Universitas Sumatera Utara BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1Paradigma Kajian
Paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas
dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan
praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan
masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisi apa
yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial dan
epistimologis yang panjang (Mulyana, 2003: 9). Menurut Guba dan Lincoln,
paradigma adalah seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama
dalam menentukan pandangan tentang dunia dan menjelaskannya pada
penganutnya tentang alam dunia. Sudut pandang ataupun cara pandang tidak
pernah bersifat netral dan objektif. Oleh karena itu menurut Thomas Samuel Kuhn
(1970) paradigma menentukan apa yang hanya ingin kita ketahui, yang ingin kita
inginkan, hanya yang ingin kita lihat dan kita ketahui.
Paradigma inilah yang sangat mempengaruhi pandangan seseorang dalam
mengambil suatu tindakan atau sesuatu hal apapun. Misalnya ada dua orang yang
dihadapkan pada suatu fenomena yang sama, kemungkinan kedua orang tersebut
akan memberikan respon yang berbeda terhadap fenomena tersebut. Kedua orang
tersebut juga akan menghasilkan penilaian, sikap, tindakan, bahkan pandangan
yang berbeda pula. Perbedaan ini bisa terjadi karena kedua orang tersebut
memiliki paradigma yang berbeda, yang secara otomatis mempengaruhi persepsi
dan tindakan komunikasinya (Bungin, 2008: 237).
2.1.1 Paradigma Konstruktivisme
Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu
realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial dan kebenaran suatu realitas
sosial bersifat relatif. Konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk
Universitas Sumatera Utara
komunikasi yang dikembangkan oleh Jesse Delia dan rekan sejawatnya pada
tahun 1970-an. Konstruktivisme ini lebih berkaitan dengan program penelitian
dalam komunikasi antarpersona. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa
individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori
konseptual yang ada dalam pikirannya. Realitas tidak menunjukkan diri dalam
bentuk yang kasar tetapi harus disaring dulu melalui bagaimana seseorang itu
melihat sesuatu (Morissan, 2009: 107).
Von Glasersfled dalam Bettencourt (1989) mengatakan bahwa
konstruktivisme merupakan pengetahuan yang tidak terlepas dari subjek yang
sedang belajar mengerti. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan
yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi atau bentukan kita
sendiri. Pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif. Subjek
pengamat tidaklah kosong dan tidak mungkin tidak terlibat dalam tindakan
pengamatan. Keberadaan realitas tidak hadir begitu saja pada benak subjek
pengamat, realitas ada karena pada diri manusia terdapat skema, kategori, konsep
dan struktur pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang diamati. Pada proses
komunikasi pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada
orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah
diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka.
Kontruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan
komunikasi serta dalam hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki
kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap
wacana. Komunikasi dipahami diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan
yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan
makna yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang
pembicara. Konstruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan manusia adalah
konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia
objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap
kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul
dalam pengalaman manusia secara terorganisisasi dan bermakna (Ardianto &
Universitas Sumatera Utara
Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang ada sebelumnya
yaitu konstruksi pribadi atau konstruksi personal oleh George Kelly. Ia
menyatakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan cara
mengelompokkan berbagai peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan
berbagai hal melalui perbedaannya. Sistem kognitif terdiri atas sejumlah
perbedaan. Perbedaan ini menjadi dasar penilaian ihwal sistem kognitif individual
yang bersifat pribadi. Individu yang cerdas secara kognitif dapat membuat banyak
perbedaan dalam satu situasi dibandingkan dengan orang yang lemah secara
kognitif. Inilah yang disebut dengan diferensiasi kognitif dan diferensiasi ini
mempengaruhi bagaimana pesan menjadi kompleks (Morissan, 2009: 107).
Delia dan koleganya kemudian menegaskan hubungan antara kompleksitas
kognitif dengan tujuan dari pesan. Pesan sederhana hanya memiliki satu tujuan
sementara pesan kompleks memiliki banyak tujuan. Dalam komunikasi antar
persona pesan-pesan sederhana berupaya mencapai keinginan satu pihak saja
tanpa mempertimbangkan keinginan dari pihak lain. Sementara pesan kompleks
dirancang untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Prinsip dasar konstruktivisme
adalah bahwa tindakan ditentukan oleh konstruk diri sekaligus juga konstruk dari
luar diri (Ardianto & Q-annes, 2007: 159).
Paradigma konstruktivisme dipengaruhi oleh perspektif interaksionisme
simbolik dan perspektif struktural fungsional. Perspektif interaksionalisme
simbolik mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan
respon terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Individu manusia dipandang
sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut
dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain.
2.1.2 Interaksionisme Simbolik
Paham mengenai interaksi simbolik adalah suatu cara berpikir mengenai
pikiran (mind), diri dan masyarakat yang telah memberikan banyak konstribusi
kepada tradisi sosiokultural dalam membangun teori komunikasi. Para pemikir
Universitas Sumatera Utara
Iowa dan aliran Chicago. Kalangan pemikir aliran Iowa banyak yang menganut
tradisi epistimologi dan post-positivist sedangkan aliran Chicago banyak
melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan dari George Herbert Mead.
George Herbert Mead dipandang sebagai pembangun paham interaksi simbolik
ini. Ia mengajarkan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi di antara
manusia baik secara verbal maupun non verbal. Melalui aksi dan respons yang
terjadi kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan dan karenanya
kita dapat memahami satu peristiwa dengan cara-cara tertentu.
Menurut paham interaksi simbolik, individu berinteraksi dengan individu
lainnya sehingga menghasilkan suatu ide tertentu mengenai diri yang berupaya
menjawab siapakah anda sebagai manusia ? Manfort Kuhn menempatkan peran
diri sebagai pusat kehidupan sosial. Diri merupakan hal yang sangat penting
dalam interaksi. Orang memahami dan berhubungan dengan berbagai hal atau
objek melalui interaksi sosial. Menurut Kuhn, komunikator melakukan
percakapan dengan dirinya sendiri sebagai bagian dari proses interaksi. Dengan
kata lain kita berbicara sendiri di dalam pikiran kita guna membuat perbedaan
diantara benda-benda atau orang. Ketika seseorang membuat keputusan
bagaimana bertingkah laku terhadap suatu objek sosial maka orang itu
menciptakan apa yang disebut oleh Kuhn suatu rencana tindakan (a plan of action)
yang dipandu dengan sikap atau pernyataan verbal yang menunjukkan nilai-nilai terhadap kemana tindakan itu akan diarahkan (Morissan & Wardhani, 2009: 75).
Interaksi simbolik mendasarkan gagasannya atas enam hal yakni:
1. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang
dihadapinya sesuai dengan pengertian subjektifnya.
2. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial
buakanlah struktur atau bersifat struktural dan karena itu akan terus
berubah.
3. Manusia memahami pengalamannya melalui makna dari simbol
yang digunakan dilingkungan terdekatnya dan bahasa meruapakan
Universitas Sumatera Utara
4. Dunia terdiri atas berbagai objek sosial yang memiliki nama dan
makna yang ditentukan secara sosial.
5. Manusia berdasarkan tindakannya atas interpretasi mereka dengan
mempertimbangkan dan mendefenisikan objek-objek dan tindakan
yang relevan pada situasi saat itu.
6. Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek
sosial lainnya diri didefenisikan melalui interaksi sosial (Morissan
& Wardhani, 2009: 143).
Karya Mead yang paling terkenal yang berjudul Mind, Self, and Society,
menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah
diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Hal pertama yang harus dicatat
adalah bahwa tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term
interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial
(diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi
masyarakat (society) dimana kita hidup. Ketiga konsep tersebut memiliki
aspek-aspek yang berbeda namun berasal dari proses umum yang sama yang disebut
tindakan sosial (social act) (Ardianto & Q-annes, 2007: 136).
Kemampuan menggunakan simbol-simbol signifikan untuk menanggapi
diri yang memungkinkan diri berpikir, inilah yang disebut Mead sebagai pikiran
(mind). Pikiran bukanlah suatu benda, tetapi suatu proses yang tidak lebih dari
kegiatan interaksi dengan diri anda. Kemampuan berinteraksi yang berkembang
bersama-sama dengan diri adalah sangat penting bagi kehidupan manusia karena
menjadi bagian dari setiap tindakan. Berpikir (minding) melibatkan keraguan
ketika anda menginterpretasikan situasi. Disini, anda berpikir sepanjang situasi itu
dan merencanakan tindakan ke depan. Anda membayangkan berbagai hasil,
memilih alternatif dan menguji berbagai alternatif yang mungkin. Manusia
memiliki simbol signifikan yang memungkinkan mereka menamakan objek. Kita
selalu memberi makna pada sesuatu berdasarkan pada bagaimana anda bertindak
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mead, ‘diri’ memiliki dua sisi yang masing-masing memiliki
tugas penting yaitu diri yang mewakili saya sebagai subjek atau I dan saya sebagai objek atau ME. Saya sebagai subjek adalah bagian dari diri saya yang bersifat menuruti dorongan hati, tidak teratur dan tidak langsung dan tidak dapat
diperkirakan. Saya sebagai objek adalah konsep diri yang terbentuk dari pola-pola
yang teratur dan konsisten yang anda dan orang lain pahami bersama. Setiap
tindakan dimulai dari dorongan hati dari saya subjek dan secara cepat dikontrol
oleh saya objek. Saya subjek adalah tenaga pendorong untuk melakukan tindakan
sedangkan konsep diri atau saya objek memberikan arah atau panduan. Mead
menggunakan konsep saya objek untuk menjelaskan perilaku yang dapat diterima
dan sesuai secara sosial dan saya subjek menjelaskan dorongan hati yang kreatif
namun sulit diperkirakan.
Mead mendefenisikan masyarakat sebagai jejaring hubungan sosial yang
diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui
perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat
menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus
disesuaikan oleh individu-individu. Syarat untuk dapat terjadinya kerjasama
diantara anggota masyarakat adalah adanya pengertian terhadap keinginan atau
maksud orang lain, tidak hanya pada saat ini tapi juga di masa yang akan datang
(Morissan & Wardhani, 2009: 145).
Mead dan pengikutnya menggunakan banyak konsep untuk
menyempurnakan cara lahirnya makna melalui interaksi dalam kelompok sosial.
Konsep penting lainnya dalam teori interaksionisme simbolik adalah significant
others atau orang lain yang signifikan yaitu orang lain yang berpengaruh dalam
kehidupan, lalu kemudian ada orang lain yang digeneralisasikan atau generalised
others yakni konsep tentang bagaimana orang lain merasakan anda dan tata cara
yang dipakai atau role taking yaitu pembentukan perilaku setelah perilaku orang
lain. Konsep ini disusun bersama dalam teori interkasionisme simbolik untuk
Universitas Sumatera Utara
kondisi psikologis, komunikasi simbolik serta nilai-nilai sosial dan keyakinan
dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat (Ardianto & Q-annes, 2007: 136).
Herbert Blumer menyebutkan bahwa pada masyarakat yang sudah maju
sebagian besar dari tindakan kelompok terdiri atas pola-pola yang berulang-ulang
dan stabil yang memiliki makna bersama dan mapan bagi anggota masyarakat
bersangkutan. Pola-pola tindakan kelompok yang sangat sering diulang-ulang
tidak ada yang bersifat permanen. Tidak peduli betapapun solid dan kompaknya,
tampaknya suatu tindakan satu kelompok tetapi semuanya berasal dari pilihan
tindakan orang per orang secara individu. Dalam suatu tindakan sosial melibatkan
hubungan tiga pihak yaitu adanya isyarat awal dari gerak atau isyarat tubuh
seseorang, adanya tanggapan terhadap isyarat itu oleh orang lain dan ada hasilnya.
Hasil adalah makna tindakan bagi komunikator.
Makna adalah hasil komunikasi yang penting. Makna yang kita miliki
adalah hasil interaksi kita dengan orang lain. Kita menggunakan makna untuk
menginterpretasikan peristiwa disekitar kita. Interpretasi merupakan proses
internal di dalam diri kita. Kita harus memilih, memeriksa, menyimpan,
mengelompokkan dan mengirim makna sesuai dengan situasi dimana kita berada
dan arah tindakan kita. Dengan demikian, jelaslah, bahwa kita tidak dapat
berkomunikasi dengan orang lain tanpa memiliki makna yang sama terhadap
simbol yang kita gunakan (Morissan & Wardhani, 2009: 145).
2.2Kajian Pustaka
2.2.1 Komunikasi Massa
Komunikasi merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan
manusia dalam kaitannya dengan hubungan antar individu. Komunikasi
merupakan sarana vital untuk mengerti diri sendiri, orang lain dan memahami apa
yang dibutuhkan orang lain serta untuk mencapai pemahaman tentang dirinya dan
sesama. Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan melalui media
massa dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan informasi
Universitas Sumatera Utara
melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh
masyarakat secara massal pula (Bungin, 2008: 72). Saverin dan Tankard
menyatakan bahwa komunikasi massa adalah sebagian keterampilan (skill),
sebagian seni (art) dan sebagian ilmu (science). Maksudnya tanpa ada dimensi
menata pesan tidak mungkin media massa memikat khalayak yang pada akhirnya
pesan tersebut dapat mengubah sikap, pandangan dan perilaku komunikan
(Effendi, 2005: 210).
Karakteristik dari komunikasi massa (Ardianto & Komala 2004: 7) yakni:
a. Komunikatornya terlembagakan, karena komunikasi massa
melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam
organisasi yang kompleks.
b. Pesannya bersifat umum, komunikasi massa bersifat terbuka yang
ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk
sekelompok orang tertentu. Hingga pesannya pun bersifat umum
yang berupa fakta, peristiwa dan opini.
c. Komunikannya anonim dan heterogen, dalam komunikasi massa,
komunikator tidak mengenal komunikannya, karena
komunikasinya melalui komunikasi massa dan tidak tatap muka.
Komunikasinya heterogen karena terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat yang berbeda-beda dan dapat dikelompokkan
berdasarkan faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar
belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi.
d. Menimbulkan keserempakan, komunikasi massa memiliki
kelebihan dalam hal jumlah sasaran khalayak. Keserempakan
media massa yakni keserempakan kontak dengan sejumlah besar
penduduk dalam jarak yang cukup jauh dari komunikator dan
penduduk tersebut satu sama lain dalam keadaan terpisah.
e. Komunikasinya mengutamakan isi ketimbang hubungan, pesan
harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan
Universitas Sumatera Utara
f. Sifatnya satu arah, komunikasi massa tidak melakukan kontak
langsung antara komunikan dan komunikator. Komunikasi ini
terjadi melalui media massa, komunikator aktif menyampaikan
pesan dan komunikan aktif menerima pesan. Namun keduanya
tidak melakukan feed back dalam proses komunikasinya sehingga
dikatakan bersifat satu arah.
g. Stimulasi alat indera terbatas, komunikasi massa terbatas
penggunaannya sesuai dengan media massa yang digunakan oleh
komunikan.
h. Umpan balik tertunda, komunikasi massa tidak mampu
menjalankan fungsi umpan balik, karena sifatnya yang satu arah.
Para pakar komunikasi mengkhawatirkan pengaruh media massa ini
bukannya menimbulkan dampak positif konstruktif, melainkan yang negatif
destruktif. Para pakar komunikasi mempertanyakan fungsi yang sebenarnya dari
komunikasi massa atau media massa itu. Joseph R. Dominick menyatakan fungsi
komunikasi massa sebagai berikut:
a. Fungsi Pengawasan
Hal ini mengacu pada yang kita kenal sebagai peranan berita dan
informasi dari media massa. Media mengambil tempat dari para
pengawal yang pekerjaannya mengadakan pengawasan. Pekerja
media di seluruh dunia mengumpulkan informasi untuk kita yang
tidak bisa kita peroleh kemudian informasi itu diberikan kepada
organisasi-organisasi media massa yang dengan jaringan yang luas
dan alat-alat canggih disebarkan keseluruh jagat.
b. Fungsi Interpretasi
Media massa tidak hanya menyajikan data dan fakta tetapi juga
informasi beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di
dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh
saluran perseorangan. Misalnya melalui perikanan.
d. Fungsi Sosialisasi
Mentransmisikan nilai-nilai yang mengacu pada cara-cara dimana
seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu kelompok.
Media massa menyajikan penggambaran masyarakat, dan dengan
membaca, mendengarkan, dan menonton maka seseorang
mempelajari bagaimana khalayak berperilaku dan nilai-nilai apa
yang penting.
e. Fungsi Hiburan
Fungsi hiburan ini terlihat jelas pada medium televisi, film dan
rekaman suara. Sementara untuk media cetak hiburan mempunyai
ruang tersendiri, misalkan certa pendek, cerita panjang, atau cerita
bergambar (Effendi, 2005: 30&31).
Secara umum fungsi komunikasi dan komunikasi massa dibagi menjadi
empat fungsi yang lebih sedehana yakni:
1. Untuk menyampaikan informasi (to inform)
2. Untuk mendidik (to educate)
3. Untuk menghibur (to entertain)
4. Untuk mempersuasi (to persuade)
Media massa memiliki arti penting dalam kehidupan modern masyarakat.
Media massa memiliki jangkauan yang luas. Melalui media massa khalayak dapat
mengetahui hampir segala sesuatu yang kita tahu tentang dunia diluar lingkungan
kita. Media massa dibutuhkan oleh orang-orang untuk mengekspresikan ide-ide
kepada khalayak luas. Negara-negara kuat menggunakan media massa untuk
menyebarkan ideologinya untuk tujuan komersial. Media massa menjadi sumber
informasi dan juga sebagai sumber hiburan bagi khalayak. Informasi didapatkan
khalayak lebih banyak dari pemberitaan yang dilakukan di media massa baik
Universitas Sumatera Utara
unsur entertainment walaupun tidak ada medium yang sepenuhnya bersifat
hiburan. Mayoritas media massa merupakan campuran dari informasi,
entertainment dan juga persuasi (Vivian, 2008: 5&6).
2.2.2 Film Sebagai Komunikasi Massa
Istilah industri media massa menggambarkan 8 jenis usaha atau bisnis
media massa. Kata industri ketika dipakai untuk menggambarkan usaha atau
bisnis media massa di Amerika Serikat adalah untuk menghasilkan uang.
Kedelapan industri media tersebut adalah buku, surat kabar, majalah, rekaman,
radio, film, televisi, dan internet (Biagi, 2010: 11). Film merupakan media
komunikasi yang muncul pada abad ke-20, film sendiri merupakan perkembangan
dari fotografi yang ditemukan oleh Joseph Nicephore Niepce dari Prancis pada
tahun 1826. Penyempurnaan dari fotografi berlanjut hingga pada akhirnya
mendorong rintisan penciptaan film itu sendiri. Nama-nama penting dalam sejarah
penemuan film antara lain Thomas Alva Edison dan Lumiere bersaudara
(Sumarno, 1996: 2).
Film dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 adalah karya cipta seni
dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang
dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita
video, piringan video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik atau
proses lainnya dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan dan atau
ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dan lainnya
dari mimpi karena sifatnya yang imajinatif dan sebagai media kreatif. Sangat
mudah menganggap industri film sebagai salah satu bisnis media terbesar karena
publisitas disekitarnya seperti selebriti film yang menangkap banyak perhatian
(Biagi, 2010: 169).
Film adalah fenomena sosial, psikologi, dan estetika yang kompleks. Film
merupakan dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar yang diiringi kata-kata
Universitas Sumatera Utara
dengan memberikan informasi, drama, music, dan lain-lain. Film sudah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari khalayak dalam banyak hal. Film bisa membuat
orang tertahan, setidaknya saat mereka menonton secara lebih intens dibanding
dengan medium lain. Orang terpesona oleh film sejak awal penciptaan teknologi
film meski saat itu tak lebih dari gambar putus-putus dan goyang di tembok putih.
Dengan masuknya suara pada 1920-an dan kemudian warna serta banyak
kemajuan teknis lainnya film semakin membuat orang semakin terpesona.
Menonton film dibioskop masih merupakan pengalaman yang mengasyikkan,
pengalaman yang tidak bisa diperoleh dari media lain (Vivian, 2008: 160).
Pada awalnya film adalah hiburan bagi kelas bawah di perkotaan, dengan
cepat film mampu menembus batas-batas kelas dan menjangkau kelas yang lebih
luas. Kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial kemudian
menyadarkan para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi
khalayak. Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk
semacam konsensus publik secara visual, karena selalu bertautan dengan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik (Irawanto, 1999: 13).
Unsur- unsur ideologi dan propaganda yang terselubung dan tersirat dalam
banyak film hiburan umum, suatu fenomena yang tampaknya tidak tergantung
pada atau tidak adanya kebebasan masyarakat. Fenomena semacam itu mungkin
berakar dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat atau mungkin
juga bersumber dari keinginan untuk memanipulasi. Sehingga pemanfaatan film
dalam pendidikan perlu untuk ditambahkan. Pentingnya pemanfaatan film dalam
pendidikan didasari oleh pertimbangan bahwa film memiliki kemampuan untuk
menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film
memiliki kemampuan mengantar pesan secara unik. Ringkasnya terlepas dari
dominasi pengunaan film sebagai alat hiburan dalam sejarah film, tampaknya ada
semacam aneka pengaruh yang menyatu dan mendorong kecenderungan sejarah
film menuju ke penerapannya yang bersifat manipulatif (Mc Quail, 1996: 14).
Universitas Sumatera Utara
Film sebagai suatu bentuk komunikasi massa yang dikelola menjadi suatu
bentuk komoditi. Didalamnya terdapat produser, pemain film dan perangkat
kesenian lainnya yang mendukung. Adapun pengelompokan film menurut
Ardianto dan Erdinaya dalam bukunya yang bejudul “Komunikasi Massa Suatu
Pengantar” (2004: 138), antara lain:
a. Film Cerita
Jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim
dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film
tenar dan didistribusikan sebagai barang dagangan. Film jenis ini
disebut juga film fiksi. Film fiksi erat hubungannya dengan hukum
kausalitas atau sebab-akibat. Ceritanya memiliki karakter
protagonis dan antgonis, masalah dan konflik, penutupan serta
pengembangan cerita yang jelas.
b. Film Berita
Film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi, terdapat
nilai berita yang penting dan menarik bagi khalayak.
c. Film Dokumenter
Karya cipta mengenai kenyataan, hasil interpretasi pembuatannya
mengenai kenyataan dari film tersebut. Film jenis ini berhubungan
dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata.
d. Film Kartun
Film animasi yang sasaran utamanya adalah anak-anak, namun
semua kalangan menyukainya karena sisi kelucuannya yang biasa
hadir disetiap tayangannya.
Jenis film yang digunakan dalam penelitian ini adalah film cerita. Film
cerita adalah sebuah film yang sudah dituliskan dalam bentuk naskah, kemudian
diperankan oleh bintang film yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga
penontonnya. Film ini menyajikan berbagai unsur yang menyentuh perasaan
manusia. Film ini bersifat auditif visual yang disajikan dalam bentuk gambar yang
Universitas Sumatera Utara
lazimnya dipertunjukkan di bioskop dan didistribusikan sebagai barang dagangan
yang diperuntukkan untuk publik dimana pun mereka berada.
2.2.2.2Genre Film
Himawan Pratista dalam bukunya yang berjudul “Memahami Film”
(Pratista: 2008) mengatakan bahwa selain jenisnya, film juga dapat
dikelompokkan berdasarkan klasifikasi film. Klasifikasi film yang paling banyak
dikenal adalah klasifikasi berdasarkan genre film. Istilah genre berasal dari bahasa
Prancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”. Di dalam film, genre diartika
sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau
pola yang sama seperti setting, isi, dan subjek cerita, tema, struktur cerita, aksi
atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter. Fungsi utama
dari genre adalah untuk membantu kita memilah-milah atau mengklasifikasikan
film-film yang ada sehingga lebih memudahkan untuk mengenalinya.
Genre-genre pokok dalam film antara lain :
1. Aksi
2. Drama
3. Epik Sejarah
4. Fantasi
5. Fiksi Ilmiah
6. Horor
7. Komedi
8. Kriminal dan Gangster
9. Musikal
10.Petualangan
11.Perang
12.Western
Film The Interview yang menceritakan rencana pembunuhan pemimpin
tertinggi dari negara Korea Utara Kim Jong Un, termasuk dalam kategori genre
drama komedi. Meskipun tema yang diangkat adalah “pembunuhan”, tapi tingkah
Universitas Sumatera Utara
yang lucu dan tidak menegangkan, sebagaimana film-film yang bercerita tentang
pembunuhan pada umumnya.
2.2.3 Dramaturgi
Dramaturgi merupakan suatu seni atau teknik dari komposisi dramatis dan
representasi teatrikal, dalam persektif ini, interaksi sosial dimaknai sama dengan
pertunjukkan teater atau drama diatas panggung. Dramaturgi memiliki
kepentingan utama untuk mendeskripsikan kehidupan sosial sehari-hari sebagai
drama dan memahami bagaimana individu berusaha memenuhi kebutuhan sosial
psikologis dibawah kondisi tersebut. Karena manusia merupakan aktor yang
berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang
lain melalui pertunjukkan dramanya sendiri.
Erving Goffman melalui bukunya The Presentation of Self in Everyday
Life yang diterbitkan pada tahun 1959, secara rinci memberikan penjelasan dan
analisis terhadap proses dan makna dalam interaksi. Erving Goffman
mengeksplorasi rincian identitas individu, hubungan antar kelompok, dampak
lingkungan, serta gerakan dan makna informasi yang bersifat interaksi. Erving
Goffman memulai proyeknya dari pengembangan karya-karya sosiolog Prancis
Emile Durkheim, yang ditetapkan untuk mengungkapkan tatanan moral yang ada
dalam masyarakat. Komunikasi menjadi tema sentral dalam kajian sosiologinya yang pada akhirnya ia menganalisis interaksi sosial, ritus dan kesopanan,
pembicaraan dan semua hal yang menjalin hubungan sehari-hari. Interaksi
dianggap sebagai dasar kebudayaan dimana di dalamnya memiliki norma,
mekanisme dan regulasi. Ritual-ritual interaksi dianggap sebagai ajang untuk
menegaskan adanya tatanan moral dan sosial, sehingga dalam suatu pertemuan
diri sang aktor berusaha untuk memunculkan tatanan citra yang ditentukan oleh
dirinya sendiri berupa wajah atau nilai sosial positif yang dituntut seseorang
melalui jalur tindakan jika ditarik pada kerangka interaksionisme simbolik
bagaimana memunculkan diri subjek yang positif (Umiarso & Elbadiansyah,
Universitas Sumatera Utara
Karya-karya Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh George Herbert
Mead yang memfokuskan pandangannya pada The Self. Bagi Mead, The Self
lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. The Self juga
merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan
pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya didalam situasi dimana ia bertindak
dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya. Aktor atau pelaku yang
melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri menurut Mead dilakukan
dengan cara mengambil peran orang lain dan bertindak berdasarkan peran
tersebut, lalu memberikan respon terhadap tindakan tersebut. The Self bersifat
aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variabel-variabel sosial, budaya, maupun
psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan The Self (Surip, 2011: 131).
Konsep diri Erving Goffman tidak lepas dari pandangan atau konsep yang
dilontarkan oleh Charles Horton Cooley yaitu “the looking glass self”.
Konsekuensinya diri sang aktor mampu untuk menampilkan suatu pertunjukkan
bagi orang lain tetapi kesan pelaku terutama diri sang aktor lain terhadap
pertunjukkan tersebut dapat berbeda-beda. Oleh sebab itu, diri sang aktor akan
mampu untuk bertindak atau menampilkan sesuatu yang diperlihatkannya, tapi
belum tentu perilaku diri sang aktor pada konteks waktu tertentu atau sehari-hari
tidak sama seperti ketika diperlihatkan pada waktu lalu. Hal ini tidak terlepas dari
pengelolaan kesan sebagai suatu cara yang dilakukan diri sang aktor yang ingin
menyajikan gambaran diri yang akan diterima sang aktor lain. Dalam proses ini
diri sang aktor yang membuat pernyataan dapat memanipulasi pernyataan yang
diberikan maupun pernyataan lepas. Sang aktor berusaha untuk mengendalikan
perilaku sang aktor lain dengan jalan memberikan pernyataan yang dapat
menghasilkan kesan yang diinginkan (Umiarso & Elbadiansyah, 2014: 257).
Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan,
bukan apa yang ingin mereka lakukan atau mengapa mereka melakukan,
melainkan bagaimana mereka melakukan. Kenneth Burke mengatakan bahwa
pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan,
dramaturgi menekankan dimensi ekspresif dan impresif aktivitas manusia. Burke
Universitas Sumatera Utara
pengertian yang berbeda antara gerakan dan aksi. Aksi terdiri dari tingkah laku
yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku yang
mengandung makna dan tidak bertujuan. Seseorang dapat berkata-kata atau
berbicara tentang ucapan-ucapan, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk
aksi. Karena adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerjasama dalam
aksi-aksi mereka maka bahasapun membentuk perilaku.
Konsep yang digunakan oleh Goffman yang berasal dari gagasan Burke
sering disebut dengan konsep “peran sosial” yang dipinjam dari khasanah teater.
Peran adalah ekspektasi yang didefenisikan secara sosial yang dimainkan
seseorang dalam suatu situasi untuk memberikan citra tertentu kepada khalayak
yang hadir. Bagaimana sang aktor berperilaku tergantung pada peran sosialnya
dalam situasi tertentu. Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang
berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu ganbaran diri yang akan diterima
oleh orang lain. Ia menyebut itu dengan istilah pengelolaan kesan, yaitu
teknik-teknik yang digunakan oleh aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu untuk
mencapai tujuan tertentu (Surip, 2011: 136).
Kontribusi Erving Goffman yang juga memiliki pengaruh adalah tentang
stigma. Dalam bukunya “stigma: notes on the management of spoiled identity”
dimana ia mencoba utnuk meneliti bagaimana diri sang aktor mengelola
penampilan diri mereka sendiri. Terlebih ketika penampilan mereka tidak sesuai
dengan standart yang disetujui dalam perilaku atau penampilan yang semestinya,
maka mereka mencoba untuk melindungi identitas mereka tersebut dengan cara
mengelola penampilan dirinya. Perlindungan ini terutama dilakukan melalui
penyembunyian penampilan yang tidak sesuai tersebut dengan mengelola
penampilannya kembali. Stigma mengacu pada perasaan rendah diri atau perasaan
malu bahwa seseorang mungkin merasa gagal untuk memenuhi standar orang lain,
sehingga meyebabkan mereka untuk tidak mengungkapkan kesalahan mereka.
Dalam memperkenalkan konsep stigma, Erving Goffman mengidentifikasi
tiga jenis stigma yaitu, stigma sifat karakter, stigma fisik, dan stigma identitas
kelompok. Stigma sifat karakter merupakan cacat karakter yang melekat pada diri
Universitas Sumatera Utara
berbahaya dan kaku dan ketidakjujuran. Stigma fisik mengacu pada kelainan
tubuh sang aktor. Stigma identitas kelompok merupakan stigma yang berasal dari
ras mahkluk tertentu, ras, bangsa dan agama dan sebagainya. Stigma ini
ditransimisikan melalui garis keturunan dan mencemari semua anggota keluarga
(Umiarso & Elbadiansyah, 2014: 254).
Semua diri sang aktor terlibat dalam proses manajemen kesan karena
mereka semua memprioritaskan memunculkan kesan yang baik pada orang lain.
Dengan demikian dramaturgi merupakan suatu perspektif sosiologis yang
mendekripsikan tentang diri sang aktor yang secara aktif mencoba utnuk
membentuk persepsi orang lain dari mereka dengan menghadirkan diri dengan
cara memunculkan penampilan atau citra terbaik yang akan membantu mereka
mencapai tujuan tersebut. Diri sang aktor akan bertindak berbeda didepan orang
yang berbeda dan dalam lingkungan yang berbeda pula untuk membentuk
penampilan citra yang terbaik sebagaimana mereka merasakan.
2.2.3.1Panggung Depan dan Panggung Belakang
Dalam perspektif dramaturgi, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial
yang mirip dengan pertunjukkan diatas panggung, yang menampilkan peran-peran
yang dimainkan oleh para aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang
aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku nonverbal tertentu serta menggunakan atribut tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar dia
tidak keseleo lidah, menjaga kendali diri, melakukan gerak gerik, menjaga nada
suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi (Surip, 2011: 136).
Panggung Belakang (Back Stage) adalah ruang privat yang tidak diketahui
orang lain, tempat seseorang atau sekelompok orang leluasa menampilkan wajah
aslinya. Di panggung inilah segala persiapan aktor disesuaikan dengan apa yang
akan dihadapi di lapangan, untuk menutupi identitas aslinya. Biasanya juga
disebut dengan back region atau kamar rias untuk mempersiapkan diri atau
berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan, ditempat ini pula si aktor
Universitas Sumatera Utara
Panggung Depan (Front Stage) adalah ruang publik yang digunakan
seseorang atau sekelompok orang untuk mempresentasikan diri dan memberikan
kesan kepada orang lain melalui pengelolaan kesan (management of impression).
Disini individu kemungkinan akan menampilkan peran formal atau berperan
layaknya seorang aktor. Di panggung inilah aktor akan membangun dan
menunjukkan sosok ideal dari identitas yang akan ditonjolkan dalam interaksi
sosialnya. Wilayah ini juga disebut dengan front region (wilayah depan) yang
ditonton oleh khalayak. Panggung depan mencakup setting, personal front
(penampilan diri), expresive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri),
appearance (penampilan)dan manner (gaya) (Mulyana, 2003: 58).
Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian yakni front
pribadi dan setting front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak
sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Personal front
mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Misalnya, berbicara sopan,
pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian,
penampakan usia dan sebagainya. Ciri yang relatif tetap dan sulit untuk
disembunyikan adalah ciri fisik termasuk ras dan usia, namun aktor sering
memanipulasinya dengan menekankan atau melembutkannya. Sementara itu
setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan
pertunjukkan misalnya dokter bedah memerlukan ruang operasi atau supir taksi
memerlukan kendaraan.
Aspek lain dari dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor sering
berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan khusus atau jarak
sosial lebih dekat dengan khalayak dari pada jarak sosial yang sebenarnya.
Goffman mengatakan bahwa orang tak selamanya ingin menunjukkan peran
formalnya di dalam panggung. Orang memainkan sesuatu perasaan, meskipun ia
enggan akan peran tersebut atau menunjukkan keengganannya untuk
memainkannya padahal ia senang bukan kepalang akan peran tersebut (Surip,
2011: 138).
Seorang aktor terkadang menyembunyikan rahasia pribadi mereka
Universitas Sumatera Utara
pertama, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan
tersembunyi; kedua, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang
dibuat saat persiapan pertunjukkan; ketiga, aktor mungkin merasa perlu
menunjukkan hanya produk akhir dan menyembunyikan proses memproduksinya;
dan keempat, aktor mungkin perlu menyembunyikan kerja kotor yang dilakukan
untuk membuat produk akhir dari khalayak. Erving Goffman menyadari, bahwa
masyarakat memaksa diri sang aktor utnuk menciptakan diri dan peran yang
berbeda. Sampai batas tertentu, diri sang aktor perlu untuk menyajikan citra diri
sosial mereka yang berbeda, sehingga masyarakat memaksa diri sang aktor untuk
menjadi tidak konsisten dan tidak benar (Umiarso & Elbadiansyah, 2014: 261).
2.2.3.2Kerjasama Tim
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai kata tim. Kata tim
memang cukup populer, lebih-lebih pada wakti ini. Tim merupakan sebuah
kelompok dengan ciri-ciri tertentu. Artinya tidak setiap keompok merupakan
sebuah tim. Sebuah tim mempunyai ciri-ciri:
1. Masing-masing anggota menyadari interdependensi yang positif untuk
mencapai tujuan bersama.
2. Sementara itu, mereka mengadakan interaksi.
3. Menyadari siapa yang masuk dalam tim dan yang tidak masuk.
4. Mempunyai peran dan fungsi yang spesifik.
5. Mempunyai limited life span keanggotaan
Menurut Johnson & Johnson (2000) tim merupakan a set of interpersonal
interactions structured to achieve established goals (sekumpulan interaksi
antarpribadi yang terstruktur untuk mencapai sebuah tujuan bersama) (Walgito,
2008: 69).
Perhatian Erving Goffman sebenarnya bukan hanya berfokus pada
individu, tapi juga pada kelompok apa yang dia sebut sebagai sebuah ‘tim’. Selain
membawakan peran karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha
Universitas Sumatera Utara
bekerja, partai politik, atau organisasi yang mereka wakili. Semua anggota itu
Goffman sebut sebagai ‘tim pertunjukkan’ yang mendramatisasikan suatu
aktivitas. Kerjasama sering dilakukan para anggota untuk menciptakan dan
menjaga penampilan dari wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan
perlengkapan yang matang, memainkan pemain inti yang layak, memainkan
pertunjukkan sefesien dan secermat mungkin. Setiap anggota saling mendukung
dan bila perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal agar pertunjukkan dapat
berjalan dengan mulus.
Goffman menekankan bahwa pertunjukkan yang dibawakan sebuah tim
sangat bergantung pada kesetiaan anggota timnya. Setiap anggota memegang
rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap
terjaga. Disamping itu khalayak juga bagian dari pertunjukkan. Artinya
pertunjukkan akan sukses apabila khalayak berpartisipasi untuk menjaga agar
pertunjukkan secara keseluruhan dapat berjalan dengan lancar (Surip, 2011: 138).
2.2.4 Dramaturgi Film
Kata drama berasal dari bahasa Yunani dromai yang berarti berbuat,
berlaku, bertindak, bereaksi dan sebagainya, dan drama berarti perbuatan atau
tindakan. Menurut Balthazar Verhagen drama adalah kesenian yang melukiskan
sifat dan sikap manusia dengan gerak. Drama dapat juga diartikan sebagai kualitas komunikasi, situasi, action, yang menimbulkan perhatian, kehebatan dan
ketegangan pada pendengar dan penonton. Selain itu drama memiliki arti sebagai
cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas
dengan menggunnakan percakapan dan action di hadapan penonton (Harymawan,
1989: 1).
Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau
pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter
manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran
Universitas Sumatera Utara
disajikan. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles. Sekitar
tahun 350 SM, Aristoteles, seorang filosof asal Yunani, menelurkan, Poetics, hasil
pemikirannya yang sampai sekarang masih dianggap sebagai buku acuan bagi
dunia teater. Dalam Poetics, Aristoteles menjabarkan penelitiannya tentang
penampilan/drama-drama berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah komedi.
Aristoteles mengatakan bahwa drama merupakan bagian dari puisi, Aristoteles
bekerja secara utuh untuk menganalisa drama secara keseluruhan. Bukan hanya
dari segi naskahnya saja tapi juga menganalisa hubungan antara karakter dan
akting, dialog, plot dan cerita. Ia memberikan contoh-contoh plot yang baik dan
meneliti reaksi drama terhadap penonton.
Nilai-nilai yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam maha karyanya ini
kemudian dikenal dengan “aristotelian drama” atau drama ala aristoteles, dimana
deus ex machina adalah suatu kelemahan dan dimana sebuah akting harus
tersusun secara efisien. Banyak konsep kunci drama, seperti anagnorisis dan
katharsis, dibahas dalam Poetica. Sampai sekarang “aristotelian drama” sangat
terlihat aplikasinya pada tayangan-tayangan tv, buku-buku panduan perfilman dan
bahkan kursus-kursus singkat perfilman (dramaturgi dasar) biasanya sangat
bergantung kepada dasar pemikiran yang dikemukakan oleh Aristoteles
(duniailmukomunikasi.blogspot.com/2011/05/dramaturg-erving-goffman.html).
Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik
personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.
Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan
mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut.
Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus
mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain
memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non
verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada
lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Sebelum berinteraksi
dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau
Universitas Sumatera Utara
dunia teater katakan sebagai breaking character. Dengan konsep dramaturgis dan
permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan
kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri
Genre yang sudah ada sejak masa Yunani adalah tragedi dan komedi.
Disamping itu terdapat pula genre-genre melodrama, farce, tragikomedi, komedi
gelap, sejarah, dokumenter, dan musikal yang sekarang kelihatan menjadi genre
utama dalam drama modern. Unsur-unsur yang mempengaruhi dramaturgi (film)
antara lain:
1. Tema: Inti atau pokok dalam suatu drama atau lakon
2. Alur/Plot: Kerangka penceritaan jalannya cerita
3. Karakter/Penokohan: Watak suatu tokoh cerita
4. Latar/Setting: Tempat terjadinya peristiwa
Selain keempat hal diatas beberapa hal lain yang menjadi unsur penting
dalam sebuah film adalah teknik penggunaan kamera atau pengambilan gambar,
komunikasi non verbal seperti tulisan, gambar yang terdapat dalam scene film,
komunikasi verbal baik prolog, monolog dan dialog, musik yang digunakan, dan
penggunaan noise atau suara-suara yang mendukung.
Konsepsi Dramaturgi klasik Aristotelian merupakan kesatuan dramatik
yang merupakan suatu cerita yang terjadi di satu tempat dan waktu yang tak lebih
dari satu kali dua puluh empat jam, peristiwa-peristiwa dan adegan-adegan secara
beruntun, diikat dengan ketat satu sama lain oleh hukum sebab akibat. Manusia
cenderung digambarkan sebagai makhluk yang tingkah lakunya ditentukan oleh
semangat yang berkobar-kobar, emosi yang kuat, nafsu yang meluap dan
menghanyutkan. Maka mudah ditemukan adegan-adegan yang luar biasa, resah,
penuh kekerasan, hujatan pedang dan belati, darah dan racun. Itu pulalah
sebabnya, gerakan ini kemudian melahirkan gagasan romantik dalam drama dan
teater.
Universitas Sumatera Utara
Unit analisis yang digunakan peneliti dalam penelitian ini menggunakan
unsur-unsur yang terdapat dalam panggung depan dan panggung belakang dalam
teori Dramaturgi Erving Gofman antara lain sebagai berikut:
1. Penampilan (appeearance)
Ketika bertemu dengan orang lain, hal yang pertama kali
diperhatikan adalah penampilan fisiknya. Seringkali orang
memberi makna tertentu pada penampilan ataupun karakteristik
orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model
rambut dan sebagainya. Ketika melihat penampilan seseorang,
maka kita akan mempersepsi kehidupan orang tersebut, baik itu
busananya (model kualitas atau warna), jam tangan, kalung,
kacamata, sepatu, tas dan ornamen lainnya yang diapakainya
(Mulyana, 2007: 392).
2. Sentuhan (touch)
Studi tentang sentuh-menyentuh disebut haptika (haptics).
Sentuhan seperti foto adalah perilaku nonverbal yang multimakna,
dapat menggantikan seribu kata. Kenyataannya sentuhan ini bisa
merupakan tamparan, pukulan, cubitan, senggolan, tepukan,
belaian, pelukan, pegangan, rabaan, hingga sentuhan lembut
sekilas. Sentuhan kategori terakhirlah yang sering diasosiasikan
dengan sentuhan. Sentuhan tidak bersifat acak melainkan suatu
strategi komunikasi yang penting. Beberapa studi menunjukkan
bahwa sentuhan bersifat persuasif. Sentuhan mungkin jauh lebih
bermakna daripada kata-kata. Menurut Heslin ada lima kategori
sentuhan yang merupakan suatu rentang dari yang sangat
impersonal hingga yang sangat personal. Kategori tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Fungsional-profesional
Disini sentuhan bersifat dingin dan berorientasi bisnis,
misalnya pelayan toko membantu pelanggan memilih
Universitas Sumatera Utara 2. Sosial-sopan
Perilaku dalam situasi ini membangun dan memperteguh
pengharapan, aturan praktik sosial yang berlaku, misalnya
berjabat tangan.
3. Persahabatan-kehangatan
Kategori ini meliputi setiap sentuhan yang menandakan
afeksi atau hubungan yaang akrab misalnya dua orang yang
saling merangkul setelah mereka lama berpisah.
4. Cinta-keintiman
Kategori ini merujuk pada sentuhan yang menyatakan
keterikatan emosional, misalnya mencium pipi orangtua
dengan lembut, orang yang sepenunya memeluk orang lain.
5. Rangsangan seksual
Kategori ini berkaitan erat dengan kategori sebelumnya,
hanya saja motif bersifat seksual. Rangsangan seksual tidak
otomatis bermakna cinta atau keintiman (Mulyana, 2007:
380).
3. Ekspresi (expression)
Banyak orang menganggap perilaku nonverbal yang paling
banyak berbicara adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan
mata meskipun mulut tidak berkata-kata. Albert Mehrabian
mengatakan bahwa andil wajah dalam mempengaruhi sebuah pesan
sebanyak 55%, sementara vokal 30% dan verbal 7%. Ekspresi
wajah merupakan perilaku nonverbal utama yang mengekspresikan
keadaan emosional seseorang. Sebagian pakar mengakui, terdapat
beberapa keadaan emosional yang dikomunikasikan oleh ekspresi
wajah yang tampaknya dipahami secara universal yakni
kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, keterkejutan, kemarahan,
Universitas Sumatera Utara
murni sedangkan keadaan emosional lainnya misalnya malu, rasa
berdosa, bingung, puas dan lainnya dianggap sebagai campuran.
Kontak mata memunyai dua fungsi dalam komunikasi
antarpribadi. Pertama sebagai fungsi pengatur yakni untuk
memberitahukan kepada orang lain apakah anda akan melakukan
hubungan dengan orang itu atau akan menghindarinya. Kedua
sebagai fugsi ekspresif yakni untuk memberitahukan kepada orang
lain bagaimana perasaan anda terhadapnya. Pentingnya pandangan
mata sebagai pesan nonverbal terlukis dalam berbagai ungkapan
sehari-hari seperti mata yang cerdas, mata yang mempesona, mata
yang sayu, mata yang sedih, mata yang tajam, mata yang liar, mata
yang penih curiga, mata yang licik, mata yang genit, mata yang
sensual, mata keranjang, mata duitan dan lainnya (Mulyana, 2007:
373).
4. Jarak (distance)
Edward T. Hall mengemukakan empat zona spasial dalam
interaksi sosial yakni zona intim (0-18 inci) untuk orang yang
paling dekat dengan kita; zona pribadi (18 inci – 4 kaki) hanya
untuk kawan-kawan akrab, meskipun terkadang kita mengijinkan
orang lain utnuk memasukinya, misalnya orang yang
diperkenalkan kepada kita; zona sosial (4-10 kaki), yaitu ruang
yang kita gunakan untuk kegiatan bisnis sehari-hari, seperti antara
menajer dan pegawainya; dan zona publik (10 kaki – tak terbatas)
yang mencerminkan jarak antara orang-orang yang tidak saling
mengenal juga jarak antara penceramah dengan pendengarnya
(Mulyana, 2007: 408).
5. Karakter (character)
Pengertian lain dari karakter adalah watak, tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan orang
Universitas Sumatera Utara
menjadi dasar pemikiran cara seseorang untuk mengambil langkah
dalam suatu tindakan. Karakteristik sifat manusia yang paling
mendasar terbagi menjadi empat yaitu
a. Plegmatis merupakan karakter manusia yang introvert,
cukup diam, pesimis dan pecinta kedamaian. Tipe
plegmatis mempunyai daya humor yang cukup dan tidak
sulit untuk mengucapkan maaf apabila melakukan
kesalahan.
b.Sanguinis
Sanguinis dijuluki sebagai yang terpopuler dan
berlawanan dengan sifat plegmatis. Sanguinis memiliki
tipe yang terbuka, suka berbicara, suka bergaul dan bisa
menjadi penyemangat bagi orang lain. Tipe sanguinis
lebih mengedepankan keputusan secara emosional
daripada hal yang rasional.
c. Kolerik
Kolerik disebut juga si ‘kuat’ karena mampu memotivasi
orang lain dan pekerja keras. Kolerik cukup terbuka atau
ekstrovert namun tidak seterbuka sanguinis. Koleris
merupakan orang yang mempunyai disiplin kerja yang
tinggi dan kadang mendapat reputasi dengan memperalat
orang lain.
d.Melankolik
Karakter yang terakhir adalah melankolis. Tipe ini
memiliki perilaku yang tertutup namun memiliki tingkat
kecerdasan yang tinggi. Tipe ini mempunyai sifat mau
mengorbankan diri sendiri, serius dan takut akan
kegagalan namun juga suka murung dan mudah putus asa
(http://www.berbagiinfo4u.com).
Universitas Sumatera Utara
Setting atau latar adalah tempat atau waktu berlangsungnya
cerita. Orang yang bertanggung jawab terhadap setting atau latar
adalah penata artistik. Setting harus memberikan informasi lengkap
tentang peristiwa-peristiwa yang sedang disaksikan oleh penonton
(Sumarno, 1996: 66).
7. Dialog (dialogue)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dialog merupakan
percakapan dalam sandiwara, cerita, karya tulis dan lainnya
diantara dua tokoh atau lebi
8. Monolog (monologue)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia monolog diartikan
sebagai pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri dan atau
adegan sandiwara dengan pelaku tunggal yang membawakan
percakapan seorang diri
9. Musik (music)
Musik memiliki bagian yang besar dalam sebuah film.
Musik memiliki efek yang luar biasa, sangat memperkaya dan
memperbesar reaksi keseluruhan kita terhadap sebuah film.
Marselli Sumarno mengatakan ada delapan fungsi musik dalam
sebuah film, yaitu:
a. Membantu merangkaikan adegan sehingga
menimbulkan kesan adanya kesatuan.
b. Menutupi kelemahan film. Kelemahan film teletak pada
acting yang lemah atau dialog yang dangkal sehingga
dapat diubah lebih dramatik jika diiringi musik yang
tepat.
c. Menunjukkan suasana batin para tokoh utama film.
d. Menunjukkan suasana waktu dan tempat. Misalnya
penggunaan musik dan alat tradisonal daerah dengan
bahasa suatu daerah akan memudahkan penonton
Universitas Sumatera Utara e. Mengiringi kemunculan credit title
f. Mengiringi adegan dengan ritme cepat. Misalnya
kejar-kejaran polisi dengan penjahat, jika diiringi musik,
maka adegan akan tampak lebih seru.
g. Mengantisipasi adegan mendatang dan membentuk
ketegangan yang dramatik.
h. Menegaskan karakter lewat musik. Misalnya tokoh
utama wanita diberi iringan musik yang lembut.
10.Penggunaan Kamera
Selain suara, gambar juga memiliki peran penting dalam
sebuah film. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika kamera sebagai
alat untuk menyajikan elemen visual kepada penonton memiliki
peran yang penting dalam penyampaian pesan. Komposisi gambar
yang baik akan mampu menyampaikan pesan dengan sendirinya.
Beberapa teknik pengambilan gambar berdasarkan besar kecilnya
subjek, antara lain:
1. Extreme Long Shot (ELS)
Shot ini diambil apabila ingin mengambil gambar yang
sangat jauh, panjang, luas dan berdimensi lebar. Extreme
Long Shot biasanya digunakan untuk opening scene yang
akan membawa penonton mengenal lokasi cerita.
2. Very Long Shot (VLS)
Very Long Shot adalah gambar yang panjang, jauh, dan
luas tetapi lebih kecil daripada ELS. Teknik ini digunakan
biasanya untuk pengambilan gambar adegan kolosal atau
banyak objek misalnya adegan perang dipegunungan,
adegan kota metropolitan dan lain sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Ukuran shot ini adalah dari ujung kepala ke ujung kaki.
Long Shot mengantarkan mata penonton kepada keluasan
suatu suasana dan objek.
4. Medium Long Shot (MLS)
Medium Shot berupakan pengambilan gambar mulai dari
ujung kepala hingga setengah kaki. Tujuan shot ini adalah
untuk memperkaya keingahan gambar yang disajikan ke
mata penonton. Angle ini dapat dibuat sekreatif mungkin
untuk menghasilkan tampilan yang atraktif.
5. Medium Shot (MS)
Ukuran dari shot ini adalah dari tangan hingga ke atas
kepala. Tujuan dari shoot ini adalah agar penonton dapat
melihat dengan jelas ekspresi dan emosi para pemain.
6. Middle Close Up (MCU)
Shot Middle Close Up ukurannya lebih kecil dibandingkan
dengan Medium Shot yaitu dari ujung kepala hingga ke
perut. Dengan angle ini penonton masih tetap dapat melihat
latar belakang yang ada. Namun, shot ini mengajak
penonton untuk mengenal lebih dalam profil, bahasa tubuh,
dan emosi para pemain.
7. Close Up (CU)
Komposisi gambar ini adalah komposisi yang paling
populer dan memiliki banyak fungsi. Close Up merekam
gambar penuh dari leher hingga ujung kepala. Melalui
angle ini sebuah gambar dapat berbicara dengan sendirinya
kepada penonton. Emosi dan juga reaksi dari mimik wajah
tergambar dengan jelas.
8. Big Close Up (BCU)
Komposisi gambar ini lebih dalam lagi dibandingkan
dnegan Close Up. Kedalaman pandangan mata, kebencian
Universitas Sumatera Utara
bertepi adalah ungkapan yang terwujud dari komposisi ini.
Komposisi ini memang sulit untuk menghasilkan gambar
yang fokus, tetapi disitulah nilai artistiknya.
9. Extreme Close Up (ECU)
Komposisi ini berfokus pada satu objek saja. Misalnya
hidung, mata, atau alis saja. Komposisi ini jarang
digunakan untuk penyutradaraan sebuah film drama.
Selain penggunaan kamera berdasarkan besar hingga kecil atau
berdasarkan frame size, penggunaan kamera juga dilihat dari gerakan
kamera itu sendiri. Terdapat tiga gerakan kamera yang disebutkan
Askurifai Baksin dalam bukunya yang berjudul “Jurnalistik Televisi”
antara lain:
1. Zoom In/Zoom Out
Disini kamera tidak bergerak, yang ditekan adalah tombol
zooming pada kamera. Dalam pembuatan sebuah film
biasanya penggunaan kamera dengan cara seperti ini tidak
digunakan, karena kadang-kadang durasinya akan dihitung
berdasarkan satuan detik. Biasanya juru kamera akan
menggunakan teknik track-in dan track-out. Zoom in
merupakan gerakan kamera yang semakin dekat dengan
objek sementara zoom out merupakan gerakan kamera yang
semakin menjauh dari objek.
2. Tilting
Ada beberapa adegan dalam film yang memeperlihatkan
sosok seseorang yang diambil dari bawah kemudian sedikit
demi sedikit bergera ke atas. Dengan cara seperti itu
penonton disuguhi suatu gambaran sosok seseorang secara
perlahan-lahan sampai muncul secara utuh. Ada dua cara
tilting yaitu gerakan dari bawah ke atas disebut tilt-up dan
Universitas Sumatera Utara
3. Panning
Jika ingin menunjukkan deretan pasukan yang sedang
berbaris atau objek lain yang berderet, seorang juru kamera
akan menggunakan teknik panning, yakni menggerakkan
kamera mengikuti urutan objek baik dari kanan ke kiri yang
disebut pan left, sedangkan gerakan kamera dari kiri ke
kanan pan right (Baksin, 2006: 131).
2.2.5 Media Massa dan Konstruksi Sosial
Realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial dari proses komunikasi
tertentu. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi sosial terkenal sejak
diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, melalui bukunya yang
berjudul The Social Construction of Reality : A Tertise in The Sosiological of
Knowladge tahun 1996. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui
proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisas. Konstruksi sosial tidak
berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan
(Bungin, 2008: 192).
Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi
informasi yang cepat dan luas sehinggakonstruksi sosial berlangsung dengan
sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang dikonstruksi juga membentuk
opini massa, massa yang cenderung aprori dan opini massa yang cenderung sinis
(Bungin, 2008: 203). Tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media
massa terjadi melalui:
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi, ada tiga hal penting dalam tahapan
ini yakni: kebepihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan
semu pada masyarakat, dan keberpihakan kepada kepentingan umum.
2. Tahap ebaran konstruksi, prinsip dasar dari sebaran konsruksi sosial media
massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat
berdasarkan agenda media. Apa yang penting bagi media, penting pula
Universitas Sumatera Utara
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi
berlangsung melalui konstruki realitas pembenaran, kesediaan
dikonstruksi oleh media massa, dan sebagai pilhan konsumtif.
4. Tahap konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun
penonton memberikan argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya
untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi (Bungin, 2008: 188).
Pada kenyataannya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran
individu baik di dalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki
makna manakala realitas itu dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh
individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu
mengkonstruksikan realitas sosial itu dan merekonstruksinya dalam dunia realitas,
memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi
sosialnya.
2.2.6 Citra
Informasi adalah segala sesuatu yang mengurangi ketidakpastian atau
mengurangi jumlah kemungkinan alternatif dalam situasi. Citra menunjukkan
keseluruhan informasi tentang dunia yang telah diolah, diorganisasikan dan
disimpan oleh individu. Citra adalah peta kita tentang dunia. Tanpa citra kita akan
selalu berada dalam suasana tak pasti. Frank Jefkins, dalam bukunya Public
Relation Technique, menyimpulkan bahwa secara umum citra diartikan sebagai
kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari
pengetahuan dan pengalaman. Jefkins mengatakan bahwa citra adalah kesan yang
diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertian seseorang tentang fakta-fakta
dan atau kenyataan. Sementara Jalaluddin Rakhmat mengatakan dalam bukunya
Psikologi Komunikasi bahwa citra itu adalah penggambaran tentang realitas dan
tidak harus sesuai dengan realitas, citra itu adalah dunia menurut persepsi.
Untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu objek dapat diketahui
dari sikapnya terhadap objek tersebut. Salomon dalam Rakhmat menyatakan
Universitas Sumatera Utara
yang kita miliki. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi
pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan
informasi-informasi yang diterima seseorang (Soemirat, 2004: 114).
Salah satu sarana yang digunakan untuk memperoleh informasi adalah
media massa. Lazarsfeld dan Merton menjelaskan fungsi media dalam
memberikan status. Karena namanya, gambarnya atau kegiatannya dimuat oleh
media, maka orang, organisasi, atau lembaga mendadak mendapat reputasi yang
tinggi. Dalam hal ini dikenal dengan names makes news. Sebaliknya dalam
kaitannya dengan citra yang sekarang adalah news makes name. Artinya orang
yang tidak terkenal mendadak melejit namanya karena ia diungkapkan secara
besar-besaran dalam media massa. Bahkan orang yang terkenal perlahan-lahan
akan dilupakan orang karena tidak pernah diliput oleh media.
George Gerbner (1969) mengatakan media massa menyebabkan
munculnya kepercayaan tertentu mengenai realitas yang dimiliki bersama oleh
konsumen media massa. Menurutnya, sebagian besar yang kita ketahui atau apa
yang kita pikir kita tahu, tidak kita alami sendiri. Kita mengetahuinya karena ada
berbagai cerita yang kita lihat dan kita dengar. Dengan kata lain kita memahami
realitas melalui perantaraan media massa sehingga realitas yang kita terima adalah
realitas yang diperantarai atau mediated reality (Morisan, 2010: 252).
Berger dan Luckman dalam Subiakto (1997: 93) mengatakan bahwa
realitas sosial terdiri dari tiga macam yaitu realitas subjektif, realitas objektif dan
realitas simbolik. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman
di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap
sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas
objektif dalam berbagai bentuk. Sementara itu realitas subjektif adalah realitas
yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik
ke dalam individu melalui proses internalisasi (Bungin, 2008: 5).
Realitas yang disampaikan oleh media massa adalah realitas yang sudah
diseleksi, yang disebut realitas tangan kedua (second hand reality). Televisi
Universitas Sumatera Utara
kabar melalui proses yang disebut gate keeping menapis berbagai berita dan
memuat berita tentang darah dan dada daripada tentang keteladanan dan
kesuksesan. Dikarenakan khalayak tidak dapat dan tidak sempat untuk mengecek
apa yang disampaikan oleh media massa, maka khalayak cenderung memperoleh
informasi itu semata-mata berdasarkan apa yang dilaporkan oleh media massa.
Sehingga pada akhirnya khalayak membentuk citra tentang lingkungan sosial
berdasarkan realitas kedua yang disampaikan oleh media massa (Riswandi, 2013:
114).
George Gerbner meyakini media massa memiliki kekuatan yang berasal
dari pesan simbolik drama kehidupan nyata. Kata simbolik menunjukkan bahwa
pesan yang disampaikan media hanya bersifat simbolik dan bukan senyatanya.
Media dalam hal ini TV merupakan institusi penyampai cerita yang
menyampaikan satu gambaran mengenai apa yang ada, apa yang penting, apa
yang berhubungan dengan apa serta apa yang benar (Morissan, 2010: 253).
Media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu media
massa mempengaruhi citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias dan tidak
cermat. Oleh karena itu terjadilah stereotype. Streotype adalah gambaran umum
tentang individu, kelompok, porfesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah
bersifat klise dan seringkali timpang serta tidak benar. Beberapa ahli memandang
komunikasi massa sebagai ancaman terhadap nilai dan dehumanisasi manusia.
Media massa bukan saja menyajikan realitas kedua tapi karena distorsi media
massa juga menipu manusia dan memberikan citra dunia yang keliru. Dalam hal
ini C. Wright Mills menyebutnya sebagai pseudoworld yang tidak sesuai dengan
perkembangan manusia.
Bagi kritikus sosial, media massa sering menampilkan lingkungan sosial
yang tidak sebenarnya. Dengan cara itu media massa membentuk citra
khalayaknya ke arah yang dikehendaki media. Selain berperan membentuk citra,
media massa juga berperan dalam mempertahankan citra yang sudah dimiliki oleh
khalayaknya. Reflective-projective theory beranggapan bahwa media massa
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan tafsir yang macam-macam sehingga pada media massa setiap orang
memproyeksikan atau melihat citranya. Media massa mencerminkan citra
khalayak dan khalayak memproyeksikan citranya pada penyajian media massa
(Riswandi, 2013: 115).
Menurut Klapper media bukan saja mempertahankan citra khalayak media
lebih cenderung mempertahankan status quo ketimbang perubahan. Roberts
menganggap kecenderungan timbul karena ada hal sebagai berikut:
1. Reporter dan editor memandang dan menafsirkan dunia sesuai
dengan citranya tentang realitas seeprti kepercayaan dan nilai dan
norma.
2. Karena citra itu disesuaikan dengan norma yang ada maka ia
cenderung untuk melihat atau mengabaikan alternatif lain untuk
mempersepsi dunia.
3. Wartawan selalu memberikan respon pada tekanan halus yang
merupakan kebijaksanaan pemimpin media.
4. Media massa sendiri cenderung menghindari hal-hal yang
kontrovesial karena kuatir hal-hal tersebut akan menurunkan
jumlah khalayak.
Media massa mengubah citra khalayak tentang lingkungannya, media
massa memberikan perincian, serta analisis dan tinjauan mendalam tentang
berbagai peristiwa. Penjelasan itu tidak mengubah tetapi menjernihkan citra kita
tentang lingkungan. Oleh karena itu kita dapat menentukan mana yang penting