• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Diabetes Melitus Dengan Peningkatan Permeabilitas Pembuluh Darah Pada Tikus Diabetes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Diabetes Melitus Dengan Peningkatan Permeabilitas Pembuluh Darah Pada Tikus Diabetes"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit atau gangguan

metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada DM

berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa

organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh. Menurut WHO

DM merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak mampu

memproduksi insulin yang cukup, atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan

insulin yang dihasilkannya secara efektif1,10,11

1. DM tipe 1

.

2.1.2. Klasifikasi dan Etiologis

DM dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori klinis, DM tipe 1, DM tipe 2

dan DM tipe tertentu:

DM tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus), dapat terjadi

disebabkan karena adanya kerusakan sel-β, biasanya menyebabkan

kekurangan insulin absolute. DM tipe 1 terjadi sebanyak 5-10% dari semua

DM. DM tipe 1 ditandai dengan onset yang akut dan biasanya terjadi pada

usia sebelum 30 tahun

2. DM tipe 2

5,10

DM tipe 2 atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus), dapat

terjadi karena kerusakan progresif sekretorik insulin atau akibat resistensi

insulin. DM tipe 2 mengenai 90-95% pasien dengan DM. Insidensi terjadi

lebih umum pada usia di atas 30 tahun, berhubungan dengan obesitas,

herediter dan faktor lingkungan. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi

(2)

3. DM tipe tertentu

DM tipe ini dapat terjadi karena penyebab lain, misalnya, defek genetik pada

fungsi sel-β, defek genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas

(seperti fibrosis kistik dan pankreatitis), penyakit metabolik endokrin, infeksi,

sindrom genetik lain dan karena disebabkan oleh obat atau kimia (seperti

dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ)5,10

1) Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3)

.

Klasifikasi Etiologis DM (ADA, 2014) :

1. Diabetes Melitus Tipe 1 : (Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke

defisiensi insulin absolut):

a. Melalui proses imunologik

b. Idiopatik

2. Diabetes Melitus Tipe 2 : (Bervariasi mulai dari yang predominan resistensi

insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan

sekresi insulin bersama resistensi insulin)

3. Diabetes Melitus Tipe Lain

a. Defek Genetik fungsi sel Beta :

2) Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)

3) Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1)

4) Kromosom 13, insulin Promoter faktor -1 (IPF-1, dahulu MODY4)

5) Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

6) Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6)

7) DNA Mitochondria, dan lainnya

b. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism,

sindrom Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya

c. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, fibrosis

kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro, kalkulus, dan lainnya

d. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma,

(3)

e. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilatin, interferon alfa f. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya

g. Imunologi (jarang) : Sindrom “Stiff-man”, antibody anti reseptor insulin

h. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom

Turner, Sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea Hutington,

Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya

a. Ras dan etnik

10

4. Diabetes kehamilan

2.1.3. Faktor Risiko

Menurut PERKENI (2011), faktor risiko DM tipe 2 terdiri dari faktor risiko

yang tidak bisa dimodifikasi, yang bisa dimodifikasi dan faktor lain yang terkait

dengan risiko DM tipe 2.

1. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi yaitu:

b. Riwayat keluarga dengan DM

c. Umur (risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring

dengan meningkatnya umur, umur >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan

DM)

d. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau

riwayat pernah menderita gestasional

e. Riwayat lahir dengan berat badan rendah kurang dari 2,5 kg (bayi yang

lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi

dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal)

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu:

a. Berat badan lebih (IMT >23kg/m²)

b. Kurangnya aktivitas fisik

c. Hipertensi (140/90mmHg)

(4)

e. Diet yang tidak sehat (unhealthy diet), diet dengan tinggi gula dan rendah

serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes atau intoleransi

glukosa dan DM tipe 2

3. Faktor lain yang terkait dengan risiko DM tipe 2 yaitu:

a. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain

yang terkait dengan resistensi insulin

b. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu

(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya

c. Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke,

penyakit jantung koroner (PJK) atau Peripheral Arterial Diseases1

2.1.4. Patofisiologi

DM tipe 2 merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik utama

terjadinya hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor

genetik dikatakan memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM

tipe 2. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan

seperti gaya hidup, obesitas, rendahnya aktivitas fisik, diet dan tingginya kadar

asam lemak bebas

(PAD)

(PERKENI, 2011).

5,10

Mekanisme terjadinya DM tipe 2 umumnya disebabkan karena resistensi

insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berikatan dengan

reseptor khusus pada permukaan sel, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam

metabolisme glukosa didalam sel5,10.

Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel

ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi

pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi peningkatan jumlah glukosa

dalam darah, terjadi peningkatan jumlah insulin yang disekresikan dan hal ini

akan semakin memperberat kerja pankreas sehingga akan memperberat resistensi

insulin yang terjadi dan kerusakan sel beta pancreas5,10

Pada penderita gangguan toleransi glukosa terjadi sekresi insulin yang

(5)

meningkat. Namun demikian, jika sel-sel β tidak mampu mengimbangi

peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa darah akan meningkat

dan terjadi DM tipe 2.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM

tipe2. Namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah

pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu,

ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe 2. Meskipun demikian, DM tipe 2

yang tidak terkontrol akan menimbulkan masalah akut lainnya seperti sindrom

Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik (HHNK)5.

Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun)

dan progresif, maka DM tipe 2 sring tidak terdeteksi. Gejala yang sering dialami

pasien, seperti: kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang

lama-lama sembuh., konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit DM selama

bertahun-tahun adalah kelainan vaskuler perifer yang sering mendahului diagnosis

DM.komplikasi DM jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati perifer,

kelainan vascular perifer) mungkin terjadi sebelum diagnosis ditegakkan5

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2.

.

2.1.5. Diagnosis

Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis DM tipe 2 dapat ditegakkan melalui:

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan adanya

keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan

sedikitnya 8 jam.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO

≥200mg/dL (11,1 mmol/L). Meskipun TTGO dengan beban 75g glukosa lebih

sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,

(6)

dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena

membutuhkan persiapan khusus.

4. Tes hemoglobin-glikosilat/ HbA1C. Terdiagnosis DM tipe 2 jika nilai HbA1C ≥6,5%. Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan metode yang bersertifikat NGSP (National Glycohemoglobin Standardization Program)

dan standar untuk uji DCCT (Diabetes Control and Complications Trial)10.

Sumber : PERKENI, 2011.

Gambar 2.1 : Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa.

2.1.6. Penatalaksanaan

Pengelolaan dan pencegahan penyakit DM tipe 2 dimulai dengan pengaturan

makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar

glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan

obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO

(7)

Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, seperti ketoasidosis, stres

berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat

segera diberikan.

Menurut PERKENI (2011), penatalaksanaan dan pengelolaan DM pada

penderita DM tipe 2 dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan yaitu: edukasi,

terapi nutrisi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis1

a. Makan makanan sehat dan bersih.

.

1. Edukasi

DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah

terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang DM tipe 2 memerlukan

partisipasi aktif dari pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan

mendampingi pasien dalam melakukan perubahan perilaku sehat. Untuk

mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang

komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Edukasi merupakan aspek

yang sangat penting dalam mengelola DM.

Tujuan dari edukasi DM adalah mendukung usaha pasien penyandang DM

untuk mengerti perjalanan penyakitnya dan pengelolaannya serta perubahan

perilaku atau kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Pengetahuan atau edukasi

tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia

serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar

glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan

khusus (PERKENI, 2011). Antara edukasi yang diberikan kepada pasien

adalah:

b. Melakukan kegiatan jasmani secara benar dan teratur.

c. Menggunakan obat DM dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman

dan teratur.

d. Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan data

yang ada.

e. Melakukan perawatan kaki secara berkala dan teratur.

f. Mengelola DM dengan tepat.

(8)

2. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan salah satu bagian dari

penatalaksanaan DM tipe 2 secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah

keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim yaitu, dokter, ahli

gizi,petugas kesehatan yang lain, serta pasien dan keluarganya. Setiap

penyandang DM tipe 2 sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada

penyandang DM tipe 2 hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat

umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan

zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang DM tipe 2 perlu

ditekankan tentang pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,

jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat

penurun glukosa darah atau insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan

terdiri dari: karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi,

asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, protein dibutuhkan

sebesar 10-20% total asupan energi, anjuran asupan natrium tidak lebih dari

3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh garam dapur), anjuran

konsumsi serat adalah ±25 gr/hari, dan pemanis aman digunakan sepanjang

tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake/ADI).

Kebutuhan kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,

jenis kelamin, aktivitas fisik dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan

mempertahankan berat badan ideal1

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur adalah 3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan

kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan. Latihan

jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan

dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali

glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang

bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. .

(9)

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran

jasmani. Untuk penderita yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa

ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM tipe 2, maka

intensitas latihan jasmani dapat dikurangi. Penderita dianjurkan untuk

menghindari kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.

Menurut ADA, ada beberapa pedoman umum untuk melakukan latihan

jasmani pada pasien DM tipe 2 yaitu1,12

a. Gunakan alas kaki yang tepat, dan bila perlu alat pelindung kaki lainnya. .

b. Hindari latihan dalam udara yang sangat panas atau dingin.

c. Periksa kaki setelah melakukan latihan.

d. Hindari latihan pada saat pengendalian metabolik buruk.

4. Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis merupakan salah satu bagian penatalaksanaan DM

tipe 2 yang sangat penting. Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran

glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani

(gaya hidup sehat). Obat-obatan yang digunakan untuk penderita DM tipe 2

adalah obat hipoglikemik oral (OHO), suntikan, dan terapi kombinasi1

1) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid .

a. Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan :

2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin : metformin dan tiazolidindion

3) Penghambat gluconeogenesis : metformin

4) Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa DPP-IV

inhibitor

Cara pemberian OHO:

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai

respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.

1) Sulfonilurea : 15 – 30 menit sebelum makan.

2) Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan.

3) Metformin : sebelum/ pada saat/ sesudah makan.

(10)

5) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

6) DPP-IV inhibitor : diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

b. Suntikan

1) Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan :Penurunan berat badan yang cepat

atau drastis Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

2) Agonis GLP-1/incretin mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan

baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai

perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia

ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada

pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1

bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang

lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui

berperan pada proses glukoneogenesis. Obat ini terbukti memperbaiki

cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian

obat ini antara lain adalah rasa sebah dan muntah.

c. Terapi kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, dan

kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa

darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan

dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO. Terapi dengan

OHO kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang

mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum

tercapai, dapat diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda

atau kombinasi OHO dengan insulin. Kombinasi OHO dan insulin, yang

banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja

menengah atau insulin kerja panjang). Dengan pendekatan terapi tersebut pada

umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik. Bila dengan cara

seperti diatas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka

(11)

2.1.7. Komplikasi

Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM tipe 2 akan

menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe 2 terbagi dua

berdasarkan lama terjadinya yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik1,5. 1. Komplikasi akut

Terdapat 3 komplikasi akut pada pasien DM tipe 2 yaitu : Ketoasidosis

diabetik (KAD), Hiperosmolar non ketotik (HNK), dan hipoglikemia1 a. Ketoasidosis diabetik (KAD)

.

KAD merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan peningkatan

kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya

tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma

meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap1 b. Hiperosmolar non ketotik (HNK)

.

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi

(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat

meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau

sedikit meningkat1 c. Hipoglikemia

.

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah mg/dL. Pasien

DM yang tidak sadarkan diri harus dipikirkan mengalami keadaan

hipoglikemia. Gejala hipoglikemia terdiri dari berdebar-debar, banyak keringat,

gementar, rasa lapar, pusing, gelisah dan kesadaran menurun sampai koma1. 2. Komplikasi Kronik

Terdapat banyak komplikasi jangka panjang pada DM. Sebagian besar

disebabkan langsung oleh tingginya konsentrasi glukosa darah. Komplikasi

DM tersebut hampir mengenai semua organ tubuh. Komplikasi kronis ini

berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu komplikasi mikrovaskular dan

(12)

a. Komplikasi Mikrovaskular

1). Retinopati Diabetik

Komplikasi jangka panjang DM yang sering dijumpai adalahgangguan

penglihatan. Ancaman paling serius terhadap penglihatan adalah

retinopati diabetik, atau kerusakan pada retina karena tidak

mendapatkan oksigen. Retina adalah jaringan yang aktif

bermetabolisme dan pada hipoksia kronis akan mengalami kerusakan

secara progresif dalam struktur kapilernya, membentuk

mikroaneurisma dan memperlihatkan bercak-bercak perdarahan.

Terbentuk jaringan-jaringan infark (jaringan yang mati) yang diikut i

neuvaskularisasi (pembentukan pembuluh baru), bertunasnya

pembuluh-pembuluh lama. Sayangnya pembuluh-pembuluh baru dan

tunas-tunas dari pembuluh lama berdinding tipis dan sering hemoragik,

menyebabkan aktivasi sistem inflamasi dan pembentukan jaringan

parutdi retina. Edema interstisial terjadi dan tekanan intraokulus

meningkat, yang menyebabkan kolapsnya kapiler dan saraf yang

tersisa sehingga terjadi kebutaan. DM juga berkaitan dengan

peningkatan katarak dan glaukoma. Pada stadium awal retinopati dapat

diperbaiki dengan control gula darah yang baik, sedangkan pada

kelainan sudah lanjut hamper tidak dapat diperbaiki hanya dengan

kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila

dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat. Retinopati

diabetik terjadi pada penderita DM tipe 1maupun tipe 2. Retinopati

diabetik berkembang hampir pada semua penderita DM tipe 1 dan juga

pada 77% lebih penderita DM tipe 2 yang bertahan hidup lebih dari 20

tahun. WHO menyatakan bahwa padatahun 2002 retinopati diabetik

bertanggung jawab atas 4,8% dari 37 jutakasus kebutaan di seluruh

dunia. DM adalah penyebab nomor satu kebutaan di Amerika Serikat.

Retinopati dabetik juga bertanggung jawabatas sekitar 10.000 kasus

(13)

2). Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian terpenting

padaDM yang lama. Nefropati diabetik merupakan istilah yang

mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada DM. Lesi awalnya

adalah hiperfiltrasi glomerulus (peningkatan lajufiltrasi glomerulus)

yang menyebabkan penebalan difusi pada membran basal glomerulus,

bermanifestasi sebagai mikroalbuminuria (albumin dalam urin 30-300

mg/hari), merupakan tanda sangat akurat terhadap kerusakan vaskular

secara umum yang menjadi prediktor kematian akibat penyakit

kardiovaskular. Albuminuria persisten (albumnin urin >300 mg/hari)

awalnya disertai dengan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang

normal, namun setelah terjadi protenuria berlebih (protein dalam urin

>0,5g/24 jam), GFR menurun secara progresif dan terjadi gagal ginjal.

Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 45% pasien DM tipe 1

akan berkembang menjadi gagal ginjalkronik dalam waktu 15 hingga

25tahun setelah awitan DM. Individu denganDM tipe 2 lebih sedikit

yang berkembang menjadi gagal ginjal kronik (sekitar 10% hingga

20%) dengan insidensi mendekati 50%. Nefropati diabetik adalah

penyebab nomor satu gagal ginjaldi Amerika Serikat dan

negara-negara barat lainnya.

3). Neuropati Diabetik

Diabetes Mellitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen

sensorik dan motorikdivisi somatik otonom. Penyakit saraf yang

disebabkan DM disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetic

disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek

hiperglikemia, termasuk hiperglikosilasi protein yang melibatkan

fungsi sel saraf. Sel-sel penunjang saraf, terutama sel Schwann mulai

menggunakan metode alternatif untuk mengatasi beban peningkatan

glukosa kronis, yang akhirnya mengakibatkan demielinisasi segmental

saraf perifer. Neuropati diabetik terjadi 60-70% individu DM.

(14)

perifer danotonom. Neuropati perifer, pada awalnya menyebabkan

hilangnya sentakan pergelangan kaki dan tidak adanya sensasi getar

pada extremitas bawah.

Kemudian sensasi raba dan nyerimenghilang. Pasien sering kali

mengeluh baal (kesemutan), dan rasa seperti terbakar di malam hari.

Ulkus kronis tanpa nyeri berkembang di tempat-tempatyang terkena

trauma berulang. Semua penyandang DM yang disertai neuropati

perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi

risiko ulkus kaki karena kulit pada daerah ekstremitas bawah

merupakan tempat yang sering mengalami infeksi. Kuman stafilokokus

merupakan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi biasanya

melibatkan banyak mikroorganisme, yang sering terlibat adalah

stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob.

Neuropati otonom dapat menyebabkan disfungsi ereksi (impotensi

seksual) pada 25% pasien pria dan disfungsi gastrointestinal serta

infeksi saluran kemih. Prevalensi disfungsi ereksi pada penyandang.

DM tipe 2 lebih dari 10 tahun cukup tinggi dan merupakan akibat

adanya neuropati autonom, angiopati dan masalah psikis. Upaya

pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol glukosa darah senormal

mungkin dan memperbaiki faktor risiko disfungsi ereksi lain seperti

dislipidemia, merokok, obesitas dan hipertensi.

4) Komplikasi Makrovaskular

Komplikasi makrovaskular terutama terjadi akibat aterosklerosis

(pengerasan arteri). Komplikasi makrovaskular ikut berperan dan

menyebabkan gangguan aliran darah, penyulit komplikasi jangka panjang,

dan peningkatan mortalitas. Pada DM terjadi kerusakan pada lapisan sel

endotel arteri dan dapat disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar

glukosa dalam darah, metabolit glukosa, atau tingginya kadar asam lemak

dalam darah yang sering dijumpai pada pasien DM. Akibat kerusakan

tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat sehingga molekul yang

(15)

mencetuskan reaksi imun dan inflamasi sehingga akhirnya terjadi

pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis. Sel-sel otot polos

berproliferasi. Penebalan dinding arteri menyebabkan hipertensi, yang

semakin merusak lapisan endotel arteri karena menimbulkan gaya yang

merobek-robek sel-sel endotel. Komplikasi makrovaskular akan

mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer,

maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai

klaudikasio intermitten dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi

serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta

maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardiun.Pada penderita

DM, risiko penyakit serebrovaskular meningkat dua kali lipat, penyakit

jantung koroner meningkat tiga sampai lima kali lipat, dan penyakit

pembuluh darah perifer meningkat 40 kali. Risiko relatif penyakit

kardiovaskular adalah dua sampai empat kali lipat lebih tinggi pada pria

dan tiga sampai empat kali lebih tinggi pada wanita DM dari pada

kelompok kontrol berusia sama. Makrovaskular merupakan penyebab

utama kematian pada pasien DM tipe 2, mencakup 50% kematian pada

kelompok ini.

2.2. Permeabilitas Pembuluh Darah

Menurut Mehta Dolly, dan Asrar B. Malik, Intima pembuluh darah yaitu

lapisan endotelium vaskular mengatur berbagai fungsi termasuk reaksi

host-pertahanan, angiogenesis dan hemostasis cairan jaringan. Pemeliharaan barrier

semi-permeableendotelium sangat penting dalam mengatur perjalanan makro

molekul dan cairan antara darah dan ruang interstitial. Diketahui bahawa,

Gangguan fungsi ini mengakibatkan inflamasi jaringan seperti sindrom gangguan

pernapasan akut. Karakteristik permeabilitas makromolekul tergantung pada

radius molekul serta sifat barrier endotelium tertentu. Sifat Ukuran-selektif barrier

pembuluh darah untuk plasma protein merupakan faktor utama dalam gradien

protein, (terutama dalam kasus albumin) untuk keseimbangan cairan dari jaringan.

(16)

untuk zat hidrofobik, asam lemak, dan hormone molekul yang sangat penting

untuk fungsi sel organisme. Sehingga transfer zat yang tidak larut air dari darah ke

dalam interstitium yang efisien bergantung pada permeabilitas endotel, dan

protein carrier tertentu. proses fluks protein endothelium yang dinamis antara

vaskular dan ruang ekstravaskular memungkinkan Fluks protein transendothelial

terus menerus dan gradien albumin curam.

Fungsi pertukaran pembuluh darah adalah untuk memungkinkan transfer

dari gas terlarut, ion, dan zat terlarut di dinding pembuluh darah tanpa hambatan.

Sebagian besar zat ini rendah berat molekul dan lebih tinggi konsentrasi dalam

plasma daripada diinterstitium, demikian difusi pasif adalah modus transportasi

utama untuk zat terlarut ini. Dinding pembuluh adalah untuk membatasi zat

molecular-weight tinggi seperti protein karena pengkonsumsian jaringan tidak

secepat ini, dan merupakan alasan yang utama untuk dipertahankan dalam

sirkulasi13.

2.3. Hiperglikemi terjadi Peningkatan Permeabilitas Pembuluh Darah

Hiperglikemia berhubungan dengan komplikasi vaskular karena posisinya

yang strategis antara darah dan dinding pembuluh darah, pembuluh darah

endotelium merupakan target utama terjadinya hiperglikemia. Dengan demikian,

ada konsensus bahwa hiperglikemia menyebabkan disfungsi endotel kronis.

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa peningkatan permeabilitas endotel

merupakan manifestasi awal disfungsi endotel pada diabetes mellitus. Perubahan

dalam penghalang sel endotel fisiologis cenderung merusak fungsi organ, akibat

akumulasi plasma makromolekul di kompartemen interstitial tubuh organ. Oleh

karena itu, mikroalbuminuria dijadikan sebagai parameter klinis yang penting dan

sasaran terapi untuk pengobatan komplikasi vaskular pada pasien diabetes

mellitus. Namun, mekanisme molekuler yang bertanggungjawab untuk

hyperpermeability endotel pada diabetes mellitus sebagian besar masih tidak

diketahui, yang turut membatasi terapi yang efektif intervensi9

DM mengganggu vasodilatasi endothelium dependent (nitric oxide) sebelum

(17)

menghalangi aktivasi sintetase eNOS dan meningkatkan produksi reactive oxygen

species (ROS), terutama anion superoksida (O2-), pada endotel dan sel otot polos.

Anion superoksida langsung menghambat NO dengan membentuk ion

peroxynitrite yang bersifat racun, yang memisahkan eNOS dengan mengoksidasi

kofaktor, tetrahydrobiopterin, dan menyebabkan eNOS memproduksi O2.

Penurunan aktivitas NO berakibat menurunkan potensi vasodilatasi endotel

(endothelium dependent relaxing faktor) sehingga peran pengaturan homeostasis

vaskuler terganggu. Hiperglikemia menyebabkan penurunan nitric oxide,

peningkatan stress oksidatif dan reseptor untuk produksi glikasi dan produk

aktivasi meningkat, peningkatan transkripsi nuclear faktor kB (NF kB) dan

aktifator protein I. Faktor-faktor ini mengatur ekspresi gen yang mengkode

mediator atherogenesis; misalnya, molekul leukosit-sel adhesi pada permukaan

endotel, leukosit menarik kemokin, seperti chemoattractant monosit protein yang

merekrut limfosit dan monosit ke dalam dinding pembuluh darah dan mediator

proinflamatori ditemukan dalam ateroma, termasuk interleukin 1 dan tumor

necrosis faktor.

Aktivasi NF kB menyebabkan peningkatan ekapresi NAD(P)H maupun iNOS.

Peningkatan ekspresi iNOS akan diikuti terjadinya pembentukan NO.

Hiperglikemia, pengeluaran asam lemak bebas, dan resistensi insulin terjadi pada

sel endotel penderita DM. Aktivasi dari sistem ini mengganggu fungsi endothelial,

vasokonstriksi, meningkatkan inflamasi, dan mencetuskan thrombosis. Penurunan

nitrit oksida dan meningkatkan konsentrasi endothelin dan angiotensin II

meningkatkan tonus vaskular dan pertumbuhan sel otot polos dan migrasi.

Aktivasi dari faktor transkripsi nuclear B (NF-B) dan protein activator 1

menginduksi ekspresi gen inflamasi, dengan pembebasan dari kemokin yang

mengikat leukosit, meningkatkan produksi sitokin inflamasi, dan ekspresi dari

molecular adhesi sel. Meningkatkan produksi dari faktor jaringan dan plasmin

activator inhibitor 1 membuat protrombotik, dan menurunkan nitrit oksida dari

endotelium dan aktivasi trombosit prostasiklin9

Endotelium memainkan peran penting dalam regulasi fungsi vaskular dengan

(18)

tonus pembuluh darah, pertumbuhan sel, peradangan dan trombosis / hemostasis.

Disfungsi endotel vaskular merupakan temuan awal perkembangan penyakit

kardiovaskular dan terkait erat dengan kelainan klinis pada pasien dengan

aterosklerosis dan hipertensi. Oleh karena itu, pengetahuan tentang mekanisme

perkembangan disfungsi endotel dan strategi farmakologis yang mengeratkan

disfungsi endotel sangat penting. Disfungsi endotel sering mengacu situasi

berkurang bioavailabilitas dan gangguan vasodilator dari endotelium yang

menurunkan oksida nitrat (NO), prostcyclin atau hyperpolarisasi endotelium.

Salah satu perubahan penting dalam disfungsi endotel adalah peningkatan

produksi endothelin dan aktivitas biologis dari vasokonstriktor dan pro-inflamasi

peptida endotelin (ET)-1.

Mature ET-1 dibentuk dari pre-pro-ET-1 melalui asam 39-amino. ET-1

diproses oleh keluarga ET mengkonversi enzim (eces) dan enzim lain seperti

chymases, metaloproteinase non-ECE dan endopeptidases. Dalam kondisi

fisiologis, ET-1 diproduksi dalam jumlah kecil terutama di sel endotel, terutama

bertindak sebagai autokrin dan parakrin mediator. Namun, produksi dirangsang

dalam sejumlah besar jenis sel yang berbeda, termasuk sel-sel endotel, sel otot

polos pembuluh darah, jantung miosit dan sel-sel inflamasi seperti makrofag dan

leukosit.

Sumber :

(19)

Pada manusia sehat ET-1 meningkatkan tekanan darah arteri, mengurangi

denyut jantung, curah jantung dan stroke volume dan menyebabkan

vasokonstriksi yang lama dalam paru, ginjal, splanchnic, miokard, dan pembuluh

darah otot. Haynes dan Webb menunjukkan bahwa selektif ETA antagonis

reseptor BQ123 membangkitkan peningkatan aliran darah lengan pada pria sehat .

ETB reseptor antagonis mungkin baik sendiri atau pada latar belakang dari ETA

reseptor antagonis menyebabkan vasokonstriksi lokal pada subyek sehat muda .

Temuan ini menunjukkan bahwa endogen ET-1 memiliki peran fisiologis dalam

Gambar

Gambar 2.1 : Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa.
Gambar 2.2 : gambar dinding arteri ysng sehat(kiri) dan disfungsi endothel(kanan)

Referensi

Dokumen terkait

Jenis pertemuan yang pernah diikuti dari hasil survey ini adalah yang paling tertinggi melalui pengajian dengan nilai persentase 74% yang berjumlah 2741, kedua adalah melalui Arisan

Pada kelompok perlakuan 1 (KP 1) dan kelompok perlakuan 2 (KP 2) terjadi kenaikan titer antibodi yang dihasikan pada setiap bleed yang menunjukan adanya peningkatan

Having a number of superblocks portfolios: Kota Kasablanka and Gandaria City in Jakarta; Tunjungan City and Pakuwon Mall in Surabaya, PWON succeeds to balance the ratio

a) Bergizi dan bernutrisi baik guna mencukupi kebutuhan energi ibu dan proses tumbuh kembang janin ,yang bersumber karbohidrat (nasi,jagung dan ubi), protein

fever using meteorological data such as rainfall, rainy days, air temperature, humidity, and dengue hemorrhagic fever surveillance data by month in Northern

pertumbuahn Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot media tanaman serat sawit 120 g menghasilkan tinggi bibit, luas daun, jumlah daun, dan diameter batang lebih

Permasalahan ini kemudian menjadi alasan peneliti untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang hubungan antara antara umur, paritas dan pendampingan suami dengan

Baru pada tahun 1927 (lihat gambar 1.3) secara keseluruhan bodi kendaraan terbuat dari logam, dimana bodi kendaraan yang terdiri dari berbagai komponen telah dibuat dari lembaran