• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Lembaga Kuasi Yudisial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Lembaga Kuasi Yudisial"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara berkembang, pada dekade terakhir ini Indonesia

mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pembangunan yang dilakukan demi

kemajuan Negara Indonesia merupakan pembangunan yang dilakukan secara

menyeluruh serta menyentuh segenap aspek hidup masyarakat dalam arti tidak

hanya menitikberatkan pada satu bidang tertentu saja. Penggerak utama dalam

pembangunan Negara Indonesia ialah pembangunan pada bidang ekonomi.

Pembangunan ekonomi erat kaitannya pada aktivitas bisnis, dimana salah satu

aktivitas bisnis ialah pertukaran suatu barang atau jasa.4

Segala sesuatu yang berhubungan dengan pertukaran barang yang bernilai

ekonomis diatur dalam hukum bisnis.5 Tak hanya perihal transaksi atau pertukaran antar barang saja yang diatur, hukum bisnis juga mengatur tentang cara

pelaksanaan urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang

dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan

menempatkan uang dari entrepreneur dalam resiko tertentu dengan usaha tertentu

dengan motif (dari entrepreneur tersebut) adalah untuk mendapatkan keuntungan

4

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu Hukum Bisnis Dalam Presepsi Manusia Modern, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2004) hlm. 24.

(2)

tertentu.6 Dalam suatu kegiatan dagang juga melibatkan konsumen sebagai penerima nilai dari suatu barang.7

Pesatnya pembangunan dan perkembangan perekonomian nasional telah

menghasilkan variasi produk barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.

Kemajuan dibidang ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi, dan informatika

juga turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa

hingga melintasi batas-batas suatu Negara. Kondisi demikian pada suatu pihak

sangat beranfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhan akan barang

dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar

kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan

kemampuannya.8 Kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang.9Pada prakteknya, banyak permasalahan timbul, baik dari pihak pelaku usaha, maupun konsumen, walaupun

kecenderungannya menempatkan konsumen terhadap posisi yang lebih lemah.

Konsumen kerap menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang

sebesar-besarnya oleh pelaku usaha, melalui kiat promosi, cara penjualan, serta

penerapan perjanjian, tanpa memperhatikan hak-hak konsumen.10 Kedudukan konsumen pada umumnya masih lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Impelementasinya, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 1.

9

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: Penerbit Nusa Media, 2008), hal 12.

(3)

daya tawar, karena itu sangatlah dibutuhkan adanya undang-undang yang

melindungi kepentingan-kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan.11 Demi melindungi hak-hak konsumen dalam segala aspek kegiatan

ekonomi maka diperlukan perlindungan hukum terhadap konsumen, yang saat ini

diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Disahkannya Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(selanjutnya disebut UUPK) dapat menguatkan perlindungan hukum terhadap

konsumen. Hal ini penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk

memaksa pelaku usaha menaati peraturan yang telah dtetapkan, dan juga hukum

memiliki sanksi yang tegas.12 Pada intinya didalam pasal 3 UUPK dinyatakan bahwa UUPK memiliki tujuan meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam

memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, menciptakan

sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan

keterbukaan akses untuk mendapatkan informasi, serta menumbuhkan kesadaran

pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen. Atas tujuan UUPK

tersebut maka dibentuklah beberapa lembaga demi mencapai tujuan tersebut.

Salah satunya ialah dibentuknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(selanjutnya disebut BPSK).

Sebagai amanat dari UUPK, BPSK dibentuk sebagai badan yang bertugas

menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen antara pelaku usaha dengan

konsumen di luar pengadilan. Selain itu BPSK juga dibentuk untuk

menyelesaikan masalah-masalah konsumen yang berskala kecil dan bersifat

11

Susanti Adi Nugroho, op.cit, hlm. 2.

12

(4)

sederhana. Pembentukkan BPSK didasarkan pada adanya kecenderungan

masyarakat yang enggan untuk beracara dipengadilan karena posisi konsumen

yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha. Dengan

dibentuknya lembaga BPSK ini diharapkan konsumen dapat dengan mudah

memperjuangkan hak-haknya, juga dapat mendorong pelaku usaha agar dapat

menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan rasa bertanggung jawab.13

Secara struktur BPSK diisi oleh beberapa unsur, yakni unsur pemerintah,

unsur pelaku usaha, dan unsur konsumen.14 BPSK diberikan wewenang oleh UUPK untuk memutus dan menetapkan ada atau tidak kerugian dipihak

konsumen, memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen, serta menjatuhkan sanksi

administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UUPK. Dalam

menangani penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi,

maka yang berwenang untuk menetapkan siapa yang menjadi personilnya baik

sebagai ketua majelis yang berasal dari unsur pemerintah maupun anggota majelis

yang berasal dari unsur pemerintah maupun anggota majelis yang berasal dari

unsur konsumen dan unsur pelaku usaha adalah ketua BPSK.

Di dalam UUPK pada pasal 54 ayat (3) dinyatakan bahwa putusan BPSK

bersifat final dan mengikat. Namun pada pasal yang selanjutnya, yakni pasal 56

ayat (2) dinyatakan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan ke pengadilan

13

Ibid. hlm.74.

14

(5)

atas putusan yang dijatuhkan oleh BPSK.15 Isi daripada kedua pasal tesebut menimbulkan keganjalan, terkhusus pada kekuatan hukum putusan BPSK. Dalam

hal ini maka BPSK dapat disebut sebagai lembaga kuasi yudisial.

Lembaga kuasi yudisial atau semi pengadilan merupakan

lembaga-lembaga yang memiliki sifat mengadili tetapi tidak disebut sebagai pengadilan.16 Berdasarkan ketentuan undang-undang , lembaga demikian diberikan kewenangan

untuk memeriksa dan memutus suatu perselisihan ataupun perkara pelanggaran

hukum dan bahkan perkara pelanggaran etika tertentu dengan keputusan yang

bersifat final dan mengikat sebagamana putusan pengadilan yang bersifat

“inkracht” pada umumnya.17

Berdasarkan penjelasan ringkas mengenai kuasiyudisial dapat dinyatakan

bahwa BPSK merupakan bagian daripada lembaga kuasi yudisial. Namun begitu

hal tersebut menggambarkan bahwasannya keputuan BPSK tidak memiliki

kepastian hukum yang berdampak pada hilangnya perlidungan hak-hak

konsumen.

Oleh karena itu penulis tertarik untunk membahas Kedudukan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Lembaga Kuasi-Yudisial.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya,

penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi

ini, adapun permasalahan yang dibahas, antara lain:

15

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: Raja Graindo Persada, 2004) hlm.262.

16

Jimly Asshiddiqie, Putih Hitam Pengadillan Khusus, dikses dari https://books.google.com, diakses pada tanggal 1 Maret 2017, pukul 13.20 WIB.

(6)

1. Bagaimanakah tugas dan wewenang BPSK dalam menyelesaikan

sengketa konsumen?

2. Bagaimanakah lembaga Kuasi-Yudisial dalam sistem hukum

Indonesia?

3. Bagaimanakah kedudukan BPSK sebagai lembaga Kuasi-Yudisial?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini

antara lain:

1. Untuk mengetahui tugas dan wewenang BPSK dalam menyelesaikan

sengketa konsumen

2. Untuk mengetahui lembaga Kuasi-Yudisial dalam sistem hukum

Indonesia

3. Untuk mengetahui kedudukan BPSK sebagai lembaga Kuasi-Yudisial.

Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk

memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan,18 sehingga harapan penulis agar penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi

pembaca, adapun manfaat tersebut antara lain:

1. Secara Teoritis

Guna mengembangan khasanah ilmu pengetahuan hukum bisnis,

khususnya mengenai kedudukan BPSK sebagai lembaga

Kuasi-Yudisial.

18

(7)

2. Secara Praktiks

a. Hasil penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran yuridis

tentang kedudukan BPSK sebagai lembaga Kuasi-Yudisial baik

kepada Almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

maupun kepada pemerintah untuk perkembangan kebijakan hukum

ekonomi yang lebih baik kedepannya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran

hukum bagi konsumen terhadap tugas, wewenang serta kedudukan

BPSK sebagai lembaga kuasi yudisial, sehingga hak-hak konsumen

lebih terjamin.

c. Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran

hukum bagi pelaku usaha terhadap tugas, wewenang serta

kedudukan BPSK sebagai lembaga kuasi yudisial, sehingga dapat

mencegah timbulnya sengketa konsumen.

D. Keaslian Penulisan

Beberapa hasil penelitian mengenai BPSK telah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya yaitu yang dilakukan oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang bernama Jefta Novendri P dengan judul “Kedudukan dan

Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Rangka

Menyelesaikan Sengketa Konsumen Ditinjau Dari UU No 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen” ditulis pada tahun 2011. Tulisan tersebut meneliti

tentang proses penyelesaian sengketa konsumen melalui UUPK, kedudukan dan

peranan BPSK menyelesaikan sengketa konsumen serta hambatan-hambatan yang

(8)

Kemudian penelitian yang dilakukan Mahasiswi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang bernama Putri Khairani dengan judul

“Efektifitas Penyelesaian Sengeta Alternatif Melalui Arbitrase Pada Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan” pada tahun 2016.

Penelitian ini membahas tentang keefektifan dari pelaksanaan putusan secara

arbitrase bagi para pihak yang berengketa di BPSK Kota Medan, baik prosedur

putusan maupun pelaksanaan putusannnya, faktor penghambat pelaksanaan

putusan serta keberhasilan dan kegagalan penyelesaian sengketa secara arbitrase

di BPSK kota medan.

Ada juga penelitian yang dilakukan Mahasiswi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang bernama Verytethy Hutagaol dengan judul

“Kendala-kendala Yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dalam Mengimplementasikan Undang-Undang No 8 tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen” yang ditulis pada tahun 2010. Penelitian ini membahas

mengenai peran BPSK sebagai lembaga penyelesaian konsumen, mekanisme

hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, serta kendala-kendala yang

dihadapi BPSK dalam mengimplementasikan UUPK.

Perbedaaannya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini lebih

memfokuskan kepada kedudukan BPSK sebagai suatu lembaga kuasi yudisial,

serta menjelaskan kekuatan putusan BPSK sebagai bagian dari lembaga kuasi

yudisial. Adapun judul tulisan ini ialah Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) Sebagai Lembaga Kuasi-Yudisial.

Penulis telah melakukan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum

(9)

penah ada yang membahas dan meneliti. Berdasarkan penelusuran di

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ditemukan beberapa

judul yang membahas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Meskipun

demikian, substansi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini berbeda

dengan penelitian-penelitian tersebut. Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan

keasliannya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Konsumen

Istilah Konsumen berasal dari istilah asing yakni consumer dari bahasa Inggris dan cunsument yang berasal dari bahasa Belanda. Secara harfiah dapat diartikan orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan

jasa tertentu atau dapat pula diartikan sesuatu atau seseorang yang menggunakan

jasa tertentu.19

Dalam Pasal 1 angka 2 UUPK memberikan pengertian bahwa konsumen

ialah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,

baik bagi kepentingan diri sendri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan.20 UUPK memberikan penjelasan terhadap pasal tersebut di mana diterangkan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal

konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau

pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen

19

Abdul Halim Barkatullah, op.cit, hlm. 7.

20

(10)

yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu

produk lainnya. Pengertian konsumen dalam UUPK ialah konsumen akhir.21 Secara umum pengertian konsumen disimpulkan dalam 3 pengertian,

yakni:22

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa

yang digunakan untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang

dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan/komersial. Melihat

pada sifat penggunaan barang dan/atau jaa tersebut konsumen antara ini

sesungguhnya adalah pengusaha, baik pengusaha perorangan maupun

pengusaha yang berbentuk badan hukum atau tidak, baik pengusaha

swasta maupun pengusaha publik (perusaahaan milik Negara), dan

dapat terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang

digunakan oleh konsumen akhir atau produsen, atau penyedia atau

penjual produk akhir atau produsen, atau penyedia atau penjual produk

akhir seperti supplier, distributor, atau pedagang.

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan barang

dan/atau jasa, yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup

pribadinya, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk

diperdagangkan kembali.

21

Ibid.hlm.4.

22

(11)

2. Pelaku Usaha

Dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan pelaku usaha

adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri

maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha

dalam berbagai bidang ekonomi.23 Berdasarkan pengertian diatas terdapat unsur-unsur dari pelaku usaha, yakni sebagai berikut:

a. Merupakan perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan

hukum maupun yang bukan badan hukum.

b. Badan usaha baik berupa badan hukum maupun bukan badan

hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

di wilayah Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi.

Dari unsur tersebut dapat dipahami bahwa seorang atau badan usaha yang

dapat dinyatakan sebagai pelaku usaha ialah yang melakukan kegiatan usaha

dalam bidang ekonomi dan juga melakukan kegiatan yang berada dalam wilayah

Republik Indonesia. Dalam penjelasan UUPK yang termasuk dalam pelaku usaha

adalah perusahaan, korporasi, BUMN, korperasi, importer, pedagang, distributor

dan lain-lain.24

23

Kristiyanti Celina Tri Siwi, op.cit hlm. 41.

24

(12)

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena

meliputi grosir, leveransir, pengecer dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian

pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan penegertian

pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama Negara Belanda, bahwa yang

dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah: pembuat produk jadi (finished

product); penghasilan bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya,

tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli,

pada produk tertentu; importer suatu produk dengan maksud

djualbelikan,disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distibusi lain dalam

transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau

importer tidak dapat ditentukan.25

Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK sama dengan cakupan

produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau

badan hukum. Dalam pengertian pelaku usaha tersebut tidaklah mencakup

eksportir atau pelaku usaha di luar negeri, karena UUPK membatasi orang

perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan

badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum Negara Republik Indonesia.26 3. Sengketa Konsumen

Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan

apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Sengketa dalam pengertian

25

Abdul Halim Barkatullah, op.ycit., hlm. 34.

26

(13)

sehari-hari dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana pihak-pihak yang

melakukan upaya-upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu menghendaki

pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetap pihak lainnya menolak

atau tidak berlaku demikian.27 Sengketa dapat juga diartikan sebagai adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang

mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar.28

Menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Keputusan

Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tangal 10 Desember 2001, yang dimaksud dengan

sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang

menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita

kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.29 Abdul Halim Barkatullah memberikan pengertian sengketa konsumen ialah sengketa yang

terjadi antara konsumen sebagai pengguna barang atau jasa di satu pihak dengan

pelaku atau produsen di pihak lain yang dianggap telah melanggar hak-hak

konsumen.30 Janus Sidabalok menyatakan bahwa ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban serta larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang

pelindungan konsumen dapat melahirkan sengketa antara pelaku usaha dan

konsumen. Sengketa tersebut dapat berupa salah satu pihak tidak dapat menikmati

apa yang seharusnya menjadi haknya karena phak lawan tidak memenuhi

Soerjono Soekanto, Mengenal Antropologi Hukum, (Bandung: Alumbi, 1979) hlm. 26.

29

Barkatulah Abdul Halim, op.cit, hlm. 109.

30

Ibid, hlm. 109.

31

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra

(14)

4. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Pasal 1 butir 11 UUPK menyatakan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan

sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.32 BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat

sederhana.33

Dr. Susanti Adi Nugroho, S.H., M.H memberikan pengertian BPSK, yakni

BPSK merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang bertugas

menangani sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, tetapi bukanlah

merupakan bagian dari institusi kekuasaan kehakiman.34 Janus Sidabalok menyatakan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah

lembaga yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja

seolah-olah sebagai sebuah pengadilan. Karena itu BPSK dapat disebut sebagai peradilan

kuasi.35

5. Kuasi Yudisial

Secara etimologis kuasi yudisial berasal dari kata kuasi dan yudisial. Kuasi

memiliki arti yaitu semu, pura-pura atau seolah-olah.36 Yudisial berasal dari kata Inggris yakni Judicial yang memiliki arti “Belonging to the office of a judge; as judicial authority. Relating to or connected with the administration of justice;as a judicial officer. Having the character of judgement or formal legal procdure

(15)

37

dalam bahasa Indonesia dapat diartikan yudisial merupakan bagian dari tugas

kehakiman, berkaitan dengan otorits kehakiman, memiliki karakter menghakimi

atau prosedur hukum acara sebagai tindakan kehakiman. Dapat dipahami bahwa

yudisial merupakan lembaga peradilan atau yang berhubungan dengan kekuasaan

kehakiman. Maka atas pengertian dari kuasi dan yudisial yang telah dipaparkan

maka dapat disimoulkan kuasi yudisial merupakan lembaga peradilan yang

bersifat semu, atau seolah-eolah menjadi lembga peradilan.

Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa Lembaga Kuasi-Yudisial

merupakan badan administratif yang memiliki wewenang sama seperti

Pengadilan. Lembaga kuasi yudisial bersifat mengadili namun tidak dapat

dikatakan sebagai pengadilan.38 Beberapa dari lembaga ini berbentuk komisi-komisi Negara, tetapi ada pula yang mengunakan istilah badan ataupun dewan.39

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, dapat

diuraikan sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada

pembahasan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum

normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang

tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder yang lebih dikenal dengan nama

37

http://thelawdictionary.org/judicial/ , Diakses pada tanggal 30 Juni 2017, Pukul 10.20 wib.

38

Jimly Asshiddiqie, Putih Hitam Pengadillan Khusus, diakses dari https://books.google.com diakses pada tanggal 1 Maret 2017 pukul 13.20.

(16)

dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.40 Penelitian hukum ini menggunakan penelitian hukum normatif karena penulis

mengumpulkan dan menganalisa hukum yang berlaku tentang kedudukan BPSK

sebagai lembaga Kuasi Yudisial yang berasal dari bahan hukum primer, sekunder

dan tersier.

Sifat penelitian yang melekat pada penulisan skripsi ini adalah penelitian

deskriptif. Penelitian deskriptif ialah suatu metode dalam meneliti status

sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran,

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian

deskriptif ialah untuk membut deskripsi gambaran secara sistematis, faktual dan

akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang

diselidiki.41 Dalam penelitian ini mendeskripsikan mengenai kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai lembaga Kuassi Yudisial, yang dapat

diteliti dengan melihat tugas dan wewenang BPSK serta aspek-aspek lainnya yang

berhubungan dengan penyelesaian sengketa konsumen.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah bahan hukum

primer, sekunder dan tersier.

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang

mengikat, yakni Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang

40

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 33.

41

(17)

Perlindungan Konsumen, Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tangal 10 Desember 2001

tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen.

b) Bahan Hukum Sekunder,

Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum

primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, tulisan

ilmiah, hasil penelitian ilmiah, laporan makalah lain yang berkaitan

dengan materi skripsi ini.

c) Bahan Hukum Tersier

Petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder yang berasal dari kamus hukum, ensiklopedia, majalah

dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpuan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka

digunakan metode pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan dengan cara

sudi kepustakaan yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis

buku-buku, makalah ilmiah, surat kabar, majalah, internet, peraturan

perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas.42

4. Analisis Data

Pengolahan data merupakan kegiatan melakukan analisa terhadap

permasalahan yang dibahas. Data dalam penelitian ini akan dianalisa secara

42

(18)

kualitatif. Pengumpulan data kualitatif diperoleh data dari buku, data dari halaman

web, dan lain-lain. Analisa data dilakukan dengan:43

a) Mengumpulkan bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang

diteliti

b) Memilih kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian

c) Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau

doktrin yang ada

d) Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif yang diawali dengan

mengemukakan hal-hal yang bersifat umum.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah yang baik, maka pembahasan

permasalahan perlu dilakukan dengan cara sistematis dan untuk mempermudah

penulisan skripsi ini diperlukan sebuah sistematika penulisan yang teratur dan

terbagi dalam bab perbab yang berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika

penulisan skripsi ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

Bab I skripsi ini berisi pendahuluan yang merupakan pengantar,

didalamnya terurai latar belakang penulisan skripsi, rumusan permasalahan yang

dibahas, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, metode

penelitian yang digunakan dalam penlisan dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II merupakan bab yang membahas tugas dan wewenang BPSK secara

umum. Dimulai dengan membahas hukum perlindungan konsumen di Indonesia,

pelindungan konsumen berdasarkan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

43

(19)

Konsumen, serta tugas dan wewenang BPSK dalam menyelesaikan sengketa

konsumen

Bab III adalah bab yang membahas mengenai lembaga kuasi yudisial

dalam sistem hukum Indonesia. Bab ini dimulai dengan penjelasan mengenai

sistem hukum Indonesia, Pengertian dan karakteristik dari lembaga kuasi yudisial,

beberapa lembaga kuasi yudisial yang ada di Indonesia dan terakhir membahas

kedudukan dan peranan lembaga kuasi yudisial di Indonesia.

Bab IV dalam skripsi ini merupakan bab yang membahas tentang

kedudukan BPSK sebagai lembaga kuasi yudisial. Dimulai dari penjelasan BPSK

sebagai lembaga kuasi yudisial, diikuti dengan penjelasan kekuatan hukum

putusan BPSK sebagai lembaga kuasi yudisial dalam sistem hukum Indonesia dan

yang terakhir upaya hukum terhadap putusan BPSK sebagai lembaga kuasi

yudisial.

Bab V merupakan bab penutup yang membahas tentang kesimpulan dari

keseluruhan bab-bab dan saran yang berhubungan dengan skripsi ini. Kesimpulan

dibuat berdasarkan uraian-uraian skripsi dan saran-saran yang berhubungan

dengan skripsi ini yang diharapkan dapat berguna dan bermanfaat dimasa yang

Referensi

Dokumen terkait

1) Dengan adanya fasilitas yang didasari pada fungsi bangunan sebagai kantor sewa yang lebih mengutamakan fungsional ruang sebagai bangunan yang disewakan

If the minimum and maximum attribute are omitted then the validator only ensures that the value is numeric. Minimum – The minimum acceptable

Hasil pengujian hipotesis kedua antara hubungan dimensi interpersonal terhadap kemampuan literasi media didapatkan koefisien jalur bernilai positif sebesar 0,259

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran persepsi dukungan sosial sebagai mediator hubungan antara pengungkapan diri dan kesejahteraan subjektif pada pengguna

Dalam pendefinisian laporan keuangan suatu perusahaan, maka perlu adanya ukuran tertentu.Ukuran yang sering digunakan dalam menganalisa laporan keuangan adalah rasio, rasio

Persatuan Raya Lappadata, Sinjai Tengah 208 Pualam Jaya Konstruksi CV Irwan Ahmad GAPENSI √ Desa Kampala Kec..

Selain pola asuh otoriter di keluarga militer ini juga menerapkan pola asuh demokratis yaitu orang tua selalu berembuk dan berdiskusi mengenai tindakan- tindakan

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, sebagai Ketua