Tentang “Manusia Manusia
Target”
Saya & IPT 1965
Aboeprijadi Santoso (1947)
Jurnalis, Redaktur Tim Media International People’s Tribunal 1965
Martono, bapak lebih separo umur yang krempeng itu, berdiri memandang hadirin. Dia baru saja
menyampaikan kesaksiannya. Lalu mondar mandir di tengah kerumunan di Nieuwe Kerk, gedung gereja yang direnovasi tempat IPT (International People’s Tribunal), Pengadilan Rakyat Internasional tentang Tragedi 1965, bersidang di Den Haag, Belanda. Dia merasa bahagia setelah mengungkap kesaksiannya di muka publik. Dengan penampilannya yang khas, menutup kepala dengan muts (kupluk hangat)
merah tua, dia menjawab pertanyaanpertanyaan Jaksa dengan lancar. Suaranya enteng, kadang melengking, tapi gerak tubuhnya menunjukkan keseriusannya. Tanpa drama teatrikal.
“Ya, ya! .. Mbuang mayatmayat itu kerjaan saya, betul!” tegasnya ketika saya dekati. Kisah bapak tukang listrik asal Solo ini amat ironis, nyaris surealis. Dia mengaku, berkat dianiaya berat namun selamat, dia mendapat tugas khusus – membuang mayat – yang membuat dirinya,
Kebal (1)
Suatu hari di pertengahan 1966 Martono disergap tiga pria bertopeng ala ninja bersama dua anggota RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). “Dengan tangan dan kaki terikat, saya diseret 150 meter ke jalan raya, dibawa ke Karang Menjangan, markas RPKAD di Sukohardjo, desa Kartasura, 13 km dari Solo.” Semalaman disiksa dan diperiksa, ditanya nama, partaimu apa, yang kamu bunuh berapa. “Karena tidak ketemu bukti, (saya) dilempar ke plafond, kepala ke eternit (atap) sampai tiga kali.” Rupanya tentara berdalih PKI (Partai Komunis
Indonesia) telah bergerak dan membunuh orang.
Martono kemudian dipindahkan ke Balai Kota, kompleks Kasunanan Solo. “Disitu, dengan celana dalam doang, setiap pagi dipertontonkan kepada masyarakat. Semua tahanan yang dianggap penting, disiksa. Ada AURI (Angkatan Udara), polisi dan CPM (Corps Polisi Militer). Itu Korem 174. Disitu 12
meninggal.” Lalu dipindah ke Santono Mulyo.
“Sekitar 2000 orang disitu. Selama setahun disitu, dibiarkan. Tidak diperiksa. Ada yang dibon,
istilahnya. Itu pulang tinggal nama. Tiap malam ada kematian. Kodenya: ‘Bawa perlengkapan!’. Yang perintahkan Peperda, kantor gabungan RPKAD.”
Pertengahan 1967. “Setelah setahun, dipanggil Korem 174 untuk dipekerjakan sesuai keahlian saya. Masih berstatus tahanan, tapi tak ada bukti tertulis. Semua lisan. Karena konduit di Korem dianggap baik, mau dipekerjakan di bengkel listrik. Eh, .. ternyata tidak. Malam itu di CPM ada
dianggap otak penembakan. Disetrum di jempol kaki, tapi saya kebal. Akhirnya dibebaskan, tanpa surat. Dengan syarat bertugas ‘membuat banteng banteng’. Itu bahasa Solo, (artinya) tiap ada yang dibantai, malamnya saya yang buang. Karena kalau malam kan nggak ada yang lihat.” Ketika mayat makin bertumpuk dan harus disingkirkan, Martono menjadi solusinya. Dari malam ke malam menjalani tugas itu, dia jadi kebal.
Jaksa: “Apa Anda mengalami trauma?”
Martono (lantang): “Sampai detik ini pun saya tidak trauma karena udah lihat mayatmayat, udah
dipukuli. Saya disini ini untuk mengungkap kebenaran.”
Jaksa: “Bagaimana perasaan Anda setelah hidup tersiksa?”
Martono: “Di satu sisi itu siksaan, tapi ada
hikmahnya. Setelah keluar tahanan, saya bisa
berrumah, beranak, bercucu, bahkan bercicit. Saya bisa menghidupi keluarga saya dengan bermayat.”
Mayat dan bangkai
Walhasil, mayatmayat itu membebaskan Martono dari trauma panjang, namun juga menjadi wujud penistaan terhadap manusiamanusia yang harus dihabisi. Dengan truknya, dia mengangkut entah berapa puluh mayat setiap malam. Di tangan dia, mayatmayat itu ‘turun pangkat’ jadi bangkai.
Tanpa doa dan hormat layaknya bagi manusia yang tutup usia, dia menyeretnya ke tepi sungai.
adalah warga, bagian dari masyarakat, yang dicampakkan, tak dihormati lagi, oleh negara penguasa negeri.
Martono yang terhina, harus melakukan penghinaan kepada sesamanya. Itulah
pemandangan surealis, sekaligus pekerjaan keseharian baginya, di tahuntahun celaka itu.
“Wah, paling capek itu Bung, itu kalau wik’en (akhir pekan). Pekerjaan bertumpuk. Mondar mandir,
buang mayat ke sungai!” Dia tak peduli lagi siapa dan mengapa mayatmayat itu dia seret dan buang.
Dengan kata lain, Martono – seperti banyak korban 1965 adalah korban berlipatganda. Dia jadi
korban tanpa mengetahui apa kesalahannya seraya harus menistakan kehormatan dirinya mau pun sesamanya, sebagai bagian dari kerjapaksa demi menyambung hidupnya. Dia tahu apa sanksinya bila dia membangkang perintah sang komandan.
Kisah Martono, sebagai bagian dari tribunal IPT, bagi saya, menjadi mata rantai terbaru dari
rangkaian panjang sejumlah kenyataan,
pengalaman dan pengetahuan yang menyertai kesadaran saya tentang Peristiwa Besar 1965. Semua itu menjadi bagian dari eye opening dan
perubahan diskursus terutama sejak awal 1970an.
Lebaran 1965
Pertengahan 1947, saat tentara Belanda masuk Jawa Tengah, saya terlahir dari keluarga yang tengah mengungsi ke Blitar, Jawa Timur.
saya menyaksikan – kali ini secara sadar agresi yang lain: agresi manusia terhadap manusia, tepatnya: agresi negara terhadap sesama warga.
Di tahun pembantaian 1965 itu, Lebaran jatuh pada bulan Desember. Seperti lazimnya, kami sekeluarga berlebaran di Malang. Apa yang saya saksikan
kemudian melekat di benak. 2) Ketika pulang,
selepas Yogya, tibatiba semua kendaraan berhenti. Orang hilir mudik, tapi semua diam atau berbisik bisik. Tak ada tentara. Yang ada hanya orang saling pandang. Aneh, tak ada riang selepas Lebaran. Luar biasa. Kami – kala itu saya masih di bangku kelas dua SMA – terheranheran, ada apa gerangan? Maka kami pun menuju tepi jembatan tempat banyak orang berjejer, memandang ke bawah, ke sungai. Sejumlah mayat terkapar di tepi dan tengah sungai yang dangkal. Terhenyak sesaat, saya tak menghitung. Yang pasti ada puluhan. Orang
menonton, diam, lalu pergi. Pertama kali saya
menyaksikan puluhan mayat manusia jadi tontonan publik dan dibiarkan. Kami pun melanjutkan
perjalanan pulang ke Bandung.
menyadari benar apa yang terjadi, bahwa mayat mayat terkapar di sungai itu hanyalah sebuah mikrokosmos dari malapetaka besar: sebuah porsi lokal dari gambar besar yang menjelma menjadi warna zaman. Meski diam, takut dan berbisikbisik, khalayak desa menyadari sebuah tragedi sedang melanda bangsa ini – dan sebuah aparat negara berada dibaliknya.
Alih zaman
Setiba di Bandung, ayah ditahan beberapa hari – hanya karena bertanyatanya tentang apa yang disaksikannya. Lebaran 1965 menjadi tonggak dalam perjalanan kesadaran saya. Sementara kehebatan propaganda Orde Baru tak membuat orang mudah beralih pikiran. Sejak Oktober 1965 rezim menuding PKI sebagai biang kerok dan pantas dihajar.
Feiten en Meningen (Fakta dan Pendapat),
memelopori kajian kritis dan kegiatan penyadaran masyarakat akan isu kediktaturan dan kekejaman di Indonesia. Di Paris, semacam Mekkah gerakan mahasiswa 1970an, filsuf JeanPaul Sartre
menyulut kebangkitan cendekia dan perhatian dunia pada Dunia Ketiga. Di Stockholm, filsuf Bertrand Russel menggugah nurani dunia melalui Vietnam War Crime Tribunal (1971) dengan
mengingatkan bahwa di Indonesia dalam enam bulan jatuh korban sebesar Perang Vietnam dalam beberapa dekade (19541975). Dengan latar Lebaran 1965 tadi, dinamika Eropa memacu perubahan
pikiran banyak orang, termasuk saya.
Betapa kontras zaman memuncak. Di Asia dan Amerika Latin rezimrezim baru menemukan
kediktaturan militer dan pembantaian sebagai jalan pintas untuk memenangi Perang Dingin.
Sebaliknya, di Eropa tuntutan Zeitgeist (warna zaman) justru menyoal solusisolusi itu. Pada titik itulah orang menohok hipokrisi dunia: ada
perhatian besar terhadap kekejaman rezim komunis ala Khmer Merah di Kamboja, namun bungkam tentang pembantaian manusia di Indonesia 1965 1966.
Di kalangan mahasiswa Indonesia (PPI,
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Nederland), diskusi seputar Peristiwa Besar 1965 absen.
sejarawan yang shock berat menyaksikan gegap gempita kekerasan 1965. Perdebatan ramai, tak hanya seputar ‘1965’, tapi juga soal menyikapi
secara politikmoral terhadap negara dibawah rezim semacam Orde Baru. Bagi saya, dasawarsa 1970an bermakna penting dalam mengembangkan pikiran dan menata sikap.
Sepanjang 198090an kegiatan lebih terpusat di kalangan aktivis lokal (Kommittee Indonesië di Amsterdam, Tapol di London, beberapa teman di Paris) dan juga di kalangan eksil 1965, mereka yang terhalang pulang, di seantero Eropa. Juga di PPI Amsterdam dan bersama Th. Sumartana (alm) dan temanteman lain di penerbitan ‘Berita Indonesia’, ‘Dialog Nusantara’ dan ‘Tanah Air’.
Kejahatan beranakpinak
Tahun 1970802000an, narasi Dunia Ketiga pudar dari wacana dunia. Perihal Indonesia, temanya
beralih ke apa yang dapat kita sebut ‘kejahatan beranakpinak’: 1965, Timor Timur, Tanjung Priok, Talangsari, Aceh, Papua, Mei 1998 dan banyak yang lain. Beberapa kasus dan dampaknya saya saksikan dalam liputanliputan untuk Radio Nederland
Siaran Indonesia.
saya terkejut ketika mewawancarai Ibu Sulami (alm). Mantan tokoh Gerwani ini bercerita persis sama tentang cara menghukum tahanan
perempuan: lari telanjang mengelilingi sebuah kampung di Solo. Lapangan volley di Aceh 1990an dan kampung di Solo 1965 itu hanya saksi bisu dari metode dan wacana yang sama.
Bandingkan tontonan itu dengan ‘pameran’ kepala manusia di Kediri di akhir 1965 3]atau foto kepala gerilyawan Fretilin yang dipamerkan oleh sejumlah prajurit Indonesia di hutan Matebian, Timor Timur, akhir 1970an. Rupanya ada kecenderungan
manusia berjaya untuk mempertontonkan
kejahatan dan kekerasan. Filsuf Michael Foucault menyebutnya sebagai ‘kegagalan negara dan
peradaban’. 4)
Kesadaran dan kesaksian tentang ini membuat orang – tidak hanya para korban dan saksi di Tim Tim dan Aceh, tapi juga saya sendiri cepat atau lambat menyadari geneaologi kekerasan negara sejak 1965.
Jadi, 1965 adalah tahun yang berkepanjangan. Selaku jurnalis, siapa pun harus tetap
memberitakan peristiwa dari berbagai sisi. Pada saat yang sama empati dan posisi moralnya dapat tertuang dalam kolomkolom opini. Orde Baru memaksa saya menulis di suratkabar berbahasa asing, tapi ini juga semacam berkah. Di lain pihak, ‘1965’ berekor panjang berkat hegemoni politiknya, lengkap dengan machoisme dan jagoismenya,
seperti Peristiwa Madiun 1948 – menjadi ‘Dosa
Madiun’ untuk membenarkan pembunuhan massal 1965. Seorang peneliti akademis menyebut motif ini ‘malicious fantasy’ (khayalan jahat). 5)
Tapi ‘1965’ juga bagaikan matahari tenggelam yang perlahan terbit kembali. Mirip Spanyol pasca
kediktaturan Franco di paruh awal 2000an,
Indonesia menyaksikan upayaupaya awal untuk memproduksi memori masa kelamnya untuk
mencari kebenaran sejarah melalui publikasi, film, media, diskusi, buku, penggalian kuburan massal dan reedukasi seputar isuisu yang menjadi lubang hitam dari masa silam (196566 untuk Indonesia, 193033 untuk Spanyol). 6)
Perubahan zaman sejak 1970an menuju 2000an telah membawa pengetahuan dan kesadaran yang membuka perspektif baru. Bagi mahasiswa
mahasiswa di masa itu, dinamika itu menjadi sumber inspirasi dan kegiatan, tapi juga refleksi. Benar, Genosida 1965tanpacomingtoterms (tak terselesaikan karena tanpa mencari kebenaran dan rehabilitasi korban) itu membuat kita, sebagai anak bangsa, malu. Namun, dengan kejahatan yang
beranakpinak itu, malu dan hutang moral
bertahuntahun itu berkembang menjadi kelugasan akal sehat yang mendorong banyak teman, juga saya, menemukan sebuah upaya bersama:
membantu Tribunal IPT.
Momentum historis
Jika Jerman – berkat tekanan berat para pemenang Perang Dunia II relatif cepat, dan Spanyol
Indonesia dengan ‘1965’? Dua tema mengemuka disini: unwilling (tidak berniat) dan unable (tidak mampu). Setengah abad berlalu, masyarakat menyadari bahwa negara dan pemerintah
sesungguhnya tidak berkeinginan dan tidak berdaya menyelesaikan persoalan besar bangsanya sendiri untuk mencari keadilan dan mengatasi warisan masa lalunya. Kedua kesimpulan itu, dalam
pertemuan informal dengan sutradara The Act of Killing, Joshua Oppenheimer, pada 23 Maret 2013 di Den Haag, mencetuskan gagasan bersama untuk – atas nama korban dan komuniti aktivis
internasional menggelar suatu tribunal
internasional yang kemudian kita kenal sebagai IPT. 7)
Syahdan, generasi baru datang dan bertanya, akan datang dan akan terus bertanya ‘apa yang terjadi’, ‘mengapa dan bagaimana bangsa ini sanggup
melakukan pembunuhan massal dan sejumlah kejahatan lain terhadap sesama mereka sendiri’, dan ‘bagaimana mungkin kita selama ini begitu lama mendiamkannya’. 8)
Untuk itu, Martono, para korban dan penyintas Genosida 1965 dan para peneliti akademis yang bersaksi dalam Tribunal IPT di Den Haag, telah menyumbangkan porsinya masingmasing yang amat berharga.
Dengan pengalaman, nurani dan pengetahuan yang ada, ‘1965’ telah menjadi pembelajaran penting bagi kita semua.
Mencari keadilan dan upaya mengatasi masa
sebenarnya merupakan suatu politisida – sebuah upaya dan manifestasi dari niat dan tekad (mens rea) untuk menghabisi hak hak mereka yang menjadi korban dan sasaran kejahatan. Ini
mengingatkan saya pada katakata seorang korban 1965 yang saya temui di Brebes, Januari 2016.
“Kami ini manusiamanusia target, Bung! Anakanak dan cucu saya yang belum lahir sekarang pun sudah terhukum!”
Katakata ini dasyhat. Dia datang dari seorang
korban, warga awam, yang kebetulan anak seorang kader PKI. Ungkapannya amat bermakna bagi
kemanusiaan, dan negara dan sebagian bangsa, yang masih mengabaikan dusta dan kejahatan yang terjadi.
Disitu, IPT merupakan sumbangan suatu momentum historis yang semoga dapat ikut menggugah peradaban bangsa ini dan dunia.
Catatan
(1) Kisah Martono saya ambil dari wawancara, dan sebagian besar dari kesaksiannya
https://www.youtube.com/watch?v=4Z5hI21rcw
13. Nov. 2015, Martono 49’57” – 1.04’30”
2) Bagian ini saya ambil bebas dari tulisan saya: Aboeprijadi Santoso, 1965 – Tahun Matahari Tenggelam: Sebuah Refleksi, 16 Sept. 2015,
3) Pipit Rochijat, Am I PKI or NonPKI?, Indonesia, Vol. 40, Okt. 1985, hal. 3756.
4) Aboeprijadi Santoso, The ‘1965’ killers – What’s gone ‘wrong’ with Indonesia? (2013)
https://www.academia.edu/3262094/The_1965_kill ers_What_s_gone_wrong_with_Indonesia_2013_
5) Robert Cribb, “Modes of Denial: Indonesia and genocide in comparative perspective” at
International Conference, ‘“1965” Today: Living with the Indonesian massacres,’ Amsterdam, 2 October 2015. Quoted in IPT Final Report, p.77 ;
http://www.tribunal1965.org/finalreportofthe ipt1965/
6) Aboeprijadi Santoso, A Spanish lesson for Indonesia’s 1965,
http//asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/1 2/08/aspanishlessonforindonesias1965/ ;
https://www.academia.edu/9675613/A_Spanish_le sson_for_Indonesia_s_1965_Dec._2014_
7) Selengkapnya disini: Aboeprijadi Santoso, When Genocide Turns Public Discourse, The 1965 People Tribunal and Its Final Conclusion. (Akan terbit)
8) Salahsatu contoh menarik adalah kumpulan tulisan dan rekaman suara generasi muda,
semacam egodocuments generasi baru tentang Peristiwa Besar 1965 dan dampaknya:
https://medium.com/ingat65
Dari Beranda Tribunal, Bunga Rampai Relawan, Friends of International People’s Tribunal,