• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kurikulum Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua ditinjau dari Perspektif Pedagogi Pembebasan Paulo Freire T2 752014019 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kurikulum Katekisasi Sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua ditinjau dari Perspektif Pedagogi Pembebasan Paulo Freire T2 752014019 BAB II"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja

Pendidikan Agama Kristen memiliki tiga setting pelaksanaan, yaitu keluarga, sekolah dan gereja. Di gereja secara khusus, salah satu pelayanan pendidikan agama Kristen yang paling tua dan yang ada di hampir seluruh Gereja-Gereja di Indonesia ialah pelayanan katekisasi. Walaupun demikian, gereja-gereja di Indonesia bahkan mungkin di seluruh dunia belum mempunyai pendapat yang sama tentang apa itu katekisasi. Beberapa gereja menganggap katekisasi sama dengan pengajaran agama yang dilakukan di sekolah-sekolah, sedangkan beberapa gereja menganggapnya lebih dari itu. Katekisasi dapat dikategorikan sebagai pendidikan agama Kristen sebab tujuannya yang untuk mengajarkan pengajaran-pengajaran Kristiani kepada para pengikutnya.

2.1.1 Perkembangan Katekisasi

Pengajaran yang dilakukan di gereja-gereja Kristen telah ada sejak lama dan berasal dari Israel. Dalam Perjanjian Lama (Ul 6:20-25; Mzm 78:1-7; dan lain-lain) dikatakan bahwa kepada orang tua ditugaskan untuk memberikan pengajaran tentang “perbuatan-perbuatan Allah yang besar.” Pengajaran pada saat itu masih

bersifat lisan, di mana orang tua meneruskan kepada anak-anak mereka apa yang mereka telah dengar. Sekitar permulaan abad pertama mulai diadakan ”sekolah

-sekolah” yang didirikan oleh Jemaat-Jemaat Yahudi, di mana anak-anak kecil

mendapat pengajaran dari guru Torah. Maksud pengajaran ini bukan untuk memberikan pengetahuan umum kepada anak-anak, tetapi pengetahuan tentang Torah.16

Jadi, pengajaran yang dilakukan di dalam perjanjian lama awalnya tidak seperti pengajaran dalam gereja saat ini. Pada saat itu, anak-anak mendapat

(2)

pengajaran bukan sebagai syarat untuk diteguhkan menjadi anggota jemaat dewasa tetapi untuk mempertahankan dan meneruskan Torah dari satu generasi ke generasi yang lain.

Banyak istilah yang digunakan untuk pengajaran tersebut. Ada istilah “Paideuein” yang berararti memberikan bimbingan kepada anak-anak supaya

mereka, dalam dunia orang dewasa dapat menempati tempat mereka. “Manthanein” yang mengindikasikan suatu proses rohani, di mana orang

mencapai sesuatu bagi dirinya untuk perkembangan kepribadiannya. “Ginoskein” dimana dalam dunia pemikiran Yunani istilah ini bersifat intelektualistis dan dapat berarti “mengetahui” sesuatu: mengetahui berdasarkan pengalaman. “Didaskein”

yang sering digunakan untuk pekerjaan menyampaikan pengetahuan dengan maksud supaya orang yang diajar dapat bertindak dengan terampil. “Katekhein” yang berarti: memberitakan, memberitahukan, mengajar, memberi pengajaran.

Katekhein memiliki rupa-rupa arti: mengatakan, menjelaskan, memberitakan, memberitahukan, mengajar.17 Dari berbagai macam arti tersebut, mengajar adalah yang paling sering dipakai dan yang kemudian digunakan dalam gereja-gereja di Indonesia.

Di Yerusalem, pengajaran yang sebenarnya sejak abad keempat dimulai dengan pengakuan iman di mana pemimpin mengucapkan kata-kata pengakuan iman yang sampai saat itu belum boleh diketahui dan dipelajari oleh para ketekumen, diikuti oleh suatu penjelasan. Pada waktu yang telah ditentukan para calon baptisan harus dapat menghafal kata-kata dari pengakuan iman yang mereka wajib ucapkan pada waktu mereka dibaptis. Untuk maksud itu, disediakan daftar tanya jawab. Selain dari pengakuan iman, di beberapa tempat diberitahukan juga

(3)

kata-kata dari doa Bapa Kami. Pemberitahuan ini kemudian disusul oleh pelayanan baptisan. Tetapi, pengajaran baptisan belum berakhir di situ karena sakramen-sakramen harus dijelaskan terlebih dahulu dahulu. Hal ini dikarenakan Gereja kuatir jika kesucian sakramen itu akan dinodai. Lamanya pengajaran sesudah baptisan biasanya satu minggu. Yang diajarkan ialah selain daripada penjelasan tentang sakramen-sakramen, juga ulangan dari kewajiban-kewajiban yang para calon baptisan terima sebagai anggota-anggota baru dari gereja.18

Metode pengajaran katekisasi awal mulanya adalah berupa penghafalan dan metode itu adalah metode umum yang digunakan dalam proses pengajaran. Orang-orang belum terlalu memedulikan apakah anak-anak dapat memahami dan menerima pengajaran tersebut. Keberhasilan dari katekisai dilihat dari apakah anak-anak mampu menghafal dan mengucapkan kembali apa yang telah mereka hafalkan. Katekisasi pada saat itu masih dilakukan dengan cara yang sangat kaku sehingga pengajarannya hanya bersifat satu arah. Materi yang diberikan oleh guru-guru pada saat itu bukan sesuatu yang bisa ditawar tetapi sesuatu yang harus diterima apabila ingin menjadi bagian dari komunitas agama tersebut.

Dalam akhir abad-abad pertama, katekisasi gereja semakin mendangkal. Hal ini terutama disebabkan oleh pembaptisan anak-anak yang telah dipraktekkan di mana-mana pada waktu itu. Oleh praktik ini, pengajaran katekisasi tidak diberikan lagi kepada anak-anak dari keluarga Kristen. Menurut tradisi yang diikuti pada waktu itu, katekisasi hanya diuntukkan bagi orang-orang yang berpindah dari agama kafir ke agama Kristen sebagai persiapan untuk menjadi anggota Gereja. Karena itu pengajaran katekisasi harus diberikan sebelum baptisan dan sesudah itu

(4)

tidak diperlukan lagi. Jikalau ada pengajaran yang diberikan kepada orang-orang yang telah dibaptis, pengajaran itu tidak dianggap sebagai katekisasi.19

Dalam abad kedelapan dan kesembilan, ketika Berita Injil disampaikan kepada bangsa-bangsa German, katekisasi Gereja mengalami suatu pembaharuan. Pada waktu itu dituntut lagi bahwa orang-orang yang mau menerima baptisan, harus dipersiapkan dahulu dengan baik. Pembaharuan ini dipengaruhi oleh Karel Agung yang tidak henti-hentinya memperingatkan supaya orang-orang German jangan ditobatkan dengan kekerasan. Dengan sangat ia meminta kepada Kaisar supaya mengutus penginjil-penginjil kepada bangsa-bangsa yang telah ditaklukkan dengan tugas untuk perlahan-lahan mengajar dan mendidik mereka. Ia mengatakan bahwa baptisan baru boleh dilayani jika orang-orang yang akan dibaptis itu telah mendapat pengajaran katekisasi.20

Pembaharuan tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Sesudah Eropa selesai mengalami Kristenisasi, pengajaran Katekisasi merosot lagi seperti dahulu dan hanya terdiri dari penghafalan pengakuan iman dan doa (Bapa Kami, dan kemudian Ave Maria), pengenalan akan sakramen-sakramen dan upacara-upacaranya, dan pengetahuan akan daftar-daftar dosa di samping dasa firman dan juga ketujuh mazmur pengakuan dosa. Sejalan dengan itu, kemerosotan katekisasi gereja juga semakin bertambah besar, sehingga akhirnya dalam abad kelimabelas katekisasi sama sekali tidak berarti lagi. Katekisasi menjadi semacam “kursi pengadilan” rohani yang dengan keputusan-keputusan dan hukum-hukumnya

mencakup seluruh hidup anggota jemaat. 21

Kemerosotan yang terjadi pada abad sebelumnya berubah di masa reformasi. Alkitab kembali menjadi pusat dalam teologia dan dalam praktik gereja. Hal ini

19

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 33-34.

20

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 35-36.

21

(5)

kemudian membawa perubahan besar di bidang katekisasi, tetapi bukan dalam arti bahwa bahan-bahan tradisional seperti pengakuan iman, doa, dasafirman dan sakramen-sakramen dibuang atau diganti dengan bahan-bahan lain. Bahan-bahan itu terus dipakai tetapi sebagai rangkuman dari ajaran Alkitab. Hal ini bisa dilihat dalam katekismus-katekismus yang tulis oleh para reformator seperti oleh Luther (Katekismus Besar dan Katekismus Kecil), Calvin (rangkuman dari Institutio dan Katekismus dari Geneva), Malanchton (Katekismus dalam bahasa Latin dan dalam bahasa Jerman), Zwingli (yang menyimpang dari kebiasaan itu dengan tidak membahas dasa firman dan sakramen-sakramen dalam Katekismusnya), Bullinger (Katekismus Besar), dan lain-lain.22

Perubahan yang dibawa oleh reformasi berlangsung di tiga bidang. Bidang pertama yaitu isi katekisasi, di mana katekismus-katekismus yang ditulis pada waktu itu jika dibandingkan dengan buku-buku katekisasi dari abad-abad pertengahan jelas terlihat bahwa isi katekismus-katekismus jauh lebih baik. Bidang yang kedua adalah ruang cakup katekisasi, di mana jika dalam abad-abad pertengahan katekisasi hanya dibatasi pada orang-orang yang berpindah dari agama kafir ke agama Kristen, pada waktu reformasi katekisasi diperuntukan bagi semua orang. Bidang yang ketiga adalah cara mempelajari bahan katekisasi. Jika pada abad-abad pertengahan katekisasi umumnya terdiri dari menghafal bahan-bahan katekisasi tanpa mengetahui artinya, pada masa reformasi hal ini berubah. Para reformator tidak setuju dengan hanya menghafal pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban dalam katekismus.23

Kebiasaan yang dipakai oleh Gereja-Gereja di Eropa dalam bidang katekisasi kemudian dibawa masuk oleh pendeta-pendeta zending ke Indonesia dan dipakai

22

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 38-39.

23

(6)

juga dalam Jemaat-Jemaat di sini. Awal katekisasi masuk di Indonesia, ia memiliki hubungan yang erat dengan pengajaran agama di sekolah. Dalam Sidang Raya Agung yang diselenggarakan pada tanggal 6 agustus – 2 Oktober 1624 di Betawi ditetapkan bahwa “anak-anak Belanda dan anak-anak yang bukan Belanda harus

dididik secara Kristen di sekolah-sekolah dan untuk mengajaran agama selanjutnya anak-anak harus mengunjungi pengajaran katekisasi Gereja”. Pengajaran lanjutan yang dilakukan di gereja yang diberikan oleh pendeta-pendeta.24

Dalam masa sekarang, katekisasi di Gereja-Gereja berbeda dengan katekisasi dalam Gereja-gereja pada waktu zending. Perbedaan ini terdapat di berbagai bidang penting, di antaranya pada bidang tenaga pengajar dan buku-buku yang digunakan dalam pengajaran katekisasi. Tenaga-tenaga pengajar katekisasi dalam Gereja-Gereja Indonesia saat ini biasanya merupakan orang-orang yang memperoleh pendidikan di bidang Pendidikan Agama Kristen (Sarjana PAK). Buku-buku yang digunakan pun tidak lagi sama dengan yang digunakan pada waktu zending. Walaupun demikian, masih ada gereja yang tetap menggunakan buku-buku katekisasi jaman zending seperti katekismus Heidelberg, Katekismus kecil dari Luther, dan lain-lain.25

Dengan demikian, sejak awal kemunculannya hingga sekarang, ada tiga jenis katekisasi yang dikenal yaitu katekisasi keluarga, katekisasi sekolah dan katekisasi gereja atau yang saat ini lebih dikenal dengan katekisasi sidi. Katekisasi keluarga adalah bentuk purba dari pelayanan katekisasi, di manan pengajaran itu berlangsung secara lisan dalam keluarga-keluarga Israel. Yang berikutnya adalah

24

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 48-50.

25

(7)

katekisasi sekolah, di mana katekisasi ini dimulai sejak jemaat-jemaat Yahudi mulai mendapat pengajaran dari guru-guru Torah. Pada jaman sekarang, orang sering mengaitkan katekisasi sekolah dengan pendidikan agama di Sekolah. Sedangkan yang terakhir, yang akan menjadi pembahasan penulis adalah katekisasi gereja atau katekisasi sidi.

2.1.2 Katekisasi Sidi

Dalam Gereja-Gereja Kristen saat ini, ada hubungan yang erat antara baptisan anak dengan katekisasi dan peneguhan sidi. Peneguhan sidi dilaksanakan sebagai lanjutan dari baptisan anak untuk menyempurnakannya. Baptisan merupakan tanda dan bukti bahwa anak-anak telah masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus; mereka sudah menjadi anggota dari tubuh Kristus. Di dalam katekisasi sidi ini, pesertanya merupakan orang-orang muda jemaat yang berada dalam fase perkembangan yang paling penting, di mana dalam usia ini mereka mudah dipengaruhi sehingga kesan-kesan yang diterima oleh mereka pada masa ini turut menentukan sikap hidup mereka di kemudian hari.26 Katekisasi yang diakhiri dengan peneguhan sidi seringkali dianggap sebagai penyempurnaan atau lanjutan dari baptisan. Ketika dibaptis, anak-anak yang masih sangat kecil belum mampu untuk mempertanggung jawabkan iman mereka. Ketika diteguhkan menjadi anggota sidi, anak-anak tersebut dianggap sudah mampu untuk mempertanggung jawabkan pengakuan iman mereka di hadapan Tuhan dan Jemaat.

Katekisasi adalah pelayanan Gereja, di mana bukan saja dalam arti bahwa Gereja yang menyelenggarakannya tetapi juga bahwa Gereja yang bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaannya. Tujuan katekisasi ialah bukan pertama-tama supaya anak-anak diteguhkan menjadi anggota sidi dan dengan itu

26

(8)

menjadi anggota penuh dari Gereja. Tujuan katekisasi sesungguhnya ialah supaya anak-anak percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka dan dengan itu mendapat persekutuan dengan Dia. Selain itu katekisasi juga bertujuan untuk membina anggota jemaat untuk menyadari tugas mereka di dalam Gereja dan kemudian mempertanggujawabkan iman mereka di dalam dunia.27

Katekisasi adalah pelayanan jemaat sehingga yang pertama-tama bertanggungjawab atas pelayanan ini adalah Majelis Jemaat. Yang memiliki kerlibatan langsung dalam pelayanan katekisasi adalah pemimpin-pemimpin katekisasi, di mana mereka adalah orang-orang yang setiap minggu memimpin pelayanan itu. Biasanya pemimpin-pemimpin katekisasi adalah pendeta-pendeta Jemaat. Menurut Abineno, hal ini tidak selalu menguntungkan karena sebagai pendeta Jemaat mereka sangat sibuk dalam pekerjaan mereka. Selain itu, sebagai pendeta, mereka umumnya cukup mempunyai pengetahuan teologis. Tetapi untuk pelayanan katekisasi mereka membutuhkan lebih banyak daripada hanya pengetahuan teologis saja. Mereka membutuhkan juga pengetahuan-pengetahuan lain seperti dalam bidang paedagogis, didaktik, psikologis dan lain-lain. Justru dalam bidang-bidang ini lah mereka seringkali tidak mempunyai cukup pengetahuan. Selain pendeta, banyak gereja juga menggunakan tenaga dari jurusan PAK.28

Tugas dari pemimpin katekisasi menurut Abineno adalah: (1) menyusun rencana katekisasi tahunan yang ditugaskan oleh Majelis Jemaat kepadanya. Rencana katekisasi ini dapat memuat banyak hal: bukan saja bahan-bahan pengajaran untuk satu tahun, tetapi juga buku-buku katekisasi yang digunakan, metode atau cara yang dipakai, waktu yang dibutuhkan, tujuan yang mau dicapai

27

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 99-100.

28

(9)

dan lain-lain.29

Unsur-unsur yang terkandung dalam rencana katekisasi yang dimaksud oleh Abineno dapat dikategorikan sebagai kurikulum katekisasi. Di beberapa sinode, penyusunan kurikulum menjadi tugas dan tanggung jawab sinode tetapi setiap gereja berhak untuk menyusun kurikulum sendiri menyesuaikan keadaan jemaatnya. (2) mempersiapkan katekisasi (bahan yang mau diajarkan dengan pengikut-pengikutnya) dengan baik. (3) menilai atau mengevaluasi setiap mengajaran yang diberikan. (4) mengadakan percakapan dengan pengikut-pengikut katekisasi, khususnya tentang hal-hal yang tidak dapat mereka cerna atau sulit pahami. (5) mengadakan pertemuan dengan para orang tua dan Majelis Jemaat untuk membicarakan tugas mereka bersama. (6) mengadakan kunjungan ke rumah para orang tua untuk membicarakan keadaan anak-anak mereka yang sedang mengikuti katekisasi.30

Sebagian besar gereja-gereja di Indonesia memberi batas usia minimal bagi katekumen ialah mulai dari usia 16 tahun hingga dewasa. Menurut Fowler, Ketika berada dalam usia remaja, seseorang berada dalam tahap kepercayaan sintetis-konvensional.31 Dalam tahap ini terjadi perombakan baru dalam struktur pengertian remaja. Muncul berbagai macam kemampuan kognitif yang membuat remaja terpaksa meninjau kembali pandangan hidupnya. Dalam konteks baru tersebut remaja dapat menyusun gambaran diri yang baru pula. Gambaran ini dibangun dalam ketergantungannya pada orang-orang lain yang berarti baginya. Banyaknya pribadi lain yang memengaruhi penyusunan gambar diri ini terkadang bertentangan satu sama lain. Hal ini yang kemudian memunculkan pertanyaan dalam diri remaja

29

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 106.

30

Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 106-18.

31

(10)

tentang siapakah dia? Gambaran diri yang manakah yang sesuai dengan dirinya yang sebenarnya? dan pertanyaan mengenai jati diri mulai menghantui pikiran mereka.32 Selain itu, dalam usia remaja memiliki kondisi dan kebutuhan yang berbeda dari orang dewasa, antara lain:33

1. Masa remaja adalah masa transisi: mada masa ini anak berada dalam masa pubertas di mana ia m engalami perubahan, baik secara fisik maupun psikis. Selama masa ini terjadi banyak gejolak dalam berbagai bentuk. Pada masa ini, seorang anak mencoba meninggalkan hal-hal yang kekanak-kanakan dalam usahanya untuk menjadi seseprang dengan identitas yang unik.

2. Masa remaja adalah masa bertanya: pada masa ini umumnya remaja mulai mempertanyakan banyak hal yang sudah diajarkan kepada mereka. Banyak mitos masa kanak-kanak yang diragukan pada waktu mereka menemukan cara-cara baru dalam memandang realitas. Mereka tidak lagi percaya pada apa yang dikatakan atau diajarkan hingga mereka mendapatkan kepastian bahwa nilai-nilai serta kepercayaan tadi mempunyai validitas bagi kehidupan mereka yang mulai memasuki kedewasaan.

3. Masa remaja adalah masa keterbukaan: Bagi kebanyakan remaja, usaha mencari/mendapatkan identitas baru merupakan suatu proses yang penuh dengan coba-coba, yang menyebabkan karakteristik mereka sukar ditebak. Mereka akan menerima suatu hal pada suatu kesempatan, tetapi pada kesempatan lain mereka menolaknya sama sekali.

4. Masa remaja adalah masa mengambil keputusan: remaja sering membuat sejumlah keputusan dan komitmen. Beberapa diantaranya mungkin bertahan lama. Namun, apabila keputusan mereka akan menjadi sesuatu yang berarti,

32

Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler, 134-135.

33

(11)

keputusan tersebut haruslah merupakan akibat dari proses pemahaman dan pengujiannya sendiri. Mereka membuat sejumlah besar keputusan yang tidak dewasa, namun dengan melakukan hal itu mereka merasa puas atau memenuhi diri sendiri. Upaya mereka untuk mencari kebebasan menyebabkan mereka membuat sebanyak mungkin keputusan yang dapat membimbing kehidupan mereka.

Menurut Abineno, ada banyak perbedaan yang dapat dijumpai dalam diri mereka, di antaranya: (1) perbedaan motivasi: yang seorang datang mengikuti katekisasi karena diharuskan oleh orang tuanya, yang lain datang karena kemauannya. (2) perbedaan umur: dalam katekisasi sidi biasanya terdapat anak-anak muda yang berumur tujuh belas tahun keatas. (3) perbedaan pendidikan: perbedaan ini biasanya lebih menonjol. Dalam katekisasi sidi terdapat anak-anak muda yang hanya berpendidikan rendah, ada pula yang menengah maupun yang tinggi. (3) perbedaan maksud dan tujuan: ada yang datang mengikuti katekisasi karena ia mau memperdalam pengetahuannya tentang “soal-soal rohani”, dan ada

pula yang datang karena ia mau mengetahui lebih banyak tentang agama Kristen.34

Perkembangan remaja dan perbedaan-perbedaan dalam diri remaja ini tentu saja memengaruhi proses pengajaran katekisasi, sehingga para pengajar dituntut untuk mampu menyesuaikan bentuk pengajarannya agar dapat diterima oleh semua kelompok usia, pendidikan maupun perbedaan latar belakang lainnya.

2.2Kurikulum Pendidikan Agama Kristen

Berbicara mengenai pendidikan, hal ini tidak terlepas dari apa yang disebut dengan kurikulum. Pengertian kurikulum sendiri di antara para ahli tidak pernah sama. Mereka memiliki pandangan dan pengertian yang berbeda-beda mengenai kurikulum.

34

(12)

Beberapa ahli mengartikannya secara sempit (terbatas pada rancangan/daftar materi pelajaran) dan ada pula yang mengartikannya secara luas (mencakup seluruh proses pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas). Salah satu definisi kurikulum yang Peneliti gunakan dalam penulisan ini adalah definisi kurikulum oleh Hilda Taba seperti yang dikutip dalam Rakhmat Hidayat. Ia memilih untuk mendefinisikan kurikulum dengan mengambil jalan tengah, yaitu tidak secara sempit dan tidak pula terlampau luas. Taba mengatakan bahwa kurikulum adalah pernyataan tentang tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat umum dan khusus, dan materinya dipilih dan diorgnanisasikan berdasarkan suatu pola tertentu untuk kepentingan proses belajar-mengajar. Biasanya dalam suatu kurikulum sudah termasuk dengan program penilaian hasilnya.35 Taba seperti yang dikutip dalam Nasution juga menambahkan bahwa pada hakikatnya tiap kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakatnya.36

Pengertian Kurikulum lainnya, menurut UU. No. 20 Tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.37 Dalam menyikapi perbedaan definisi ini, harus disadari bahwa kurikulum merupakan pilihan, di mana hal ini bergantung pada pendirian atau sikap seseorang tentang pendidikan. Pada umumnya dapat dibedakan dua pendirian utama, yakni yang tradisional dan yang progresif. Kurikulum tradisional sifatnya ingin mengawetkan yang lama. Hal ini tidak selamanya buruk dan merugikan jika yang diawetkan adalah hal-hal yang baik seperti nilai-nilai, dan sebagainya. Namun dalam masa perubahan yang serba dinamis ini menutup mata bagi perubahan akan merugikan

35

Rakhmat Hidayat, Pengantar sosiologi kurikulum (Jakarta: Rajawali pers, 2011), 9

36

S. Nasution, Asas-asas kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 7

37

(13)

diri sendiri. Sebaliknya kurikulum progresif juga tidak dengan sendirinya baik dan luput dari berbagai kekurangan. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi.38

Di dalam Pendidikan Agama Kristen secara khusus, terciptanya keputusan-keputusan secara langsung dapat memengaruhi praktek pendidikan secara aktual. Keputusan-keputusan ini secara khusus berkaitan dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi sebuah kurikulum. Para pendidik Kristen bisa mengeksplorasi hal-hal mendasar dari kurikulum degan berfokus pada realitas yang konkrit dan kepedulian untuk mengembangkan panduan praktis bagi pengajaran.39 Pengambilan keputusan mengenai kurikulum bersifat krusial karena melalui kurikulum, nilai-nilai pendidikan dan komitmen mengambil bentuknya dan secara nyata diwujudkan dalam praktek pendidikan. Kurikulum adalah saranan atau medium yang melaluinya visi pendidikan mampu berakar.40

Ketika mengambil keputusan untuk menggunakan kurikulum yang sudah ada, ada beberapa area penting yang harus dieksplorasi. Pertama, apakah teologi yang digunakan penyusun kurikulum sesuai dengan teologi yang dianut gereja? apakah konsep teologi yang ada dalam kurikulum tersebut sesuai bagi peserta didik dari berbagai tingkat usia dan komprehensif dalam penyampaiannya? Kedua, apakah kurikulum tersebut menyatakan Alkitab sebagai otoritas tertinggi yang dijunjung oleh gereja atau komunitas yang dilayani? Apakah aktivitas pembelajaran bervariasi dan relevan dengan situasi hidup mereka? Apakah peserta didi secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan ditantang untuk menjawab pertanyaan tentang iman Kristen yang tepat? Apakah rencan pembelajaran memberikan kesempatan untuk mengadaptasi materi supaya bisa disesuaikan dengan batasan waktu, sumber daya yang tersedia, ukuran kelas, dan berbagai kemampuan peserta didi yang berbeda? Apakah materi yang disampaikan

38

Nasution, Asas- asas kurikulum, 15.

39

Pazmino, Fondasi pendidikan kristen, 321.

40

(14)

sesuai dengan kebutuhan dan ketertarikan dan fokus dari peserta didik? Dan yang terakhir apakah tampilan, warnha dan kualitas materi yang disampaikan menarik dan membuat orang memperhatikannya?41

2.2.1 Konsep Kurikulum

Keberadaan kurikulum dalam suatu proses pendidikan dapat membantu dalam mengarahkan proses pendidikan menuju pada tujuan yang ingin dicapai. Selain memiliki beberapa definisi, kurikulum juga memiliki beberapa konsep, antara lain:42

1. Kurikulum ideal (ideal curriculum), yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang baik, yang diharapkan atau dicita-citakan, sebagaimana dimuat dalam buku kurikulum.

2. Kurikulum nyata (real curriculum), yaitu kegiatan-kegiatan nyata yang dilakakukan dalam proses pembelajaran atau yang menjadi kenyataan dari kurikulum yang direncanakan, sebagaimana dimuat dalam buku kurikulum. Kurikulum ini seyogianya sama dengan kurikulum ideal, atau sekurang-kurangnya mendekati kurikulum ideal, meskipun tak mungkin sama dalam kenyataannya.

3. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yaitu kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh pengajar baik disengaja maupun tidak yang dapat memberikan dampak dalam proses pendidikan.

4. Kurikulum dan pembelajaran, yaitu kurikulum bukan sekedar apa yang dirancangkan di awal, tetapi mencakup apa yang dilaksanakan di lapangan (termasuk metode pengajaran yang digunakan, tenaga pengajar, peserta didik hingga tujuan yang ingin dicapai).

41

Pazmino, Fondasi pendidikan kristen,328-329 42

(15)

2.2.2 Komponen Kurikulum

Ralph W. Tyler dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction (1949) mengajukan 4 pertanyaan pokok, yakni:43

1) Tujuan apa yang harus dicapai dalam proses pendidikan?

2) Bagaimanakah memilih bahan pengajaran guna mencapai tujuan itu? 3) Bagaimana bahan disajikan agar efektif diajarkan?

4) Bagaimana efektivitas belajar dapat dinilai?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka diperoleh keempat komponen kurikulum yakni, (1) tujuan, (2) bahan pelajaran, (3) proses belajar-mengajar, (4) evaluasi atau penilaian.44

1) Komponen Tujuan

Komponen kurikulum mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis, karena akan mengarahkan dan memengaruhi komponen-komponen kurikulum lainnya. Setiap rumusan tujuan pendidikan harus bersifat komprehensif, yaitu mengandung bidang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. Dalam penyusunan kurikulum, perumusan tujuan ditetapkan terlebih dahulu sebelum menetapkan komponen yang lain.

2) Komponen Isi/ Materi

Isi/materi kurikulum pada hakikatnya adalah semua kegiatan dan pengalaman yang dikembangkan dan disusun dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. pemilihan isi kurikulum dapat mempertimbangkan kriteria sebagai berikut: (a) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, (b) sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, (c) bermanfaat bagi peserta didik, masyarakat, dunia kerja, bangsa dan negara, baik untuk masa sekarang maupun masa yang

43

Nasution, Asas- asas kurikulum, 17.

44

(16)

akan datang, dan (d) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3) Komponen Proses

Proses pelaksanaan kurikulum harus menunjukkan adanya kegiatan pembelajaran, yaitu upaya guru untuk membelajarkan peserta didik, baik di sekolah melalui kegiatan tatap muka, maupun di luar sekolah melalui kegiatan terstruktur dan mandiri. Dalam konteks ini, guru di dituntut untuk menggunakan berbagai strategi pembelajaran, metode mengajar, media pembelajaran, dan sumber-sumber belajar. Pemilihan strategi pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan kurikulum.

4) Komponen Evaluasi

Evaluasi kurikulum merupakan usaha yang sulit dan kompleks, karena banyak aspek yang harus dievaluasi, banyak orang yang terlibat, dan luasnya kurikulum yang harus diperhatikan. Ada beberapa model evaluasi kurikulum, antara lain model measurement (Thorndike dan Ebel), model congruence

(Ralph W. Tyler), model CIPP (Daniel L. Stufflebeam), model illuminative

(Malcolm Parlett), dan model formative dan sumative (Scriven).

(17)

Dalam menyusun keempat komponen kurikulum tersebut, pengajar terlebih dahulu melakukan Need Assesment. Need Assesment sendiri merupakan proses dimana pengajar melihat kebutuhan dari peserta didik dan memutuskan apa prioritas mereka atau apa yang hendak dicapai dalam proses pendidikan tersebut.45 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Asas kurikulum, Need Assesment dan komponen kurikulum memiliki kaitan yang erat satu dengan yang lain, di mana dalam penyusunan komponen kurikulum, dibutuhkan need assesment yang didasarkan pada asas-asas kurikulum.

2.3Latar Belakang Munculnya Pedagogi Pembebasan Paulo Freire

Kata Pedagogi berasal dari bahasa Yunani paidaegoge. Secara harafiah pedagogi berarti “memimpin anak”. Dalam bahasa Yunani Kuno, umumnya kata pedagogi

bermakna seorang budak yang mengawasi pengajaran putra majikannya. Ketika itu, anak perempuan tidak umum diberikan pengajaran khusus. Kata pedagogi ini diturunkan dari bahasa Latin yang bermakna: mengajari anak. Dalam makna modern, istilah pedagogy

dalam bahasa Inggris merujuk kepada seluruh konteks dan sumber daya operasi pengajaran dan pembelajaran yang secara nyata terlibat di dalamnya. Pedagogy dalam bahasa Inggris merujuk kepada teori pengajaran, dimana guru berusaha memahami bahan ajar, mengenali siswa, dan menentukan cara mengajarnya.46

Walaupun secara harafiah pengertian pedagogi dalam bahasa Yunani Kuno dan dalam bahasa Inggris memiliki perbedaan, tetapi keduanya sama-sama berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran.

Pedagogi Pembebasan muncul sebagai reaksi atas keprihatinan Freire terhadap kondisi masyarakat Brasil pada masa penjajahan. Pada masa itu, Brasil berada di bawah

45

John D. McNeil, Contemporary Curriculum: In thought and Action (Los Angels: University of California, 2014), 91-92.

46

(18)

kekuasaan Portugal. Salah satu ciri yang menonjol dari masyarakat Brasil pada saat itu adalah tidak adanya pengalaman demokrasi. Hampir semua penganalisis sejarah dan kebudayaan Brasil mencatat tentang tidak adanya prasyarat-prasyarat bagi berkembangnya tindakan partisipasi, yang memungkinkan terbentuknya masyarakat “dengan tangan sendiri”. Brasil berkembang dalam kondisi-kondisi yang menghalangi

bertambahnya pengalaman demokrasi, kondisi kepala tertunduk, ketakutan terhadap mahkota, tiadanya pers, tanpa hubungan luar negeri, tanpa sekolah, dan tanpa memiliki suara sendiri. 47

Kolonialisasi yang terjadi sangat keji dan didasari oleh eksploitasi ekonomi aras pemilikan tanah yang luas dan tenaga budak. Kolonisasi semacam ini tidak dapat menciptakan kondisi-kondisi yang layak untuk berkembangnya mentalitas yang dapat ditembus dan fleksibel, yang menjadi ciri kebudayaan demokratis. Sejak semula, kolonisasi di Brasil hanya mementingkan usaha komersial. Portugal tidak berniat menciptakan peradaban di tanah jajahan yang baru, ia hanya berusaha untuk memperoleh keuntungan.48

Kolonisasi di Brasil juga berkembang atas dasar pemilikan tanah yang luas dalam bentuk perkebunan dan pabrik gula. Areal tanah yang sangat luas ini diberikan kepada pribadi-pribadi, yang kemudian menguasai baik tanah maupun orang-orang yang hidup dan bekerja atas tanah itu. Karena pemilikan tanah yang luas dan terpisah-pisah ini, penduduk tidak punya pilihan lain selain menjadi anak buah dari para tuan tanah yang berkuasa. Pada akhirnya, perkebunan yang sangat luas, langkanya penduduk karena negara induk menghambat usaha pemukiman, semangat dagang para perantai, mengakibatkan terciptanya lembaga perbudakan. Kenyataan ini menciptakan serangkaian

47

Paulo Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan. Terj. Alois A. Nugroho(Jakarta: Gramedia. 1984), 21.

48

(19)

hambatan dalam pembentukan mentalitas demokrasi, dan pembentukan kesadaran yang terbuka.49

Pada masa penjajahan, Portugal memperlakukan Brasil menjadi hampir terisolasi total. Pembatasan-pembatasan drastis dikenakan tidak hanya untuk hubungan-hubungan luar negeri, tetapi juga untuk hubungan-hubungan antar daerah sendiri. Selain itu, di Brasil hampir tidak terdapat cita-cita demokrasi. Yang ada ialah kepatuhan yang telah diciptakan oleh metropolit Portugal. Mereka yang memerintah sesudah masa kemerdekaan hanya menirukan cara penjajah pemerintah. Selain itu, kabinet dan senat kolonial memberikan kesempatan untuk pengalaman demokrasi, tetapi rakyat tidak dapat berpartisipasi dalam lembaga-lembaga ini. kelas yang mempunyai hak-hak istimewa yang dapat memerintah dewan kota, yang namanya tercantum dalam buku orang-orang terhormat. Mereka merupakan wakil-wakil dari para bangsawan gula, para tuan tanah, para nigrat, dan juga para orang kaya baru yakni mereka yang telah berhasil dalam perdagangan dan diangkat menjadi bangsawan. Orang-orang biasa tidak diikutsertakan dalam proses pemilihan dan tidak diperbolehkan menentukan nasib masyarakatnya sendiri.50

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa munculnya pedagogi pembebasan terjadi ketika Brasil berada dalam masa kolonisasi. Di mana hal ini membuat masyarakat biasa tidak mendapat hak untuk menentukan pilihan. Pada masa ini, tidak ada demokrasi sehingga keputusan-keputusan yang diambil merupakan wewenang dari kaum-kaum penguasa. Masyarakat biasa menerima nasib mereka yang ditentukan oleh penguasa dan mereka menjadi budak di negara sendiri. Kaum-kaum elit menjalankan pemerintahan dengan kepentingan pribadi guna memperoleh keuntungan.

2.3.1 Awal Kemunculan Pedagogi Pembebasan Paulo Freire

49

Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan, 22 – 23.

50

(20)

Paulo Freire lahir dan dibesarkan dalam kalangan kelas menengah Brasil. Sekalipun latar belakang yang ia miliki menjaminnya untuk hidup terjamin, tetapi Freire mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929. Pengalaman ini yang kemudian membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun dunia pendidikannya yang menembus batas-batas yang ada. Seperti simbol kelas menengah yang lain, keluarga Freire juga selalu mengenakan dasi dan memiliki piano buatan Jerman di rumah mereka, menunjukkan warisan keluarga kelas menengah mereka tapi berdiri berbeda dengan kondisi sebenarnya mereka yang sebenarnya berada dalam kemiskinan. Merefleksikan situasi mereka, Freire mencatat, “Kami berbagi rasa lapar tapi tidak kelas”. Pengalaman hidup dan keprihatinan ini yang melatarbelakangi penolakan

radikal Freire terhadap masyarakat berbasis kelas.51 Adanya pembagian kelas di Brasil membuat hak-hak dari masyarakat biasa menjadi hilang. Mereka menjadi masyarakat yang tunduk dan patuh pada kekuasaan yang ada. Hak untuk memilih, menentukan, merasakan pendidikan, mendapatkan hidup layak hanya menjadi milik dari kaum bangsawan, tuan tanah dan masyarakat ekonomi menengah keatas lainnya.

Pedagogi Pembebesan yang diperkenalkan oleh Freire muncul sebagai reaksi atas situasi Brasil yang mulai bergejolak sehingga menimbulkan banyak gerakan reformasi di awal tahun 1960an. Dari 34,5 juta penduduk, hanya 15,5 juta orang yang dapat berpartisipasi dalam memberikan suara. Hal ini dikarenakan banyak masyarakat pedesaan yang miskin dan buta aksara. Harapan akan perubahan ini yang membawa Freire menjadi kepala Cultural Extention Service yang pertama di Universitas Recife, yang membawa program melek hurufnya yang terkenal sebagai

51

(21)

metode Freire kepada petani di Timur Laut. Mulai Juni 1963 sampai maret 1964, Tim Freire bekerja di seluruh negeri. Mereka menyatakan diri berhasil dalam menarik minat orang dewasa yang buta huruf untuk belajar membaca dan menulis hanya dalam waktu 45 hari.52

Metode yang diperkenalkan Freire ini menjadi sangat berhasil karena proses penyadaran yang digunakan Freire untuk menggambarkan pendidikan yang otentik. Kepasifan dan fatalisme para petani dengan segera menyusut saat kemampuan baca tulis dapat diraih dan dihargai. Namun karena metode ini dianggap mempolitisir dan sangat radikal di mata militer Brasil dan para pemilik tanah, Freire dimasukkan ke dalam penjara selama 70 hari. Di dalam penjara inilah Freire mulai menuliskan karya kependidikannya yang pertama Educacao como Practicia da Liberdade

(Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan) yang berisi analisis atas kegagalannya memengaruhi perubahan di Brasil harus diselesaikan di Chili, tempat ia dibuang.53

Kritik dari Freire menyajikan suatu pandangan filosofis tentang kemungkinan dari para lelaki dan perempuan untuk mentransformasikan sejarah dan menjadi subjek-subjek melalui suatu refleksi yang kritis. Freire beranggapan bahwa mereka dapat menemukan diri mereka sendiri. Setiap orang datang untuk melihat dunia bukan sebagai realitas statis tetapi sebagai realitas dalam proses transformasi. Freire membandingkan kemungkinan ontologis setiap orang untuk menjadi subjek dengan suatu masyarakat tertutup yang terjajah, di mana kekuasaan dijalankan oleh mereka yang mengeksploitasi Brasil hanya untuk dikembalikan kepada portugal. Kritik ini membawa Freire pada upaya untuk membebaskan masyarakat biasa dari penindasan yang tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya tetapi juga dalam bidang pendidikan.

52

Denis Collin, Paulo Freire: kehidupan, karya dan pemikirannya (Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 1999), 9-11. 53

(22)

Melalui refleksi dan analisisnya, Freire menemukan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri yang bersifat objektif dan subjektif dalam arti kesadaran subjektif dan kemampuan objektif adalah suatu fungsi dialektis yang konstan dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur dalam hubungan dialektisnya yang konstan yaitu pengajar dan pelajar sebagai subjek yang sadar dan realitas dunia sebagai objek yang tersadari atau disadari.54 Dengan proses semacam inilah, Freire mengharapkan agar masyarakat tidak lagi menerima keadaan mereka sebagai sebuah nasib yang harus diterima dan tidak dapat diperbaiki. Ia mencoba mengajak masyarakat biasa untuk melihat realita yang ada melalui sudut pandang dan refleksi kritis mereka sendiri.

Sistem pendidikan seharusnya menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Sistem pendidikan yang mapan selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia terasing dan terpisah dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri. Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi

penonton dan peniru, bukan pencipta. Akhirnya Freire sampai pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakan sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama

dengan, dan bukan diperuntukkan bagi kaum tertindas. Untuk itu, Freire kemudian menciptakan suatu sistem pendidikan pembaharuan di mana bagi Freire,

54

(23)

pendidikan ditujukan untuk pembebasan dan bukan untuk penguasaan. Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial budaya.55

Sambil menjalani hidup bersama dengan penduduk tani Brasil, Freire melakukan redefinisi dan melihat konsep pemberantasan buta huruf dari kacamata politik, Freire mengembangkan analisa kritis yang sama di mana dia menegaskan bahwa bentuk pendidikan tradisional pada dasarnya berfungsi untuk menyingkirkan kaum tertindas. Lebih dari itu, dia juga mengeksplorasi secara mendalam karakteristik budaya yang mendominasi, dan melakukan analisa secara sistematis bagaimana budaya tersebut hidup dengan adanya praktik-praktik sosial dan buku-buku tertentu yang bertujuan menciptakan dan menjaga keberlangsungan budaya bisu masyarakat Brasil.56

Meskipun Freire tidak menggunakan istilah kurikulum maupun hidden curriculum dalam wacananya, tetapi ia menggunakan pendekatan pedagogis sehingga peserta didik dapat mengetahui bahwa pendidikan dengan materi pelajaranya mengandung muatan ideologis yang bentuk, isi dan pengurangan materi pelajaran yang dilakukan secara selektif membutakan orang akan adanya logika dominasi dan tertindas. Kemudian Freire menjelaskan hubungan antara seleksi, diskusi dan evaluasi materi pelajaran di sekolah dengan proses pedagogis yang melengkapi fenomena pendidikan saat ini. Dalam pandangannya, tidak mungkin memisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena penyelenggaraan pendidikan pasti berkaitan erat dengan pengetahuan dan gerakan sosial yang radikal.57

2.3.2 Kritik Terhadap Model Pendidikan Gaya Bank Yang Menindas

55

Freire, Politik pendidikan, xii - xiii.

56

Freire, Politik pendidikan, 10-11.

57

(24)

Sekalipun Brasil telah terlepas dari penjajahan Portugal, sistem pemerintahan yang berlangsung pada masa itu masih banyak dipengaruhi oleh sistem kolonialisme Portugal. Sistem ini membuat para penguasa menjadi subjek-subjek aktif yang berhak mengatur dan menentukan, sedangkan masyarakat biasa menjadi sekedar objek-objek yang wajib menerima pandangan dan keputusan dari pengusa. Hal ini juga terjadi dalam sistem pendidikan yang ada dan berlangsung pada saat itu. Freire melihat bahwa pada masa itu, model pendidikan yang berlangsung masih bersifat naratif dengan ciri utamanya adalah guru sebagai subyek bercerita dan murid-murid sebagai obyek yang patuh dan mendengarkan. Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi empiris dari realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Guru menceritakan sebuah topik yang asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Tugasnya dalah “mengisi” para murid dengan segala bahan yang dituturkan,

bahan-bahan yang lepas dari realitas, terpisah dari totalitas yang melahirkan dan dapat memberinya arti. Murid mencatat, menghafal dan mengulangi apa yang diceritakan oleh guru tanpa memahami apa arti sesungguhnya.58

Freire melihat bahwa sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) di

mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditas ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mapan dan berkuasa, sementara depositornya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun

58

(25)

lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana

tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya

kelak.59 Jadi guru adalah subyek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek pasif yang penurut. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihafalkan.

Pembicaraan guru tentang suatu realitas itu seolah-olah bergerak, statis, terkotak dan dapat diprediksi. Substansi yang disampaikan guru bagaikan alur cerita sinetron yang mudah dibaca dan membosankan. Seandainyapun guru berusaha memperluas sesuatu yang sepenuhnya asing bagi pengalaman eksistensial murid, hal itu tetap kurang menyentuh realitas. Tugas guru seakan-akan hanya untuk “mengisi” murid dengan isi narasi versi guru yang terlepas dari realitas,

terputus dari totalitas pemaknaan yang sesungguhnya dikehendaki atau bermanfaat bagi murid. Apa yang guru ajarkan hanya kisaran format: lima kali lima adalah dua puluh lima; Ibukota Indonesia adalah Jakarta dan sebagainya. Murid hanya mencatat, menghafal, dan mengulangi ungkapan-ungkapan guru tanpa memahami apa esensi “lima” atau apa esensi “ibu kota”.60

Pendidikan bercerita dengan guru sebagai pencerita akan mengarahkan murid untuk menghafal secara mekanis isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk lagi, murid diubah menjadi “bejana-bejana” atau wadah-wadah kosong untuk diisi

oleh guru. Semakin penuh guru mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula ia sebagai seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai murid. Pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan

59

Freire, Politik pendidikan, x-xi.

60

(26)

pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan

patuh oleh para murid.61 Hal ini yang dimaksud oleh Freire sebagai konsep pendidikan “gaya bank”, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Padahal menurut Freire, tanpa usaha mencari, tanpa praksis, manusia tidak akan menjadi benar-benar manusiawi.

Dalam konsep “pendidikan gaya bank”, pengetahuan adalah hadiah yang

diberikan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan atas orang-orang yang mereka anggap tidak tahu apa-apa. Inilah karakteristik dari ideologi penindasan, meniadakan pendidikan dan pengetahuan sebagai proses penyelidikan, pemecahan masalah atau pencarian dan penemuan. Pekerjaan murid tidak lebih dari menyimpan deposito yang dipercayakan kepada mereka. Murid kurang mengembangkan kesadaran kritis akan hasil dari intervensi mereka di dunia sebagai transformator dari dunia itu. Semakin benar-benar mereka menerima peran pasif yang dikenakan pada mereka, semakin mereka cenderung hanya beradaptasi dengan dunia seperti apa adanya.62

Secara sederhana, Freire menggambarkan keadaan dalam pendidikan gaya bank seperti demikian:63

1. Guru mengajar, murid diajar

2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa 3. Guru berpikir, murid menyadap pikiran guru

4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan 5. Guru menentukan peraturan, murid diatur

6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui

61

Freire, Pendidikan kaum tertindas, 52.

62

Danim, Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi, 79-80.

63

(27)

7. Guru bertindak, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya

8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu

9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid

10.Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka

Tidak mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Semakin banyak murid menyimpan tabungan yang dititipkan kepada merekam semakin mereka kurang dalam mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut. Semakin penuh mereka menerima peran pasif yang disodorkan kepada dirinya, mereka semakin cenderung menyesuaikan diri dengan dunia menurut apa adanya serta pandangan terhadap realitas yang terpotong-potong sebagaimana yang ditanamkan kepada diri mereka.64

2.3.3 Mengganti Model Pendidikan Gaya Bank (Banking Style of Education)

Dengan Pendidikan Hadap Masalah (Problem posing Education)

Dalam pengamatan freire, praktek pendidikan selalu mencakup: subjek atau pelaku (orang yang mengajar dan memberitahu); orang yang belajar, tetapi turut serta “memberi pelajaran”; objek yang harus diajarkan atau diberitahu; metode

yang digunakan oleh orang yang mengajar untuk menyampaikan isi pengajaran.65 Bagi Freire, hanya melalui komunikasi manusia dapat menemukan hidup yang bermakna. Guru tidak dapat berpikir untuk murid-muridnya, atau tidak dapat

64

Freire, Pendidikan kaum tertindas, 54-55.

65

(28)

memaksakan pikirannya pada mereka. Model pendidikan gaya bank akan selalu berusaha mengendalikan pikiran dan tindakan, mengarahkan manusia agar menyesuaikan diri terhadap dunia dan menghalangi kemampuan kreatif mereka. Untuk itu Freire menawarkan suatu konsep pendidikan yang membebaskan yang disebutnya sebagai pendidikan hadap masalah. Model pendidikan hadap masalah ini pertama-tama menuntut adanya pemecahan masalah kontradiksi antara guru dan murid. Hubungan dialogis yang harus ada pada para pelaku pemahaman untuk bersama-sama mengamati obyek yang sama.66

Pendidikan hadap masalah ini menolak pola hubungan vertikal dalam pendidikan gaya bank. Melalui dialog, guru tidak lagi menjadi orang yang mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialogi dengan para murid, yang pada akhirnya di samping diajar mereka juga mengajar. Mereka semua bertanggung jawab terhadap suatu proses tempat mereka tumbuh dan berkembang. Metode ini tidak akan menganggap obyek-obyek yang dapat dipahami sebagai milik pribadi, tetapi sebagai obyek refleksi para murid serta dirinya sendiri. Dengan cara ini, pendidik hadap masalah secara terus menerus memperbaharui refleksinya di dalam refleksi para murid. Murid yang bukan lagi pendengar yang penurut telah menjadi rekan pengkaji yang kritis melalui dialogi dengan guru. Guru menyajikan pelajaran kepada murid sebagai bahan pemikiran mereka, dan menguji kembali pemikirannya yang terdahulu ketika murid mengemukakan hasil pemikiran sendiri.67

Pendidikan gaya bank berusaha mempertahankan penenggelaman kesadaran, sementara pendidikan hadap masalah berjuang bagi kebangkitan kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas. Melalui pendidikan hadap masalah

66

Freire, Pendidikan kaum tertindas, 64.

67

(29)

ini juga, murid yang semakin banyak dihadapkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehadiran mereka di dalam bersama dengan dunia, akan merasa semakin ditantang dan berkewajiban untuk menjawab tantangan ini.68

Jawaban mereka terhadap tantangan itu menimbulkan tantangan-tantangan baru, kemudian disusul dengan pemahaman-pemahaman baru pula. Pada akhirnya secara bertahap mereka akan merasa memiliki keterlibatan.

Dalam pendidikan hadap masalah, manusia mengembangkan kemampuannya untuk memahami secara kritis relitas mereka di dalam dunia dan bagaimana mereka menemukan diri sendiri. Mereka akan memandang dunia bukan sebagai realitas yang statis, tetapi sebagai realitas yang berada dalam proses, dalam gerak perubahan. Konsep dan praktik pendidikan hadapa masalah dan pendidikan gaya bank terlihat saling bertentangan. Konsep pendidikan gaya bank menolak dialog; sementara pendidikan hadap masalahh menganggap dialog sebagai prasyarat bagi laku pemahaman untuk menguak realitas.

Pendidikan gaya bank memperlakukan murid sebagai obyek yang harus ditolong; sementara pendidikan hadap masalah menjadikan mereka pemikir yang kritis. Pendidikan gaya bank menghalang-halangi kreativitas dan menjinakkan

intensionalisas kesadaran dengan cara mengisolasi kesadaran itu dari dunia, yang dengan demikian menolak fitrah ontologis dan kesejarahan manusia untuk menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan hadap masalah mendasari dirinya atas kreativitas serta mendorong refleksi dan tindakan yang benar atas realitas (praksis), dan

68

(30)

dengan cara itu menyambut fitrah manusia yang akan menjadi makluk sejati hanya jika terlibat dalam pencarian dan perubahan kreatif.69

2.3.4 Konsientisasi Sebagai Tujuan Pendidikan Pembebasan

Freire, dengan programnya di perkampungan kumuh Brasil, memulainya dengan mengkonseptualisasikan sebuah proses penyadaran yang mengarah pada konsep pembebasan yang dinamis dan pada apa yang disebutnya sebagai “kemanusiaan yang lebih utuh”. Hasil dari proses ini dinamakannya

conscientizacao, atau tingkat kesadaran di mana setiap individu mampu melihat sistem sosial secara kritis. Mereka dapat memahami akibat-akibat yang saling kontradiktif dalam kehidupan mereka sendiri, dapat menggenaralisasikan kontradiksi-kontradiksi tersebut pada lingkungan lain di sekelilingnya dan dapat mentransformasikan masyarakat secara kreatif dan bersama-sama.70

Freire mendeskripsikan conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya; proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase: kesadaran magis, naif dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tiga aspek berdasarkan tanggapan-tanggapan responden atas pertanyaan eksistensial berikut: apa masalah-masalah yang paling dehumanitatif dalam kehidupan kalian? (penamaan); apa penyebab dan konsekuensi dari masalah-masalah tersebut? (berpikir); dan apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut? (aksi).71

Orang-orang dalam fase kesadaran magis menyesuaikan dengan kehidupan di mana mereka tinggal. Mereka mendefinisikan masalah dengan mengaitkannya pada persoalan-persoalan cara bertahan hidup dan merasa bahwa

69

Freire, Pendidikan kaum tertindas, 69-70.

70

Willam A. Smith, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihartoro(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 3.

71

(31)

masalah-masalah ini disebabkan oleh kekuasaan-kekuasaan yang di luar jangkauan mereka. Tingkat kesadaran naif, di mana individu tertindas ingin memperbaharui sistem yang telah dirusak oleh orang-orang jahat yang melanggar norma dan aturan, bisa dibagi menjadi dua sub kesadaran: menyalahkan diri sendiri dan menyalahkan individu lain yang dianggap menindas dan merugikan. Individu-individu yang berkesadaran kritis menganggap sistem ini perlu ditransformasi.72 Perkembangan individu ini tidak dimulai dengan kesadaran kritis dan kemudian menjadi kesadaran magis, bukan dari kesadaran magis langsung ke kesadaran kritis, juga bukan secara acak. Perkembangan adalah kemajuan dari kesadaran naif ke kesadaran kritis; perkembangan ini muncul seiring dengan bergulirnya roda dunia.73

Proses penyadaran tersebut merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang tidak boleh berhenti, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingat “kesadaran naif” sampai ke tingkat “kesadaran kritis”, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni “kesadaran-nya kesadaran” (the consice of the consciousness). Jika seseorang

sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itu pun mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan suatu “sistem kesadaran”, sedangkan orang yang

menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar

72

Smith, Conscientizacao, 101-102.

73

(32)

apa yang dikatakannya, dari mana ia tlah menerima hafalan yang dinyatakan itu, dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat itu.74

Penyadaran pada umumnya, dan conscientizacao pada khususnya, memperhatikan perubahan-perubahan hubungan antarmanusia yang akan memperbaiki penyelewengan manusia. Conscientizacao bukanlah teknik untuk mentransfer informasi, atau bahkan untuk pelatihan keterampilan, tetapi merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah eksistensial mereka. Conscientizacao

mengemban tugas pembebasan, dan pembebasan itu berarti penciptaan norma, aturan, prosedur dan kebijakan baru.75

Pesan yang ingin disampaikan Freire dari konsep pendidikannya relatif cukup jelas. Jika pendidik yang radikal mengetahui makna kebebasan, mereka pertama-tama harus menyadari bentuk-bentuk dominasi, di mana dominasi itu tumbuh subur, dan masalah apa yang dihadapi mereka yang ditindas oleh dominasi itu secara subjektif maupun objektif. Akan tetapi proyek ini tidak akan mungkin terlaksana jika mereka tidak mengetahui karakteristik sejarah dan kebudayaan yang spesifik, bentuk-bentu kehidupang sosial, siapa kelompok penindas dan siapa yang tertindas, sebagai titik awal melakukan analisa.76

Bagi Freire, pendidikan bukanlah pengorganisasian fakta yang sudah diketahui sedemikian rupa sehingga orang bodoh melihatnya sebagai sesuatu yang baru. Conscientizacao adalah sebuah pencarian jawaban-jawab secara kooperatif atas masalah-masalah yang tak terpecahkan yang dihadapi oleh sekelompok orang. Dengan demikian, tidak ada “ahli” yang mengetahui jawaban-jawaban tersebut dan

yang pekerjaannya mentransfer jawaban-jawaban tadi. Setiap individu memiliki

74

Freire, Politik pendidikan, xvii-xviii.

75

Freire, Politik pendidikan, 4.

76

(33)

kebenaran yang sama, tetapi berbeda dalam hal cara melihat persoalan yang harus didefinisikan dan cara mencari jawabannya yang harus diformulasikan. Partisipasi bukanlah sebuah alat pendidikan yang tepat, tetapi merupakan inti dari proses pendidikan.77 Pada dasarnya, tujuan dari model pendidikan yang diusulkan Freire agar pendidikan dapat membawa individu bersentuhan dengan dunia secara kritis. Dengan kata lain, tugas dari pendidikan adalah menghadirkan pertanyaan-pertanyaan, bukan menyediakan jawaban-jawaban. Pendidikan yang harapkan Freire adalah yang bersifat dialogis dan mendorong tumbuhnya hubungan-hubungan horisontal antar individu ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

2.3.5 Pendidikan dan Teologi Pembebasan

Pedaogogi pembebasan yang usung oleh Freire memiliki kaitan yang erat dengan teologi pembebasan. Teologi pembebasan sendiri pertama kali muncul di Amerika Latin pada tahun 1970-an. Motivasi berteologi pembebasan pertama-tama bukan untuk menciptakan ideologi yang membenarkan suatu status quo.

Bukan pula sebagai obat penenang pada saat iman mendapat tantangan dari sekularisme dan konsumerisme. Tetapi motivasi terdalam berteologi adalah untuk membiarkan diri kita dinilai oleh sabda Allah.78 Gebrakan baru dalam berteologi ini tidak terletak pada kajian dan isi pengajaran melainkan pada metode dan cara berteologinya. Cara berteologi pembebasan adalah transformatif, bertolak dari praksis atau iman yang dialami dalam sejarah tertentu.79 Menurut Gutierrez, teologi

77

Smith, Conscientizacao, 4-5.

78

Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation (USA: Ninth Printing, 1981), ix –x.

79

(34)

bukan merupakan kebijaksanaan dan bukan juga pengetahuan rasional, melainkan refleksi kritis atas praksis yang diterangi oleh sabda Injil.80

Praksis yang dimaksud adalah praksis untuk pembebasan manusia. Bukan saja pembebasan dari kendala sosial, ekonomi dan politik di dunia, melainkan pembebasan yang utuh dan menyeluruh sebagaimana manusia dicintai Allah untuk berpartisipasi dalam citra-Nya. Menurut Gutierrez dalam Nitiprawiro, pembebasan bukan saja sebuah proses, melainkan juga sebuah matrik berbagai tataran arti yang saling bertautan: (1) pembebasan ekonomi, sosial, dan politik; (2) pembebasan manusiawi, yang menciptakan manusia baru dalam masyarakat solidaritas yang baru; (3) pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan Allah dan semua manusia.81

Menurut Freire, gereja-gereja tradisional telah bersekutu dengan kelompok penguasa, baik secara sadar maupun tidak. Oleh karena itu, peranan yang dapat dimainkan oleh gereja dalam bidang pendidikan tergantung pada cara pandang mereka terhadap dunia, agama manusia dan takdir. Dalam gereja tradisional ini, seolah kaum tertindas menemukan semacam obat penyembuh atas keletihan hidupnya. Pada akhirnya, semakin banyak masyarakat yang tenggelam dalam budaya bisu mereka, dengan segala kekerasan yang dilakukan oleh kaum penindas, maka akan semakin banyak masyarakat yang berduyun-duyun datang ke gereja untuk menawarkan ajaran religius. Karena tenggelam dalam budaya bisu ini, di mana satu-satunya yang boleh bersuara adalah penguasa, mereka memandang

80

Gustavo Gutierrez adalah salah satu tokoh pencetus teologi pembebasan. Karya yang ia terbitkan dan menjadi acuan dalam berteologi pembebasan di berbagai negara adalah Teologia de la liberacion, Perspectivas yang telah

diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Gutierrez, A Theology of Liberation, 15

81

(35)

gereja ini sebagai semacam rahim di mana mereka dapat bersembunyi dari struktur sosial yang opresif.82

Orang Kristen di Amerika Latin kemudian menemukan pendidikan dan model berteologi yang baru dan harus menentukan sikap: apakah mengubah pandangan naif mereka menjadi lebih kooperatif dan dengan sadar bergabung dengan ideologi yang dominan, atau bergabung dengan kaum tertindas dan dengan penuh dedikasi bersama mereka mencari kebebasan yang sesungguhnya. Jika mereka meninggalkan kepatuhan mereka kepada kelompok yang dominan, metode belajar mereka yang baru beserta masyarakat sebagai peserta didik akan menimbulkan tantangan tersendiri di mana dalam usaha ini mereka berhadapan dengan resiko yang sebelumnya tidak mereka ketahui.83 Melalui metode belajar yang baru ini masyarakat mulai menemukan bahwa kesucian yang mereka pertahankan selama ini, tidak sedikitpun merupakan bentuk kejujuran. Namun, banyak orang yang merasa takut untuk mengakuinya; mereka kehilangan keberanian menghadapi resiko yang pasti ada, ketika mereka patuh kepada suatu komitmen historis. Akhirnya mereka kembali pada ilusi idealistik, tetapi dalam kapasitasnya sebagai anggota kelompok yang lebih kooperatif.

Dalam membicarakan teologi pembebasan, analisa Freire yang tampak utopis menjadi konkret karena semangat pembebasan dan “rangsangannya”, serta menjadi

starting point yang bersifat kolektif di dalam berbagai macam keadaan sejarah, khususnya tatkala terjadi penindasan. Analisanya dikatakan utopis karena menolak untuk menghindar dari resiko dan bahaya yang mengancamnya sebab dia menantang struktur kekuasaan yang dominan. Visi politiknya dikatakan profetis karena seharusnya manusia meyakini Kekuasaan Tuhan sehingga memiliki

82

Freire, Politik Pendidikan, 220-221.

83

(36)

kesadaran dan semangat untuk selalu menumpas kebatilan. Kesadaran yang dimasud Freire di sini muncul karena penderitaan kaum tertindas. Bahwa penderitaan ini tidak boleh berlanjut dan visi profetik ini merupakan proses yang terus berkelanjutan di mana hal ini merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pendeknya, dengan melakukan kritik dan menciptakan kemungkinan yang lebih baik, berarti Freire memadukan sejarah dan teologi untuk membuat dasar teoritis bagi sistem pendidikan radikal yang mencakup tumbuhnya harapan, refleksi kritis dan perjuangan bersama.84

Di sini sebenarnya Freire mengkritik dan sekaligus menyelamatkan ajaran Krisen yang revolusioner. Freire melancarkan kritik terhadap Gereja karena sikap revolusionernya. Dia meyakini Tuhan dan menaruh harapan pada-Nya yang telah menciptakan sejarah dan “membiarkan” hamba-hamba-Nya menjadi tertindas,

tetapi ajaran-ajaran-Nya justru tidak mampu mengubah sejarah. Dalam bahasa Freire, melihat kondisi yang seperti ini seharusnya cinta-kasih Kristiani menaruh perhatian terhadap kasus-kasus eksploitasi manusia.85

Dalam melaksanakan pendidikan maupun teologi yang membebaskan, yang perlu diingat ialah sekalipun teologi termasuk dalam daftar ilmu pengetahuan, teologi lebih merupakan kegiatan refleksi daripada pembuktian empiris.86 Demikian pula halnya dengan pendidikan agama Kristen. Dalam melaksanakan pendidikan agama Kristen, murid dan guru secara bersama-sama mengadakan proses berteologi. Guru bukan yang paling tahu, karena ini bukan soal pengetahuan, dan murid juga tidak dianggap dan menganggap diri sebagai bejana mati yang siap menampung dan menghafal apa yang dipompakan oleh sang guru.

84

Freire, Politik pendidikan, 13-14.

85

Freire, Politik pendidikan, 13.

86

(37)

Berteologi adalah persoalan hidup, di mana dalam hidup tidak ada yang paling tahu. Yang ada adalag orang yang lebih banyak pengalaman, dan yang masih harus mengkaji pengalamannya dengan pengalaman yang lain. Oleh karenanya, Freire mengajukan alternatif kegiatan belajar mengajar menurut gaya hadap masalah (guru dan murid secara bersama mengkaji masalah hidup sehari-hari) untuk menggantikan model belajar gaya bank.87 Dengan demikian, pendidikan pembebasan dan teologi pembebasan memiliki pandangan dan tujuan yang sama yaitu untuk mencapai kesadaran manusia melalui praksis. Keduanya menekankan pada perubahan metode pengajaran yang selama ini dianggap menindas.

87

Referensi

Dokumen terkait