• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Penerima Bantuan Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat (YAKMI) di Daerah Pinggiran Rel Gaperta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respon

Respon berasal dari kata response yang berarti jawaban, balasan, atau tanggapan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, respon adalah berupa tanggapan,

reaksi, dan jawaban. Respon atau tanggapan adalah kesan-kesan yang dialami ketika

perangsang tidak ada. Respon juga diartikan sebagai tingkah laku atau sikap yang

berwujud baik ,sebelum pemahaman mendetil,penilaian, pengaruh atau penolakan,

suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Berdasarkan

teori yang dikemukakan oleh Steven M.Caffe, respon dibagi menjadi tiga bagian,

yaitu :

1. Respon Kognitif

Yaitu respon yang berkaitan dengan pengetahuan keterampilan dan informasi dan

informasi seseorang mengenai sesuatu. Teori ini berusaha menjelaskan proses

perubahan sikap dengan mencoba memahami pikiran seseorang dalam merespon

komunikasi persuasif atau bujukan. Teori respon kognitif memperkirkan bahwa

perubahan sikap akan bergantung pada seberapa besar dan apa jenis argumen yang

berlawanan yang muncul. Jika pesan ini menimbulkan argumen kontra yang kuat dan

efektif, maka kemungkinan besar tidak akan terjadi perubahan sikap. Sebaliknya

persuasi dapat dilakukan dengan mengitervensi proses kontra argumen tersebut. Jika

seseorang tidak menemukan argumen yang cukup kuat untuk menentang pesan dan

dia tidak bisa fokus pada pesan saat mendengarkannya, maka kemungkinan besar dia

(2)

2. Respon Afektif

Yaitu respon yang berhubungan dengan emosi, sikap, dan menilai seseorang

terhadap sesuatu. Respon ini timbul apabila ada perubahan yang disenangi oleh

khalayak terhadap sesuatu.

3. Respon Konatif

Yaitu respon yang berhubungan dengan perilaku nyata yang meliputi

tindakan atau perbuatan. Secara keseluruhan respon individu atau kelompok dapat

dilihat dari tiga tingkatan yaitu persepsi, sikap, dan partisipasi. Jadi berbicara

mengenai respon tidak terlepas dari pembahasan persepsi, sikap, dan partisipasi.

A. Persepsi merupakan tindakan penilaian terhadap baik buruknya objek

berdasarkan faktor keuntungan dan kerugian yang akan diterima dari adanya

objek tersebut. Menurut Morgan, King dan Robinson adalah suatu proses

diterimanya suatu rangsangan dengan cara melihat dan mendengar dunia

disekitar kita. Dengan kata lain persepsi dapat juga didefenisikan sebagai

sesuatu yang dialami manusia (Adi, 2000:105).

B. Sikap merupakan ucapan secara lisan atau pendapat untuk menerima atau

menolak objek yang dipersiapkan. Sikap merupakan kecenderungan atau

kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu jika ia menghadapi

rangsangan. Perubahan sikap dapat menggambarkan bagaimana respon

seseorang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan atas

situasi lain. Sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung menyenangi,

mendekati, mengaharapkan suatu objek, atau muncul sikap negatif yakni

menghindari, membenci suatu objek vb(Adi, 2000:178).

C. Partisipasi merupakan kegiatan nyata untuk peran serta atau tindakan

(3)

keterlibatan masyarakat secara aktif dan terorganisasikan dalam seluruh

tahapan pembangunan, sejak tahap sosialisasi, persiapan, perencanaan,

pelaksanaan, pemahaman, pengendalian, evaluasi. Pendekatan partisipasi

bertumpu pada kekuatan masyarakat untuk secara aktif berperan serta dalam

pembangunan secara menyeluruh. Partisipasi atau keikutsertaan para pelaku

dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan ini akan

membawa manfaat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi didaerah

(Suprapto, 2007:8).

2.2 Anak

2.2.1 Pengertian Anak

Menurut Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan dan

Kesejahteraan Anak dalam BAB I bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia

18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Konvensi

Hak Anak (KHA) mendefenisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang

umurnya belum mencapai 18 tahun, namun diberikan juga pengakuan terhadap

batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan sosial.

Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa fakir miskin dan

anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Ini merupakan suatu kebijaksanaan pemerintah

dan Negara yang dirumuskan kedalam pengertian bahwa usaha mensejahterahkan

anak didahulukan dari kebijaksanaan kesejahteraan masyarakat lain.Pengertian anak

menurut UUD 1945 memiliki makna bahwa hak-hak yang harus diperoleh anak dari

masyarakat bangsa dan Negara harus diprioritaskan karena kepentingan-kepentingan

pembangunan bangsa dan Negara harus mendasarkan anak sebagai sumber aspirasi

(4)

bangsa yang kemudian dapat mensejahterahkan masyrakat Indonesia. Kedudukan

pasal 34 ayat 1 UUD 1945 mengandung kekhususan bahwa pengelompokan

anak-anak yang terkategori sebagai anak-anak terlantar dan kemudian dijadikan objek

pembangunan, pembinaan, pemeliharaan dengan tujuan anak-anak Indonesia akan

dapat menjalani kehidupan yang layak dari suatu kehidupan yang layak dari suatu

kehidupan yang penuh dengan kesejahteraan (Wadong,2000:18).

2.2.2 Kebutuhan Anak

Sebagaimana manusia lainnya, setiap anak memiliki kebutuhan-kebutuhan

dasar yang menuntut untuk dipenuhi sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang

secara sehat dan wajar. Menurut Katz bahwa kebutuhan dasar yang sagat penting

bagi anak adalah adanya hubungan orang tua dan anak yang sehat dimana kebutuhan

anak, seperti perhatian dan kasih sayang yang berkelanjutan, perlindungan,

dorongan, dan pemeliharaaan harus dipenuhi oleh orang tua. Sedangkan Brown dan

Swanson mengatakan bahwa kebutuhan umum anak adalah perlindungan

(keamanan), kasih saying, pendekatan/perhatian dan kesempatan untuk terlibat dalam

pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan

mental yang sehat. Sementara itu, Huttman dalam Muhifin(Huraera,2003:3) merinci

kebutuhan anak adalah :

1. Kasih sayang orang tua

2. Stabilitas emosional

3. Pengertian dan perhatian

4. Pertumbuhan da kepribadian

5. Dorongan kreatif

6. Pembinaan kemampuan intektual dan keterampilan dasar

(5)

8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan

memadai

9. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif

10.Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan

Untuk menjamin pertumbuhan fisiknya, anak membutuhkan makanan yang

bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Semasa kecil, mereka

memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dari orang tua sebagai perantara dengan

dunia nyata. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan

kasih sayang, pemahaman, suasana kreatif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan

pengembangan intelektual. Sejak dini, mereka perlu pendidikan dan sosialisasi dasar,

pengajaran tanggung jawab sosial, peran-peran sosial, dan keterampilan dasar agar

menjadi warga masyarakat yang bermanfaat.

Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar tersebut akan

berdampak negative pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental,

dan sosial anak. Anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan

kualitas kesehatan yang buruk, melainkan juga mengalami hambatan mental, lemah

daya nalar, dan bahkan perilaku-perilaku maladaptive, seperti : autis, nakal, sukar

diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia”tidak normal, dan perilaku

kriminal. Pertumbuhan dan kesejateraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak

akan mengalami hambatan jika :

1. Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak

2. Tanpa bimbingan dan asuhan

3. Sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat

4. Diperlakukan salah secara fisik

(6)

6. Tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan

dicintai, diinginkan, aman, dan bermartabat

7. Terganggu secara emosional karena pertengkaran keluarga yang terus

menerus, perceraian dan mempunyai orang tua yang menderita

gangguan/sakit jiwa.

8. Dieksploitasi, bekerja berlebihan, terpengaruh oleh kondisi yang tidak sehat

dan demoralisasi.

2.2.3 Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak

Model kesejahteraan sosial bagi anak secara umun meliputi tiga bagian :

mikro, messo, dan makro. Pada model pelayanan mikro anak dijadikan sasaran

utama pelayanan. Anak-anak yang mengalami luka-luka fisik dan psikis segera

diberikan pertolongan yang bersifat segera, seperti perawatan medis, konseling atau

dalam keadaaan yang sangat membahayakan, anak dipisahkan dari keluarga dari

lingkungan yag mengancam kehidupannya.

Sistem pelayanan yang diberikan, baik pada mikro, messo da makro dapat

berbentuk pelayanan kelembagaan di mana anak mengalami masalah ditempatkan

dalam lembaga (panti). Pelayanan konseling, pendidikan atau rehabilitasi sosial

diberikan secara menetap dalam kurun waktu tertentu. Jika pelayanan bersifat non

kelembagaan, maka beragam jenis pelayanan diberikan di keluarga atau komunitas

dimana anak menetap.

Belakang ini cukup populer sistem pelayanan semi panti yang lebih terbuka

dan tidak kaku. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan, pendampingan,

dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah, seperti : rumah terbuka untuk

berbagai aktivitas, rumah belajar, rumah persinggahan, rumah keluarga pengganti

(7)

dan pekerja anak terdapat sistem pelayanan yang dikenal dengan nama locational based services. Pekerja sosial mendatangi pabrik atau lokasi dimana anak berada dan memanfaatkan sarana yang ada di sekitarnya sebagai media dan sarana

pertolongannya. Terdapat tujuh strategi pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak,

yaitu :

1. Child Based Services(Layanan berbasis anak).

Strategi ini menempatkan anak sebagai basis penerimaan pelayanan.

Anak-anak yang mengalami luka-luka fisik dan psikis perlu segera diberikan

pertolongan yang bersifat krisis, baik perawatan medis, konseling, atau dalam

keadaan tertentu anak dipisahkan dari keluarga yang mengancam dan

membahayakan kehidupannya.

2. Institusional Based Services(Layanan berbasis lembaga)

Anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga/panti. Pelayanan

yang diberikan meliputi fasilitas tinggal menetap, pemenuhan kebutuhan

dasar, perlindungan, pendidikan dan pelatihan keterampilan, serta program

rehabilitasi sosial lainnya.

3. Family Based Services(Layanan berbasis keluarga)

Keluarga dijadikan sasaran dan medium utama pelayanan. Pelayanan ini

diarahkan pada pembentukan dan pembinaan keluarga agar memiliki

kemampuan ekonomi, psikologis, dan sosial dalam menumbuhkembangkan

anak, sehingga mampu memecahkan masalahnya sendiri dan menolak

pengaruh negatif yang merugikan dan membahayakan anak. Keluarga sebagai

satu kesatuan diperkuat secara utuh dan harmonis dalam memenuhi

(8)

4. Community Based Service(Layanan berbasis masyarakat)

Strategi yang menggunakan masyarakat sebagai pusat penanganan ini

bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat

agar ikut aktif dalam menangani permasalahan anak. Para pekerja sosial

datang secara periodik ke masyarakat untuk merancang da melaksanakan

program pengembangan masyarakat, bimbingan dan penyuluhan, terapi

sosial, kampanye sosial, aksi sosial, serta penyediaan sarana rekreatif dan

pengisian waktu luang.

5. Location Based Services(layanan berbasis lokasi)

Pelayanan yang diberikan di lokasi anak mengalami masalah. Strategi ini

biasanya diterapkan pada anak jalanan, anak yang bekerja di jalan dan

pekerja anak. Para pekerja sosial mendatangi pabrik atau tempat-tempat

dimana anak berada, dan memanfaatkan sarana yang ada disekitarnya sebagai

fasilitas da media pertolongan. Untuk anak jalanan dan anak yang bekerja di

jalan, strategi ini sering disebut sebagai street based servces (Pelayanan berbasiskan jalanan).

6. Half Way House Services.(layanan semi panti)

Strategi ini disebut juga strategi semi panti yang lebih terbuka dan tidak kaku.

Strategi ini dapat berbentuk rumah singgah, rumah terbuka untuk berbagai

akivitas, rumah belajar, rumah persinggahan anak dengan keluarganya, rumah

keluarga pengganti, atau tempat anak yang mengembangkan subkultur

tertentu. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan, pendampingan,

(9)

7. State Based Services.(layanan berbasis Negara)

Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan tidak langsung (macro and

indirect services). Para pekerja social mengusahakan situasi dan kondisi yang

kondusif bagi terselenggaranya usaha kesejahteraan sosial bagi anak.

Perumusan kebijakan kesejahteraan social dan perangkat hukum untuk

perlindungan merupakan bentuk program dalam strategi ini.

2.2.4 Anak Jalanan

Defenisi anak jalanan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah anak

yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari

nafkah atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat-tempat umum. Sebagian besar

dari anak jalanan bertempat tinggal di pinggiran jalan, dan kolong jembatan, karena

tidak mampu menyewa tempat tinggal. Bagitu juga banyak yang membangun rumah

kumuh di pinggiran kota untuk dijadikan tempat pemukiman bagi mereka namun

tetap mencari penghasilan dari jalanan.

Departemen Sosial Republik Indonesia mendefenisikan, anak jalanan adalah

anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau

berkeliaran di jalanan dan ditempat-tempat umum lainnya. Anak jalanan mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut :

1. Berusia antara 5-18 tahun.

2. Melakukan kegiatan atau berkliaran di jalanan.

3. Penampilannya kebanyakan kusam.

4. Pakaiannya tidak terurus.

5. Mobilitasnya tinggi

Pada awalnya ada dua kategori pengelompokan anak jalanan berdasarkan

(10)

street. Pada perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu children in the street atau sering pula disebut dengan children from families of the street.

1. Children on the street yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalanan pada

kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi

keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung

tidak dapat diselesaikan oleh kedua orang tuanya.

2. Children of the street yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh dijalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih

mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi petemuan

mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang

karena suatu sebab, biasanya kekerasan lari atau pergi dari rumah. Berbagai

penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan

terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.

3. Children in the street atau children from the families of the street yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak-anak-anak

ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka

terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala

resikonya (http://rumahsinggah-ku.blogspot.com/diakses pada tanggal 04

Februari 2016 pukul 09.00 WIB).

Berdasarkan hasil survei dari Departemen Sosial anak jalanan

dikelompokkan kedalam 3 kategori yakni :

1. Anak jalanan yang hidup di jalan dengan kriteria :

(11)

b. Berada di jalan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja. Sisanya

untuk menggelandang dan tidur.

c. Tidak bersekolah lagi.

d. Rata-rata berusia dibawah 14 tahun.

2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan dengan kriteria :

a. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya.

b. Berada di jalan 8-16 jam.

c. Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman,

orangtua/saudaranya, umunya tinggal didaerah kumuh.

d. Tidak bersekolah lagi.

e. Pekerjaan, penjual koran, pemulung sampah, penyemir sepatu, dan lain-lain.

f. Rata-rata usianya di bawah 16 tahun.

3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan dengan kriteria :

a. Setiap hari bertemu dengan orang tuanya.

b. Berada di jalan 4-6 jam.

c. Tinggal dan tidur bersama orang tua/wali.

d. Masih bersekolah.

e. Usianya rata-rata dibawah 14 tahun.

2.2.5 Indikator Anak Jalanan

Adapun Indikator anak jalanan yakni :

1. Usia berkisar antara 6 sampai dengan 18 tahun.

2. Intensitas hubungan dengan keluarga yaitu:

a. berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari.

b. Frekuensi berkomunikasi dengan keluarga sangat kurang

(12)

3. Waktu yang dihabiskan dijalanan lebih dari 4 jam setiap hari.

4. Tempat tinggal :

a. Tinggal bersama orang tua

b. Tinggal berkelompok dengan teman-temannya

c. Tidak mempunyai tempat tinggal

5. Tempat anak jalanan sering dijumpai di : pasar, terminal bus, stasiun kereta

api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalan atau jalan

raya, pusat perbelanjaan atau mall, kendaraan umum (pengamen), tempat

pembuangan sampah.

6. Aktifitas anak jalanan : menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo,

menjajakan koran / majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi

pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, menjadi

penghubung atau penjual jasa.

7. Sumber dana dalam melakukan kegiatan : modal sendiri, modal kelompok,

modal majikan / patron, stimulant / bantuan.

8. Permasalahan : korban eksploitasi seks, rawan kecelakaan lalu lintas,

ditangkap petugas, konflik dengan anak lain, terlibat tindakan kriminal,

ditolak masyarakat lingkungannya.

9. Kebutuhan anak jalanan : aman dalam keluarga, kasih sayang, bantuan usaha,

pendidikan, bimbingan keterampilan, gizi dan kesehatan,hubungan harmonis

dengan orang tua keluarga dan masyarakat (Nurdin: 1989).

2.2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Anak Jalanan

Secara umum ada 3 penyebab munculnya anak jalanan yaitu :

(13)

Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan

keluarganya. Departemen Sosial (2001: 25-26) menjelaskan pula bahwa pada

tingkat mikro sebab yang bias diidentifikasi dari anak dan keluarga yang

berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni:

a. Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau

sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.

b. Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua

menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan

atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga

atau tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah

terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak

menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial. Hal ini dipengaruhi

pula oleh meningkatnya masalah keluarga yang disebabkan oleh

kemiskinan pengangguran, perceraian, kawin muda, maupun

kekerasan dalam keluarga.

c. Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak mampu

lagi membantu terhadap keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan

oleh pergeseran nilai, kondisi ekonomi, dan kebijakan pembangunan

pemerintah.

d. Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang

tua sudah tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan

anak-anak, telah menyebabkan anak-anak mencari kebebasan

2. Tingkat Messo (Underlying Causes)

Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat messo ini yaitu

(14)

dapat diidentifikasi meliputi:

a. Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu peningkatan

pendapatan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang menyebabkan drop out dari sekolah.

b. Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi menjadi kebiasaan dan anak-anak

mengikuti kebiasaan itu.

c. Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal.

3. Tingkat Makro (Basic Causes)

Faktor-faktor pen yebab munculnya anak jalanan pada tingkat makro yaitu

faktor yang berhubungan dengan struktur makro. Pada tingkat makro (struktur

masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah:

a. Ekonomi adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu

membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama di jalanan dan

meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang mendorong

urbanisasi. Migrasi dari desa ke kota mencari kerja, yang diakibatkan

kesenjangan pembangunan desakota, kemudahan transportasi dan ajakan

kerabat, membuat banyak keluarga dari desa pindah ke kota dan sebagian dari

mereka terlantar, hal ini mengakibatkan anak-anak mereka terlempar ke

jalanan.

b. Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka

dengan alasan “demi pembangunan”, mereka semakin tidak berdaya dengan

kebijakan ekonomi makro pemerintah yang lebih memguntungkan segelintir

orang.

c. Pendidikan, adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang

(15)

mengalahkan kesempatan belajar. Meningkatnya angka anak putus sekolah

karena alasan ekonomi, telah mendorong sebagian anak untuk menjadi

pencari kerja dan jalanan mereka jadikan salah satu tempat untuk

mendapatkan uang.

d. Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang anak jalanan antara

sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan)

dam pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai trouble maker atau pembuat masalah (security approach / pendekatan keamanan).

e. Adanya kesenjangan sistem jaring pengamanan sosial sehingga jaring

pengamanan sosial tidak ada ketika keluarga dan anakmenghadapi kesulitan.

f. Pembangunan telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan,

taman, dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa pada

daerah-daerah kumuh perkotaan, dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai

ajang bermain dan bekerja.

2.2.7 Penanggulangan Anak Jalanan dalam Perspektif Pekerjaan Sosial

Salah satu pemecahan masalah anak jalanan yang logis untuk diterapkan

ketika pemerintah dalam kesulitan secara ekonomi, sosial maupun politik, adalah

dengan pendekatan masyarakat kesejahteraan (welfare society) yang dikembangkan

di dalam suatu jaringan “social safety net”. Pendekatan ini merupakan pilihan yang

paling tepat.

Pendekatan masyarakat kesejahteraan menganggap bahwa sumber utama

pelayanan bagi anggota masyarakat adalah masyarakat itu sendiri di mana mereka

hidup. Kekuatan “self-help” adalah unsur utama dalam pendekatan ini. Program

diarahkan terutama pada kelompok-kelompok keluarga yang memiliki hubungan

(16)

kegotongroyongan untuk menolong diri mereka sendiri, pada setiap unit kelompok

keluarga diperkuat dengan cara meningkatkan “coping capacities” (kemampuan

untuk menghadapi dan mengatasi masalah) dari masing-masing anggota,

memperkuat relasi social di antara keluarga, dan memperkuat sumber yang dimiliki.

Memperkuat akses mereka terhadap sumber-sumber kesempatan yang dimiliki dan

memperkuat akses mereka terhadap kesempatan sumber-sumber serta sumber

pelayanan yang ada di dalam masyarakat (khususnya yang di masyarakat lokal).

Struktur ekonomi “self-subsistem” menjadi perhatian utama bagi model pengembangan masyarakat dengan pendekatan ini. Program ini dilakukan dengan

mengutamakan teknik PRA (Participatory Rural Appraisal). Pendekatan ini dilaksanakan di dalam model penanganan yang dikenal dengan model penanganan

“community based” (penanganan berbasis masyarakat) atau “home based treatment”

(penanganan yang dilakukan di rumah/keluarga masing-masing).

Walaupun demikian, pendekatan-pendekatan klinis pun tidak bisa di

tinggalkan karena selain persoalan mikro, juga banyak persoalan-persoalan yang

perlu ditangani secara khusus. Karenanya, pelayanan-pelayanan kelompok dan

perorangan juga masih perlu mendapatkan porsi yang seimbang. Pendekatan klinis

seperti ini diterapkan dalam model-model penanganan “street based” yang

dilaksanakan di jalanan, pendampingan anak, dan sebagainya. Model “halfway

houses” yang kemudian banyak dikenal dengan istilah pelayanan rumah singgah, dan

model penanganan “institusional based/center based” atau lebih dikenal dengan

pelayanan panti.

Pada model penanganan yang bersifat street based, biasanya lebih banyak

diarahkan pada pelayanan advokasi dan pendampingan anak. Sedangkan model

(17)

sosial, dan pelayanan konseling maupun pelayanan kelompok dalam rangka

membantu anak keluar dari kesulita-kesulitan psikososial. Sementara penanganan

model rumah singgah, lebih merupakan suatu penanganan pengalihan dari

penanganan yang bersifat street based kepada penanganan institusional based atau pelayanan transisi dari institusional based ke model penanganan yang bersifat home based.

2.3 Program Kesejahteraan Sosial Anak 2.3.1 Pengertian Program

Program adalah cara tersendiri dan khusus dirancang demi pencapaian suatu

tujuan tertentu. Dengan adanya suatu program, maka segala rancangan akan lebih

teratur dan lebih mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, maka program adalah

unsur pertama yang harus ada bagi berlangsungnya aktivitas yang teratur, karena

dalam program telah dirangkum berbagai aspek, seperti :

1. Adanya tujuan yang mau dicapai.

2. Adanya berbagai kebijakan yang diambil dalam upaya pencapaian tujuan

tersebut.

3. Adanya prinsip-prinsip dan metode-metode yang harus dijadikan acuan

dengan prosedur yang harus dilewati.

4. Adanya pemikiran atau rancangan tentang anggaran yang diperlukan.

5. Adanya strategi yang harus diterapkan dalam pelaksanaan aktivitas

2.3.2 Pengertian Program Kesejahteraan Sosial Anak

Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak

yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara

(18)

kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak

terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak (Undang-Undang Kesejahteraan Anak

No.6 Tahun 1974).

Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah upaya yang terarah, terpadu, dan

berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam

bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar, aksesbilitas pelayanan

sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak, penguatan orang

tua/keluarga dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak.

2.3.3 Tujuan Program Kesejahteraan Sosial Anak

Tujuan Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah terwujudnya pemenuhan

hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak dari keterlantaran, kekerasan,

eksploitasi, dan diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan

partisipasi anak dapat terwujud.

2.3.4 Sasaran Program Kesejahteraan Sosial Anak

Sasaran Program Kesejahteraan Sosial Anak yang akan dicapai dalam periode

RPJM II(Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional tahun 2010-2014 adalah

:

1. Meningkatnya presentase anak dan balita terlantar, anak jalanan, anak yang

berhadapan dengan hukum, anak dengan kecacatan dan anak yang

membutuhkan perlindungan khusus untuk memperoleh akses pelayanan

sosial dasar.

2. Meningkatnya presentase orang tua/keluarga yang bertanggung jawab dalam

pengasuhan dan perlindungan anak.

(19)

4. Meningkatnya lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan perlindungan

terhadap anak.

5. Meningkatnya Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial dan

Relawan Sosial terlatih, yang memberikan pendampingan dibidang pelayanan

kesejahteraan sosial anak.

6. Meningkatnya peranan Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dalam

mensinergiskan PKSA dengan program kesejahteraan dan perlindungan anak

yang bersumber dari APBD.

7. Meningkatnya produk hukum pengasuhan dan perlindungan anak sebagai

landasan hokum pelaksanaan PKSA.

2.3.5 Kebijakan Program Kesejahteraan Sosial Anak

1. Mengedepankan kemitraan dengan berbagai pihak dalam mewujudkan sistem

kesejahteraan sosial anak yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan,

2. Mengupayakan perluasan jangkauan layanan untuk seluruh anak yang

mengalami masalah sosial,

3. Mengedepankan pengembangan sistem pelayanan dan program kesejahteraan

sosial yang melembaga dan professional,

4. Menempatkan keluarga sebagai pusat pelayanan dalam rangka memperkuat

tanggung jawab orang tua/keluarga dalam memberikan pengasuhan dan

perlindungan bagi anak,

5. Mendorong peningkatan kemampuan dan keterlibatan masyarakat dalam

upaya mensejahterahkan dan melindungi anak.

(20)

Sasaran penerima layanan PKSA : anak,orang tua/keluarga maupun lembaga

kesejahteraan sosial yang menjadi mitra pendamping, harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

1. Adanya perubahan sikap dan perilaku social anak ke arah positif.

2. Intensitas kehadiran anak dalam layanan sosial dasar dari berbagai

organisasi/lembaga semakin meningkat.

3. Intensitas kehadiran anak dalam kegiatan pengembangan potensi

diri/kreativitas anak semakin meningkat.

4. Tanggung jawab orang tua/keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan

anak semakin meningkat.

5. Peran Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang bermitra dengan Kementrian

Sosial semakin efektif dalam mendampingi anak sehingga anak dapat

terhindar dari penelantaran, eksploitasi, kekerasan dam diskriminasi.

2.3.7 Pendamping Program Kesejahteraan Sosial Anak

Pendamping Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah pekerja sosial

professional, tenaga kesejahteraan sosial anak, atau relawan sosial yang direkrut oleh

dan bekerja untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), yang fungsinya

adalah melaksanakan tugas-tugas pelayanan kesejahteraan sosial dan perlindungan

khusus kepada anak dan keluarga yang menjadi penerima manfaat PKSA, serta

lingkungan komunitas/masyarakat.

Tugas-tugas Pekerja Sosial Profesional pendamping PKSA adalah

merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan hasil pemberian pelayanan

kesejahteraan sosial, antara lain :

1. Pendampingan terhadap anak, orang tua/keluarga dan komunitas yang

(21)

2. Layanan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan akses terhadap

pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak,

penguatan tanggung jawab orang tua/keluarga dan penguatan dan penguatan

peran LKSA.

3. Melakukan verifikasi komitmen penerima manfaat PKSA sesuai persyaratan

dan kewajiban yang telah ditetapkan pada setiap sub-program/klaster.

4. Melaksanankan tugas-tugas professional dalam mendampingi sasaran PKSA.

5. Melakukan advokasi social dalam rangka peningkatan kinerja PKSA kepada

jaringan mitra kerja PKSA, pemerintah, pemerintah daerah, DPR/DPRD, dan

lembaga lembaga Nnegara lainnya.

6. Membuat laporan penanganan kasus setiap terjadi kasus.

7. Membuat laporan pelaksanaan pendampingan pertriwulan, dan akhir tahun

kontrak kerja, selain laporan penanganan kasus.

Pekerja Sosial Profesional yang menjadi pendamping antara lain Satuan Bakti

Pekerja Sosial (Sakti Peksos) yang merupakan petugas kemanusiaan di bidang

pekerjaan social yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial atau Dinas/Instansi Sosial

yang memiliki status kerja kontrak karya dengan Direktorat Kesejahteraan Sosial

Anak (PKSA Pusat) atau Dinas/Instansi Sosial Provinsi (PKSA Dekon). Kontrak

karya dilakukan pertahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

Persyaratan Satuan Bakti Pekeja Sosial yang menjadi pendamping PKSA, adalah:

1. Pendidikan Diploma IV/Sarjana Pekerja Sosial/Kesejahteraan Sosial.

2. Berusia maksimal 40 tahun pada 31 Desember.

3. Warga Negara Republik Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, setia dan taat kepada Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun

(22)

4. Tidak berkedudukan sebagai CPNS/PNS/TNI/POLRI.

5. Tidak berkedudukan sebagai anggota atau pengurus Partai Politik.

6. Bebas dari narkotika dan zat adiktif lain.

7. Mengisi formulir pendaftaran

8. Sehat Jasmani dan Rohani dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter

pemerintah.

9. Tidak sedang terikat kontrak kerja dengan pihak lain.

10.Bersedia bekerja penuh waktu.

Pelaksanaan seleksi dilaksanakan oleh Panitia Seleksi Satuan Bakti Pekerja

Sosial bekerja sama dengan Biro Organisasi Kepegawaian, Sekretariat Jenderal

Rehabilitasi Sosial, Perguruan Tinggi Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Ikatan

Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI).Seleksi didasarkan pada hasil Test

Potensi Akademik dan Kompetensi Pekerjaan Sosial di bidang kesejahteraan social

anak.

2.4 Kesejahteraan Sosial

Walter A.Friedlander mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial adalah

sistem yang terorganisasi dari usaha-usaha sosial dan lembaga-lembaga sosial yang

ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standar

hidup dan kesehatan yang memuaskan, serta untuk mencapai relasi perseorangan dan

sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan-kemampuan

mereka secara penuh, serta untuk mempertinggi kesejahteraan mereka selaras dengan

kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat (Wibhawa, dkk. 2010:24)

Bahkan karena begitu pentingnya upaya mewujudkan kesejahteraan sosial,

(23)

ini, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang “Kesejahteraan Sosial”

yang memaparkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya

kubutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan

mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Beberapa hal dapat disimpulkan dari defenisi tersebut, antara lain :

1. Kesejahteraan sosial dipandang sebagai suatu tatanan masyarakat.

2. Tatanan masyarakat tersebut bersifat kondusif bagi setiap warga negara untuk

melakukan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka.

3. Adanya interaksi yang tidak terpisahkan dan saling mendukung diantara

setiap individu warga masyarakat dengan masyarakatnya.

4. Landasan nilai bagi tatanan masyarakat adalah nilai-nilai dasar sosial budaya

masyarakat itu sendiri (untuk masyarakat Indonesia, dirumuskan dalam

sila-sila Pancasila-sila) (Wibhawa, dkk. 2010:28)

Berdasarkan pada kedua pengertian kesejahteraan sosial tersebut diatas, maka

tak salah dan tak heran jika semua orang ingin hidupnya sejahtera, dan bahkan salah

satu tujuan penyelenggaraan negara adalah ingin menyejahterahkan rakyatnya.

Dengan melihat kondisi tersebut, maka upaya untuk mewujudkan kesejahteraan

sosial dilakukan oleh semua pihak, baik oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil

society, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui

kebijakan dan program yang bermitra pelayanan sosial, penyembuhan sosial,

perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat.

2.5 Kerangka Pemikiran

Anak jalanan adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan

(24)

di tempat-tempat umum. Sebagian besar dari anak jalanan bertempat tinggal di

pinggiran jalan, dan kolong jembatan, karena tidak mampu menyewa tempat tinggal.

Hal ini mengidentikkan bahwa anak jalanan kurang mendapat perhatian yang

melahirkan anggapan-anggapan negative terhadap mereka.

Disamping mereka sebagai pemicu masalah di jalanan, tidak menutup

kemungkinan pula bahwa mereka nantinya kelak menjadi generasi penerus bangsa ke

arah yang lebih baik. Untuk itu Program Kesejahteraan Sosial Anak hadir untuk

menjawab persoalan anak-anak jalanan khususnya. Program Kesejahteraan Sosial

Anak merupakan upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan

pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna

memenuhi kebutuhan dasar, aksesbilitas pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi

diri dan kreativitas anak, penguatan orang tua/keluarga dan penguatan Lembaga

Kesejahteraan Sosial Anak.

Dalam pelaksanaan program ini perlu dilihat bagaimana respon anak jalanan

yang merupakan sasaran dari program ini. Respon tersebut dapat dilihat dari wujud

persepsi, sikap, dan partisipasi. Harapan melalui program ini fungsi sosial anak

jalanan dapat meningkat diketahui dari perubahan sikap dan perilaku ke arah positif.

Anak tidak melakukan aktivitas ekonomi lagi di jalanan, karena telah memiliki

aktivitas yang lebih positif. Orang tua/keluarga melakukan pengasuhan secara

bertanggung jawab. Orang tua/keluarga mengurus berbagai kebutuhan dasar anak

(25)

Bagan Alur Pikir

Anak Jalanan di Daerah Pinggir Rel Gaperta

Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

RESPON

Partisipasi :

Keterlibatan

masyarakat

terhadap

program

Sikap :

Penilaian,

harapan dan

tanggapan

masyarakat

Persepsi :

Pengetahuan dan

pemahaman

tentang apa,

bagaimana, dan

Respon Negatif Respon Positif

Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)

(26)

2.6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional 2.6.1 Defenisi Konsep

Menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan

obyek penelitian, maka seorang ahli peneliti harus menegaskan dan membatasi

makna konsep-konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan

makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep (Siagian,

2011;138). Dengan kata lain, peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil

penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diingankan dan

dimaksudkan si peneliti.

Defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang

konsep-konsep,baik berupa objek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti. Untuk

memfokuskan penelitian ini, maka peneliti membatasi konsep yang akan digunakan

sebagai berikut :

1. Respon adalah jawaban, balasan, atau tanggapan terhadap suatu fenomena

tertentu.

2. Anak jalanan adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan

sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan

maupun di tempat-tempat umum.

3. Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah upaya yang terarah, terpadu, dan

berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat

dalam bentuk pelayanan social guna memenuhi kebutuhan dasar, aksesbilitas

pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak,

penguatan orang tua/keluarga dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial

(27)

2.6.2 Defenisi Operasional

Ditinjau dari proses atau langkah-langkah penelitian, dapat dikemukakan

bahwa perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari defenisi konsep.

Jika perumusan defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman

tentang konsep-konsep, baik berupa obyek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti,

maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia

nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011;141).

Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini dapat diukur melalui

indikator sebagai berikut :

1. Persepsi penerima bantuan yaitu meliputi pengetahuan dan pemahaman

tentang apa, bagaimana, dan manfaat program PKSA.

2. Sikap penerima bantuan yaitu meliputi penilaian, tanggapan, harapan

penerima bantuan terhadap program PKSA.

3. Partisipasi penerima bantuan yaitu meliputi keterlibatan penerima bantuan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengetahui hasil kerja dari bit RH40AP pada sumur DHX-4 dan bit CM34MRS pada sumur DH-10, bila dibandingkan kedua bit tersebut, bit RH40AP terlihat lebih ekonomis serta

Pada hasil pengerjaan analisa alokasi produksi untuk lapisan LPAB, LPCD, dan LPE menggunakan Prosper didapatkan pemodelan sumur dengan kondisi awal dan keadaan tersebut

1 NI KETUT YULIASIH, SST., M.Hum I WAYAN BUDIARSA S.Sn., M.Si IbM Pembinaan Tari pelegongan di Bangli SENI TARI FSP IbM 39,000,000 DIPA DIKTI TAHUN MULTI. USULAN BARU, DARI

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan Otonomi Daerah

Dalam root definition keberlanjutan keuangan tersebut di atas, peneliti menilai gambaran yang paling relevan untuk sistem keberlanjutan keuangan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh yang signifikan Core Stability Exercise dan Balance Exercise terhadap

IIIB di Madrasah Ibtidaiyah Hidayatussalikin Air Itam Pangkalpinang tergolong baik yang aktivitas siswanya terdiri dari tiga indikator yaitu siswa memperhatikan penjelasan

Untuk dapat mengakses data di dalam suatu memory card, biasanya terdapat beberapa slot dengan ukuran berbeda pada card reader yang memungkinkan kartu memori