• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL BUDAYA POLITIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL BUDAYA POLITIK"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAPORAN TAHUNAN

PENELITIAN DESENTRALISASI

SKEMA PENELITIAN HIBAH BERSAING

TAHUN ANGGARAN 2014

BUDAYA POLITIK SUKU BANGSA GAYO

MODEL BUDAYA POLITIK SUKU BANGSA GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH,

KABUPATEN BENER MERIAH DAN KABUPATEN GAYO LUWES.

Ketua :

Indra Fauzan, S.Hi, M.Soc.Sc : 0018028104

Anggota :

Adil Arifin, S.Sos, MA : 0016028302

Dibiayai oleh DIPA Universitas Sumatera Utara Tahun Anggaran 2014, sesuai dengan surat Perjanjian Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2014

(Tahap II) Nomor: 4804/UN5.1.R/KEU/2014, Tanggal 23 Juni 2014

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DESEMBER 2014

(2)
(3)

3

RINGKASAN

Berdasarkan fakta sejarah, Bangsa Gayo bisa dikatakan sebagai ―Bangsa Penakluk‖ dengan

terdiri dari beberapa kerajaan yang tersebar di berbagai daerah Gayo hingga Aceh Tengah. Akan tetapi setelah kemerdekaan, Bangsa Gayo tergabung dalam Provinsi Aceh, dan dalam praktek politiknya mereka seakan dianggap kaum minoritas dibandingan dengan Suku Aceh yang mayoritas, dan mereka juga seperti di nomor duakan dalam kehidupan politik di daerahnya. Pada masa perjuang GAM (Gerakan Aceh Merdeka), bangsa gayo juga yang termasuk menolak untuk bergabung. Dan setelah reformasi tahun 1998, ada tuntutan masyarakat untuk mekar dari provinsi Aceh dan mendirikan provinsi sendiri yang bernama provinsi ALA (Aceh Leuser Antara).

Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk memetakan Budaya Politik Suku Bangsa Gayo , apakah ia bersifat parokial, subjek, partisipatif atau gabungan diantaranya,. Secara khusus penelitian ini juga akan mengidentifikasi orientasi budaya politik masyarakat Gayo, mendalami komponen budaya politik berupa komponen kognitif, afektif dan evaluatif, serta akan melihat perkembangan dan kesinambungannya pasca reformasi tahun 1998.

Dengan kajian budaya politik kita dapat mengetahui serta memahami sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik yang kemudian akan mempengaruhi tuntutan, tanggapan, dukungan serta orientasi masyarakat terhadap sistem politik . Sehingga maksud masyarakat melakukan kegiatan-kegiatannya dalam sistem politik atau faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik juga dapat dimengerti. Kita juga dapat memehami sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik, serta memahami pola perilaku mereka dalam kehidupan bernegara, pengelengaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya.

Pada tahun pertama penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan mengebarkan kusioner kepada beragam lapis masyarakat, dan pada tahun kedua menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam kepada berbagai narasumber untuk mengggali info dan fakta tentang budaya politik mereka. Penelitian akan dilakukan di 3 kabupaten yang menjadi sentral populasi masyarakat Gayo, yakni Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues. Dan diharapkan dengan penelitian ini dapat diperoleh modul/gambaran yang jelas tentang budaya politik lokal, sehingga dengannya pemerintah-baik pusat maupun daerah-dapat mendasarkan kebijakan mereka dengan pendekatan budaya politik lokal setempat, yang dengannya pembangunan politik masyarakat akan akan lebih menyentuh dan berkerakyatan.

(4)

4 PRAKATA

Alhamdulillah, syukur peneliti ucapkan kepada Allah SWT atas pemberian-Nya berupa kesempatan dan kesehatan sehingga peneliti dapat menyelesaikan Penelitian Hibah Bersaing dengan judul ― Budaya Politik Suku Bangsa Gayo : Model Budaya Politik Suku Bangsa Gayo Di Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Luwes‖. Penelitian ini Mengidentifikasi dan memetakan pola orientasi dan budaya politik masyarakat Gayo di kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan kabupaten Gayo Lues, serta juga menganalisa kesinambungan dan perubahan budaya politik masyarakat Gayo pasca reformasi tahun 1998. Dengan harapan penelitian ini akan menjadi model pendekatan politik berbasis budaya lokal bagi pemerintah baik di pusat maupun di tingkat kabupaten/kota.

Peneliti juga berterima kasih kepada Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara Kementrian Pendidikan dan Kebudayaaan Indonesia, atas penerimaan judul ini dan pemberian dana untuk melaksanakannya. Dan tak lupa pula kepada para assesor/reviewer dari Lembaga Penelitian USU yang juga telah memberikan masukan dan saran dalam rencana dan penyelesaian penelitian ini.

Penelitian juga tidak akan terlepas dari kekurangan-kekurangan, sehingga masukan dari berbagai kalangan, terkhusus para reviewer dan LP sangat peneliti harapkan.

Medan, 03 September 2014

(5)

5 DAFTAR ISI

Halaman Sampul... i

Halaman Pengesahan... ii

Ringkasan... iii 1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah... 2

1.3. Urgensi Penelitian……….… 3

Bab 2 : Tinjauan Pustaka ……….. 6

2.1. Kajian Konseptual 2.1.1 Teori Budaya Politik………... 8

2.1.2 Teori Etnis………... 11

2.1.3. Road Map Penelitian ………... 13

Bab 3 : Tujuan dan Manfaat Penelitian 3.1. Tujuan Penelitian ………. 13

3.2. Manfaat Penelitian ………13

3.3. Luaran Penelitian ………. 14

Bab 4 : Metode Penelitian 4.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian...14

4.2. Fokus Penelitian... 14

4.3. Populasi dan Sample………. 14

4.4. Penentuan Informan………,,… 15

4.5. Lokasi Penelitian... 16

4.6. Sumber dan Pengumpulan Data... 16

4.7. Analisis Data... 17

4.8. Bagan Alir Penelitian... 17

Bab 5 : Hasil yang Dicapai ……… 18

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian. ……… 19

5.1.1. Kabupaten Aceh Tengah ………19

5.1.2. Kabupaten Bener Meriah ……… 29

5.1.3. Kabupaten Gayo Luwes………..39

5.2. Pemetaan Budaya Politik Masyarakat Suku Gayo………. 48

5.2.2. Pola Kesadaran Politik ………. …50

5.2.3. Perasaan Terhadap Pemerintahan dan Politik ……….. 57

5.2.4. Bentuk-Bentuk Partisanship……….. 63

5.2.5. Wewenang Politik Masyarakat……….………… 69

5.2.6. Hubungan Sosial dan Kerjasama Masyarakat……… 71

5.2.7. Keanggotaan Organisasi……….. 73

5.2.8. Sosialisasi Politik ……….. 76

5.2.9. Kesadaran Politik Lokal ……….... 79

5.2.10. Pengetahuan Tentang Perubahan Politik Lokal……… 82

(6)

6

Bab 6 : Rencana Tahapan Berikutnya ………. 85

Bab 7 : Kesimpulan dan Saran ……… 85

DAFTAR PUSTAKA...

(7)

7

DAFTAR TABEL.

Tabel 1: Penduduk Aceh Tengah Berdasarkan Kecamatan ………....20

Tabel 2: Produksi Tahunan Kabupaten Aceh Tengah……….…..22

Tabel 3 : Populasi Hasi Ternak Kabupaten Aceh Tengah. ………...…24

Tabel 4 : Kecamatan Pada Kabupaten Bener Meriah………30

Tabel 5 : Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bener Meriah………32

Tabel 6: Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Kabupaten Bener Meriah………..33

Tabel 7: Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Kabupaten Bener Meriah……33

Tabel 8: Angkatan Kerja Berdasarkan Pendidikan di Kabupaten Bener Meriah…….34

Tabel 9: Jenis, Kondisi, Kelas dan panjang jalan (KM) berdasarkan Tahun di Kabupaten Bener Meriah………..35

Tabel 10: Rencana Pola Ruang Kabupaten Bener Meriah Tahun 2011-2031…………38

Tabel 11: Rencana Kawasan Budi Daya Kabupaten Bener Meriah……….…38

Tabel 12: Nama - Nama Ibukota kecamatan dan Kode Pos dalam wilayah Kabupaten Gayo Lues Tahun 2008………..…40

Tabel 13: Jumlah Perangkat Desa/Kelurahan di Kabupaten Gayo Lues………41

Tabel 14 : Perkiraan Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk dirinci menurut Kecamatan dalam Kabupaten Gayo Lues, Juni 2008………42

Tabel 15: Jumlah Sekolah Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Gayo Lues…….…44

(8)

8

DAFTAR CHART.

CHART 1. Responden Berdasarkan Usia………...48

CHART 2. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………..49

CHART 3. Responden Berdasarkan Pendidikan………...49

CHART 4. Responden Berdasarkan Pekerjaan……….50

CHART 5. Derajat Perkiraan Tentang Pengaruh Pemerintahan Nasional Terhadap Kehidupan Sehari-hari………...51

CHART 6. Derajat Estimasi Pengaruh Pemerintahan Lokal Terhadap Kehidupan Sehari-hari……….51

CHART 7: Sifat Pengaruh Pemerintah Nasional dan pemerintah Lokal………..52

CHART 8: Mengikuti Segala Kegiatan Pemerintahan……….53

CHART 9: Mengikuti Laporan-laporan Mengenai Aktivitas Pemerintahan Melalui Berbagai Media……….54

CHART 10: Derajat Frekuensi Mengikuti Laporan-laporan Mengenai Aktivitas Pemerintahan Melalui Berbagai Media……….54

CHART 11: Kemampuan Menyebutkan Nama Pemimpin Pemerintah Pusat.(Nama Presiden dan Wakil Presiden)……….55

CHART 12: Kemampuan Menyebutkan Nama Pemimpin Partai Nasional. (Nama 4 Ketua Partai-partai Nasional)………...56

CHART 13: Kemampuan Menyebutkan Nama Pemimpin Pemerintah Daerah/Lokal.(Nama Gubernur dan Bupati )……….56

CHART 14: Ringkasan Pola Kesadaran Politik……….….57

CHART 15: Aspek-aspek yang menjadi Kebanggaan para responden………...58

CHART 16: Harapan Terhadap Perlakuan Birokrasi Pemerintah dan Polisi……...58

CHART 17: Sejumlah Pertimbangan yang diharapkan dari pihak Birokrasi dan Polisi………....59

CHART 18: Frekuensi Pembicaraan Politik dengan orang lain………..60

CHART 19: Perasaan Dibatasi dalam Mendiskusikan Politik dan masalah-masalah Pemerintahan……….61

(9)

9

CHART 21: Partai Pilihan Responden pada Pemilu Nasional dan Lokal terakhir…62

CHART 22: Alasan Tidak menggunakan Hak Pilih pada Pemilu Nasional dan Lokal

Terakhir………..63

CHART 23: Perasaan Masyarakat akan Perlu atau Tidaknya Kampanye…………64

CHART 24: Frekuensi Memilih/Memberikan Suara Masyarakat dalam Pemilu/Pilkada

Semenjak Berhak Untuk Memberikan Suaranya………..64

CHART 25. Perasaan Terhadap Voting (Pemberian Hak Suara)………...65

CHART 26. Alasan Masyarakat Memberikan Hak Suaranya……….66

CHART 27: Penilaian Terhadap Anggota Partai yang telah berindah Partai……...66

CHART 28: Makna Otonomi Daerah Bagi Masyarakat………...67

CHART 29: Makna Pilkada Bagi Masyarakat………...68

CHART 30: Kebebasan Pers di Daerah Menurut Masyarakat………68

CHART 31: Peranan apa yang harus dilakukan orang awam dalam masyarakat

lokalnya………..….69

CHART 32: Pernah atau Tidak pernahnya masyarakat menyampaikan Pendapat, Saran atau Kritik Terhadap Kebijakan Pusat, Daerah atau Tempat Domisilinya…70

CHART 33: Jika ada peraturan-peraturan yang tidak berkeadilan, apa yang akan anda lakukan untuk mencoba mempengaruhi pemerintah lokal maupun pusat…………71

CHART 34: Kegiatan Yang Lebih Disukai di Waktu Luang………...72

CHART 35: Kepercayaan dan Kecurigaan Sosial………..73

CHART 36: Keanggotaan Responden pada Organisasi Sosial atau Keagamaan…..74

CHART 37: Alasan Responden yang Tidak Menjadi Anggota Organisasi Sosial atau

Keagamaan. (dari 72 Responden)……….75

CHART 38: Nama Organisasi Sosial atau Keagamaan Responden. (dari 28

Responden)………..75

CHART 39: Pernahkah Anda menjadi Pengurus pada Organisasi Anda? (dari 28

responden)………...76

CHART 40: Apakah Organisasi Anda Terliat dalam Hal Politik? (dari 28

responden)………76

(10)

10

CHART 42: Kebebasa Turut Serta di dalam Pembicaraan dan Debat di Sekolah…78

CHART 43: Frekuensi Responden Apakah Dimintai Nasehat/Pendapat dalam Pengambilan Keputusan di Tempat Mereka Bekerja/Belajar/Tinggal………...78

CHART 44: Pengetahuan Masyarakat tentang Sistem Sart Opat………79

CHART 45: Apakah Sistem Sarat Opat Masih Diperaktekkan dalam Kehidupan

Masyarakat Gayo………...80

CHART 46: Mana yang Lebih Bagus, Sistem Sarat Opat atau Sistem Yang Dibuat Pemerintah RI (Kelurahan/Desa. (dari 58 responden yang menjawab Iya pada chart

45)……….81

CHART 47: Kenapa Sarat Opat Tidak Lagi Dipraktekkan. (bagi yang menjawab Tidak

pada Chart:45)………...81

CHART 48: Apakah ada perubahan politik di Daerah Anda setelah Reformasi tahun

1998……….…82

CHART 49: Bentuk Perubahan seteleh Reformasi tahun 1998. (dari 51 responden yang

menjawab Iya pada chart 48)………..83

CHART 50: Alasan kenapa Tidak Ada Perubahan Setelah Reformasi Tahun 1998.(dari

13 responden yang menjawab tidak pada chart 48)……….83

CHART 51: Harapan Masyarakat kepada Pemerintah Lokal………84

(11)

11

BAB 1. PENDAHULUAN.

1.1. Latar belakang Masalah.

Gayo adalah nama sebuah suku berpopulasi kecil yang mendiami sebuah wilayah bernama Tanoh Gayo yang terletak di pedalaman Aceh. Gayo adalah salah satu dari sekian suku minoritas di provinsi Aceh. Populasi suku bangsa gayo berjumlah 11,46 % dari total 5 juta penduduk aceh , yang umumnya tersebar di empat kabupaten, yaitu kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Kabupaten Gayo Lues, dan sebagian kecil di Kabupaten Aceh Tamiang.1 Secara budaya suku bangsa Gayo juga memiliki sistem pemerintahannya tersendiri, yaitu suatu sistem yang berdasarkan Hukum Adat, dan berlandaskan hukum Islam. Sistem kepemimpinan/pemerintahan suku Gayo terangkum dalam pranata Sarak Opat, yang mempunyai empat unsur kepemimpinan, Reje (raja), Imem (imam), Petue (petua), dan Rayat.2 Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut gampong. Setiap gampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil

gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat. Sebuah kampong biasanya dihuni oleh

beberapa kelompok belah (klan).3

Pada masa perjuangan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) masyarakat Gayo banyak yang anti dan menolak untuk bergabung. Setelah reformasi tahun 1998, 2 pemekaran kabupaten terjadi di tanah Gayo, dan setelah perjanjian Helsinki, ada pergerakan ingin memisahkan diri dan membentuk provinsi tersendiri yang bernama provinsi Aceh Leuser Antara (ALA). Tuntutan pemekaran provinsi tersebut diajukan berlandaskan 6 (enam) faktor, yaitu: faktor historis, budaya, ekonomi, anggaran, keadilan, dan pendekatan pelayanan kepada masyarakat .

Dan setelah beberapa tahun isu pemekaran ALA teredam, saat ini isu tersebut kembali menguat, dikarenkan adanya Qanun Aceh No.8 tahun 2012 tentang Kelembagaan Wali Nanggroe dan Qanun Aceh No.3 tahun 2013 tentang Bendera Aceh yang disahkan oleh DPRA Aceh. Masyarakat Gayo menolak Qanun tersebut karena menilai kelembagaan pemersatu kehidupan Adat istiadat Aceh tersebut belum mencerminkan keberagaman adat

1

Lihat Afadlal dkk. 2008. Runtuhnya Gampong di Aceh: Studi Masyarakat Desa yang bergejolak. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Hal.84-93. Isma Tantawi dan Buniyamin. 2011. Pilar-pilar kebudayaan Gayo Lues. Medan: Usu Press. Hal. 2-3.

2

Ibid. Hal.93-108.

(12)

12

Aceh secara luas dan menyeluruh4, dan menolak qanun bendera Aceh karena tidak sesuai dengan undang-undang Republik Indonesia.5

Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya. Budaya politik adalah pendekatan yang cukup akhir di dalam ilmu politik. Pendekatan ini dipelopori oleh dua peneliti Amerika Serikat yaitu Gabriel A. Almond dan Sydney Verba.

Budaya politik di Indonesia bermacam-macam karena masyarakat Indonesia bersifat heterogen (majemuk). Oleh karena itu, terdapat perbedaan budaya (termasuk budaya politik) yang kadang-kadang cukup besar di antara suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam literatur ilmu politik, tidak banyak ditemukan kajian yang membahas budaya politik lokal di Indonesia secara intensif. Studi budaya lokal yang paling banyak dikenal adalah studi Ben Anderson tentang budaya politik Jawa. Dalam kajian antropologi, ada studi A. Mattulada tentang budaya politik bugis. Dan yang terbaru penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti The Habibie Center (oleh Siti Zuhro dkk), yang meneliti tentang Demokrasi dan Budaya Politik Lokal (Identifikasi nilai-nilai Demokrasi Lokal di Sumatera Barat, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Selatan). Sedangkan penelitian budaya politik untuk daerah Aceh secara umum dan suku gayo secara khusus belum ada dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah.

Sesuai dengan latar belakang yang telah diutarakan terdahulu, maka pertanyaan penelitian yang akan dikaji adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pola orientasi dan budaya politik masyarakat Gayo di kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Benar Meriah dan Kabupaten Gayo Lues?

2. Bagaimana kesinambungan dan perubahan budaya politik masyarakat Gayo pasca reformasi tahun 1998 ?

4 http://atjehlink.com/lembaga-wali-nanggroe-atau-gayo-merdeka/. Diakses 22-5-2013, pukul 17:20 wib. 5

(13)

13

1.3. Urgensi Penelitian.

Menurut Gabriel A.Almond dan Sydney Verba budaya politik adalah sikap orientasi warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem tersebut. Lucian Pye menjelaskan budaya politik terlebih pada aspek perkembangan politik di negara berkembang, dengan indikator pokok menyangkut wawasan politik, bagaimana hubungan antara tujuan, dan cara standar untuk penilain aksi-aksi politik serta nilai-nilai yang menonjol bagi aksi-aksi politik.6 Penelitian dengan pendekatan budaya politk berguna untuk mengetahui sikap dan orientasi masyarakat suatu negara terhadap, sistem politik, kehidupan pemerintahan dan perpolitikan di negara tersebut. Sehingga apabila negara lebih mengetahui budaya politik masyarakatnya (baik budaya politik masing-masing suku, kelompok-kelompok masyarakat, para elit dan lain-lain), maka akan lebih mudah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat, tentunya dengan program-program dengan berbasis budaya yang mereka miliki.

Masa DOM (daerah operasi militer) tahun 1989 hingga tahun 1998 adalah peristiwa kelam bagi rakyat Aceh. Dari tahun 2003 hingga 2004 pemerintah menerapkan status Daerah Militer di Aceh. Pada Desember tahun 2004 aceh juga mengalami bencana sunami yang menewaskan lebih dari 250.000 jiwa. Dan akhirnya GAM dan Pemerintahpun berdamai dengan perjanjian Helsinki pada Agustus tahun 2005.

Masalah pemekaran daerah juga banyak terjadi di aceh, sejak tahun 1999 hingga tahun 2007 telah 13 pemekaran kabupaten yang terjadi. Dan untuk daerah gayo sendiri ada 2 pemekaran yaitu, Kabupaten Gayo Lues yang mekar dari Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2002 dan Kabupaten Bener Meriah yang mekar dari Kabupaten Aceh Tengah tahun 2003.

Pendekatan dan Konsep.

Pendekatan dan konsep dalam penelitian ini adalah pendekatan budaya politik, budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara , penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan hukum, adat istiadat dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk

6

(14)

14

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentu kebijakan publik untuk masyarakat seluruh nya.

Gabriel A. Almond dan Sydney Verba menjelaskan bahwa, berdasarkan sikap warga negara terhadap kehidupan politik dan pemerintahan di negaranya, budaya politik dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu budaya politik apatis (parokial), budaya politik mobilisasi (subjek), serta budaya politik partisipasif (aktif).7

1. Budaya Politik Apatis (Parokial). Budaya politik jenis ini terdapat pada masyarakat yang masih tradisional seperti di desa-desa terpencil atau masyarakat suku pedalaman. Pada budaya masyarakat parokial, perhatian dan minat terhadap objek-objek politik yang luas sangat kecil sekali bahkan tidak ada, kecuali dalam batas tertentu di tempat mereka tinggal.

2. Budaya Politik Mobilisasi (Subjek). Masyarakat jenis ini sebenarnya telah memiliki perhatian dan kesadaran terhadap politik, meskipun dalam frekuensi yang masih sangat rendah. Posisi mereka dalam politik dapat dikatakan dapat dikatakan berada dalam posisi yang pasif. Mereka cenderung bersikap patuh dan tidak mau menentang kebijakan yang diambil oleh pemeran politik.

3. Budaya Politik Partisipasif. Pada budaya politik jenis ini, anggota masyarakat sudah memiliki kesadaran penuh dan memiliki peran aktif dalam kegiatan politik. Masyarakat sudah tidak lagi hanya menerima segala keputusan pemerintah, namun sudah berani menentang dan mengkritik serta sudah mulai menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Hipotesa.

Hipotesa yang perlu diuji lewat penelitian ini adalah peneliti melihat bahwa budaya politik masyarakat Gayo mempunyai akar dari kearifan lokal yang mereka miliki pada lalu, yang dikenal dengan sistem Sarak Opat.

Salah satu indikator majunya budaya politik suatu masyarakat bisa dilihat dari keaktifan mereka pada pemilihan umum/ pemilihan kepala daerah. Menurut data KPU partisipasi masyarakat aceh (termasuk gayo) adalah yang tertinggi secara nasional, pada pemilukada provinsi aceh pad tanggal 9 April 2012 sebanyak 75,73 % (jumlah ini hampir sama saat Pemilihan Presiden tahun 2009) pemilih mengggunakan hak pilihnya, dan yang persentase

7

(15)

15

pemilih yang tertinggi adalah kabupaten Gayo lues dengan 88,08 % pemilih8(sementara itu 3 kabupaten lainnya juga memiliki angka yang cukup tinggi: Bener meriah 82,41%, Aceh tengah 82,54%, Aceh tenggara 74,54%)9. Akan tetapi dengan angka partisipasi pemilih yang tinggi juga belum menjamin adanya kesadaran politik masyarakat yang tinggi juga atau masyarakat yang bersifat partisipatif, oleh itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut akan hal tersebut.

Dan penelitian ini juga akan lebih menggali dan menggidentifikasi terhadap 3 komponen budaya politik menurut teori Almond dan Verba. Ketiga komponen tersebut ialah:

a. Komponen Kognitif : Pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warganegara.

b. Komponen Afektif : Perasaan individu terhadap sistem politik, termasuk peran para aktor (politisi) dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

c. Komponen Evaluatif: Keputusan dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, misalnya tampak saat pemilu.10

Serta meneliti kesinambungan dan perubahan budaya politik masyarakat Gayo dilihat dari 5 faktor menurut Ignas Kleden, kelima faktor tersebut ialah:

1. Orientasi terhadap kekuasaan.

2. Politik Mikro vs Politik Makro.

3. Kepentingan Negara vs Kepentingan Masyarakat.

4. Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama.

5. Desentralisasi Politik.11

8

http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=242846:partisipasi-pemilih-di-pilkada-aceh-lebih-70-persen&catid=17:politik&Itemid=30. Diakses pada 16-5-2013, pukul 11;26 wib.

9

http://kip-acehprov.go.id/hasil/terkinilist.php. Diakses pada 16-5-2013 , pukul 11;48 wib.

10

Almond & Verba. Op.Cit. Hal.16-19. Lihat juga Komarudin sahid. Op.Cit. Hal. 150-151.

11

(16)

16

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.

Budaya politik merupakan pendekatan yang baru dalam kajian ilmu politik, dimana pendekatan ini dipelopori oleh Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, dalam kajian budaya lokal di Indonesia yang paling banyak dikenal adalah studi Ben Anderson tentang budaya politik Jawa. Dalam kajian antropologi, ada studi A. Mattulada tentang budaya politik bugis. Tim peneliti The Habibie Center (oleh Siti Zuhro dkk), meneliti tentang Demokrasi dan Budaya Politik Lokal (Identifikasi nilai-nilai Demokrasi Lokal di Sumatera Barat, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Selatan.

Almond danVerba , dalam penelitian mereka tentang budaya politik: tingkah laku politik dan demokrasi di lima negara (yaitu, Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Italia dan Meksiko), mengimpulkan bahwa di negara Inggris dan Amerika Serikat terdapat suato pola tinggkah laku politik dan seperangkat tingkah laku sosial yang merupakan faktor pendukung terhapad proses demokrasi yang stabil. Sedangkan di tiga negara yang lain seperti Jerman, Italia dan Meksiko pola tersebut tidak terbukti. 12

Benedict Anderson dalam bukunya The Idea of Power in Javanese Culture. Secara singkat ia memperkenalkan empat sifat dari apa yang dia percaya menjadi konsepsi kekuatan tradisional Jawa, yaitu kekonkretan, homogenitas, kuantitas yang tetap dan amoralitas yang kontras secara tajam dengan ide kekuasaaan barat. Konsep ini sebagaimana Anderson memahaminya, lalu dia mencoba menunjukkan kebaikan pikiran-pikiran Jawa sebagai piranti analisis dengan mempergunakannya untuk menafsirkan berbagai keputusan-keputusan kebijaksanaan Presiden Sukarno dan Presiden Suharto.13 A.Mattulada dalam karyanya Latoa: Satu Lukisan

Analistis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, menjelaskan bagaimana cara orang

Bugis menjalankan pemerintahan dan kekuasaan, salah satunya dengan adanya sistem

Tudang Sipulung yang artinya duduk bersama.14

Tim peneliti The Habibie Center (Siti Zuhro dkk), di 4 lokasi penelitiannya menjelaskan bahwa, di Sumatera Barat, teridentifikasi dua corak budaya utama yang bertolak belakang:

Bodi Chaniago yang egaliter dan Koto Pilliang yang aristokrat. Keduanya tetap eksis di

tengah proses demokrasi karena kuatnya kepemimpinan tradisional. Selain itu, kedua budaya

12 Almond & Verba. Op.Cit. Hal. X. 13

R. William Liddle. 1997, Islam, Politik dan Modernisasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 4.

14

(17)

17

ini menerapkan prinsip saiyo-sakato yang sesubstansi dengan prinsip konsensus dalam demokrasi universal. Sedangkan dari sisi kelembagaan, lembaga-lembaga lokal mulai rapuh dan cenderung mengalami delegitimasi fungsi. Dan aktor-aktor memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan masing-masing.

Meski memegang prinsip keharmonisan dan keseimbangan yang berakar pada nilai agama Hindu, secara historis Bali tidak pernah sepi dari kekerasan politik dan sosial yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan antara raja-raja dan konflik yang berbasis kasta, politik, penguasaan wilayah serta ekonomi. Pengaruhnya, masyarakat Bali trauma dan fobia terhadap politik sehingga menjadi apolitik. Karena itu, hegemoni elite—umumnya tokoh berkasta tinggi, adat, sekaligus pemilik modal—atas masyarakat tetap kuat. Proses demokrasi dapat berjalan secara prosedural, tetapi secara substansial diwarnai berbagai nilai dan perilaku yang kurang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi universal.

Sulawesi Selatan mirip dengan Bali karena latar belakang tradisi kerajaan yang kuat. Tidak mengherankan jika terjadi gesekan antara warisan tradisi dan keharusan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam proses politik dan pemerintahan saat ini. Nilai-nilai kebangsawanan masih melekat kuat. Misalnya, sebutan andi, puang, dan karaeng, memberikan makna tersendiri bagi yang menyandangnya. Namun, sejak dulu masyarakat Sulawesi Selatan telah memiliki filosofi tudung sipulung yang dipergunakan sebagai media/sarana menyerap aspirasi. Masalahnya, aktor-aktor utama politik lokal menerapkan adat tudung sipulung ini menjadi forum musyawarah, tetapi pada kenyataannya justru mereduksi substansi karena kepentingan politik.

Sementara masyarakat Jawa Timur secara sosiokultural dapat dibedakan dalam tiga kelompok budaya, yakni Mataraman, Mendalungan, dan Arek. Meski demikian, mereka dikenal egaliter dan terbuka untuk berbagai macam gagasan. Masalahnya, selain mampu membuka peluang untuk tumbuhnya demokrasi, sering pula masyarakat yang aktif dan berani itu dikooptasi para elite politik. Kearifan lokal lain yang dimiliki masyarakat Jawa Timur adalah gotong royong yang dipercaya mampu mengupayakan kesejahteraan bagi masyarakat. Sayangnya, nilai gotong royong kini mengalami distorsi dan menyimpang menjadi nilai untuk bersama-sama mendukung penguasa atau calon tertentu.15

15

(18)

18

2.1. Kajian Konseptual.

2.1.1. Teori Budaya Politik.

Kata budaya berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah yang berarti akal atau budi.

Budaya yang ada di dalam masyarakat berasal dari pendahulu atau leluhur mereka karena

budaya bersifat turun-temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya adalah

segala sesuatu yang berasal dari akal manusia termasuk agama, ilmu pengetahuan, taknologi,

bangunan, dan bahasa. Kata politik berasal dari Bahasa Yunani yaitu Polis yang berarti

negara kota atau policy yang dalam Bahasa Inggris berarti kebijakan. Sedangkan dalam

Bahasa Arab, politik disebut juga dengan siyasah yang berarti cerdik atau bijaksana. Dari

beberapa pengertian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa politik selalu berkaitan dengan

pengambilan keputusan, kebijakan, dan kekuasaan.

Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.

Ada banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, derajat / tingkat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu – rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian budaya politik menurut beberapa ahli ilmu politik. Berikut ini merupakan pengertian budaya politik menurut beberapa ahli ilmu politik.

a. Rusadi Sumintapura

Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.

b. Sidney verba

Budaya politik adalah suatu system kepercayaan empirik, simbol – simbol eksresif, dan nilai

– nilai yang menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan. c. Alan R. Ball

(19)

19

d. Austin ranney

Budaya politik adalah seperangkat pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama – sama, sebuah pola orientasi terhadap objek – objek politik.

e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham powell, Jr.

Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai, dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola – pola khusus yang terdapat pada bagian – bagian tertentu dari populasi.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut:

1. Bahwa konsep budaya politik lebih memberi penekanan pada perilaku – perilaku nonaktual seperti orientasi, sikap, nilai – nilai dan kepercayaan – kepercayaan.

2. Hal – hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya pembicaraan tentang budaya politik tidak pernah lepas dari pembicaraan tentang sistem politik.

Budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen – komponen budaya politik dalam tataran massif, atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per individu.

Konsep budaya politik muncul dan mewarnai wacana ilmu politik pada akhir Perang Dunia II, sebagai dampak perkembangan ilmu politik di Amerika Serikat. Sebagaimana diungkapkan oleh banyak kalangan ilmuwan politik, setelah PD II selesai, di Amerika Serikat terjadi apa yang disebut revolusi dalam ilmu politik, yang dikenal sebagai Behavioral

Revolution, atau ada juga yang menamakannya dengan Behavioralism.16 Behavioral

revolution terjadi dalam ilmu politik adalah sebagai dampak dari semakin menguatnya tradisi atau madzhab positivisme, sebuah paham yang percaya bahwa ilmu sosial mampu memberikan penjelasan akan gejala sosial seperti halnya ilmu-ilmu alam memberikan penjelasan tehadap gejala-gejala alam, dalam ilmu sosial, termasuk ilmu politik. Paham ini sangat kuat diyakini oleh tokoh-tokoh besar sosiologi, seperti Herbert Spencer, Auguste

Comte, juga Emile Durkheim. Paham positivisme merupakan pendapat yang sangat kuat di

Amerika Serikat semenjak Charles E. Merriam mempeloporinya di Universitas Chicago, yang kemudian dikenal sebagai The Chicago School atau Madzhab Chicago, yang memulai pendekatan baru dalam ilmu politik.

16

Lihat J.C Johari. 2002. Comparative Politics. New Delhi: Sterling Publishers Pvt. Hal.29-36. Afan Gaffar.1999.

(20)

20

Salah satu dampak yang sangat menyolok dari behavioral revolution ini adalah munculnya sejumlah teori, baik yang bersifat grand maupun pada tingkat menengah (middle level

theory). Kemudian, ilmu politik diperkaya dengan sejumlah istilah, seperti misalnya sistem

analysis, interest aggregation, interest articulation, political socialization, politic culture,

conversion, rule making, rule aplication, dan lain sebagainya.17 Menurut Ranney, budaya

politik memiliki dua komponen utama, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations )dan orientasi afektif (affective orientation). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe

– tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen objek politik, yakni: a. Orientasi Kognitif, b. Orientasi Afektif. c. Orientasi Evaluatif.

Tipe – Tipe Budaya Politik dapat dibedakan berdasarkan18 : 1. Berdasarkan Sikap yang ditunjukkan.

Negara dengan sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks menuntut kerja sama yang luas untuk mengintegrasikan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap seseorang terhadap orang lain. Pada kondisi ini, budaya politik cenderung bersifat ―militant‖

atau bersifat ―toleransi‖. Tipe ini terbagi dua, yaitu: a. Budaya politik militan

Budaya politik militan tidak memandang perbedaan sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi melihatnya sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi krisis, yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan peraturannya yang mungkin salah.

b. Budaya politik toleransi

Budaya politik toleransi adalah budaya politik yang pemikirannya berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai.

2. Berdasarkan orientasi politiknya

Realitas yang ditemukan dalam budaya politik ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang ditandai oleh sebagai karakter dalam budaya politik,setiap sistem politik memiliki budaya politik yang berbeda.

Dari realitas budaya politik yang berkembang di masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik kepada 3 bagian (budaya politik parokial, kognitif dan kaula) seperti yang dijabarkan diatas. Dalam kehidupan masyarakat, tidak tertutup

17

Lihat David Marsh & Gerry Stoker. 2010. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Bandung : Nusa Media. Hal. 54-60. H.R Mukhi. 2005. Contemporary Political Analysis. Delhi: Surjeet Book Depot. Hal.74-78.

(21)

21

kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan ketiga klasifikasi tersebut di atas.

2.1.2 Teori Etnis.

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan ististilah etnis berarti kelompok sosial dalam sistem social atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnis memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunaka maupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat.

Menurut Frederik Barth istilah etnik adalah suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnis adalah kelompok orant-orang sebagai suatu populasi yang19:

- Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.

- Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.

- Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

- Menentukan cirri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Denis Dwyer memberikan pembatasan mengenai etnisitas. Etnisitas adalah hasil dari proses hubungan, bukan karena proses isolasi. Jika tidak ada pembedaan antara orang dalam dan orang luar, tidak ada yang namanya etnisitas . Erikson menambahkan syarat kemunculan etnisitas adalah kelompok tersebut sedikitnya telah menjalin hubungan, kontak dengan kelompok etnis yang lain, dan masing-masing menerima gagasan dan ide-ide perbedaan di antara mereka, baik secara kultural maupun politik . Dalam bahasa lain, etnisistas muncul dalam kerangka hubungan relasional, dalam interaksinya dengan dunia luar dan komunitas kelompoknya .

Etnisitas dan Politik.

Kemunculan politik etnis diawali oleh tumbuhnya kesadaran yang mengidentikkan mereka ke dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu. Kesadaran ini kemudian memunculkan

solidaritas kekompakkan dan kebangsaan. Politik etnis mengacu pada politik ―kelompok

19 Frederik Barth. 1988.

(22)

22

etnis‖ dan ―minoritas kecil‖, sementara penafsiran kelompok etnis bisa mencakup bangsa

etnis (ethnic nation). Pada wacana politik kontemporer nuansanya lebih sempit. Dalam konteks ini, biasanya kelompok etnis atau minoritas etnis tidak memiliki teritori tertentu. Mereka tidak menghendaki ―determinasi diri kebangsaan‖ dalam suatu wilayah bangsa (negara). Akan tetapi, lebih pada penerimaan proteksi dan kemajuan bagi kelompok, khususnya bagi individu-individu dalam kelompok itu, dalam suatu negara yang telah ada . Dalam politik, etnis senantiasa menjadi perhatian besar terutama dalam hubungannya dengan peran pengembangan kesadaran kolektif, kesukuan sampai dengan tingkat kebangsaan dan negara bangsa. Makna yang terkandung dalam kata etnis ternyata mengalami evolusi. Perubahan makna ini bisa dilihat dari kondisional dan disiplin ilmu : makna asal, kondisi primitif dari sisi antropologis. Perkembangannya pada era modern seiring dengan perjalanan politik dan interaksi sosiologis. Akan lain lagi maknanya dalam kacamata posmodernisme dan globalisme. Agnes Haller menguatkan hal ini, bahwa politik identitas sendiri merupakan milik dari budaya massa dan erat kaitannya dengan revolusi kebudayaan yang terjadi pada era posmodern. Dengan demikian, politik identitas dapat pula dikategorikan sebagai politik kebudayaan . Teoritisi lainnya adalah Anthony D. Smith , yang mengemukakan teori tentang etnisistas sebagai awal dari bangkitnya nasionalisme. Etnisitas memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap nasionalisme.20

Di Indonesia, isu etnis atau isu kesukuan sering dijadikan alat kampanye untuk mendapatkan dukungan dan suara dari etnis tertentu dalam pemilihan umum dan juga pemilihan kepada daerah. Dan bila itu rentan terjadi atau malah menjadi isu utamanya maka hal tersebut sesungguhnya menandakan kriteria masyarakat/pemilih yang masih bersifat tradisional, yang juga merupakan ciri dari Negara berkembang. Oleh karena itu bila suatu etnis atau suku bangsa (dalam penelitian ini suku bangsa Gayo), dapat dapat memahami sistem perpolitikan

–minimal-di daerahnya, kemudian berperan aktif, dengan memberikan kritik dan evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan perpolitikan yang ada, dan bahkan mereka menjadi aktor dalam politik di daerahnya. Maka hal tersebut akan mempermudah dan mempercepat pembangunan masyarat suku bangsa tersebut beserta daerahnya, dan itu menjadi penopang dan penguat terhadap pembangunan Negara/masyarakat secara nasional.

(23)

23

2.1.3. Road Map Penelitian.

Adapun road map penelitian Budaya Politik Suku Bangsa Gayo (Pemetaan Budaya Politik Suku Bangsa Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues) adalah :

Tabel 1. Road Map Penelitian

Sebelum Sedang Sesudah

2014 2015

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN.

Adapun tujuan dan manfaat penelitian adalah sebagai berikut :

3.1. Tujuan Penelitian.

1. Mengidentifikasi dan memetakan pola orientasi dan budaya politik masyarakat Gayo di kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan kabupaten Gayo Lues. 2. Menganalisa kesinambungan dan perubahan budaya politik masyarakat Gayo pasca

reformasi tahun 1998.

3.2.Manfaat Penelitian.

(24)

24

2. Bagi Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah, penelitian ini dapat menjadi referensi dasar dalam mengambil kebijakan dan keputusan terkhusus untuk masyarakat Gayo, sehingga kebijakan dan keputuasan tersebut lebih mengena dapat dapat langsung diterima masyarakat karena telah sesuai dengan budaya mereka.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat menjadi sarana dan referensi pendidikan budaya politik, terkhususnya bagi masyarakat Gayo.

3.3. Luaran Penelitian.

Penelitian ini juga mempunyai Luaran Penelitian sebagai berikut :

1. Menjadi model pendekatan politik berbasis budaya lokal bagi pemerintah baik di pusat maupun di tingkat kabupaten/kota.

1. Menjadi model pemetaan budaya politik di berbagai daerah di Indonesia.

2. Hasil publikasi nasional di jurnal masyarakat kebudayaan dan politik-Universitas Airlangga (mkp.fisip.unair.ac.id).

BAB 4. METODE PENELITIAN.

4.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian.

Penelitian ini akan memadukan metode penelitian kuantitatif yang di padukan dengan metode deskriptif kualitatif, hal ini dimaksudkan agar penelitian ini lebih lengkap dan meningkatkan kesahihan serta dapat membandingkan objek kajian dengan antar metode penelitian21. Metode kuantitatif (dilakukan pada tahun pertama) digunakan dengan metode pengebaran kusioner terhadap responden, sedangkan metode kualitatif (dilakukan pada tahun kedua) digunakan dengan teknik seperti observasi, observasi partisipan, wawancara individu intensif, dan wawancara kelompok fokus, yang berusaha memahami pengalaman dan praktik informan kunci untuk menempatkan mereka secara tepat dalam konteks.22 Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana budaya politik suku Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Gayo Lues, dilihat dari pengalaman dan praktik individu-individu dan tokoh-tokoh masyarakatnya.

21

Marsh. Op.cit. Hal.287.

22Lareau, A. and Shultz, J.

(25)

25

4.2. Fokus Penelitian.

Fokus dalam penelitain ini adalah sebagai berikut : a) pola orientasi dan budaya politik masyarakat Gayo di kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Benar Meriah dan Kabupaten Gayo Lues, b). Kesinambungan dan perubahan budaya politik masyarakat Gayo pasca reformasi tahun 1998.

4.3. Populasi dan Sample.

Populasi penelitian adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya dapat diduga dan paling sedikit mempunyai sifat yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat suku bangsa Gayo di Aceh yang berjumlah 11,46% dari 4.494.000 jiwa masyarakat di provinsi Aceh,23 sehingg populasi masyarakat Gayo adalah 515.012 orang jiwa.

Adapun Sample dalam penelitian ini menggunakan rumus menurut Taro Yamane yaitu pendekatan simple random sampling (SRS),24 dengan presisi 10% ndengan derajat kepercayaan 90%, yaitu:

n = N N (d)2 + 1

Keterangan :

N = ukuran populasi

n = ukuran sample minimal

d = presisi yang ditetapkan = 10%

Oleh itu berdasarkan data diatas, maka diperoleh

N = 515.012

n = ukuran sample minimal

d = 10%

23

Hasil sensus tahun 2010 oleh BPS Aceh.

Lihat.http://bappeda.acehprov.go.id/v2/file/StatistikDaerahAceh/StatistikDaerahAceh2011.pdf.

24 Burhan bungin. 2005.

(26)

26

n = 515.012 515.012 (0,1)2 + 1

= 99,98 dibulatkan menjadi 100 orang.

Maka jumlah sample dalam penelitian ini adalah 100 orang (responden akan disebar di 3 kabupaten).

3.4. Penentuan Informan.

Untuk memperdalam penelitian suku Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Gayo Lues, serta mengetahui perubahan dan kesinambungan budaya politik mereka sejak reformasi 1998 maka akan dilakukan wawancara secara mendalam berdasarkan metode kualitatif

Informan-informan kunci dalam penelitian ini seperti adalah orang yang dianggap lebih mengerti dan memahami pokok permasalahan yang akan digali. Seperti Raja, Keucik, Imam, masyarakat petani/pekerja, tokoh adat dan agama, guru/pelajar, bupati, dan anggota dewan rakyat.

3.5. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Gayo Lues.

3.6. Sumber dan Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunaka data primer dan data sekunder untuk menyempurnakan hasil penelitian.

1. Data Primer.

Data primer diperoleh dari penelitian ke lapangan untuk mengumpulkan data melalui: a. Penyebaran kusioner, yaitu alat mengumpulkan data dengan menyebarkan

(27)

27

b. Wawancara mendalam (depth interview), yaitu pengumpulan data dengan cara memberikan pertanyaan langsung kepada informan guna memperoleh keterangan dalam menyimpulkan data yang terkumpul.

2. Data Sekunder.

a. Data sekunder diperoleh dengan metode penelitian kepustakaan (library research)

yaitu dengan studi dokumentasi / pengumpulan data berdasarkan dokumen tertulis, data yang dimaksud bisa berupa Undang – Undang (Qanun), peraturan, hasil studi / riset, buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, dan literature lainnya yang relevan dengan judul penelitian.

3.7. Analisis Data

Didalam menganalisis data yang telah diperoleh, penulis menggunakan intrepretasi emik dan intrepretasi etik, yaitu sebuah penafiran yang didapat dilapangan yang kemudian digabungkan dan dianalisis berdasarkan penafsiran peneliti.

Di samping itu, untuk mendapatkan sebuah intrepretasi yang tepat, maka data yang telah diperoleh kemudian direduksi sehingga nantinya diharapkan akan dapat menghasilkan sebuah kesinambungan dan kemudian dianalisis berdasarkan konsep yang digunakan untuk penelitian ini.

3.8. Bagan Alir Penelitian.

Tahun Pertama : Pemetaan Budaya Politik Suku Bangsa Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, Kab.

Meriah dan Kabupaten Gayo Lues (Dengan Metode Kuantitatif)

1.Tahap Persiapan 3. Pemrosesan dan Analisis Data

-Studi literatur dan observasi awal - Reduksi data -Penentuan lokasi dan perumusan

Masalah penelitain -Penyajian Data -Menentukan fokus dan dimensi -Analisis Data

-Menentukan metode penelitian MODEL BUDAYA POLITIK -Observasi Lapangan -Penarikan Kesimpulan

-Pengumpulan data sekunder Dan verifikasi -Pengumpulan data primer melalui: -Penyusunan Laporan

Kusioner. -Seminar Hasil

(28)

28

BAB 5. HASIL YANG DICAPAI.

Penelitian ini merupakan penelitian direncanakan untuk 2 tahun, dimana pada tahun pertama peneliti menggunakan metode kuantitatif untuk memetakan dan membuat model budaya politik suku bangsa gayo di kabupaten Aceh Tengah, kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues.

Adapun hasil yang dicapai dalam penelitian tahun pertama ini adalah :

1. Penyusunan kusioner. Kusioner berjumlah 44 pertanyaan dengan varietas untuk mengetahui kesadaran politik, kepekaan politik, pemahaman budaya lokal dan lain-lain.

2. Pengidentifasian mitra-mitra lokal di tiga kabupaten suku Gayo tersebut. Dikarenakan lokasi yang jauh dan asing dari asal peneliti, peneliti membutuhkan mitra-mitra lokal guna membantu dan menjadi guide lokal dalam pelaksanaan penelitian.

3. Pemetaan dan pembagian sampel responden di 3 kabupaten yang berjumlah 100 sampel. Dengan berdasarkan populasi kabupaten peneliti menetapkan pembagian sampel responden di 3 kabupaten tersebut sebagai berikut : kabupaten Aceh Tengah sebanyak 50 orang responden, kabupaten Bener Meriah sebanyak 30 orang responden dan kabupaten Gayo Lues sebanyak 20 orang responden.

4. Penyebaran kusioner-kusioner kepada para sample responden di tiga kabupaten tersebut.

Tahun Kedua : Pemetaan Budaya Politik Suku Bangsa Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, Kab.Bener

Meriah dan Kabupaten Gayo Lues (Dengan Metode Kualitatif)

1.Tahap Persiapan 3. Pemrosesan dan Analisis Data

-Studi literatur dan observasi awal - Reduksi data -Penentuan lokasi dan perumusan

Masalah penelitain -Penyajian Data -Menentukan fokus dan dimensi -Analisis Data

-Menentukan metode penelitian MODEL BUDAYA POLITIK -Observasi Lapangan -Penarikan Kesimpulan

-Pengumpulan data sekunder Dan verifikasi -Pengumpulan data primer melalui: -Penyusunan Laporan

Wawancara mendalam. -Seminar Hasil

(29)

29

5. Asumsi awal model Budaya Politik Suku Bangsa Gayo dengan penelitian Kuantitatif adalah : Masyarakat Suku Gayo merupakan yang memiliki Budaya Politik yang

sangat aktif. Hal tersebut didorong dari budaya ―sarat opat‖ yang telah berakar

dipraktekkan sejak dari kerajaan lingga di gayo.

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian.

5.1.1. Kabupaten Aceh Tengah

5.1.1.A. Deskripsi Umum

Aceh Tengah merupakan salah satu kabupaten yang terletak ditengah-tengah Provinsi Aceh. Secara geografis Kabupaten Aceh Tengah berada pada posisi antara 4010‖-4058‖ LU dan 96018‖ - 96022‖ BT. Wilayahnya yang seluas 431.839 Ha atau setara dengan 4.318,39 Km2, berbatasan langsung dengan Kabupaten Bener Meriah dan Bireuen di sebelah utara, Kabupaten Gayo Lues di sebelah selatan, Kabupaten Nagan Raya dan Pidie di sebelah barat, serta Kabupaten Aceh Timur di sebelah timur25.

Wilayah di kabupaten Aceh Tengah secara administratif terbagi menjadi 14 kecamatan yang terdiri atas 269 desa/ kampung defenitif dan 27 kampung persiapan. Pada Triwulan I tahun 2011, jumlah penduduknya mencapai 202.114 jiwa dengan kepadatan rata-rata 47 jiwa/Km2. Keadaan pendududuk berdasarkan suku bangsa, Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah yang majemuk dengan komposisi penduduk bersuku Gayo ± 60%, suku Jawa 30%, Aceh Pesisir 5%, dan sisanya merupakan suku lainnya seperti Batak, Padang, Cina, dsb dengan mayoritas penduduk beragama Islam yakni sebanyak 97%. Berikut disajikan data Penduduk Kabupaten Aceh Tengah berdasarkan kecamatan Tahun 2008.

(30)

30

Tabel 1: Penduduk Aceh Tengah Berdasarkan Kecamatan.

N

Sumber : Aceh Tengah Dalam Angka 2009, diolah

(31)

31

lahannya didominasi oleh kawasan hutan seluas 280.647 Ha atau 64,98% dari luas wilayah, dan sisanya berupa tanah bangunan, sawah, tegal/ kebun, lading/huma, padang rumput, rawa-rawa, kolam, tambak, perkebunan dan areal peruntukan lainnya. Pada umumnya jenis tanahnya bervariasi, 68% diantaranya terdiri dari tanah podsolik coklat dan merah kuning dengan tekstur liat berpasir, struktur remuk, konsistensi gembur permeabilitas sedang. Keadaan tersebut menjadikan Aceh Tengah sebagai daerah yang subur dan menjadi pusat produksi hasil pertanian dataran tinggi di Provinsi Aceh. Sesuai dengan letak geografisnya, iklimnya termasuk iklim equatorial, dengan jumlah hari hujan rata-rata 137 hari/ tahun dan curah hujan rata-rata 1.822 m/tahun. Suhu udara rata-rata berkisar pada 20 derajad celcius dengan kelembaban nisbi antara 80 – 84%26.

Kabupaten ini juga memiliki sebuah danau yang diberi nama danau Laut Tawar. Danau tersebut dikelilingi oleh perbukitan yang ditumbuhi pohon Pinus Merkusi. Luas Danau ini sekitar 5.472 Ha dengan air yang bersumber dari sejumlah mata air dan 21 buah sungai kecil.

5.1.1.B. Perekonomian

Kabupaten Aceh Tengah memiliki sumber daya alam yang cukup beragam dan potensial bagi kegiatan investasi dan perdagangan. Apalagi kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah yang berada pada titik ketinggian tertentu dan juga dikelilingi oleh pegunungan, sehingga ada banyak potensi ekonomi yang bisa digali oleh masyrakat setemopat dan jugapemerintah daerah.

Ada beberapa sektor unggulan yang bisa dikembangkan dan diarahkan pada sektor pertanian sebagai sektor dominan, disamping sektor lain yang juga cukup potensial seperti sektor perikanan, peternakan, industri dan pariwisata. Beragamnya potensi yang dimiliki ini, sebagaia besar belum dimanfaatkan secara optimal akibat kurangnya sarana pendukung dan penguasaan tekhnologi yang kurang sehingga pergerakan pertumbuhan dan usaha untuk meningkatkan produksi tidak begitu signifikan.

5.1.1.B.1. Perkebunan

Sektor perkebunan merupakan sektor unggulan di Kabupaten Aceh Tengah yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

26

(32)

32

Komoditi perkebunan yang menjadi unggulan adalah kopi. Luas perkebunan kopi di Kabupaten Aceh Tengah mencapai 47.854 ha atau 11% dari luas wilayah kabupaten, dengan jumlah produksi kopi (biji hijau) rata-rata sebesar 21.861,42 ton/ tahun. Untuk perluasan tanaman kopi, masih terdapat potensi lahan seluas 58.744 ha yang tersebar hampir diseluruh kecamatan, sehingga secara total proporsi ekspor kopi Aceh Tengah mencapai 7% dari volume total ekspor nasional. Namun keuntungan dari hasil produksi dan penjualan kopi belum berpihak kepada petani secara langsung, melainkan, komoditi ini masih dinikmati oleh para pedagang, akibat keterbatasan pengetahuan dan informasi para petani27.

Disamping tanaman kopi, komoditi lain pada sektor perkebunan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sesuai dengan potensi lahan dan budidaya serta prospek pasar baik lokal maupun ekspor adalah tebu. Tanaman tebu di Kabupaten Aceh Tengah yang diusahakan oleh penduduk adalah merupakan bahan baku untuk membuat gula merah, yang diproduksi oleh masyarakat petani tebu di daerah ini. Pada saat ini luas tanaman tebu mencapai 5.532 ha dengan luas produksi sebanyak 31.118 ton per tahun. Secara keseluruhan, tanaman perkebunan di Kabupaten Aceh Tengah meliputi 16 jenis tanaman, jenis dan besar produksi tahunan seperti tersaji pada tabel berikut28 :

Tabel 2: Produksi Tahunan Kabupaten Aceh Tengah.

(33)

33

JUMLAH 57.28

0

61.519

Sumber : Aceh Tengah Dalam Angka, 2009

5.1.1.B.2. Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura

Selain tanaman perkebunan, Kabupaten Aceh Tengah juga kaya dengan tanaman pangan dan hortikultura seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Produksi sayur-sayuran saat ini mencapai ± 14.855 ton pertahun, yang didominasi oleh komoditas kol/ kubis sebesar 3.552 ton (23,91%), disusul kentang sebesar 2.399 ton (16,15%), tomat 1.966 ton (13,23%), cabe sebanyak 1.896 ton (12,76%), dan sisanya berupa cabe rawit, bawang, ketimun, wortel dan lain-lain. Sedangkan produksi buah-buahan saat ini tercatat sekitar 11.621 ton, dengan produksi terbesar adalah jeruk keprok, pisang, alpukat, jeruk siam, durian, nenas dan jenis buah-buahan dataran tinggi lainnya29.

Sebagai sentra tanaman hortikultura di Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Tengah memiliki potensi lahan untuk pengembangan seluas 32.520 Ha. Berdasarkan luas tanam dan luas panen yang ada, peluang perluasan lahan masih sangat memungkinkan. Adapun peluang investasi yang dan perdagangan yang ditawarkan adalah pembangunan industri pengolahan hasil pertanian, penyediaan alat pertanian, pengembangan tekhnologi dan pemasaran hasil.

5.1.1.B.3. Peternakan

Meskipun masih dilakukan dalam skala terbatas dan penggunaan tekhnologi yang sederhana, usaha peternakan baik ternak besar maupun ternak kecil di Kabupaten Aceh Tengah telah banyak diusahakan oleh petani. Dari berbagai jenis ternak yang dikembangkan, jenis ternak yang cukup prospektif untuk dikembangkan adalah kerbau, sapi, kambing/ domba, dan kuda. Potensi ini didukung oleh ketersediaan lahan pengembalaan yang cukup luas. Padang pengembalaan yang didaerah ini dikenal dengan ‖peruweren‖ memiliki areal seluas 41.500 Ha. Areal tersebut merupakan aset daerah yang diatur dalam Perda/ Qanun Kabupaten Aceh Tengah. Disamping areal tersebut, 11,02% dari luas hutan didaerah ini juga ditumbuhi padang rumput yang sangat cocok untuk pengembangan usaha peternakan. Berdasarkan pada potensi tersebut, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah saat ini sedang melaksanakan/ mengembangkan Proyek Sentra Penghasil Ternak yang berlokasi di Ketapang dengan luas areal lebih kurang 3.000 Ha. Melalui program ini, Peternakan Terpadu Ketapang nantinya

(34)

34

akan menjadi pusat penjualan ternak, industri dendeng sapi serta kawasan agrowisata yang indah30.

Berikut disajikan populasi dan produksi hasil ternak di Kabupaten Aceh Tengah pada Tahun 2009

Tabel 3 : Populasi Hasi Ternak Kabupaten Aceh Tengah.

No Jenis Ternak Populasi (ekor)

1. Sapi Potong 5.666

2. Kerbau 21.472

3. Kuda 2.172

4. Kambing 6.580

5. Domba 2.597

6. Ayam Buras 133.965

7. Ayam Ras Pedaging 173.508

8. Itik/ Bebek 64.267

Sumber : Aceh Tengah Dalam Angka, 2009

5.1.1.B.4. Perikanan

Kegiatan perikanan di Kabupaten Aceh Tengah sebagian besar berupa perikanan air tawar dengan memanfaatkan Danau Laut Tawar dan daerah aliran sungainya serta budidaya melalui kolam/ tambak dan minapadi. Sumber daya ikan memiliki peluang tinggi untuk dikembangkan karena adanya dukungan air yang sangat melimpah. Potensi lahan budidaya air tawar mencapai 5.811,20 Ha, yang sebagian besar terdapat di Danau Laut Tawar. Dari luas tersebut, yang telah dibudidayakan dan dimanfaatkan baru mencapai 504,70 Ha. Sedangkan sisanya belum dimanfaatkan karena keterbatasan sarana dan prasarana. Jumlah produksi ikan air tawar di Kabupaten Aceh Tengah tercatat sebanyak 50% berasal dari penangkapan di danau, 25% hasil budidaya keramba/ jaring tancap, 13% budidaya kolam dan sisanya sebanyak 12% bersumber dari penangkapan di sungai. Dari keseluruhan produksi ikan tersebut masih belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, selama ini sebagian besar kebutuhan ikan dipasok dari Kabupaten Bireuen.

(35)

35

Peluang bisnis dan investasi yang masih cukup terbuka pada sektor perikanan ini adalah pembudidayaan ikan air tawar yang dapat dikembangkan dikolam-kolam masyarakat, atau dipinggiran Danau Laut Tawar dengan cara membuat keramba tancap dan jaring apung.

5.1.1.B.5. Kehutanan.

Kabupaten Aceh Tengah memiliki kawasan hutan seluas 280.647 Ha atau 64,98% dari luas kabupaten, yang terdiri dari hutan lindung (142.490 Ha), suaka alam/ taman buru (85.381 Ha), dan hutan produksi/ produksi terbatas (52.776 Ha). Sebagian besar hutan yang ada merupakan hutan alam tropis heterogen dan hutan pinus homogen, sehingga memiliki potensi yang sangat tinggi.31

Hasil utama hutan Aceh Tengah adalah kayu pinus mercusii, kayu rimba campuran, meranti, gerupel, jeumpa dan lain-lain, serta hasil ikutan (hasil hutan non kayu) berupa rotan, sarang burung walet dan sebagainya.

Potensi hutan digunakan untuk kepentingan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, dengan memanfaatkan hasil hutan yang ada dengan prinsip tetap memelihara kelestarian dan ekosistemnya, yaitu dengan upaya mencegah berbagai aktifitas seperti penjarahan dan pengrusakan hutan penataan hutan sebagai sumber daya alam memiliki potensi ekonomi terus ditempuh melalui peningkatan penertiban penebangan hutan, penghijauan, reboisasi, dan rehabilitasi lahan kritis.

5.1.1.B.6. Pertambangan dan Energi.

Berdasarkan hasil survey, bahan galian/ tambang yang terkandung diwilayah Kabupaten Aceh Tengah sangat bervariasi, mulai dari bahan galian Golongan A (uranium, minyak bumi, timah hitam), Golongan B (emas, tembaga, belerang, borax, firit, perak, pasir besi), dan Golongan C seperti batu gamping, andesit, granit, marmer, batu sabak, serpentit, lempung, dan trass. Seluruh bahan galian tersebut sampai saat ini belum ada yang dieksplorasi kecuali bahan galian pasir dan batuan.

5.1.1.B.7. Industri.

Sektor industri merupakan salah satu lapangan usaha yang cukup besar dalam membentuk PDRB Kabupaten Aceh Tengah. Lapangan usaha ini memberikan kontribusi sebesar 6,84%

(36)

36

dan secara perlahan terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Sesuai dengan potensi alam, maka jenis industri yang berkembang didominasi oleh industri kilang pengupasan/ penggilingan kopi dan industri kilang tebu. Kedua jenis industri ini selalu dilakukan pembinaan dalam upaya menjaga kualitas hasil produksi.32

5.1.1.B.8. Pariwisata.

Dalam pembagian Zona Pembangunan Daerah Istimewa Aceh (sekarang Provinsi Aceh), Kabupaten Aceh Tengah ditetapkan sebagai zona pertanian dan pariwisata. Hal ini didasarkan pada potensi alam dan keadaan iklim yang sangat cocok sebagai daerah peristirahatan. Kabupaten Aceh Tengah memiliki 36 objek wisata, diantaranya terdiri dari agro wisata (2 jenis), wisata alam/ ekowisata (20 jenis), dan wisata budaya (14 jenis), yang tersebar hampir diseluruh kecamatan. Danau Laut Tawar adalah salah satu objek wisata unggulan yang cukup dikenal baik bagi wisatawan local maupun regional33.

Dilihat dari objek wisata yang ada, potensi Kabupaten Aceh Tengah untuk dikembangkan sebagai daerah wisata masih sangat cukup prospektif. Pengembangan yang diperlukan adalah pembangunan dalam bidang sarana dan prasarana yang masih kurang dan bahkan tidak terperhatikan sehingga mengurangi kenyamanan dari pada turis lokal maupun turis mancanegara.

5.1.1.C. Sarana dan Prasarana.

5.1.1.C.1. Transportasi.

Secara umum, kondisi sarana dan prasarana di Kabupaten Aceh Tengah telah cukup memadai untuk mendukung investasi. Sejak adanya program jalan yang dikembangkan dengan sistim jaring laba-laba (Ladia Galaska) untuk menembus isolasi daerah, didaerah ini telah terdapat 7 trace jalan yang menghubungkan Aceh Tengah dengan daerah luar, antara lain : Takengon – Bener Meriah – Bireuen; Takengon – Iseise – Belang Kejeren – Kotacane; Takengon – Celala

– Beutong Ateuh – Aceh Jaya; Takengon – Genting – Pameu – Geumpang Pidie; Takengon – Bener Meriah – Krueng Geukeuh – Lhokseumawe; Takengon – Samar Kilang – Alue iemirah – Aceh Timur; dan Takengon – Delung Sekinel – Penarun – Peureulak. 34

32

Regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/displayprofil.php.

33

Ibid.

(37)

37

Selain melalui darat, Kabupaten Aceh Tengah juga dapat ditempuh melalui angkutan udara dalam waktu tempuh ± 45 menit dari Bandar Polonia Medan ke Bandara Rembele (Kab. Bener Meriah) dan ± 30 menit dari Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Selanjutnya dari Bandara Rembele ke Takengon (Ibukota Kabupaten Aceh Tengah) dapat ditempuh melalui perjalanan darat dalam waktu 20 menit.

5.1.1.C.2. Pos dan Telekomunikasi.

Sampai dengan Tahun 2010, sarana pos dan telekomunikasi telah menjangkau hampir seluruh wilayah kecamatan dalam Kabupaten Aceh Tengah. Fasilitas ini melayani dengan baik hubungan komunikasi baik local, SLJJ maupun SLI. Khusus untuk jaringan telekomunikasi, disamping PT. TELKOM, telah hadir beberapa operator jaringan selular (GSM) seperti Telkomsel, Indosat, Satelindo, dan Flexy yang menjangkau hampir seluruh kawasan pemukiman penduduk. Didaerah ini juga terdapat koneksi internet yang cukup baik untuk diakses oleh masyarakat. Adapun untuk pengiriman barang dan jasa (benda-benda pos) baik kedalam dan keluar daerah dilayani melalui kantor PT. Pos Indonesia yang tersebar hampir disetiap kecamatan. Selain itu, terdapat pula usaha kurir, jasa titipan, ekspedisi dan angkutan yang menerima titipan surat dan barang.35

5.1.1.C.3. Energi Listrik dan Air Bersih.

Hampir seluruh wilayah kabupaten ini sudah terlayani dengan fasilitas listrik khususnya dari PLN, yang dipasok melalui Gardu Induk di Sumatera Utara. Untuk waktu kedepan, pasokan listrik didaerah ini, seluruh Aceh dan sebagian wilayah Sumatera Utara akan dihasilkan melalui PLTA Perusangan yang akan dibangun di Kabupaten Aceh Tengah. Sementara itu, penyediaan kebutuhan air minum/ air bersih untuk wilayah ibukota kecamatan dan desa-desa sekitar yang terjangkau, sebagian besar telah dilayani oleh cabang-cabang Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Tawar Takengon yang memanfaatkan mata air pegunungan dengan sistim pendistribusian secara grafitasi. Pada saat-saat kemarau, antara bulan mei sampai dengan agustus, sebagian masyarakat diperkotaan mengalami krisis air bersih akibat kekurangan pasokan air dari PDAM. Kondisi ini menyebabkan masyarakat harus membeli air bersih dengan biaya berkisar antara Rp. 40.000 s/d 50.000 per seribu liter.36

35

ibid

(38)

38

5.1.1.C.4. Perbankan dan Lembaga Keuangan Mikro.

Lembaga Perbankan (Bank Umum) yang beroperasi di Kabupaten Aceh Tengah adalah Bank Rakyat Indonesia/BRI (Kantor Cabang dan beberapa unitnya), Bank Aceh (Kantor Cabang dan beberapa kantor kasnya), Cabang Bank Mandiri, Kantor Cabang Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN), USP Bank Danamon, ditambah satu Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang didirikan oleh Pemda Kabupaten Aceh Tengah. Disamping lembaga perbankan tersebut, di Kabupaten Aceh Tengah juga terdapat beberapa Lembaga Keuangan Mikro yang digerakkan oleh Koperasi, serta terdapat pula LKM Grameen Bank Bangladesh.

Gambar

Tabel 1.  Road Map Penelitian
Tabel 1: Penduduk Aceh Tengah Berdasarkan Kecamatan.
Tabel 2: Produksi Tahunan Kabupaten Aceh Tengah.
Tabel 3 : Populasi Hasi Ternak Kabupaten Aceh Tengah.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode kualitatif digunakan untuk memotret perubahan sumber pendapatan dan kelembagaan ekonomi masyarakat, sedangkan metode kuantitatif dengan menggunakan metode the

Sedangkan pada tahap uji validasi model, data kuantitatif digunakan untuk melihat efektifitas penggunaan model hasil pengembangan dalam meningkatkan apresiasi siswa

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dan kuantitatif, Metode kualitatif pada penelitian ini digunakan untuk membantu proses identifikasi pada setiap

Analisis yang digunakan yaitu metode kualitatif deskriptif dan dikuatkan dengan metode kuantitatif ini menghasilkan kesimpulan bahwa BPRS berpengaruh positif

Parameter yang digunakan yaitu uji kualitatif dan uji kuantitatif, pada uji kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode biuret untuk mengetahui ada atau tidaknya

Metode penelitian kuantitatif digunakan untuk mengetahui efektivitas bimbingan kelompok dengan pengajaran formula ABCDE pendekatan rasional emotif behavior, sedangkan

Metode penelitian pemerolehan bahasa pertama (bahasa Jawa) yang dilakukan pada anak usia 4 tahun, menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode kualitatif

Dalam penyajian data, peneliti menggunakan metode penelitian Kualitatif sedangkan rumus penghitungan angket responden menggunakan kuantitatif. Maka untuk mendeskripsikan data tentang