dalam mengikutsertakan perannya terhadap pengembangan konsep diversi dan

restorative justice.

2) Memberikan informasi dan tambahan masukan kepada aparat penegak hukum, yaitu hakim, jaksa, advokat, polisi dan institusi lainnya yang terkait dalam pelaksanaan diversi.

3) Diharapkan dapat memberikan tambahan masukan dan kontribusi pemikiran kepada pemerintah dalam perannya terhadap perlindungan hukum kepada anak di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil dari pemeriksaan dan hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak Fakultas Hukum Universitas mengenai Pelaksanaan Diversi Dalam

Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa belum pernah ada dilakukan

(9)

Penulisan skripsi ini juga telah menelusuri judul karya ilmiah melalui media cetak dan elektronik, belum ditemukan penulis lain yang memiliki judul yang sama. Sekalipun ada, hal tersebut merupakan di luar sepengetahuan penulis dan substansinya pasti berbeda karena murni merupakan hasil pemikiran penulis yang didasarkan dari penelusuran dari referensi media cetak maupun media elektronik, sehingga dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tentang Diversi

Definisi menurut Jack E. Byum dalam bukunya Juvenille Deliquency a Sociological Approach, yaitu : Diversion is an attempt to divert, or channel out, youthfull offenders from the juvenille justice sistem (diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan dan menempatkan pelaku tindak pidana anak dari sistem peradilan pidana.15

Pengertian diversi terdapat banyak perbedaan sesuai dengan praktek pelaksanaannya. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration

of Juvenile Justice butir 6 dan 11 terkandung pernyataan mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah.16

15

Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010, hal. 10

16 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan

(10)

Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses peradilan formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.17

Diversi bertujuan:18

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahan, bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana.19

“Proses pelaksanaan diversi erat kaitannya dengan konsep Restorative

Justice yaitu proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku duduk bersama dalam suatu

pertemuan untuk bermusyawarah agar tercapainya suatu kesepakatan.”20

Umbreit menjelaskan bahwa restorative justice is a victim ceterd response to crime that allows victim, the offender, their familys, and representatives of the

17 Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hal. 48 dikutip dari: M.Nasir

Djamil, Op.cit, hal. 137

18 Pasal 6 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 19

M.Nasir Djamil, Op.cit, hal. 138

20 http://doktormarlina.htm, Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif

(11)

community to address the harm caused by the crime (keadilan restoratif adalah sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan kepada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana.21 Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 menyebutkan, bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang mentaati hukum.22 Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama di samping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tua.

Tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu:23

a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat dengan ketaatan pada

21 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui

Pendekatan Restoratif: Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45

22 Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,

Op.cit, hal. 14

23 Peter C. Kratcoski (2004), Correctional Counseling and Treatment, USA: Waveland

(12)

persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua bagi pelaku oleh masyarakat.

b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service

orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi,

mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada keluarga dan pelaku. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

c. Menuju proses restorative justice atau perundingan (ballanced or restorative justice), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggungjawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

Pelaksanaan diversi melibatkan semua aparat penegak hukum dari lini manapun. Diversi dilaksanakan pada semua tingkat proses peradilan pidana. Prosesnya dimulai dari permohonan suatu instansi atau lembaga pertama yang melaporkan tindak pidana atau korban sendiri yang memberikan pertimbangan untuk dilakukannya diversi.24

2. Pengertian Tentang Proses Peradilan Pidana

Keadilan yang hakiki adalah nilai-nilai yang sesuai dengan kemanusiaan, peradaban dan kepatutan. Setiap nilai tersebut yang sesuai dengan keadaan,

24 Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,

(13)

tempat, lingkungan, dan waktu dimana masyarakat yang bersangkutan hidup, dirasakan anggota masyarakat benar-benar tepat dan adil.25

Hukum acara pidana merupakan hukum yang bertujuan untuk mempertahankan hukum materil pidana. Dengan kata lain acara pidana merupakan proses untuk menegakkan hukum materil, proses atau tata cara untuk mengetahui apakah seseorang telah melakukan tindak pidana. Acara pidana lebih dikenal dengan proses peradilan pidana. Menurut sistem yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana maka tahapan-tahapan yang harus dilalui secara sistematis dalam peradilan pidana adalah:26

1. Tahap penyidikan oleh kepolisian 2. Tahap penuntutan oleh kejaksaan

3. Tahap pemeriksaan di pengadilan oleh Hakim

4. Tahap pelaksanaan Putusan (eksekusi) oleh kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan

Proses peradilan pidana adalah merupakan suatu proses yuridis, dimana hukum ditegakkan dengan tidak mengesampingkan kebebasan mengeluarkan pendapat dan pembelaan dimana keputusannya diambil dengan mempunyai suatu motivasi tertentu.27

Wujud dari suatu keadilan adalah di mana pelaksanaan hak dan kewajiban seimbang. Pelaksanaan hak dan kewajiban bagi anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapat bantuan dan perlindungan agar seimbang dan manusiawi.

25

Maidin Gultom, Op.cit, hal. 70

26 http://www.negarahukum.com/hukum/proses-peradilan-pidana.html diakses pada

tanggal 25 Januari 2016 pkl. 17.00 wib

(14)

Perlu kiranya digarisbawahi bahwa kewajiban bagi anak harus diperlakukan dengan situasi, kondisi mental, fisik, keadaan sosial dan kemampuannya pada usia tertentu. Dengan demikian hal-hal di bawah ini perlu kiranya diperhatikan dan diperjuangkan keberadaannya, antara lain:28

a. Setiap anak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah. b. Waktu peradilan anak tidak diselingi oleh peradilan orang dewasa. c. Setiap anak mempunyai hak untuk dibela seorang ahli.

d. Suasana tanya jawab dilaksanakan secara kekeluargaan, sehingga anak merasa aman dan tidak takut. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa yang dimengerti anak.

e. Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya.

f. Setiap anak mempunyai hak untuk memohon ganti kerugian atas kerugian atau penderitaannya (Pasal 1 ayat 22 KUHAP).

g. Setiap anak mempunyai hak untuk sidang tertutup, hanya dikunjungi oleh orang tua, wali, orang tua asuh, petugas sosial, saksi dan orang-orang yang berkepentingan, mengingat kehormatan/kepentingan anak dan keluarga, maka wartawan pun tidak dibenarkan ikut serta, kecuali mendapat ijin dari hakim dengan catatan identitas anak tidak boleh diumumkan.

h. Para petugas tidak menggunakan pakaian seragam tetapi memakai pakaian bebas resmi.

(15)

i. Peradilan sedapat mungkin tidak ditangguhkan, konsekuensinya persiapan yang matang sebelum sidang dimulai.

j. Berita acara dibuat rangkap 4 (empat) yang masing-masing untuk Hakim Jaksa, petugas Bispa29 dan untuk arsip.

k. Jika Hakim memutus perkara anak harus masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Anak atau Panti Asuhan, maka perlu diperhatikan hak-haknya.

Perampasan kemerdekaan terhadap anak harus merupakan upaya terakhir, dengan satu pengertian perampasan kemerdekaan terhadap anak tidak diperbolehkan dalam hal perampasan kemerdekaan itu justru akan memperkosa hak-hak dasar anak. Hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh kasih sayang, hak untuk memperoleh layanan kesehatan, hak untuk memperoleh lingkungan yang bersih dan nyaman dan sebagainya harus tetap dipenuhi.30

Beberapa faktor pendukung dalam usaha pengembangan hak-hak anak dalam peradilan pidana adalah:31

a. Dasar pemikiran yang mendukung Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, ajaran agama, nilai-nilai sosial yang positif mengenai anak, norma-norma (deklarasi hak-hak anak, Undang-Undang Kesejahteraan Anak).

29 Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Bispa) dalam Undang-undang No.

12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sekarang dikenal dengan istilah Balai Pemasyarakatan (Bapas). Bapas adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan. Dikutip dari: Wagiati Soetodjo, Op.cit, Cet.ke-4 (Edisi Revisi), hal. 45

30 Koesno Adi, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Setara Press, Malang, 2015, hal.

115

(16)

b. Berkembangnya kesadaran bahwa permasalahan anak adalah permasalahan nasional yang harus ditangani sedini mungkin secara bersama-sama, intersektoral, interdisipliner, interdepartemental.

c. Penyuluhan, pembinaan, pendidikan dan pengajaran mengenai anak termasuk pengembangan mata kuliah Hukum Perlindungan Anak, usaha-usaha perlindungan anak, meningkatkan perhatian terhadap kepentingan anak.

d. Pemerintah bersama-sama masyarakat memperluas usaha-usaha nyata dalam menyediakan fasilitas bagi perlindungan anak.

3. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak

Pengertian anak tidak pernah terlepas dari batasan usianya untuk membedakannya terhadap orang dewasa, perbuatan serta akibat yang ditimbulkan olehnya, ataupun untuk memberikan perlindungan serta sanksi kepadanya. Pengaturan tentang batasan pengertian dan usia anak itu sendiri dapat diperhatikan melalui peraturan perundang-undangan antara lain:

a. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.32

b. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang ini memberikan pengertian anak sesuai dengan kedudukan anak di dalam tindak pidana yang terjadi, yakni:

(17)

1) Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.33

2) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.34

3) Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.35

4) Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.36

c. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

33

Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

34 Pasal 1 angka 3 Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak 35

Pasal 1 angka 4 Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

36 Pasal 1 angka 5 Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

(18)

Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.37

d. Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

1) Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama hingga berumur 18 (delapan belas) tahun;

2) Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

3) Anak Sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

e. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang ini menyatakan, anak yang diperbolehkan untuk memberikan keterangan tanpa sumpah adalah anak yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin.38

f. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.39

g. Konvensi Hak Anak40

37 Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 38 Pasal 171 butir 1 KUHAP

(19)

Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.41

Batasan usia seseorang dikategorikan sebagai anak dapat dilihat dari tingkatan usia pada gambaran berikut ini, dimana di berbagai Negara di dunia tidak ada keseragaman tentang batasan umur seseorang dikategorikan sebagai anak, seperti:42

a. Di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas usia antara 8-18 tahun, sementara 6 negara bagian lain menentukan batas umur antara 8-17 tahun, sementara adapula Negara bagian lain menentukan batas umur antara 8-16 tahun;

b. Di Inggris, ditentukan batas umur antara 12-16 tahun;

c. Di Australia, kebanyakan Negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun;

d. Di Belanda, menentukan batas umur 12-18 tahun;

e. Di Srilangka, menentukan batas umur antara 16-18 tahun; f. Di Iran, menentukan batas umur antara 6-18 tahun;

g. Di Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-20 tahun; h. Di Taiwan, menentukan batas umur antara 14-18 tahun;

i. Di Kamboja, menentukan batas umur antara 15-18 tahun;

40

Rancangan KHA diselesaikan dan naskah akhirnya disahkan dengan bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989, yang dituangkan dalam resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. Sejak itulah, anak-anak di seluruh dunia memperoleh perhatian secara khusus dalam standar internasional. Konvensi Hak Anak diratifikasi oleh hampir semua anggota PBB, termasuk Indonesia yang meratifikasi KHA berdasarkan Kepres Nomor 36 tanggal 25 Agustus 1990. Dikutip dari: Hadi Supeno, Op.cit, hal. 33

(20)

j. Di Negara-negara ASEAN lain, antara lain: Filipina (7-16 tahun); Malaysia (7-18 tahun); Singapura (7-18 tahun)

Batasan usia juga dapat dilihat pada dokumen-dokumen Internasional seperti:43

a. Task Force on Juvenile Deliquency Prevention, menentukan bahwa seyogyanya batas usia penentuan seseorang dikategorikan sebagai anak dalam konteks pertanggungjawaban pidananya ditetapkan usia terendah 10 tahun dan batas antara 16-18 tahun;

b. Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules)44 menetapkan batasan anak yaitu seseorang yang berusia 7-19 tahun;

c. Resolusi PBB 45/11345 hanya menentukan batas atas 18 tahun, artinya anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.

Berdasarkan Konvensi Hak Anak, hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, antara lain:

a. Hak untuk kelangsungan hidup ( The Right To Survival ) yaitu hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup ( The Right of Live ) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan sebaik-baiknya.

43

Ibid

44 Beijing Rules juga disebut sebagai “Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bngsa-Bangsa mengenai Administrasi Peradilan Anak”. Ketentuan ini disahkan melalui Resolusi Majelis PBB Nomor 40/33 tanggal 29 November 1985 dikutip dari: Hadi Supeno, Op.cit, hal. 82

45

Havana Rules merupakan Resolusi PBB Nomor 45/113, hasil Sidang Pleno PBB ke-68

(21)

b. Hak terhadap perlindungan ( Protection Right ) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.

c. Hak untuk tumbuh kembang ( Development Rights ) yaitu hak-hak anak dalam konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan dan hak untuk mencapai standar hidup bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak ( The rights of standart of living ).

d. Hak untuk berpartisipasi ( Participation Rights ), yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak.46

Batasan usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk kemudian dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud batas usia adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu.47 Anak sebagai input penduduk, ahli waris dan pemegang nasib bangsa, juga ikut menentukan lajunya proses pembangunan nasional di segala bidang. Dalam pembangunan hukum, anak harus dikondisikan secara awal untuk memahami

46 M.Nasir Djamil, Op.cit, hal. 14-16

47 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,

(22)

akan hak dan kewajibannya masing-masing baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.48

F. Metode Penelitian

Metode penelitian diperlukan agar tujuan penelitian dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ada 2 (dua) macam tipologi yang lazim digunakan yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang dipakai adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder.49 Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian asas-asas hukum dan penelitian untuk menemukan hukum in concreto.50

Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan untuk bertingkah laku yang terdapat dalam

48 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, PT Alumni, Bandung, 2010, hal.

35

49 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan

(23)

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.51 Penelitian hukum yang dilakukan juga didukung oleh data empiris.

2. Sumber Data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder yang digunakan dalam penellitian ini mencakup bahan-bahan yaitu:

a. Bahan-bahan hukum primer, yakni antara lain:

1. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak;

3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP);

5. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. b. Bahan-bahan hukum sekunder, seperti buku-buku referensi yang

berkaitan dengan judul skripsi, artikel atau jurnal hukum, laporan atau hasil penelitian dan sebagainya yang diperoleh melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan

51 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Ghalia

(24)

di bidang hukum, misalnya: biografi hukum, ensiklopedi hukum, kamus, direktori pengadilan, dan lain sebagainya.

Data primer diperoleh dengan cara mengumpulkan data secara langsung pada Pengadilan Negeri Medan melalui tehnik wawancara. Dimana data primer dalam penelitian skripsi ini diperlukan untuk memberi pemahaman yang jelas, lengkap dan komprehensif terhadap data sekunder yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni informan.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian lapangan ini adalah wawancara terstruktur secara selektif dengan informan tertentu yaitu: Wawancara dengan Bapak Fauzul Hamdi dan Bapak Tumpanuli Marbun sebagai Hakim Anak di Pengadilan Negeri Medan. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman, dengan maksud untuk memperoleh penjelasan dan klasifikasi baik dari responden maupun informan.

3. Metode Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini menggunakan metode Library Research (Penelitian Kepustakaan). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dipecahkan.52 Penulisan ini juga didukung oleh data empiris yang dilakukan dengan wawancara pada Hakim Anak di Pengadilan Negeri Medan.

(25)

4. Analisis Data

Metode analisis yang akan digunakan untuk penelitian hukum normatif ini adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Perolehan data dari analisis kualitatif ini ialah diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi).53 Data kualitatif adalah data yang non angka, yaitu berupa kata, kalimat, pernyataan, dan dokumen. Dalam penelitian kualitatif, analisa data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data. 54

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh sesuai dengan aturan dan penulisan karya ilmiah, maka penulisan dibuat secara sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan Pendahuluan yang menguraikan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II PENGATURAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN

PIDANA ANAK

Bab ini membahas mengenai pengaturan Diversi Dalam Sistem Hukum Peradilan Pidana Anak yang meliputi pembahasan Sistem Dan Proses Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Sejarah Perkembangan

(26)

Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Pengaturan Diversi Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015.

BAB III PELAKSANAAN DIVERSI DALAM PERADILAN PIDANA

ANAK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NO. 65

TAHUN 2015

Bab ini membahas mengenai pelaksanaan Diversi Dalam Peradilan Pidana Anak menurut Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015, pada bagian pertama tentang Pengaturan Pelaksanaan Diversi Dalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, bagian kedua dikemukakan mengenai Proses Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun Dalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015, dan bagian ketiga membahas mengenai Pelaksanaan Diversi Dalam Proses Peradilan Pidana Anak di Pengadilan Negeri Medan.

BAB IV PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Latar belakang penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penilaian prestasi kerja yang terdiri dari aspek-aspek yang dinilai, penilai, metode penilaian dan umpan

Pemilihan buku atau media cetak lainnya seperti surat kabar sebagai sumber informasi antara lain disebabkan karena buku (media cetak) merupakan media informasi

Pemerian dari etanol yaitu merupakan cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak, memiliki bau yang khas dan rasa yang panas.. Mudah terbakar

Di tengah penguasaan Hefter atas wilayah Bulan Sabit Minyak dengan dukungan dan bantuan dari sejumlah negara kawasan seperti Mesir, Uni Emirat Arab dan Chad, serta

Pada indikator variabel ke lima memutar sekrup makrometer pada saat melakukan mencari objek, dimana memutar makrometer saat melakukan pengamatan kerah belakang

Rasmita pada tahun 2017 dengan judul Implementasi metode SMART ( Simple Multi Attribute Rating Technique ) dalam Pemilihan Hotel di Kota Palu dan hasil

masalah umum di destinasi wisata adalah toilet yang dibiarkan sangat kotor padahal dalam pemakaianya wisatawan selalu dipungut biaya perawatan, Hermawan

Clungup Mangrove Conservation yaitu; (1) Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru berperan sebagai pengelola, dalam hal ini yayasan tersebut cukup mengerti terkait semua