BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstitusi Republik Indonesia menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara hukum, yang mempunyai tujuan untuk menciptakan tata tertib
hukum dan kepastian hukum bagi jalannya kehidupan organisasi pemerintahan di
Indonesia, yang berlandaskan atas hukum. Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machtsstaat) yang secara jelas ditentukan dalam batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945.1
Pada tataran praktis, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya berarti
pemberian kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengelola dan
memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Meskipun titik berat otonomi
diletakkan pada tingkat Kabupaten/Kota, namun pada hakikatnya, kemandirian
tersebut harus dimulai dari level pemerintahan di tingkat paling bawah, yaitu
Desa.
Praktik peran sentral pemerintah pusat dalam menentukan arah
pembangunan nasional dalam satu dasawarsa terakhir, turut berpengaruh pada
sistem ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi. Pendekatan sentralistik pada
rezim orde baru, justru berakhir dengan tingginya tingkat kesenjangan
pembangunan antardaerah.
2
1
Dasril Rajab, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 74
2
Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, pengaturan tentang Desa telah
mengalami perubahan beberapa kali sejak Zaman Kolonial yakni
Regeeringsreglement yang merupakan cikal bakal pemerintahan desa. Setidaknya
ada beberapa aturan perundang-undangan yang muncul sejak tahun 1945
diantaranya Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Desa dan
Kekuasaan Komite Nasional Daerah, Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1960
tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahapan
Pertama 1961-1969, Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa, PP No. 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai
Desa, PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, yang selanjutnya disebut UU Desa.
Perubahan fundamental pengaturan terkait pemerintahan desa ini tentunya
memberikan implikasi dalam perkembangan dan dinamika desa terutama dalam
hal tata kelola pemerintahan desa, mulai dari perubahan bentuk desa menjadi
kelurahan sampai persoalan aturan mengenai hak asal usul dan kewenangan desa
yang bisa saja berbenturan dengan Peraturan Daerah yang telah ada sebelumnya.
Perkembangan pengaturan desa ini juga membawa implikasi pada tingkat
kesiapan daerah dalam pembangunan desa dan peningkatan peran serta
masyarakat dalam rangka tata kelola pemerintahan di desa.
Sebagai ujung tombak pembangunan masyarakat, desa sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa yang merupakan lingkup organisasi atau susunan pemerintahan
terkecil dan lebih dekat dengan masyarakat, mempunyai peran penting dalam
menjalankan otonomi yang diamanatkan oleh konstitusi sebagai jalan menuju
rakyat yang sejahtera. Dari sinilah dapat ditentukan keberhasilan pemerintah
dalam pembangunan, baik itu dari tingkat Daerah maupun Pusat melalui tugas
pembantuan yang diberikan kepada Pemerintah Desa, kemudian menyalurkan
program pembangunan tersebut kepada masyarakat. Dalam UU Desa telah
disebutkan bahwa:
“Desa merupakan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan hukum memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”3
Dari definisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian penting bagi
keberadaan bangsa Indonesia. Penting karena desa merupakan satuan terkecil dari
bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti
3
keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya
bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan
tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.
Dengandemikian, keberadaan desa perlu diberdayakan dan dilindungi, terutama
dalam pelaksanaan kewenangannya.4
Secara historis, desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat
politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum bangsa ini terbentuk. Struktur
sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi
sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi
yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri dan relatif
mandiri. Hal ini antara lain yang ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang
tinggi membuat desa mungkin merupakan wujud bangsa yang paling kongkrit.
Namun pada UU Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa, desa di
kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi
kelurahan sesuai usul dan prakarsa Pemerintahan Desa bersama Badan
Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Dengan asumsi bahwa
masyarakat di wilayah tersebut lebih mencirikan masyarakat perkotaan.5
Sehubungan dengan telah diberlakukannya UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Desa tidak diatur
secara eksplisit. Sebelumnya dalam UU No. 10 Tahun 2004 dan Permendagri
2017
5
Nomor 17 Tahun 2006 tentang Lembaran dan Berita Daerah mengatur bahwa
Peraturan Desa diundangkan dalam Berita Daerah. Meski UU Nomor 12 Tahun
2011 tidak mengatur secara tegas tentang peraturan desa, bukan berarti UU
Nomor 12 Tahun 2011 tidak mengakui peraturan desa sebagai peraturan
undangan. Peraturan desa tetap diakui sebagai peraturan
perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang
berbunyi:
(1)Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2)Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Bunyi Pasal 1 ayat (3) tersebut merupakan
kehendak rakyat (volonte generale) tertinggi bangsa Indonesia yang dijadikan
hukum dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia, selain itu prinsip
Indonesia sebagai negara hukum mengandung arti bahwa hukum merupakan pilar
utama dalam menggerakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
membentuk masyarakat adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Tujuan Negara
Indonesia selanjutnya tertuang dalam alinea keempat pembukaan UUD NKRI
1945 yang meliputi:
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.6
Sebagai negara hukum, maka segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, dan segala kekuasaan dari alat-alat
pemerintahannya harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem
hukum nasional. Salah satu pilar untuk mewujudkan negara hukum yaitu dengan
membentuk peraturan perundangan-undangan dan penataan kelembagaan negara,
oleh karena itu peranan peraturan perundang-undangan dalam konteks negara
hukum tersebut menjadi landasan bagi penyelenggaraan negara dan sebagai
pedoman untuk menyelenggarakan pemerintahan baik di pusat berupa
undang-undang, di daerah berupa peraturan daerah, dan di tingkat desa berupa peraturan
desa. 7
6
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal.17
7
Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk
menulis skripsi ini dengan judul “Kedudukan Peraturan Desa Dalam Sistem
Hukum Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas serta sesuai dengan judul
skripsi ini, yaitu: “Kedudukan Peraturan Desa Dalam Sistem Hukum Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia”, maka beberapa permasalahan yang akan
dibahas penulis, antara lain:
1. Bagaimana pengaturan desa menurut hukum yang berlaku di
Indonesia?
2. Bagaimana sistem hukum perundang-undangan di Indonesia?
3. Bagaimana kedudukan peraturan desa dalam sistem peraturan
perundang-undangan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan desa menurut hukum yang berlaku di
Indonesia
2. Untuk mengetahui sistem hukum perundang-undangan di Indonesia
3. Untuk mengetahui kedudukan dan eksistensi peraturan desa dalam
sistem hukum perundang-undangan di Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan
teknologi baik di dalam ilmu hukum ataupun beberapa ilmu terkait lainnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi
Pemerintah baik Pusat ataupun Daerah agar lebih mengetahui bagaimana
kedudukan dan eksistensi dari Peraturan Desa itu sendiri.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian
mengenai “Kedudukan Peraturan Desa Dalam Sistem Hukum
Perundang-Undangan Di Indonesia”belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan di Universitas lainnya skripsi ini asli
disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain.
Meskipun tedapat judul tesis yang berkaitan yakni :
a. “Pengujian Peraturan Desa Dalam Sistem Peraturan
Perundang-Undangan” pada tahun 2016 oleh Muhammad Husen Rifai, yang merupakan
mahasiswa Fakultas Hukum Program Sarjana Universitas Lampung.8
Yang menjadi pembeda, sripsi ini membahas tentang pengujian terhadap
peraturan desa di dalam sitem perundang-undangan, dan skripsi ini tidak
menggambarkan secara utuh tentang pengaturan kedudukan peraturan desa.
8
Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran
ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan
bertanggung jawab sepenuhnya baik secara moral dan ilmiah.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Desa
Desa berasal dari bahasa Sansekerta dhesi yang berarti tanah kelahiran.
Desa identik dengan kehidupan agraris dan kesederhanaannya. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Desa adalah kesatuan wilayah yang dihuni oleh
sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh
seorang Kepala Desa) atau desa merupakan kelompok rumah di luar kota yang
merupakan kesatuan.9
R. Bintartomenjelaskan berdasarkan tinajuan geografi yang
dikemukakannya bahwa desa merupakan suatu hasil perwujudan geografis, sosial,
politik, dan cultural yang terdapat disuatu daerah serta memiliki hubungan timbal
balik dengan daerah lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, desa adalah
suatu kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai
system pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang Kepala Desa) atau desa
merupakan kelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan.10
9
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline. Diakses dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/,pada tanggal 30 april 2017
10
Desa menurut Sutardjo Kartodikusuma adalah suatu kesatuan hukum
dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri. Lebih jelas
Bintaro berpendapat, desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial,
ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam
hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, disebutkan
bahwa: 11
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk
sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di
bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Desa juga didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam
sistem pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten, menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Sementara itu, dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah mendefinisikan
bahwa:
11
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Pengertian Desa di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa mendefinisikan sebagai berikut :12
a. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan
jiwa
“Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Mengenai desa, lebih rinci Paul H. Landis mengemukakan bahwa, desa
adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri ciri sebagai berikut:
b. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan.
c. Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat
dipengaruhi alam seperti: iklim, keadaan alam ,kekayaan alam,
sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.13
12
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, pasal 1 ayat 1
13
Terkait desa HAW Widjaja secara filosofis menyimpulkan bahwa, desa
adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan yang asli
berdasarkan hak asal usul yang bersifat Istimewa. Landasan pemikiran dalam
dalam pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat, oleh karena itu, penyelenggaraan
otonomi daerah tidak dapat dipisahkan dari penyelenggaraan pemerintahan desa,
karena pemerintahan desa merupakan subsitem dari sistem penyelenggaraan
pemerintahan, sehingga desa mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakatnya.14
2. Pengertian Kedudukan
Kedudukan berarti status, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
kedudukan sering dibedakan antara pengertian kedudukan (status) dan kedudukan
sosial (social status). Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang
dalam suatu kelompok sosial, sedangkan kedudukan sosial adalah tempat
seseorang dalam lingkungan pergaulannya, serta hak-hak dan kewajibannya.
Kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama dan digambarkan dengan
kedudukan (status) saja. Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang
dalam suatu tempat tertentu.
Kedudukan dapat juga diartikan sebagai posisi jabatan seseorang dalam
memiliki kekuasaan. Dimana orang yang memiliki kekuasaan dapat
mempengaruhi kedudukan atau statusnya di tempat seseorang tersebut tinggal.
14
Masyarakat pada umumnya mengembangkan tiga macam kedudukan, yaitu
sebagai berikut :15
a. Ascribed status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut
diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang bangsawan
adalah bangsawan pula. Pada umumnya ascribed-status dijumpai pada
masyarakat dengan sistem lapisan tertutup, misalnya masyarakat feodal,
atau masyarakat tempat sistem lapisan bergantung pada perbedaan rasial.
b. Achieved status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan
usaha-usaha yang disengaja. Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang
dokter asalkan memenuhi persyaratan tertentu.persyaratan tersebut
bergantung pada yang bersangkutan bisa atau tidak menjalaninya. Apabila
yang bersangkutan tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut, ia tidak
akan mendapat kedudukan yang diinginkan.
c. Assigned status, merupakan kedudukan yang diberikan kepada seseorang.
Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan achieved status.
Artinya, suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang
lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa yang telah memperjuangkan
sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyaarakat.
3. Pengertian Perundang-undangan
Ilmu hukum (rechtswetenschap) membedakan antara Undang - Undang
dalam arti materiil (wet in materielezin) dan Undang - Undang dalam arti formal
(wet’in formelezin). Dari perbedaan ini kebanyakan dari masayarakat khususnya
masyarakat awam, bahkan orang yang bergerak dalam bidang hukum tidak
mengetahui, sehingga sering salah dalam mengartikan Undang - Undang itu
sendiri. Dalam arti materiil, Undang-Undang adalah setiap keputusan tertulis yang
dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau
mengikat secara umum. Dari pengertian ini masyarakat sering mengartikan bahwa
setiap aturan yang bersifat tertulis yang dibuat atau dikeluarkan pejabat yang
berwenang (Pemerintah) adalah Undang - Undang.16
Tetapi pada dasarnya Undang - Undang dalam pengertian ini hanyalah
Undang-Undang dalam arti materiil. Sedangkan Undang - Undang dalam arti
formil, Undang - Undang adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara
pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang
bersifat atau mengikat secara umum. Undang - Undang dalam arti formil ini dapat
dikatakan mempunyai sifat yang lebih formil karena cara pembentukannya yang
berbeda dengan Peraturan Perundang - Undangan lainnya. Dalam Peraturan
Perundang - Undangan ini harus adanya kerjasama antara lembaga kekuasaan
16
eksekutif dan legislatif, yaitu antara Presiden sebagai lembaga eksekutif dan DPR
sebagai lembaga legislatif.17
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang - Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa
Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang - Undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Sedangkan lebih lanjut dalam Pasal 20 disebutkan bahwa: Dari kedua bentuk arti Peraturan Perundang - Undangan tersebut, dapat
dikatakan bahwa Peraturan Perundang - Undangan mencakup segala bentuk
Peraturan Perundang - Undangan yang dibuat pada tingkat pemerintahan pusat
(negara) maupun di tingkat pemerintahan daerah (provinsi dan kebupaten).
18
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang -
Undang
(2) Setiap Rancangan Undang - Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapatkan persetujuan
bersama, Rancangan Undang - Undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
(4) Presiden mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi Undang - Undang.
(5) Dalam hal ini Rancangan Undang- Undang yang telah disetujui tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
17Ibid
.,hal. 8
18
Rancangan Undang - Undang tersebut disetujui, Rancangan Undang -
Undang tersebut sah menjadi Undang- Undang dan wajib diundangkan.
Dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang- Undang Dasar 1945
dapat disimpulkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kekuasaan untuk
membentuk Undang- Undang, tetapi dalam setiap Rancangan Undang- Undang
tetap dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Sedangkan Presiden berhak untuk mengajukan Rancangan
Undang- Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dari kedua ketentuan ini
dapat dilihat bahwa telah adanya kerjasama dan koordinasi, antara Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat karena persetujuan atas suatu Rancangan Undang -
Undang berdasarkan atas persetujuan bersama.
Berbeda dengan sebelum adanya Amandemen Undang - Undang Dasar
1945 dimana dari ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat (1), mengandung
pengertian bahwa kekuasaan membentuk Undang - Undang itu dipegang oleh
Presiden. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi untuk
memberikan persetujuan terhadap setiap rancangan Undang - Undang yang
diajukan oleh Presiden.
Menurut Prof.Dr. Sudikno Mertokusumo membedakan pengertian Undang
- Undang dalam arti materiil dan Undang - Undang dalam arti formil. Undang -
Undang dalam arti materiil adalah Undang - Undang merupakan keputusan atau
ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut UndangUndang dan mengikat
keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut Undang -
Undang. Jadi Undang - Undang dalam arti formil tidak lain merupakan ketetapan
penguasa yang memperoleh sebutan “Undang - Undang” karena secara
pembentukannya.
Jadi dari semua pengertian di atas dapat dikatakan bahwa Undang-Undang
berbeda dengan Peraturan Perundang - Undangan lainnya karena dilihat dari cara
pembentukannya. Undang - Undang memerlukan kerjasama antara Lembaga
Eksekutif dengan Lembaga Legislatif, yaitu antara Presiden dengan Dewan
Perwakilan Rakyat.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam pembahasan masalah, penulis sangat memerlukan data dan
keterangan yang akan dijadikan bahan analisis.Metode penelitian yang
dipergunakan dalam penyusunan skrispsi ini adalah metode yuridis
normatif.Metode yuridis normatif19
19
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.43
yaitu dalam menjawab permasalahan
digunakan sudut pandang hukum berdasarkan peraturan hukum yang berlaku,
untuk selanjutnya dihubungkan dengan kenyataan di lapangan yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan dibahas. Serta mencari bahan dan informasi yang
berhubungan dengan materi penelitian ini melalui berbagai peraturan
majalah, situs internet yang menyajikan informasi yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.20 2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan
(library research) untuk memperoleh data atau bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier.Bahan hukum primer dapat berupa
peraturan perundangan nasional, yang berkaitan dengan Kedudukan Peraturan
Desa Dalam Sistem Hukum Perundang-Undangan Di Indonesia
Bahan hukum sekunder berupa data yang diperoleh peneliti dari penelitian
kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil dari penelitian dan
pengolahan orang lain yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku dan
dokumentasi.Bahan hukum tersier berupa bahan hukum yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan
pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh
penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
3. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan dan pengambilan data yang digunakan penulis
dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research),
yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagi literatur yang relevan dengan
permasalahan skripsi ini seperti buku-buku, makalah, artikel, jurnal dan berita
yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh teori-teori atau bahan-bahan yang
20
berkenaan dengan Peraturan Desa ataupun Sistem Perundang-undangan di
Indonesia.
4. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan penulis dalam penulisan skripsi ini dengan
cara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data lalu diolah dalam pendapat atau
tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian
dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam
skripsi ini
G. Sistematika Penulisan
Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam
lima bab. Tata urutan sistematikanya sebagai berikut:
Bab I : Terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang,
diikuti dengan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metodologi penelitian dan yang terakhir sistematika
pembahasan.
BAB II : Merupakan Pengaturan Desa Menurut Hukum Yang Berlaku
Di Indonesia
BAB III : Merupakan Sistem Hukum Perundang-Undangan Di
Indonesia
BAB IV : Merupakan Kedudukan dan Eksistensi Peraturan Desa Dalam
BAB V : Merupakan suatu penutup. Disini berisikan tentang