BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai konsep-konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini, antara lain : penjelasan mengenai autisme, kemampuan bahasa reseptif, DIR/floortime.
1.1. Autis
2.1.1. Pengertian Autis
Kata “autism” berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autism seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autism baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Dahulu dikatakan autism merupakan kelainan seumur hidup, tetapi kini ternyata autism masa kanak-kanak ini dapat dikoreksi (Handojo, 2003).
Autis sering disebut gangguan spectrum autis (GSA) yaitu salah satu jenis gangguan perkembangan yang berat pada masa kanak-kanak, ditandai oleh gangguan kualitatif dibidang kemampuan interaksi sosial, kemampuan berkomunikasi dan pola perilaku (American Psychiatric Association, 2000).
Menurut Hartono Pusponegoro (2003) autis adalah suatu sindrom gangguan perkembangan dengan gejala kesulitan bicara, kurangnya kontak mata, terisolasi dari lingkungan, tidak takut bahaya, mengulang-ulang hal yang sama dan sering hiperktif. Surviana (2009) menyebutkan autis adalah kelainan perkembangan yang luas dan berat dan mempengaruhi anak secara mendalam. Sedangkan menurut Budiman (2002) mengatakan autis adalah suatu gangguan neurobiologis yang terjadi pada anak di bawah umur 3 tahun. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa autis adalah gangguan perkembangan yang kompleks pada anak dengan gejala adanya gangguan interaksi sosial, gangguan bahasa dalam berkomunikasi, dan pola perilaku. Anak yang terdiagnosa autis cenderung mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi serta pola perilaku di mana tingkah laku dan pikirannya suka memusatkan diri secara subjektif, dan berulang-ulang.
2.1.2. Kriteria Diagnostik Autis
Kriteria diagnostic autis menurut DSM-IV (American Psychiatric Association, 2007) adalah sebagai berikut :
a. Harus ada sedikitnya enam gejala dari 1, 2 dan 3 dengan minimal dua indikasi dari gejala1 dan masing-masing satu indikasi dari gejala 2 dan 3.
a) Tidak mampu menjalani interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, dan gerak-gerik kurang tertuju.
b) Tidak bisa bermain dengan teman sebaya.
a. Tidak ada empati (tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain).
c) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada satu dari indikasi di bawah ini :
a) Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.
a. Bila anak bisa bicara maka bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.
b. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
c. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru.
3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan. Minimal harus ada satu dari indikasi di bawah ini :
a) Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan.
b) Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tidak ada gunanya.
a. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang. c) Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari sebuah benda.
b. Sebelum umur tiga tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang interaksi sosial, bicara dan berbahasa, cara bermain yang monoton dan kurang variatif.
c. Bukan disebabkan oleh Sindrom Rett atau Gangguan Disintegratif masa kanak.
Beberapa perilaku yang nampak pada anak yang mengalami gangguan autis antara lain diungkapkan oleh Dyah, P (2003) sebagai berikut :
b. Anak autis biasanya cenderung mengeksplorasi lingkungannya melalui indera peraba, pengecapan, dan pembauan seperti anak-anak kecil di bawah usianya. Setiap kali memegang benda, anak autis cenderung untuk mencium baunya terlebih dahulu.
c. Anak autis menunjukkan kurang sekali kontak mata dengan orang lain dan biasanya disertai dengan perilaku yang tidak wajar lainnya seperti sangat tertarik dengan sinar atau benda gemerlap.
d. Beberapa anak autis bahkan tidak pernah berbicara walau mereka mengeluarkan suara-suara. Suara-suara yang dikeluarkan oleh anak autis itu tidak jelas dan biasanya berupa teriakan-teriakan.
e. Anak autis tidak mampu memahami makna bahasa tubuh atau bahasa non verbal dalam komunikasi.
f. Anak autis juga kurang memahami emosi orang lain dan dapat dikatakan kurang peka atau kurang berperasaan.
g. Suka melambaikan tangan, berjalan berjingkat, goyang-goyang tubuh dengan ekspresi wajah aneh, badannya sangat kaku, kadang-kadang badannya berputar-putar tanpa merasa pusing.
Menurut Handojo (2003) penyandang autism mempunyai karakteristik antara lain :
a. Selektif berlebihan terhadap rangsang.
b. Kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru. c. Respon stimulus diri sehingga mengganggu integrasi sosial.
d. Respon unik terhadap imbalan (reinforcement), khususnya imbalan dari stimulasi diri. Anak merasa mendapat imbalan berupa hasil penginderaan terhadap perilaku stimulasi dirinya, baik berupa gerakan maupun berupa suara. Hal ini menyebabkan anak autis selalu mengulang perilakunya secara khas.
2.1.3. Tipe-Tipe Autis
Seringkali orang menganggap autism merupakan sebuah penyakit.Namun, autism merupakan gejala keterbatasan gangguan perkembangan, termasuk autism ringan hingga gangguan mental berat. Berikut beberapa tipe-tipe autism (Knoers & Monks, 1993).
1. Autism Masa Kanak (Childhood Autism)
Autism masa kanak adalah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur 3 tahun. Perkembangan yang terganggu adalah dalam bidang :
a. Komunikasi; kualitas komunikasinya yang tidak normal, seperti ditunjukkan dibawah ini:
- Perkembangan bicaranya terlambat, atau sama sekali tidak berkembang.
- Tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik muka untuk mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara.
- Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau memelihara suatu pembicaraan dua arah yang baik.
- Bahasa yang tidak lazim yang diulang-ulang atau stereotipik.
- Tidak mampu untuk bermain secara imajinatif, biasanya permainannya kurang variatif.
b. Interaksi sosial ; adanya gangguan dalam kualitas interaksi sosial
- Kegagalan untuk bertatap muka, menunjukkan ekspresi fasial, maupun postur dan gerak tubuh, untuk berinteraksi secara layak.
- Kegagalan untuk membina hubungan hubungan sosial dengan teman sebaya, dimana mereka bisa berbagi emosi, aktivitas, dan interes bersama.
- Ketidak mampuan untuk berempati, untuk membaca emosi orang lain. - Ketidak mampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi
kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.
c. Perilaku ; aktivitas, perilaku dan interesnya sangat terbatas, diulang-ulang dan stereotipik, seperti dibawah ini :
- Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak
normal, misalnya duduk dipojok sambil menghamburkan pasir seperti air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.
- Adanya gerakan-gerakan mtorik aneh yang diulang-ulang, seperti misalnya mengepak-ngepakkan lengan, menggerak-gerakkan jari dengan cara tertentu, dan mengetuk-ngetukkan sesuatu.
- Adanya preokupasi dengan bagian benda atau mainan tertentu yang tidak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan bentuk dan rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya.
2. Gangguan Perkembangan Pervasif (PDD-NOS)
PDD-NOS juga mempunyai gejala gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi maupun perilaku, namun gejalanya tidak sebanyak seperti pada autism masa kanak. Kualitas dari gangguan tersebut lebih ringan, sehingga kadang-kadang anak-anak ini masih bisa bertatap mata, ekspresi fasial tidak terlalu datar, dan masih bisa diajak bergurau. 3. Sindroma Rett
Sindroma rett adalah gangguan perkembangan yang hanya dialami oleh anak wanita. Kehamilannya normal, kelahiran normal, perkembangan normal sampai sekitar umur 6 bulan. Lingkaran kepala normal pada saat lahir.
Mulai sekitar umur 6 bulan mereka mulai mengalami kemunduran perkembangan.Pertumbuhan kepala mulai berkurang antara umur 5 bulan sampai 4 tahun. Gerakan tangan menjadi tidak terkendali, gerakan yang terarah hilang, disertai dengan gangguan komunikasi dan penarikan diri secara sosial. Gerakan-gerakan otot tampak makin tidak terkoordinasi. Seringkali memasukkan tangan ke mulut, menepukkan tangan dan membuat gerakan dengan dua tangannya seperti orang sedang mencuci baju. Hal ini terjadi antara umur 6-30 bulan.
4. Disintegrasi Masa Kanak
Pada gangguan disintegrasi masa kanak, hal yang mencolok adalah bahwa anak tersebut telah berkembang dengan sangat baik selama beberapa tahun, sebelum terjadi kemunduran yang hebat.Gejalanya biasanya timbul setelah umur 3 tahun.anak tersebut biasanya sudah bisa bicara dengan sangat lancar, sehingga kemunduran tersebut menjadi sangat dramatis. Bukan saja bicaranya yang mendadak terhenti, tapi juga ia mulai menarik diri dan ketrampilannyapun ikut mundur. Perilakunya menjadi sangat cuek dan juga timbul perilaku berulang-ulang dan stereotipik.
5. Sindrom Asperger
Komunikasi biasanya jalannya searah, dimana anak banyak bicara mengenai apa yang saat itu menjadi obsesinya, tanpa bisa merasakan apakah lawan bicaranya merasa tertarik atau tidak. Seringkali mereka mempunyai cara bicara dengan tata bahasa yang baku dan dalam berkomunikasi kurang menggunakan bahasa tubuh. Ekspresi muka pun kurang hidup bila disbanding anak-anak lain seumurnya.
Mereka biasanya terobsesi dengan kuat pada suatu benda atau objek tertentu, seperti : mobil, pesawat terbang, atau hal-hal ilmiah lain. Mereka mengetahui dengan sangat detail mengenai hal yang menjadi obsesinya. Obsesi inipun biasanya berganti-ganti. Kebanyakan anak SA cerdas, mempunyai daya ingat yang kuat dan tidak mempunyai kesulitan dalam pelajaran sekolah. Mereka mempunyai sifat yang kaku, misalnya bila mereka telah mempelajari sesuatu aturan, maka mereka akan menerapkannya secara kaku, dan akan merasa sangat marah bila orang lain melanggar peraturan tersebut. Misalnya : harus berhenti bila lampu lalu lintas kuning, membuang sampah dijalan secara sembarangan.
Dalam interaksi sosial juga mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Mereka lebih tertarik pada buku atau komputer daripada teman. Mereka sulit berempati dan tidak bisa melihat atau menginterpretasikan ekspresi wajah orang lain. Perilakunya kadang-kadang tidak mengikuti norma sosial, memotong pembicaraan orang seenaknya, mengatakan sesuatu tentang seseorang di depan orang tersebut tanpa merasa bersalah (misalnya : “ibu, lihat itu kepalanya botak dan hidungnya besar”). kalau diberi tahu bahwa tidak boleh mengatakan begitu, ia akan menjawab : “Tapi itu kan benar bu”. Anak SA jarang yang menunjukkan gerakan-gerakan motorik yang aneh seperti mengepak-ngepak atau melompat-lompat atau stimulasi diri.
1.2. Bahasa Reseptif
2.2.1. Definisi Bahasa
Wibowo (2001) bahasa adalah sistem symbol bunyi yang bermakna dan beratikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbriter dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Sedangkan menurut Walija (1996) bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, perasaan, pesan, maksud dan pendapat kepada orang lain.
Dari beberapa definisi tentang bahsa menurut para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain.
2.2.2. Aspek-Aspek Perkembangan Bahasa
Terdapat perbedaan di dalam berbahasa antara anak lainnya dengan anak autis. Untuk memahami perbedaan indikator bahasa antara anak lainnya dengan anak autis, dapat dilihat dari tabel aspek perkembangan bahasa antara keduanya (Devi, 2010), agar kita bisa melihat secara riil perbedaannya:
Tabel 2.1. Aspek-Aspek Perkembangan bahasa Anak Normal Usia (dalam bulan) Aspek Perkembangan
2 Suara-suara Vokal, mendekuk
6 ”Pembicaraan” vokal atau bertatap muka
Suara – suara konsonan mulai muncul Berbagai intonasi ocehan
8 Mengocehkan potongan-potongan kata secara berulang – ulang (ba-ba,ma-ma) Gerakan menunjuk mulai muncul 12 Kata-kata pertama mulai muncul
Penggunaan kata dengan intonasi yang seperti kalimat
Bahasa yang paling sering digunakan untuk menanggapi lingkungan dan permainan vokal
Penggunaan bahasa tubuh plus vokalisasi untuk mendapatkan perhatian,menunjukkan benda-benda dan mengajukan permintaan
18 3 – 50 kosa-kata
Bertanya pertanyaan yang sederhana Perluasan makna kata yang berlebihan
(misalnya,”papa”untuk semua laki-laki) Menggunakan bahasa untuk
menaggapi,meminta sesuatu dan tindakan,dan mendapatkan perhatian Mungkin sering melakukan
perilaku”echo”atau meniru
24 Kadang-kadang 3 – 5 kata digabung (ucapan yang bersifat ”telegrafik”
Menggunakan kata ”ini” disertai perilaku menunjuk
Menyebut diri sendiri dengan nama bukannya ”saya”
Tidak dapat mempertahankan topik pembicaraan
Bisa dengan cepat membalikkan kata-kata ganti
36 Bahasa berfokus pada di sini dan sekarang
Kosa-kata sekitar 1.000 kata
Kebanyakan morfem gramatical digunakan secara tepat
Perilaku echo jarang terjadi pada usia ini Bahasa semakin banyak digunakan untuk berbicara mengenai ”di sana”dan ”kemudian”
Banyak bertanya,sering kali lebih untuk melanjutkan interaksi daripada mencari informasi
48 Struktur kalimat yang kompleks
Dapat menmertahakan topik pembicaraan dan menambah
Informasi baru
Bertanya pada orang lain untuk menjelaskan ucapan – ucapan
Menyesuaikan kualitas bahasa denga pendengar
Tabel 2.2. Aspek-Aspek Perkembangan bahasa Anak Autis Usia (dalam bulan) Perkembangan Bahasa Reseptif
6 Tangisan Sulit Dipahami
8 Ocehan yang terbatas atau tidak normal Tidak ada peniruan bunyi, bahasa tubuh,
ekspresi
12 Kata-kata pertama mungkin muncul, tapi seringkali tidak bermakna
Sering menangis keras-keras tetapi sulit untuk difahami
Kata-kata muncul, kemudian hilang
Bahasa tubuh tidak berkembang, sedikit menunjuk pada benda
36 Kombinasi kata-kata jarang
Mungkin ada kalimat-kalimat yang bersifat echo tapi tidak ada penggunaan bahasa yang kreatif
Ritme, tekanan, atau penekanan yang aneh Artikulasi yang sangat rendah separuh dari
anak-anak normal
Separuhnya atau lebih tanpa ucapan –ucapan yang betrmakna
Menarik tangan orang tua dan membawanya ke suatu objek
Pergi ke tempat yang sudah biasa dan menunggu untuk mendapatkan sesuatu
48 Sebagaian kecil bisa mengombinasikan dua atau tiga kata secara kreatif
Echolali masih ada, mungkin digunakan secara komunikatif
Meniru iklan TV
2.2.3. Definisi Kemampuan Bahasa Reseptif
Bahasa reseptif adalah kemampuan pikiran manusia untuk mendengarkan bahasa bicara dari orang lain dan menguraikan hal tersebut dalam gambaran mental yang bermakna atau pola pikiran, dimana dipahami dan digunakan oleh penerima, sedangkan kemampuan bahasa reseptif adalah kemampuan anak dalam mendengar dan memahami bahasa (Yuwono, 2009). Menurut Danuatmaja (2005) kemampuan bahasa reseptif merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan untuk dapat memberikan respons sesuai dengan informasi atau rangsangan yang diterima.
Sedangkan menurut Indriati (2011) kemampuan bahasa reseptif sebagai kemampuan anak dalam mendengar dan memahami bahasa, anak yang baik bahasa reseptifnya, akandapat menjawab dengan benar ketika ditanya dan dapat menjalankan tugas sesuai dengan instruksi yang diberikannya.
2.2.4. Perkembangan Bahasa Reseptif Pada Anak
Menurut Indriati (2011),perkembangan bahasa reseptif pada anak bisa dilihat di dalam tabel di bawah ini
Tabel 2.3.Perkembangan bahasa reseptif
Usia Perkembangan Bahasa Reseptif
0 – 7 bulan Mengerti namanya sendiri (merespon ketika dipanggil, misal dengan menoleh)
Berespon terhadap sumber suara dengan menoleh atau melihat mata orang yang berbicara kepadanya
Berespon secara tepat terhadap nada suara orang yang ramah dengan orang yang marah (menangis/takut)
8 – 12 bulan Mengenal nama dari beberapa objek yang familiar baginya
Mengikuti instruksi sederhana
Mengerti kata-kata tidak dan ya (boleh) Mulai mengerti pertanyaan sederhana Mulai mengerti sedikit nama bagian tubuh 13 – 18 bulan Mengerti instruksi satu tahap
Mengenal nama bagian tubuh jika disebutkan namanya
Mampu menunjukkan nama-nama benda atau binatang yang ada dalam gambar apabila disebutkan
19 – 24 bulan Mampu menggunakan minimal 2 proposisi (dibawah, diatas, didalam)
Mampu mengikuti dua tahap instruksi 25 – 36 bulan Mengetahui konsep ukuran : besar dan kecil
Mengikuti instruksi tiga tahap sekaligus Mengerti konsep di bawah, diatas, didalam
(minimal tiga proposisi)
Mengerti kata Tanya siapa, dimana, apa yang sedang dilakukan
Sedangkan menurut Indriati (2011), tahapan perkembangan bahasa reseptif pada anak :
Tabel 2.4.Perkembangan bahasa reseptif
Usia Perkembangan Bahasa Reseptif
0 – 6 bulan Bereaksi terhadap suaradi sekitarnya Memperhatikan orang berbicara
6 – 12 bulan Bereaksi dengan gerakan (misalnya Selamat tinggal, dengan melambaikan tangan)
Memahami nama-nama benda (misalnya bola, susu)
Merespon dengan benar untuk instruksi secara lisan yang sederhana dengan disertai gerakan (misalnya memberikan bola)
Memahami pertanyaan sederhana (misalnya Dimana bola?)
Bereaksi atau merespon saat di[anggil namanya
12 – 18 bulan Memahami katadi luar konteks
Merespondengan benar untukpetunjuk sederhana
tanpagerakanyang menyertai
18 – 24 bulan Mengangguk atau menggeleng untuk menjawab pertanyaan (ya / tidak)
Memahami arti kata-kata tindakan sederhana (duduk, berikan) tanpa gerakan Mulaimemahami kalimat
2 – 3 tahun Merespon 2 instruksi dengan benar (misalnya :ambilkan jaket dan sepatu) Memahami pertanyaan "Di mana? Apa?
Siapa?Siapakah namamu? "
Memahami pengertian tentang "di, pada, lebih, di bawah, tinggi, rendah,di atas, di bawah "
Dapat menunjukkan bagian tubuh 3 – 4 tahun Mengikuti percakapan
pengertian kuantitas (sedikit, banyak,lebih) Memahami pertanyaan yang melibatkan
"Berapa banyak?Mengapa?Kapan? " Mengetahui warna dasar
Dapat membedakan antara besar dan kecil 4 – 5 tahun Memahami gagasan kemarin, hari ini,
besok,sekarang, segera
Dapat membedakan antara sedikit dan banyak,panjang dan pendek
Merespon dengan benar untuk pertanyaan "Mengapa?" (Lebih mode rumit) dan"Bagaimana?"
Bisa mengikuti 3 petunjuk
60 Penggunaan struktur yang kompleks secara lebih tepat
Struktur gramatical sudah matang secara umum
Kemampuan untuk menilai kalimat secara gramatical / non gramatical dan membuat perbaikan
Mengembangkan kemampuan memahami lelucon dan sindiran, mengenali kerancuan verbal
Meningkatkan kemampuan untuk menyesuaikan bahasa dengan perspektif dan peran pendengar
1.3. Floortime
2.3.1. Penjelasan Umum DIR/Floortime
menekankan pada pencapaian tahapan-tahapan perkembangan yang adaptif oleh anak.Selain itu, model DIR juga menekankan pentingnya affective relationship (hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang) dalam perkembangan anak. Melalui hubungan yang hangat dengan caregiver, emosi yang muncul pada diri anak akan mendorong anak untuk mengenal dunia di luar dirinya. Sebagai contoh, emosi senang yang dirasakan anak saat mendengar suara lembut dari orang lain akan menggerakkan otot beserta sistem motorik anak untuk menoleh dan mendekati orang tersebut (Greenspan & Wieder, 2006).
2.3.2. Developmental, Individual-Differences, Relationship (DIR) Model
Berikut ini akan diuraikan penjelasan mengenai D, I, dan R dalam pendekatan DIR.
1. Developmental (D), mengacu pada 6 kemampuan kemampuan dasar dari 6 tahapan perkembangan emosional (Functional Emotional Milestone). Keenam kemampuan tersebut merupakan dasar dari proses belajar dan pertumbuhan anak. Setiap anak biasanya menguasai kemampuan tersebut dengan relative mudah. Akan tetapi, anak berkebutuhan khusus cenderung terhambat karena faktor biologis dari dalam diri yang menyebabkan proses penguasaan kemampuan tersebut menjadi relatif sulit. Setiap kemampuan yang telah dikuasai pada satu tahapan, akan menjadi landasan untuk menguasai kemampuan pada tahapan berikutnya. Berikut akan dijelaskan setiap tahapan perkembangan tersebut beserta karakteristik dari setiap tahapan. (Greenspan & Wieder, 2006).
A.Level 1 : Shared Attention and Regulation (0-3 bulan)
Pada tahap ini, anak menerima stimulus multisensory (cahaya, suara, bau, sentuhan dsb) dari lingkungan, kemudian belajar untuk memroses dan merespon terhadap stimulus tersebut dengan bantuan dari caregiver yang responsif.Melalui pengalaman yang berulang, anak mengenali dan menikmati stimulus yang menyenangkan bagi diri mereka dan menggunakan pengalaman tersebut untuk merasa nyaman.Seiring dengan kematangan fungsi biologis/fisiologis dan sikap caregiver yang sensitive terhadap kebutuhan mereka, anak belajar untuk mentolerir beragam stimulasi dari lingkungan serta tetap merasa tenang. Pada tahap ini, selain berperan untuk membantu anak meregulasi diri, caregiver juga berperan untuk membina interaksi sosial yang menyenangkan dengan anak, sehingga dengan perlahan, ketertarikan anak terhadap dunia di luar dirinya akan meningkat (Greenspan & Wieder, 2006).
Setelah meregulasi diri dan memiliki ketertarikan terhadap dunia luar (level 1), selanjutnya anak akan membentuk hubungan/ikatan emosional dengan orang di sekitarnya, khususnya kepada caregiver yang selama ini memberikan pengalaman menyenangkan bagi dirinya. Ketertarikan dan perhatian anak terhadap orang lain meningkat dibandingkan terhadap objek inanimate. Anak belajar mengenal perbedaan ekspresi wajah, nada suara, dan spektrum emosi dari orang di sekitarnya melalui interaksi emosional yang berulang. Ikatan emosional yang terbentuk (khususnya terhadap caregiver) menajdi cikal bakal pembentukan attachment yang akan memengaruhi kemampuan penyesuain diri, keahlian sosial, dan fungsi kognitif (Cassidy & Shaver, dalam Greenspan & Wieder, 2006).
C.Level 3 : Two-Way Intentional Affective Signaling and Communication (3 – 10 bulan)
Setelah memiliki ketertarikan dengan orang lain (level 2), anak belajar membaca sinyal komunikasi dari orang lain kemudian meresponnya dengan komunikasi preverbal (ekspresi wajah, gerak tungkai, suara, ataupun postur tubuh). Proses komunikasi tersebut terjadi secara timbale balik antara anak dan caregiver. Masing-masing anak ataupun caregiver dapat menjadi pihak yang terlebih dulu menginisiasi komunikasi (opening the circle of communication), sementara pihak yang lain akan merespon sinyal komunikasi tersebut (closing the circle of communication). Semakin kompleks komunikasi yang terjadi, anak semakin memahami penggunaan bahasa preverbal sebagai alat untuk berkomunikasi.Mereka juga belajar memahami tujuan yang ingin disampaikan caregiver melalui komunikasi yang terjalin. Dengan adanya komunikasi timbale balik, terbentuk pula pemahaman mengenai hubungan sebab akibat, yaitu tindakan seseorang membawa pengaruh terhadap tindakan orang lain (Greenspan & Wieder, 2006).
D. Level 4 : Long Chains of Coregulated Emotional Signaling and Shared Social Problem Solving (9 – 18 bulan)
berinteraksi dengannya. Pattern recognition mencakup pemahaman tentang hal yang baik/buruk serta pola perilaku diri sendiri dan orang lain; misalnya, jika anak merengek, ibu akanberteriak marah.Pattern recognition membantu anak memahami bagaimana suatu kejadian terjadi, sehingga ia mampu memprediksi hal-hal sederhsns yang akan terjadi (Greenspan & Wieder, 2006).
E.Level 5 : Creating Representation (or Ideas) (18 – 30 bulan)
Akhir tahun kedua, seorang anak menciptakan mental images sebagai representasi dari hal-hal yang dikenalnya melalui interaksi sosial yang terjalin selama ini. Mental images tersebut kemudian digunakan untuk membentuk ide pikiran ataupun tema-tema, misalnya mental images tentang telepon genggam yang digunakan dengan cara didekatkan ke telinga tertuang dalam kegiatan bermain pura-pura dengan menggunakan balok yang ditempelkan ke telinga. Sejalan dengan perkembangan motor oral, anak mulai menggunakan kata-kata untuk menyampaikan perasaan, harapan, dan tujuannya (Greenspan & Wieder, 2006).
F. Level 6 : Building Bridges between Ideas – Logical Thinking (30 – 48 bulan)
Anak mampu menghubungkan ide-ide yang telah ada sebelumnya menjadi lebih logis dan terintegrasi, termasuk memahami bagaimana suatu kejadian mendahului kejadian yang lain, bagaimana kejadian terhubung dari suatu waktu ke waktu lainnya, dan menggunakan ide untuk memahami perasaannya (Greenspan & Wieder, 2006).
2. Individual – Differences (I), perbedaan antar individu secara biologus merupakan hasil dari factor genetik, kondisi prenatal, perinatal, dan variasi dalam proses kematangan. Menurut Greenspan & Wieder (2006) perbedaan antar individu dapat dikategorikan menjadi :
A. Sensory modulation, yaitu kemampuan anak dalam menerima informasi sensori dari lingkungan seperti sentihan, suara, cahaya, bau, rasa, dan gerakan. Beberapa anak cenderung underreactive, atau overreactive, beberapa yang lain justru memiliki kombinasi underreactive dan overreactive.
B. Sensory processing, meliputi kemampuan auditory processing, language processing, dan visuospatial processing. Processing merupakan kemampuan memahami dan memaknai (register, decode, comprehend) urutan informasi serta pola abstrak.
D. Muscle tone, yaitu tingkat ketegangan yang terlihat saat kondisi otot seseorang sedang rileks atau beristirahat. Anak dengan low tone umumnya terlihat lemas (loose and floppy).
E. Motor planning dan sequencing, yaitu kemampuan mengorganisir tindakan secara bertujuan berdasarkan informasi yang diterima, termasuk menyusun pikiran, kata-kata, dan konsep spasial serta mengeksekusi ide/tindkan yang dimiliki dengan melibatkan gerak tubuh.
3. Relationship-Based (R), merupakan gambaran hubungan anak dengan caregiver, anggota keluarga, dan budaya. Hubungan dengan caregiver merupakan sarana untuk perubahan (means for change) anak serta faktor penting dalam proses perkembangan anak. Penguasaan kemampuan pada tahapan perkembangan (Functional Emotional Development) terjadi dalam konteks interaksi anak dengan caregiver. Karakteristik yang dibawa caregiverselama berinteraksi dengan anak sangat menentukan perubahan yang akan terjadi pada anak. Evaluasi terhadap karakteristik caregiver biasanya mencakup :kepribadian, temperamen, sikap umum dalam berelasi, harapan terhadap anak, nilai-nilai budaya, dan pengalaman caregiver sebelumnya dengan orangtua (Greenspan & Wieder, 2006).
2.3.3. Circle of Communication (CoC)
Pendekatan DIR/floortime menitik beratkan pada pentingnya komunikasi yang tertuang dalam konsep tentang lingkaran komunikasi (circle of communication). Lingkaran komunikasi merupakan interaksi timbale balik (reciprocal, back and forth) dimana anak merespon terhadap isyarat verbal ataupun nonverbal dari caregiver, dan sebaliknya (Greenspan & Wieder, 2006). Satu lingkaran komunikasi dimulai dari tindakan membuka lingkar komunikasi oleh satu pihak, kemudian diikuti tindakan menutup lingkar komunikasi oleh pihak yang lain. Seseorang disebut membuka lingkaran komunikasi apabila ia melakukan auatu tindakan atau menunjukkan minat dan ketertarikan dengan orang lain. Seseorang disebut menutup lingkaran komunikasi apabila ia merespon terhadap tindakan yang telah dimulai oleh orang lain atau melanjutkan lingkar komunikasi tersebut (Grenspan & Wieder, 1998). Contoh lingkaran komunikasi yang terjadi dalam interaksi terapis dan anak:
Anak : mengambil bola dan melirik kea rah terapis (membuka lingkar komunikasi pertama)
Terapis: mengangguk kepala dan tersenyum pada anak (menutup lingkar komunikasi pertama)
Terapis: menangkap bola dari anak (menutup lingkar komunikasi kedua) kemudian melemparkan kembali bola ke anak (membuka lingkar komunikasi ketiga)
Anak : menangkap bola dari terapis dan tersenyum (menutup lingkar komunikasi ketiga)
Peningkatan kemampuan anak dalam melakukan interaksi timbale balik dapat terlihat dari jumlah lingkaran komunikasi yang terbentuk sertaa kompleksitas lingkaran komunikasi (apakah anak hanya mampu menutup atau membuka lingkaran komunikasi, apakah anak hanya merespon dengan bahasa nonverbal atau verbal, apakah bahasa verbal anak tergolong sederhana atau semakin kompleks).Semakin panjang dan kompleks lingkaran komunikasi yang terbentuk, semakin meningkat pula kemampuan anak untuk melibatkan emosi dan mengarahkan perilaku secara bertujuan saat berinteraksi. Interaksi timbale balik merupakan hal yang sangat esensial bagi perkembangan anak, karena anak belajar mengenai lingkungannya melalui respon yang ia terima melalui interaksi tersebut (Greenspan & Wieder, 1998).
2.3.4. DefinisiFloortime
Menurut Greenspan (2010) metode floortime merupakan suatu metode belajar yang mengacu pada pendekatan perkembangan yang terintegrasi untuk anak yang mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi, dan metode belajar ini berbasis bermain dalam kegiatan spontan dan menyenangkan untuk kepentingan anak, dan dapat dilakukan kapan saja dan diamana saja.
Sedangkan Sutadi, dkk (2000), mengatkan bahwa floortime merupakan metode pendekatan yang bersahabat (hangat dan akrab), membangun hubungan dengan anak sebagai individu untuk membantu memperbaiki proses perkembangan anak melalui bahasa tubuh (gesture), kata-kata serta media bermain (pretend play).
Floortime adalah suatu cara sistematis bermain dengan anak melalui suasana atau situasi yang disukai anak, media permainan yang diminati anak, kata-kata, serta bermain pura-pura untuk membantunya melalui tahapan perkembangan, dengan harapan dapat membentuk emosi yang sehat, sosial, dan intelektual (Homdijah, 2004).
Berdasar beberapa definisi tentang floortime diatas, peneliti lebih merujuk pada definisi floortime menurut Greenspan yaitu suatu metode pembelajaran untuk anak yang mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi, metode ini berbasis bermain spontan yang menyenangkan, dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Dalam pelaksanaan metode floortime, terdapat beberapa langkah yang selalu diterapkan Greenspan (2010), yaitu :
a) Observasi (observation)
Observasi ini meliputi mendengarkan ataupun mengamati baik ekspresi muka, nada suara, gesture, kata-kata yang dikeluarkan anak, apakah anak cenderung komunikatif atau menarik diri, anak senang atau ketakutan, dan sebagainya yang semua ini penting agar kita dapat menentukan bagaimana harus mendekati anak secara efektif. b) Pendekatan – membuka lingkaran komunikasi (Approach – open
cercle of communication)
Sekali kita dapat mengamati anak dengan baik kita dapat mendekati anak dengan kata – kata dan gesture yang pas sehingga kita dapat membuka lingkaran komunikasi dengan anak.
c) Mengikuti aktivitas yang diamati anak (Follow the child’s lead) Setelah kita berhasil melakukan pendekatan pertama selanjutnya ikuti aktivitas yang menarik minat anak, dengan jalan menjadi teman bermain dan sebagai seorang yang siap membantu bila anak memerlukan.Berikan kesempatan anak untuk membuat sendiri aturan dalam permainannya, dengan demikian kita membantu anak untuk merasa dihargai, dapat mengambil keputusan serta memberikan kesempatan mereka untuk punya pengaruh dalam dunianya.
d) Memperluas permainan (Extend and Expand play)
Sementara kita mengikuti permainan yang dipilih anak kita dapat melibatkan diri untuk mengembangkan permainannya dengan komentar yang membangun tentang permainannya dan kemudian menanyakan sesuatu untuk merangsang daya pikir anak dalam permainan tanpa kesan mengganggu. Hal ini akan membantu anak mengembangkan gagasan mereka.
e) Biarkan anak menutup lingkaran komunikasi (Child closes the circle of communication)
Seperti halnya kita sudah membuka lingkaran komunikasi, berikan kesempatan kepada anak untuk menutup lingkaran tersebut dengan respons baik itu melalui gesture, ataupun dengan komentar.Semakin banyak lingkaran komunikasi yang berhasil kita berikan dan semakin banyak anak dapat meresponnya ini berarti session kita dianggap berhasil.
1.4. Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya
Wilcoxon 2-related samples, dan hasilnya adalah pendekatan floor time memberikan pengaruh terhadap kemampuan berbahasa anak autistik. Peningkatan rata-rata kemampuan berbahasa yaitu engagement 8,20, imitasi 2,07, bahasa reseptif 6,53, bahasa ekspresif 4,00. Peningkatan kemampuan berbahasa juga dipengaruhi oleh kontinuitas dan kehadiran orang tua terutama ibu. Kedua hal ini cukup membantu dalam meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak autistik.
Maryse Dionne, Rose Martini (2011) juga melakukan penelitian tentang “Floor Time Play with a child with autism: A single-subject study”, dan hasil analisis statistic di dalam penelitian tersebut menunjukkan hasil yang signifikan antara komunikasi sebelum dan sesudah intervensi Floor time. Penelitian ini memberikan bukti bahwa pendekatan Floortime efektif untuk anak autis.
1.5. Efektivitas Metode Floortime Untuk Meningkatkan Kemampuan Bahasa Reseptif Pada Anak Autis
Bahasa merupakan sarana komunikasi yang memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan manusia. Kemampuan berbahasa adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa untuk kepentingan berkomunikasi dengan orang lain. Kemampuan berbahasa merupakan suatu kemampuan yang penting dan mendasar bagi manusia guna mengikuti pendidikan (Sutadi, dkk. 2009).
Kemampuan berbahasa yang perlu dikuasai oleh setiap individu dalam berkomunikasi adalah bahasa reseptif dan bahasa ekspresif, seperti yang diungkapkan oleh Tilton (dalam Yuwono, 2009) bahwa bahasa reseptif adalah kemampuan pikiran manusia untuk mendengarkan bahasa bicara dari orang lain dan menguraikan hal tersebut dalam gambaran mental yang bermakna atau pola pikiran, dimana dapat dipahami dan digunakan oleh penerima. Anak yang baik bahasa reseptifnya, maka dapat memahami makna bahasa yang disampaikan baik secara verbal maupun nonverbal. Dengan demikian kemampuan bahasa reseptif tentu sangat penting dimiliki oleh anak agar bisa belajar dengan baik.
Kemampuan bahasa reseptif yang dimiliki setiap anak berbeda. Ada yang lambat dan ada pula yang sesuai dengan perkembangan tergantung pada kematangan anak, termasuk dalam kecerdasan dan keadaan organ sensorisya, stimulus yang didapat dari lingkungan, pola asuh dan pola didik, serta perkembangan kemampuan masing-masing.Aspek bahasa reseptif merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan untuk dapat memberikan respons sesuai dengan informasi atau rangsangan yang diterima (Danuatmaja, 2005).
mempunyai masalah dalam gangguan perkembangan neurobiologis yang meliputi gangguan pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, serta gangguan emosi dan persepsi sensori (Yuwono, 2009).
Azwandi (2005), menjelaskan tentang ciri-ciri anak autis dalam segi komunikasi dan bahasa bahwa dalam segi komunikasi, sekitar 50% anak autis mengalami keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan berbicara. Mereka juga mengalami kesukaran dalam memahami arti kata-kata serta penggunaan bahasa yang tidak sesuai konteksnya, berbicara sering monoton, kaku dan menjemukan.Mereka sukar mengatur volume dan intonasi suaranya, kesukaran dalam mengekspresikan perasaan atau emosi melalui suara. Mereka juga mengalami gangguan dalam komunikasi non-verbal.
Mengingat betapa pentingnya bahasa reseptif bagi anak autis, maka diperlukan metode pendekatan untuk meningkatkan kemampuan bahasa reseptif tersebut. Dalam penelitian ini yang digunakan untuk mengembangkan kemampuan bahasa reseptif anak autis adalah metode floortime karena metode floortime merupakan suatu cara berhubungan dengan anak secara hangat, akrab dan penuh cinta untuk membantu memperbaiki proses perkembangan anak melalui tahapan perkembangan, dengan harapan dapat membentuk emosi yang sehat, sosial, dan intelektual, dimana dalam hal ini anak berperan aktif dalam melakukan suatu interaksi kepada orang lain.
Greenspan (2010), menegaskan bahwa metode floortime mempunyai keunggulan dalam membantu proses perkembangan anak, membentuk keterampilan kognitif, membantu anak mengenal bahasa, mengekspresikan emosi, mengungkapkan ide, meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan orang lain dan lingkungan di sekitar anak.
Suatu metode pembelajaran akan lebih efektif jika didukung dengan adanya media terutama pada anak autis yang memiliki hambatan kemampuan bahasa reseptif. Dalam penelitian ini sarana media bermain untuk mendukung keefektifan metode floortime yaitu dengan menggunakan alat permainan balok pelangi. Menurut Soetjiningsih (2002) alat permainan balok pelangi adalah alat permainan yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak sesuai usia dan tingkat perkembangannya dan yang berguna untuk pengembangan aspek fisik, bahasa, dan kognitif anak.
bermain menggunakan permainan balok pelangi yang telah disediakan, dan subjek terus diberi instruksi- instruksi kata kerja sederhana berupa “ambil dan masukkan”. Dengan metode floortime dan pemberian instruksi-instruksi kata kerja sederhana pada anak autis diharapkan dapat mengembangkan kemampuan bahasa reseptifnya.