BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Corporate Governance
Corporate Governance ( Tata Kelola Perusahaan ) dapat didefinisikan sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan ( pemegang saham, komisaris/ dewan pengawas dan direksi ) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memeperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika. (Sutedy, 2012)
Tata kelola perusahaan adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek.
Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut
masalah
Perhatian terhadap praktik tata kelola perusahaan di perusahaan modern
telah meningkat akhir-akhir ini, terutama sejak keruntuhan perusahaan-perusahaan
besar AS seperti Enron Corporation dan Worldcom. Di
dan tanggung jawab mandat, khususnya implementasi
pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi
kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang
menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk
mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para
pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola
perusahaan, seperti sudut pandang pemangku kepentingan, yang menuntut
perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak-pihak lain selain pemegang
saham, misalnya karyawan atau lingkungan.
pemerintah terhadap masalah ini diwujudkan dengan didirikannya Komite
Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada akhir tahun 2004.
Untuk lebih memahami good corporate governance, berikut beberapa
kutipan mengenai pengertian corporate governance :
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia / FCGI (2001),
Corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders)
Corporate Governance Menurut Organitation for Economic Cooperation
and Development / OECD adalah “struktur yang oleh para pemegang saham, komisaris, dan manajer menyusun tujuan-tujuan perusahaan dan sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut dan mengawasi kinerja”.
Sulistyanto (2008) mendefenisikan good corporate governance sebagai sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan agar perusahaan itu
menciptakan nilai tambah untuk semua stakeholdernya. Untuk itu ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, yaitu hak pemegang saham yang harus
dipenuhi perusahaan dan kewajiban yang harus dilakukan perusahaan. Pemegang
saham mempunyai hak untuk memperoleh semua informasi secara akurat dan
tepat waktu, tidak ada informasi yang disembunyikan dari pemegang saham
tertentu untuk kepentingan pribadi pihak-pihak lain.
transparan. Artinya, perusahaan mempunyai tanggung jawab untuk
menginformasikan semua apa yang telah dilakukan dan dicapai perusahaan
selama satu periode tertentu. Apa yang diinformasikan oleh perusahaan kepada
publik harus dipertanggungjawabkan kebenaran dan keakuratannya, serta tidak
ada sesuatu yang disembunyikan dari publik.
Di Asia, termasuk Indonesia, corporate governance mulai banyak diperbincangkan pada pertengahan tahun 1997, yaitu saat krisis ekonomi melanda
negara-negara tersebut (Susanty, 2009). Bermula dari usulan penyempurnaan
peraturan pencatatan pada Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia)
yang mengatur mengenai peraturan bagi emiten yang tercatat di Bursa Efek
Jakarta yang mewajibkan untuk mengangkat komisaris independen dan
membentuk komite audit pada tahun 1998, corporate governance mulai
dikenalkan pada seluruh perusahaan publik di Indonesia. Pemerintah Indonesia
mendirikan satu lembaga khusus yang bernama Komite Nasional mengenai
Kebijakan Governance (KNKG) melalui Keputusan Menteri Negara Koordinator
Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Nomor: KEP-31/M.EKUIN/06/2000.
Tugas pokok KNKG adalah merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan
nasional mengenai GCG, serta memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang
corporate governance di Indonesia (Gusti, 2011). Selain itu, Bapepam juga berusaha mendorong peningkatan corporate governance di Indonesia dengan
menerbitkan peraturan dan kebijakan terkait dengan penerapan prinsip-prinsip
Good corporate governance mempunyai lima tujuan utama. Kelima tujuan tersebut menurut Sutojo dan John (2008) adalah sebagai berikut :
1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham,
2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota the stakeholders non-pemegang saham,
3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham,
4. Meningkatkan effisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Directors dan manajemen perusahaan, dan
5. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directorss dengan manajemen senior perusahaan.
Kelima tujuan utama GCG menunjukan isyarat bagaimana penting hubungan antara pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan sehingga diperlukan tata kelola perusahaan yang baik.
Menurut Forum of Corporate Governance in Indonesia (FCGI) ada beberapa manfaat yang diperoleh, antara lain :
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses
pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholder.
2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value.
3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia,
4. Pemegang saham akan puas dengan kinerja perusahaan karena
sekaligus akan meningkatkan shareholder value dan deviden.
Dari tujuan dan manfaat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
perusahaan yang menerapkan GCG akan selalu melindungi kepentingan
pemegang saham dan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan perusahaan dan
selalu melaksanakan kegiatan perusahaan secara efektif dan efisien untuk
meningkatkan perekonomian perusahaan dan pada akhirnya akan meningkatkan
2.1.1.1 Prinsip – Prinsip Good Corporate Governance
Prinsip-prinsip dasar penerapan good corporate governance yang
dikemukakan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
adalah sebagai berikut :
a. Transparansi (Transparancy)
Yaitu mengelola perusahaan secara transparan dengan semua stake holder (orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas perusahaan). Di sini para pengelola perusahaan harus berbuat secara transparan kepada penanam saham, jujur apa adanya dalam membuat laporan usaha, tidak manipulatif. Keterbukaan informasi dalam proses pengambilan keputusan dan pengungkapan informasi yang dianggap penting dan relevan.
b. Akuntabilitas (Accountability)
Yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban dalam perusahaan, sehingga pengelolaan perusahaan dapat terlaksana secara efektif dan efisien. Manajemen harus membuat job description yang jelas kepada semua karyawan dan menegaskan fungsi-fungsi dasar setiap bagian. Dari sini perusahaan akan menjadi jelas hak dan kewajibannya, fungsi dan tanggung jawabnya serta kewenangannya dalam setiap kebijakan perusahaan.
c. Responsibilitas (Responsibility)
Yaitu menyadari bahwa ada bagian-bagian perusahaan yang membawa dampak pada lingkungan dan masyarakat pada umumnya. Di sini perusahaan harus memperhatikan amdal, keamanan lingkungan, dan kesesuaian diri dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat setempat. Perusahaan harus apresiatif dan proaktif terhadap setiap gejolak sosial masyarakat dan setiap yang berkembang di masyarakat.
d. Independensi (independency)
Yaitu berjalan tegak dengan bergandengan bersama masyarakat. Perusahaan harus memiliki otonominya secara penuh sehingga pengambilan-pengambilan keputusan dilakukan dengan pertimbangan otoritas yang ada secara penuh. Perusahaan harus berjalan dengan menguntungkan supaya bisa memelihara keberlangsungan bisnisnya, namun demikian bukan keuntungan yang tanpa melihat orang lain yang juga harus untung. Semuanya harus untung dan tidak ada satu pun yang dirugikan.
e. Kewajaran (fairness)
pekerjaan semuanya seperti yang diharapkan. Dengan pekerjaan yang fair tersebut diharapkan semua peraturan yang ada ditaati guna melindungi semua orang yang punya kepentingan terhadap keberlangsungan bisnis kita.
2.1.1.2 Unsur-unsur Good Corporate Governance
Terdapat unsur-unsur corporate governance yang berasal dari
dalam dan dari luar perusahaan yang bisa menjamin berfungsinya good corporate governance, seperti berikut :
a. Internal Perusahaan
Unsur yang berasal dari dalam perusahaan adalah pemegang
saham, direksi, dewan komisaris, manajer, karyawan, sistem
remunerasi berdasar kinerja dan komite audit. Sedangkan unsur yang
selalu diperlukan di dalam perusahaan yaitu keterbukaan dan
kerahasiaan, transparansi, akuntabilitas, kewajaran, dan aturan dari
code of conduct.
b. Eksternal Perusahaan
Unsur yang berasal dari luar perusahaan adalah kecukupan
undang-undang dan perangkat hukum, investor, institusi penyedia informasi,
akuntan publik, pemberi pinjaman, lembaga yang mengesahkan
legalitas. Unsur yang selalu diperlukan di luar perusahaan yaitu aturan
2.1.1.3 Faktor Penentu Keberhasilan Good Corporate Governance Syarat keberhasilan penerapan GCG memiliki dua faktor yang
memegang peranan sebagai berikut :
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek
GCG yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor yang dimaksud
antara lain:
a) Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem
kerja manajemen di perusahaan.
b) Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan
mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG.
c) Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan
pada kaidah-kaidah standar GCG.
d) Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam
perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang
mungkin akan terjadi.
e) Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu
memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam
perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan
mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar
perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Di
antaranya:
a) Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu
menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan
efektif.
b) Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/ lembaga
pemerintahaan yang diharapkan dapat pula melaksanakan Good Governance dan Clean Government menuju Good Government
Governance yang sebenarnya.
c) Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best
practices) yang dapat menjadi standar pelaksanaan GCG yang
efektif dan profesional. Dengan kata lain, semacam benchmark (acuan).
d) Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung
penerapan GCG di masyarakat. Ini penting karena lewat sistem
ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai kalangan
masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG
secara sukarela.
e) Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat
keberhasilan implementasi GCG terutama di Indonesia adalah
publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan
masalah kualitas pendidikan dan perluasan peluang kerja.
Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik
sangat mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam
implementasi GCG.
Di luar dua faktor di atas, aspek lain yang paling strategis dalam
mendukung penerapan GCG secara efektif sangat tergantung pada
kualitas, skill, kredibilitas, dan integritas berbagai pihak yang menggerakkan organ perusahaan. Jika berbagai prinsip dan aspek penting
GCG dilanggar suatu perusahaan, maka sudah dapat dipastikan perusahaan
tersebut tidak akan mampu bertahan lama dalam persaingan bisnis global
dewasa ini, meski perusahaan itu memiliki lingkungan kondusif bagi
pertumbuhan bisnisnya.
2.1.2 Kepemilikan institusional
Kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki
oleh institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi) dan
kepemilikan institusi lain. Keberadaan investor institusional dianggap mampu
menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan
keputusan strategis sehingga tidak mudah percaya pada tindakan manipulasi laba.
perusahaan. Adanya pengawasan yang dilakukan investor institusional secara
optimal terhadap kinerja manajer, maka manajer akan lebih berhati – hati dalam
mengambil keputusan atau dengan kata lain pengawasan yang dilakukan investor
institusional dapat mengurangi perilaku opportunistic manajer sehingga manajer dapat memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan. Tindakan
monitoring ini dapat menjamin kemakmuran bagi pemegang saham.
Di negara-negara dimana pasar modal dan pasar uang mempunyai peranan
penting sebagai sumber dana perusahaan, sebagai pemegang saham, investor
institusional ikut aktif dalam mengawasi efektifitas dan efisiensi pengelolaan
perusahaan. Dengan demikian tugas mengawasi efektifitas pengelolaan
perusahaan tidak hanya menjadi tanggung jawab Board of Directors. Menurut Sutojo dan John (2008), penerapan peranan tersebut di atas antara lain berbentuk
sebagai berikut :
a) Mengarahkan dan memonitor arah kegiatan bisnis perusahaan,
b) Sumber informasi perusahaan,
c) Pengajuan suara dalam rapat pemegang saham (voting).
.
2.1.3 Proporsi Dewan Komisaris Independen
Proporsi Dewan Komisaris Independen dapat memberikan kontribusi
yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang
berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan.
Adanya dewan komisaris menjamin transparansi dan keinformatifan laporan
informasi yang berkualitas. Proporsi dewan komisaris independen dalam
mekanisme good corporate governance berperan penting tidak hanya melihat
kepentingan pemilik tetapi juga kepentingan perusahaan secara umum.
Karakteristik dewan komisaris khususnya komposisi dewan komisaris
independen dapat menjadi suatu mekanisme yang menentukan tindakan
manajemen laba. Dewan komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk
melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang menerapkan good corporate governance.
Menurut Sutojo dan John (2008), syarat yang harus dipenuhi seorang
komisaris independen adalah sebagai berikut:
a) Tidak mempunyai kaitan dengan para pemegang saham mayoritas,
komisaris yang lain atau direksi,
b) Tidak menjabat direksi anak perusahaan atau afiliasi perusahaan dimana mereka menjabat komisaris independen,
c) Mempunyai pengetahuan tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pasar modal dan corporate governance.
2.1.4 Komite Audit
Disamping dewan komisaris independen, Badan Pengawas Pasar Modal
(BAPEPAM) juga mensyaratkan perusahaan yang memperdagangkan sahamnya
di bursa efek wajib mengangkat komite audit. Jumlah komite audit minimum tiga
orang, salah seorang dari ketiga anggota komite audit tersebut komisaris
independen dan menjabat sebagai komite audit. Semua anggota komite audit
wajib menguasai pengetahuan tentang laporan keuangan dan peraturan tentang
Tanggung jawab komite audit dalam bidang good corporate governance adalah untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai
undang-undang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika,
melaksanakan pengawasannya secara efektif, terhadap benturan kepentingan dan
kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan. Tugas utama komite audit
adalah:
a) Mengawasi akurasi, keterbukaan, transparansi dan ketepatan waktu
laporan keuangan perusahaan,
b) Mengawasi seberapa jauh perusahaan telah mematuhi ketentuan tentang
good corporate governance dan peraturan pasar modal,
c) Mengawasi pelaksanaan pengawasan intern kegiatan bisnis dan kondisi
keuangan perusahaan,
d) Mengawasi penerapan manajemen resiko yang dilakukan perusahaan.
e) Menilai kelengkapan, transparansi dan akurasi laporan keuangan yang
dilakukan perusahaan akuntan publik,
f) Meneliti dugaan penyimpangan keputusan kebijaksanaan bisnis yang
dilakukan direksi (bilamana ada).
2.1.5 Leverage
Leverage adalah hutang yang digunakan oleh perusahaan untuk
membiayai asetnya dalam menjalankan aktivitas operasionalnya. Leverage merupakan alat untuk mengukur seberapa jauh suatu perusahaan dibiayai oleh
pendanaan perusahaan yang dibiayai oleh hutang. Dengan tingginya rasio
leverage menunjukkan bahwa perusahaan tidak solvable, artinya total hutangnya
lebih besar dibandingkan dengan total asetnya. Dengan tingkat rasio leverage yang tinggi, hal ini akan memicu kekhawatiran dari investor karena jika suatu
perusahaan memiliki hutang yang tinggi, dikhawatirkan perusahaan tersebut tidak
dapat melunasi kewajibannya tepat waktu dan hal ini yang dapat menyebabkan
suatu perusahaan dapat dilikuidasi. Dengan demikian, tingkat leverage perusahaan
menggambarkan resiko keuangan perusahaan. Perusahaan yang memiliki rasio
leverage yang lebih tinggi diduga melakukan manajemen laba, karena perusahaan terancam gagal dalam memenuhi kewajiban utang pada waktunya.
(Widyaningdyah, 2001). Keadaan ini membuktikan bahwa perusahaan dengan
leverage yang tinggi memiliki pengawasan yang lemah terhadap manajemen yang
menyebabkan manajemen dapat membuat keputusan sendiri dan juga menetapkan
strategi yang kurang tepat.
2.1.6 Manajemen Laba
2.1.6.1 Pengertian Manajeman Laba
Manajemen laba didefinisikan sebagai upaya manajer
perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi
akuntansi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk
mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan (Sulistyanto, 2008). Istilah intervensi dan mengelabui
manajemen laba sebagai kecurangan. Alasannya, intervensi itu
dilakukan manajer perusahaan dalam kerangka standar akuntansi,
yaitu masih menggunakan metode dan prosedur akuntansi yang
diterima dan diakui secara umum.
Menurut Sulistiawan dkk (2011), manajemen laba adalah
aktivitas badan usaha memanfaatkan teknik dan kebijakan
akuntansi guna mendapatkan hasil yang diinginkan.
2.1.6.2 Motivasi Manajemen Laba
Menurut Sulistiawan, dkk (2011), Secara umum
terdapat beberapa hal yang memotivasi individu atau badan usaha
melakukan tindakan manajemen laba, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Motivasi bonus
Para manajer yang bekerja pada perusahaan yang
menerapkan rencana bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkannya dengan tujuan dapat memaksimalkan jumlah bonus yang akan diterimanya.
2. Motivasi Hutang
Agar kreditor mau menginvestasikan dana di
perusahaannya, tentunya manajer harus menunjukkan performa yang baik dari perusahaannya, dan untuk memperoleh hasil maksimal yaitu pinjaman dalam jumlah besar, perilaku kreatif manajer untuk menampilkan performa yang baik dari laporan keuangannya pun seringkali muncul. Selain untuk mendapatkan pinjaman, kasus seperti itu juga berlaku untuk menjaga perjanjian utang. Jika suatu perusahaan mendapatkan dana dari kreditor, perusahaan berkewajiban menjaga rasio keuangannya agar berada pada batas bawah tertentu. Jika hal ini dilanggar, perjanjian utang dibatalkan.
3. Motivasi Politik
terutama pada saat periode kemakmuran yang tinggi. Upaya ini dilakukan dengan harapan memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah.
4. Motivasi Pajak
Menyatakan bahwa pajak merupakan salah satu motivasi
mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan. Tujuannya adalah dapat meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar. 5. Motivasi Pergantian Direksi
Biasanya Direksi yang mendekati masa pensiun atau masa kontraknya menjelang berakhir akan melakukan strategi memaksimalkan jumlah pelaporan laba guna meningkatkan jumlah bonus yang akan mereka terima. Hal yang sama akan dilakukan oleh manajer dengan kinerja yang buruk. Tujuannya adalah menghindarkan diri dari pemecatan sehingga mereka cenderung untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan.
6. Motivasi Penjualan Saham
Menyatakan bahwa pada awal perusahaan menjual
sahamnya kepada publik, informasi keuangan yang dipublikasikan dalam prospektus merupakan sumber informasi yang sangat penting. Informasi ini penting karena dapat dimanfaatkan sebagai sinyal kepada investor potensial terkait dengan nilai perusahaan. Guna mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para investor maka manajer akan berusaha untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan.
2.1.6.3 Pola Manajemen Laba
Ada empat pola manajemen laba yang dikemukakan oleh
(Scott, 1997) yaitu :
1. Taking a Bath
Pola ini terjadi selama periode tekanan organisasi atau pada saat terjadiya reorganisasi, apabila perusahaan harus melaporkan adanya kerugian, maka mendorong manajemen untuk melaporkan adanya kerugian yang besar, sebagai akibatnya akan meningkatkan keuntungan di masa depan.
2. Income Minimization
3. Income Maximization
Pola ini dilakukan oleh perusahaan untuk tujuan perolehan bonus, sehingga pola ini dilakukan dengan cara memaksimalkan laba tetapi tidak di atas batas atas, karena apabila laba yang dilaporkan melebihi batas atas atau di bawah batas bawah maka tetap tidak akan diperoleh bonus.
4. Income Smoothing
Pola ini dilakukan oleh manajemen dengan cara melaporkan perolehan laba sehingga terlihat stabil dari satu periode ke periode selanjutnya.
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Adapun ringkasan penelitian terdahulu disajikan pada tabel 2.1 berikut :
Corporate Komite Audit tidak berpengaruh
laba
Sertauli (2011) melakukan Penelitian mengenai pengaruh mekanisme good
corporate governance terhadap manajemen laba pada perusahaan property and real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2007 sampai
2009. Mekanisme good corporate governance dalam penelitian ini diproksikan dengan kepemilikan institusional, dewan komisaris, komisaris independen dan
komite audit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel kepemilikan
institusional berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba, variabel
dewan komisaris berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba,
variabel komite audit berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba,
dan variabel komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Popy (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh Good Corporate
Governance terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial,
proporsi dewan komisaris, dan komite audit. Variabel dependennya adalah
manajemen laba. Sampel penelitian ini sebanyak 25 perusahaan dengan tahun
pengamatan 2008-2010. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kepemilikan
Manajerial, Kepemilikan institusioanal, Proporsi dewan komisaris independen dan
komite audit secara bersama-sama tidak mempengaruhi manajemen laba.
Thiodora (2013) melakukan penelitian mengenai Analisis Pengaruh
Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Pada
2009-2011. Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial,
proporsi dewan komisaris, dan komite audit. Variabel dependennya adalah
manajemen laba. Sampel penelitian ini sebanyak 25 perusahaan dengan tahun
pengamatan 2009-2011. Hasil penelitian ini menemukan bahwa Hanya
Kepemilikan Manajerial yang berpengaruh signifikan terhadap Manajemen Laba.
Sedangkan Proporsi Dewan Komisaris dan Komite Audit tidak berpengaruh
signifikan terhadap Manajemen Laba.
Penelitian yang dilakukan Rivaldo (2013) yang berjudul Analisis pengaruh
Good Corporate Governance, Leverage, Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI, dimana tahun pengamatan
hanya 1 tahun yaitu tahun 2011, dengan jumlah sampel sebanyak 103 perusahaan,
variabel independennya adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
proporsi dewan komisaris independen, komite audit, leverage, dan profitabilitas,
variabel dependennya manajemen laba. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa hanya variabel profitabilitas yang berpengaruh positif terhadap manajemen
laba, sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
2.3 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 2.3.1 Kerangka Konseptual
Adapun kerangka konseptual penelitian ini adalah sebagai berikut :
Leverage (X4)
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian
Kerangka konseptual merupakan modal konseptual tentang bagaimana
teori yang digunakan berhubungan dengan berbagai faktor yang telah peneliti
identifikasikan sebagai masalah penting. Berdasarkan kerangka konseptual
diatas, ditentukan bahwa variabelnya adalah good corporate governance yang
diproksikan kedalam kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris dan
komite audit serta variabel leverage sebagai variabel independen dan
manajemen laba sebagai variabel dependen.
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan
pihak manajemen melalui proses monitoring yang dilakukan secara efektif
sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Tingkat kepemilikan
institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih
besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku
opportunistic manajer. Peningkatan aktivitas pengawasan oleh investor institusional didasari oleh keinginan mereka untuk meningkatkan tanggung
jawab manajemen. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar Komite Audit (X3)
Proporsi dewan komisaris independen
Dewan komisaris Independen dapat bertindak sebagai penengah
dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi
kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen.
Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi
monitoring agar tercipta perusahaan yang memiliki good corporate
governance. Pengaruh yang ditimbulkan oleh dewan komisaris disebabkan oleh karena keberadaan komisaris independen memang
dimaksudkan untuk mengontrol perusahaan tanpa membawa kepentingan
tertentu. Dengan demikian, tingginya proporsi komisaris independen
diharapkan dapat menekan manajemen laba. Hal ini berarti proksi dewan
komisaris independen dapat meminimalisasi manajemen laba. Dewan
komisaris juga dapat memberikan pengaruh terhadap kinerja perusahaan
karena apabila dewan komisaris menjalankan tugasnya dengan baik maka
dapat meningkatkan kepercayaan investor bahwa mereka akan menerima
return atas dana yang telah mereka investasikan.
Peran komite audit sangat diperlukan dalam hal pengawasan
perusahaan.Tugas komite audit berhubungan dengan kualitas laporan
keuangan, karena komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris
dalam pelaksanaan tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh
manajemen. Dengan adanya pengawasan dari komite audit, maka informasi
yang disajikan dalam laporan keuangan lebih informatif dan berkualitas.
Semakin kompeten komite audit akan semakin mengurangi kemungkinan
komite audit diharapkan dapat memperkecil terjadinya tindakan manajemen
laba didalam perusahaan. Diharapkan dengan semakin banyaknya pihak
independen dalam suatu komite audit pada perusahaan dapat menekan
tindakan manajemen laba.
Selain good corporate governance, dalam penelitian ini juga dibahas
pengaruh leverage terhadap manajemen laba. Leverage merupakan rasio antara total kewajiban dengan total ekuitas. Perusahaan yang mempunyai
rasio leverage yang tinggi, berarti proporsi hutangnya lebih tinggi
dibandingkan dengan proporsi modal, akan cenderung melakukan manipulasi
dalam bentuk manajemen laba. Leverage merupakan alat untuk mengukur
seberapa jauh suatu perusahaan dibiayai oleh hutang (Aprianti, 2012).
Semakin tinggi rasio leverage berarti semakin tinggi pula proporsi pendanaan
perusahaan yang dibiayai oleh hutang maka semakin besar resiko yang
dihadapi oleh perusahaan untuk membayar kewajibannya. Semakin besar
rasio leverage menunjukkan semakin besar tingkat ketergantungan
perusahaan terhadap pihak eksternal (kreditur) dan semakin besar pula beban
biaya hutang (biaya bunga) yang harus dibayar oleh perusahaan. Dengan
semakin meningkatnya rasio leverage (dimana beban hutang juga semakin besar) maka hal tersebut berdampak terhadap profitablitas yang diperoleh
perusahaan, karena sebagian digunakan untuk membayar bunga pinjaman.
Dengan demikian, perusahaan dituntut agar dapat mengelola keuangan
perusahaannya dengan baik agar tidak menimbulkan leverage yang tinggi
2.3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan kebenaran sementara yang masih harus diuji.
Hipotesis menyatakan hubungan yang diduga secara logis antara dua variabel
atau lebih dalam rumusan proporsi yang dapat diuji secara empiris.
Berdasarkan uraian teoritis dan kerangka konseptual, maka hipotesis
penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen,
komite audit dan leverage berpengaruh secara parsial terhadap manajemen laba,
2. Kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen,
komite audit dan leverage berpengaruh secara simultan tehadap