• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Floortime untuk Meningkatkan Kemampuan Bahasa Reseptif pada Anak Autis T2 832013017 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Floortime untuk Meningkatkan Kemampuan Bahasa Reseptif pada Anak Autis T2 832013017 BAB I"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sorang anak yang dilahirkan ke dunia ini akan mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Namun tidak semua anak dapat mengalami pertumbuhan dan pekembangan secara sempurna. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, kadangkala anak mengalami gangguan, baik itu sebelum proses kelahiran maupun setelah proses kelahiran. Gangguan perkembangan yang dialami anak saat ini semakin kompleks, hal ini karena adanya perubahan gaya hidup masyarakat maupun kemajuan teknologi (Handojo, 2003). Gangguan perkembangan yang terjadi pada anak sangat beragam. Salah satu gangguan perkembangan anak yang saat ini cukup menjadi perhatian utama adalah “autisme”.

Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks, yang berhubungan dengan bahasa dalam berkomunikasi, interaksi sosial dan keterbatasan minat serta kemampuan imajinasi, gejalanya tampak pada sebelum usia tiga tahun (Baron-Cohen, 2008). Autis juga merupakan suatu konsekuensi dalam kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi-fungsi seperti : persepsi (perceiving), intending, imajinasi (imagining) dan perasaan (feeling). Autis sebenarnya tidak dapat disembuhkan (not curable) namun dapat diterapi (treatable). Artinya kelainan yang terdapat di dalam otak tidak dapat diperbaiki, namun gejala-gejala yang ada dapat dikurangi secara signifikan dan semaksimal mungkin, sehingga si anak yang menyandang autis tersebut dapat berbaur dengan anak-anak lain secara normal. Secara umum anak-anak dengan gangguan perkembangan ini memerlukan terapi secara intensif (Taylor, 1997).

Pada awalnya autis dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional, tetapi baru sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autis disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak (Frith dalam Delphie , 2009).

(2)

Dalam dekade terakhir ini jumlah anak autis semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40% sejak tahun 1980. Menurut catatan pada tahun 1987, prevalensi penyandang autis baru satu orang anak per 5.000 kelahiran. Mulai tahun 1990-an terjadi boom autis. Anak-anak yang mengalami gangguan autis makin bertambah dari tahun ke tahun. Sepuluh tahun kemudian angka itu berubah menjadi satu anak penyandang autis per 500 kelahiran. Pada tahun 2.000 angkanya sudah bertambah menjadi satu per 250 kelahiran. Di Amerika Serikat misalnya, menurut laporan center for disease control perbandingan itu mencapai satu anak per 150 kelahiran. Diperkirakan angka yang sama terjadi juga di tempat lain, termasuk di Indonesia (Leli & Widajati, 2013).

Salah satu masalah yang dialami anak autis adalah masalah gangguan bahasa. Anak autis cenderung mengalami echolalia (tanpa sengaja mengulang-ulang kata atau kalimat yang pernah ia dengar sewaktu ia berbicara dengan orang lain), literal (apa adanya), dan ketiadaan irama. Firth dan Kerig (dalam Delphie, 2009) menyatakan bahwa anak dengan sindrom autistik juga mengalami kesulitan dalam membedakan informasi yang menunjukkan sesuai atau tidak sesuai bagi lawan bicaranya. Demikian pula dalam menentukan apakah makna yang diucapkan telah dipahami atau belum dipahami oleh lawan bicaranya. Adanya kesulitan dalam hal berbahasa ini mengakibatkan anak autis tidak belajar secara mudah. Anak autis tidak dapat melakukan respon atau menanggapi informasi secara konsisten. Anak autis mengalami kesulitan dalam menggunakan informasi untuk membuat rencana atau mengorganisasikan apa yang semestinya ia lakukan.

Bahasa merupakan sarana komunikasi yang memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan manusia. Sunardi, dkk. (2007) menegaskan bahwa melalui bahasa seseorang dapat menyatakan pikiran, ide, perasaan, dan kebutuhan-kebutuhannya, dan dengan bahasa seseorang dapat berkomunikasi secara efektif dan efisien dengan lingkungannya, dan dapat belajar banyak tentang peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Begitu juga dari segi pendidikan, dengan memiliki kemampuan berbahasa anak akan mengerti dan memahami materi yang disampaikan guru dan akhirnya mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

(3)

Kemampuan bahasa reseptif sangat penting untuk dimiliki oleh anak autis, karena bahasa reseptif merupakan bagian dari kemampuan berbahasa yang sangat esensial, dan kemampuan berbahasa reseptif merupakan dasar untuk menguasai suatu bahasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Indriati (2011) yang menyatakan bahwa kemampuan bahasa reseptif sebagai kemampuan anak dalam mendengar dan memahami bahasa, dan anak yang baik bahasa reseptifnya, akan dapat memamami ketika ditanya dan melakukan perintah sesuai instruksi yang diterima dengan benar.

Studi pendahuluan di lapangan yang penulis lakukan melalui observasi dan wawancara, menemukan bahwa kemampuan bahasa resesptif pada anak autis di Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar Salatiga masih rendah, diantaranya anak mengalami kesulitan dalam memahami dan melakukan instruksi kata kerja sederhana. Akibatnya anak lebih cenderung diam seolah-olah meminta bantuan pada gurunya ketika mereka dihadapkan pada kegiatan pembelajaran yang berhubungan dengan kemampuan melakukan instruksi kata kerja sederhana. Hal tersebut bukan menjadikan kemampuan berbahasa anak semakin baik dan terlatih akan tetapi justru mengakibatkan komunikasi dan bahasa anak menjadi semakin tidak optimal dalam kegiatan kemandirian belajarnya maupun dalam lingkungan sekitarnya.

Wibowo (2001) mengatakan bahwa cakupan bahasa reseptif sangatlah banyak yaitu kemampuan anak memahami instruksi kata kerja sederhana seperti ambil, masukkan, duduk, berdiri dan lain sebagainya. Karena keterbatasan waktu penelitian dan tidak mudah untuk mengubah kemampuan bahasa reseptif pada anak autis, maka penulis hanya memfokuskan dua cakupan bahasa reseptif yaitu instruksi kata kerja ambil dan masukkan. Penulis tertarik meneliti lebih jauh karena untuk instruksi kata kerja ambil dan masukkan sering dipakai oleh para guru, seperti mengambil dan memasukkan alat tulis dan perlenngkapan makan yang sehari-hari selalu digunakan.

(4)

Mengingat kemampuan bahasa reseptif anak autis mengalami hambatan maka diperlukan suatu metode pendekatan yang dapat mengembangkan kemampuan bahasa reseptif tersebut. Delphie (2009) menegaskan bahwa beberapa anak autis mempunyai kemampuan berbahasa yang berbeda, keterlambatan dan kelainan bahasa yang mana keterampilan berbahasanya memerlukan pembinaan khusus.

Dalam penelitian ini yang digunakan untuk mengembangkan kemampuan bahasa reseptif pada anak autis adalah dengan menggunakan metode The Developmental Individual Difference Relationship-Based (DIR) atau lebih dikenal dengan pendekatan floortime.

Penulis tertarik menggunakan metode floortime karena di dalam metode tersebut, selama kegiatan bermain berlangsung, anak didorong menjadi pihak yang aktif dalam berinteraksi dan terapis diarahkan untuk mengamati minat anak (child’s natural emotional interest/lead), kemudian menggunakannya sebagai landasan untuk berinteraksi secara playful. Berdasarkan minat anak sebagai landasan berinteraksi, maka diharapkan motivasi anak untuk mengenal lingkungan, berinteraksi dan berkomunikasi akan meningkat secara bertahap (Greenspan, 2010).

Floortime merupakan intervensi yang dikembangkan berdasarkan paradigma bahwa interaksi antar manusia merupakan hal yang kritis bagi perkembangan anak dan emosi berperan sebagai landasan yang penting dalam proses belajar. Interaksi ini dilakukan melalui kegiatan bermain secara natural dan tidak terstruktur dengan terapis. Pendekatan floortime bertujuan membangun landasan yang kuat pada anak untuk perkembangan kemampuan fisik, motorik, intelektual, sosial, dan emosional. Metode floortime mempertimbangkan aspek perkembangan anak, yang mengacu pada tahapan perkembangan, perbedaan individual dalam kemampuan memproses kemampuan informasi melalui indera/sensori dan affective relationship antara terapis dan anak (Greenspan & Wieder, 2006).

Suatu metode pembelajaran akan lebih efektif apabila didukung oleh sarana media di dalam pelaksanaannya. Menurut Greenspan (2010) metode floortime bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan menggunakan sarana media apapun.

Penelitian dengan menggunakan metode floortime sudah pernah dilakukan oleh Diane Cullinane (2009) dengan tema “Evidence Base For The DIR®/Floortime Approach”. Di dalam penelitiannya, menggunakan media anak tangga untuk memberikan instruksi sederhana naik dan turun. Di dalam penetian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa metode floortime dapat membantu meningkatkan pemahaman bahasa anak autis, khususnya pemahaman bahasa naik dan turun.

(5)

single-subject study, menunjukkan adanya efektivitas intervensi floortime pada anak yang didiagnosis autis. Di dalam penelitian ini, tidak difokuskan hanya menggunakan media tertentu saja, tetapi dapat dengan media apapun yang dijumpainya. Metode subjek tunggal dengan desain AB digunakan di dalam penelitian ini. Analisisnya menunjukkan hasil yang signifikan antara fase sebelum dan sesudah pemberian intervensi. Studi ini memberikan bukti bahwa metode floortime berguna untuk anak autis.

Di dalam penelitian ini, penulis tertarik menggunakan salah satu media permainan dengan menggunakan balok pelangi, karena permainan balok pelangi sering digunakan dalam penelitian psikologis dalam hal pemecahan masalah. Permainan ini juga digunakan sebagai ujian ingatan oleh ahli psikolog syaraf dalam berupaya mengevaluasi amnesia (Sadiman dkk, 2003).

Balok pelangi membantu pembelajaran kemampuan bahasa anak dalam memahami dan melakukan instruksi kata kerja sederhana yaitu mengambil dan memasukkan benda (balok-balok berbentuk lingkaran, kubus, dan segitiga). Selain itu juga dapat melatih konsentrasi anak pada saat anak berusaha memasukkan benda (balok-balok berbentuk lingkaran, kubus, dan segitiga) tersebut pada tiang (Sadiman dkk, 2013).

Di dalam metode floortime ini, anak akan diajak bermain secara bebas dengan menggunakan permainan balok pelangi. Terapis membiarkan anak mengambil peranan secara aktif dan mengikuti keaktifan anak tersebut dengan memberikan instruksi-instruksi baik secara verbal maupun nonverbal, sehingga dengan peranan aktif dari anak diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bahasa reseptifnya. Pada prinsipnya, metode floortime memiliki konsep dasar Circles of Communication (CoC). CoC mengacu pada komunikasi timbal-balik dengan dua partisipan yang saling menjawab satu sama lain secara verbal atau nonverbal (Greenspan dalam Dionne & Martin, 2011).

Setiap anak mampu mencapai tahap perkembangan bahasa yang optimal asal mendapatkan stimulasi yang tepat. Kemampuan bahasa reseptif dalam memahami dan melakukan instruksi tersebut dapat ditunjang dengan metode floortime yang dijadikan sebagai salah satu perlakuan/treatment intervensi. Perlakuan tersebut dapat menolong anak autis untuk mengembangkan kemampuan bahasa reseptifnya. Perlakuan/treatment dilakukan dalam upaya menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak dapat belajar secara efektif, agar dapat mencapai perkembangan bahasa yang optimal sejalan dengan potensi yang dimilikinya

(6)

non verbal harus dengan pemberian instruksi yang diulang-ulang; Kontak mata subjek sangat jarang; Subjek belum konsisten menoleh ketika dipanggil namanya; Subjek belum mampu memahami instruksi kata kerja sederhana (mengambil, memasukkan).

Di dalam penelitian ini hanya menggunakan partisipan satu orang (Single Subject Design), karena untuk mencari anak autis dengan karakteristik atau type yang ditentukan diatas dan untuk melakukan penelitian terhadap lebih dari satu anak autis tidaklah mudah.

Ada beberapa alasan peneliti mengapa tertarik ingin melakukan penelitian lebih lanjut yaitu : (1) Peneliti ingin membuktikan lebih lanjut, apakah dengan menggunakan media balok pelangi, metode floortime dapat meningkatkan bahasa reseptif pada anak autis, (2) Sejauh penelusuran yang peneliti lakukan, penelitian mengenai metode floortime, khususnya di Sekolah Terpadu Rumah Pintar Salatiga masih asing untuk para terapis. Oleh sebab itu, peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan apakah metode floortime memiliki pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif pada anak autis.

1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini apakah metode floortime berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif pada anak autis.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah metode floortime dapat berpengaruh untuk meningkatkan kemampuan bahasa reseptif pada anak autis.

1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan oleh berbagai kalangan terutama untuk disiplin Ilmu Psikologi yang berkaitan dengan penanganan anak autis.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang akurat seputar autis, sehingga memberikan kemudahan bagi para mahasiswa, dosen, atau orang tua atau masyarakat yang memiliki anak autis dalam pemberian perlakuan.

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan perambatan gelombang ultrasonic rerata dan maksimal pada flexible pavement dengan komposisi variasi agregat

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian terdahulu yang relevan yang dilakukan oleh Siti Wardani Bakri Katti (2018) , penelitian ini dilakkukan untuk mengetahui

Setelah Maryam, kemudian Madasari melahirkan novel Pasung Jiwa (2013) yang yang sangat menarik untuk dibaca dan dijadikan pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Adapun

hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitrotul Khayati dkk (2016:4) dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa modul telah memenuhi standar

Berdasarkan hasil pengujian di atas, hipotesis penelitian yang menduga faktor kualitas makanan, kualitas layanan dan harga secara parsial berpengaruh signifikan terhadap

Penilaian siswa pada aspek yang mendukung kelayakan materi dalam media interaktif diantaranya 83,3% pada aspek mempelajari IPA lebih mudah dengan menggunakan media interaktif,

Choat dan Bellwood (1991) yang membahas interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang menyimpulkan 3 (tiga) bentuk umum hubungan, yaitu: (1) Interaksi langsung, yaitu

Selanjutnya setelah dilakukan refleksi terhadap siklus I, guna mengevaluasi pembelajaran dan menyusun solusi terhadap kendala selama siklus I maka diketahui