BAB II
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI
INDONESIA
A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur
Penanggulangan kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum terjadi dan memperbaiki pelaku yang dinyatakan bersalah dan dihukum di penjara
atau lembaga permasyarakatan28. Anak-anak tersebut belum dapat berfikir secara
baik dan kritis terhadap sesuatu yang sudah akan mereka perbuat, tingkah laku
atau perbuatannya masih lebih banyak bersifat emosional dari pada rasional.
Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan akibat yang terjadi. Oleh karena itu tindak pidana anak adalah masalah nasional
meliputi lingkup nasional, maka penanggulangan masalah tindak pidana anak ini
harus dilakukan secara bersama-sama dari pemerintah sampai masyarakat29.
Adapun upaya penanggulangan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh
anak dibawah umur antara lain :
1. Kebijakan Hukum Pidana (Penal) dalam Penanggulangan Kejahatan yang dilakukan Anak
Kebijakan hukum pidana (penal) merupakan pelaksanaan atau
pen-erapan hukum acara pidana berdasarkan undang-undang oleh alat-alat
kelengkapan negara, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan balai
28Soejono Dirdjosisworo, Ruang Lingk up Kriminologi, Bandung Penerbit Remaja Karya, Bandung, 1984, hal 19-20
pemasyarakatan, atau yang lebih dikenal dengan istilah Sistem
Peradi-lan Pidana. Menurut A. Mulder, “Strafrechtpolitiek” ialah garis
ke-bijakan untuk menentukan30 :
a. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui
b. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana
c. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Upaya penanggulangan tindak pidana menurut Pasal 24
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yaitu :
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua
asuh
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja
Upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh anak
dibawah umur dapat juga dilihat dari Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Pasal 82 yaitu :
a. pengembalian kepada orang tua/Wali; b. penyerahan kepada seseorang;
c.perawatan di rumah sakit jiwa;
d. perawatan di LPKS;
e.kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
f.pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g.perbaikan akibat tindak pidana.
2. Kebijakan Non-Penal dalam Penanggulangan Kejahatan yang
dil-akukan Anak
Kebijakan non-penal dalam penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 11
Ta-hun 2012 tampak dengan adanya penerapan Diversi dan Keadilan Restoratif yang dimasukkan dalam proses sistem peradilan pidana
anak.
Kebijakan tersebut dapat dilihat dari Undang-Undang Republik In-donesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yaitu :
a. Proses Penyelesaian Perkara Anak Pelaku Tindak Pi-dana Melalui Diversi dan Keadilan Restoratif
Diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 harus selalu diupayakan pada setiap
proses pemeriksaan perkara Anak, atau dengan kata
terse-but dilaksanakan jika perbuatan yang dilakukan
di-ancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh)
ta-hun, dan bukan pengulangan tidak pidana.
Tujuan dari dilakukannya Proses Diversi da-lam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ialah
a. mencapai perdamaian antara korban dan
Anak
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan ke-merdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak
Sehingga dalam pelaksanannya, Proses Diversi
wajib memperhatikan : a. Kepentingan anak
b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. penghindaran stigma negarif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
Penerapan atau pelaksanaan proses Diversi tidak
dapat terhadap semua Anak yang melakukan atau
semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, sehingga dalam Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus
mem-pertimbangkan :
a. kategori tindak pidana
Ketentuan ini merupakan indikator
bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi.Diversi
tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang
seri-us, misalnya pembunuhan, pemerkosaan,
pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun.
b. umur Anak
Umur anak dalam ketentuan ini dimak-sudkan untuk menentukan prioritas
pem-berian Diversi dan semakin muda umur anak, semakin tinggi prioritas Diversi.
Hal ini terlihat dalam Pasal 21 ayat (1)
12 (dua belas) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana,
Penyi-dik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk :
1. menyerahkan kembali kepada orangtua/Wali
2. mengikutsertakannya dalam
program pendidikan, pem-binaa, dan pembimbingan di
instansi pemerintah atau LKPS di instansi lain yang
menangani bidang
kese-jahteraan sosial, baik di ting-kat pusat maupundaerah,
pal-ing lama 6 (enam) bulan
3. hasil penelitian kemasyara-katan dari Bapas; dan
b. Peranan Lembaga Penegak Hukum Negara Republik
Indonesia dalam Pelaksanaan Proses Diversi dan
Kead-ilan Restoratif
Pelaksanaan proses Diversi dan Keadilan Restoratif tidak terlepas dari keterlibatan beberapa lembaga
pene-gak hukum negara Republik Indonesia. Hal ini disebabkan karena meskipun proses Diversi dan
Keadi-lan Restoratif merupakan kebijakan penangguKeadi-langan
non-penal, namun memiliki kaitannya yang erat dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana Anak yang
meru-pakan bahagian dari penerapan kebijakan penal. Salah satu yang terlihat jelas adalah bahwa “setiap proses
pemeriksaan sistem peradilan pidana Anak wajib mengupayakan Diversi”. Artinya bahwa kebijakan
pe-nal dan non-pepe-nal menurut Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 dapat dilakukan secara bersamaan, hanya
saja lebih mengutamakan upaya nonpenal dengan men-erapkan sistem Diversi dengan cara melalui pendekatan
Keadilan Restoratif yaitu :
a. Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
Kepolisian, Kejaksaan, dan
wajib diupayakan dalam waktu paling lama
7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai/
berkas dilimpahkan ke kejaksaan dan pen-gadilan, dan upaya Diversi dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)hari.
Apa-bila Diversi berhasil, maka penyidik, penuntut, dan hakim membuat berita acara
Diversi disertai dengan kesepakatan Diversi
dan diberikan kepada ketua pengadilan un-tuk dibuat penetapan.
b. Balai Pemasyarakatan
Balai pemasyarakatan (Bapas) adalah unit
pelaksana teknis pemasyarakatan yang
melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan,
pengawasan, dan pendampingan. Balai
Pemasyarakatan memiliki peran yang dil-aksanakan oleh Pembimbing
Kemasyara-katan dengan melakukan penelitian ke-masyarakatan, pembimbingan, pengawasan,
dan pendampingan terhadap Anak di luar
un-tuk kepentingan Diversi, melakukan
pem-bimbingan, dan pengawasan terhadap Anak
selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak
dil-aksanakan. Balai Pemasyarakatan juga ber-fungsi untuk mengawasi jalannya proses
penelitian kemasyarakatan, pembimbingan,
pengawasan, dan pendampingan yang
dil-akukan oleh Lembaga-Lembaga terkait yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
Ta-hun 2012, yaitu Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak
Sementara (LPAS), Lembaga
Penyeleng-garaan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Berkai-tan dengan Diversi dan Keadilan Restoratif,
maka Lembaga yang diawasi oleh Balai
Pemasyarakatan adalah LPKS, sebab dalam
pelaksanaan proses dan kesepakatan Diversi
anak dapat diikutsertakan dalam pendidikan
atau pelatihan di Lembaga Pendidikan atau
LPKS dalam jangka waktu yang ditentukan.
Artinya, anak yang dalam masa Diversi
Lembaga Pendidikan atau Lembaga
Penye-lenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS)
dengan pengawasan oleh Balai
Pemasyara-katan (Bapas).
B. Sistem Pemidanaan Dalam UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Secara khusus ketentuan yang mengatur masalah hukum pidana
anak, ditetapkan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Dibentuknya Undang-undang tetang peradilan anak antara
lain karena disadari bahwa walapun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial karena disadari bahwa walapun kenakalan anak merupakan
perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun hala
tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima sebagai suatu fakta sosial. Dalam perjalanannya pengaturan masalah hukum pidana anak mengalami perkembangan. Pasa tahun 1997 dikeluarkan
Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dengan segala kelemahan dana kekurangannya. Dalam Undang-undang No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat definisi Anak, Anak Nakal,
dan Anak Didik Pemasyarakatan31.
a. Anak
“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah
mencapai umur 12 (dua belas) tahun. tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”
b. Anak Nakal
“Anak Nakal adalah :
1. anak yang melakukan tindak pidana; atau
2. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.”
c. Anak Didik Pemasyarakatan
“Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim
Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan adalah
Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.”
Dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak
memuat bahwa batasan-batasan umur yang bisa dinyatakan sebagai anak yaitu : batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
Berdasarkan Pasal 22 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak memuat sanksi pidana, baik pokok maupun tambahan, antara
lain :
1. Pidana Pokok
a. Pidana Penjara b. Pidana kurungan c. Pidana denda
d. Pidana pengawasan 2. Pidana Tambahan
a. perampasan barang-barang tertentu dan atau
b. pembayaran ganti rugi.
Selain itu, berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No 3 Tahun 1997, tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak nakal meliputi :
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja; atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja
d. Syarat tambahan lainnya.
Untuk anak yang melakukan pidana diancam dengan saksi pidana dan
a. Untuk penjara, kurungan, denda dikurangi ½ dari ancamaan untuk
dewasa;
b. Maksimum 10 (Sepuluh) tahun penjara apabila delik diancam pidana mati atau seumur hidup;
c. Pidana pengganti denda berupa wajib latihan kerja dengan ketentuan:
1. Paling lama selama 90 hari
2. Lama latihan kerja tidak lebih dari 4 jam sehari;
3. Tidak dilakukan pada malam hari
Namun demikian, bagi anak yang belum berumur 12 tahun hanya dapat
dikenakan tindakan berupa :
a. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja jika melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup (Pasal 26:3 );
b. Salah satu tindakan kerja dari ketiga jenis tindakan sebagaimana diatur
dalam Pasal 23, jika melakukan tindak pidana yang tidak diacam
pidana mati atau seumur hiduo (Pasal 26 :4)
Pasal 30 mengatur tentang pidana pengawasan, lama pidana ini paling singkat selam 3 tahun dan paling lama 2 tahun. Sedangkan dalam hal Pembebasan
Bersyarat, Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menentukan, apabila :
1. Telah menjalani pidana penjara selama 2/3 dari pidana yang dijatuhkan, sekurang-kurangnya 9 bulan dan berkelakuan baik (Pasal
2. Masa percobaan, sama dengan sisa pidana yang harus dijalankannya
(Pasal 62 ayat 3)
C. Sistem Pemidanaan Dalam UU No.11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Pidana Anak
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pengertian anak diperluas lagi, dan cenderung kepada penggunaan anak dalam
sistem peradilan, yaitu Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Anak yang
Berkonflik dengan Hukum, Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana, dan Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana, hal ini juga tidak terlepas dengan adanya
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sehingga mempengaruhi definisi anak dalam Pasal 1 Undang-undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak :
a. Anak yang Berhadapan dengan Hukum
“Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.”
b. Anak yang Berkonflik dengan Hukum
“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya
disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”
“Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya
disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”
d. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana
“Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya
disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.”
Berdasarkan Pasal 71 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Pengadilan Anak memuat sanksi pidana , baik pokok maupun tambahan yaitu :
1. Pidana Pokok
a. Pidana peringatan; b. Pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan. c. Pelatihan kerja;
d. Pembinaan dalam lembaga; dan e. Penjara.
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.
Selain itu, berdasarkan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No 11 Tahun 2012,
tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak nakal meliputi :
a. Pengembalian kepada orang tua/Wali
b. Penyerahan kepada seseorang
c. Perawatan di rumah sakit jiwa d. Perawatan di LPKS
e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/ atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerinyah atau badan swasta; f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/ atau
g. Perbaikan akibat tindak pidana
Namun demikian, pada Pasal 21 Undang-undang No 11 Tahun 2012
Ten-tang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat ketentuan bagi anak yang belum berumur 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan berupa :
a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/ Wali;atau
b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di Instansi yang
menngani bidan kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun
daerah, pailng lama 6 bulan.
Untuk anak yang melakukan tindak pidana diancam dengan saksi pidana
1. Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan
Anak akan membahayakan masyarakat.
2. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
3. Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
4. Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan
di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
5. Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
6. Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
Pembebasan Bersyarat, Undang-Undang No.11 Tahun 2012 menentukan,
apabila anak yang telah menjalani ½ dari lamanya pembinaan di dalam lembaga
dan tidak kurang dari 3 bulan dan berkelakuan baik berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat.
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak hal tersebut tertuang dalam Pasal 2 yang berbunyi:“Sistem Peradilan Pidana Anak
a. pelindungan;
b. keadilan;
c. nondiskriminasi;
d. kepentingan terbaik bagi Anak;
e. penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. proporsional;
i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan.”
Asas-asas tersebut dicantumkan dalam Pasal 2 adalah demi terjaminnya hak-hak anak dalam Sistem Peradilan di Indonesia.
Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tidak disebutkan secara rinci tentang lembaga-lembaga apa saja yang terdapat dalam
SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak), tetapi lebih cenderung ke arah pemasyarakatan atau lebih tepatnya dialihkan kepada Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Tetapi dalam perkembangannya dalam
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
terdapat lembaga-lembaga antara lain : Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
“Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat
LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya.”
2. Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS),
“Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya
disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.”
3. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
“Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya
disingkat LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.”
Dan dalam pemidanaan nya berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 mengenal diversi yang pada undang-undang sebelum tidak mengatur tetang
diversi tersebut. Maka dari itu pada Undang-undang ini mengatur tentang
bagaimana diversi itu, yaitu :
1. Diversi bertujuan ( Pasal 6 ):
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan c. Menghindarkan anak dai perampasan kemerdekaan
d. Mendorong masyarakat untuk berpastisipasi e. Menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak
2. Proses Diversi wajib memperhatikan ( Pasal 8 ayat 3) :
a. kepentingan korban;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
3. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus
mempertimbangkan (Pasal 9 ayat 1): a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
4. Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali
untuk (Pasal 9 ayat 2 ):
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran; b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidana tanpa korban; atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
5. Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat
berbentuk ( Pasal 10 ayat 2):
c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
d.keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan. 6. Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:
a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c.keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau d. pelayanan masyarakat.
Yang menarik dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah tentang adanya Ketentuan Pidana yang tercantum
dalam bab XII Pasal 96 s/d 101 yang mana tidak terdapat dalam Undang-undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang berbunyi antara lain :
a. Pasal 96
“Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
b. Pasal 97
“Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
“Penyidik yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.”
d. Pasal 99
“Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.”
e. Pasal 100
“Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.”
f. Pasal 101