BAB II
DASAR TEORI
2.1 Umum
Komunikasi radio adalah komunikasi tanpa kabel yang memanfaatkan
udara (ruang hampa/free space) sebagai media transmisi unuk perambatan gelombang radio ( yang bertindak sebagai gelombang pembawa informasi ). Sistem
terdiri atas dua bagian pokok, yaitu pemancar (Tx) dan penerima (Rx). Pemancar
terdiri atas modulator dan antena pemancar, sedangkan penerima terdiri atas
demodulator dan antena penerima. Modulator berfungsi memodulasi informasi
menjadi sinyal yang akan dipancarkan melalui antena pemancar. Antena
merupakan suatu sarana atau piranti pengubah sinyal listrik (tegangan/arus)
menjadi sinyal elektromagnetik (sebagai pemancar). Sinyal elektromagnetik inilah
yang akan dipancarkan melalui udara atau ruang bebas (sehingga sampai ke
penerima). Sinyal yang dipancarkan oleh antena pemancar akan ditangkap oleh
antena penerima seperti pada Gambar 2.1[1].
Dalam hal ini, antena merupakan suatu sarana atau piranti pengubah sinyal
elektromagnetik menjadi sinyal listrik (tegangan/arus) (sebagai penerima).
Demodulator pada bagian penerima akan men-demodulasi (yaitu proses balik dari
modulasi) sinyal listrik menjadi sinyal informasi seperti aslinya. Agar antena dapat
bekerja dengan efektif, maka dimensi antena harus merupakan kelipatan (orde)
tertentu dari panjang gelombang radio yang digunakan. Gelombang radio adalah
suatu gelombang elektromagnet yang terdiri dari garis-garis gaya medan listrik dan
garis-garis gaya medan magnet yang merambat di ruang bebas dengan kecepatan
sebesar kecepatan cahaya yaitu, C = 3.108 m/s. Gelombang radio merupakan bentuk
radiasi elektromagnetik tak terlihat.
2.2 Spektrum Frekuensi Radio
Rentang frekuensi yang ada harus diatur penggunaannya (disebut alokasi
frekuensi) sedemikian rupa sehingga sistem-sistem radio yang ada tidak saling
mengganggu. Bidang frekuensi yang digunakan untuk telekomunikasi menempati
rentang dari 3 kHz hingga 3 THz (Tera = 1012). Dengan pengaturan alokasi
frekuensi, maka setiap sistem yang menggunakan komunikasi radio akan memiliki
rentang frekuensi kerja tersendiri yang berbeda dengan rentang frekuensi kerja
sistem yang lain. Kenyataan ini juga akan meminimalkan resiko interferensi oleh
karena penggunaan frekuensi yang sama oleh dua atau lebih sistem yang berlainan.
Interferensi juga sering disebabkan oleh penggunaan filter yang kurang baik,
sehingga terjadi kebocoran frekuensi.
Pada Tabel 2.1 diperlihatkan salah satu contoh alokasi frekuensi untuk
Tabel 2.1 Frekuensi dan Panjang Gelombang Menurut ITU (International Telecommunication Union)
Pengelompokan spektrum frekuensi pada Tabel 2.1 tersebut menunjukkan
bahwa spektrum frekuensi merupakan sumber daya yang terbatas dan perlu
pengelolaan yang seefisien mungkin untuk menghindari ketidak optimalan
pemakaian spektrum frekuensi. Sumber daya yang terbatas ini memiliki nilai
ekonomis yang tinggi dan regulasi penggunaan spektrum frekuensi di
negara-Jangkauan Bidang Frekuensi Penggunaan
3 – 30 KHz VLF(Very Low F requency) Maritim dan militer
30 – 300 KHz LF (Low F requency)
LW (Long Wave)
Aeronotika, navigasi,
radio transoseanik
300 – 3000 KHz MF (Medium F requency)
MW (Medium Wave)
Siaran AM
3 – 30 MHz HF (High Frequency)
SW (Short Wave)
Radio CB, radio amatir
30 – 300 MHz VHF (Very High F requency) Radio bergerak, TV
VHF, siaran FM,
aeronotika
300 – 3000 MHz UHF (Ultra High Frequency) TV UHF, satelit, radio
bergerak
3 – 30 GHz SHF (Super High F requency) Rele radio gel. mikro
30 – 300 GHz EHF (Extremely High F requency) Radio dengan pemandu
negara di dunia pada umumnya dikelola oleh badan tertentu yang dibentuk menurut
kebijakan negara tersebut. Di Indonesia, badan pemerintah yang bertugas
mengelola dan mengawasi penggunaan spektrum frekuensi radio adalah Direktorat
Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI).
Disamping sebagai sumber daya yang terbatas, penggunaan frekuensi
semakin meningkat seiring dengan semakin pesatnya perkembangan dunia
telekomunikasi dengan berbagai perangkat dan teknologi yang digunakan.
Peningkatan itu juga di dorong penggunaan sarana telekomunikasi yang semakin
variatif dan intensitas yang semakin besar pula. Contoh yang paling nyata adalah
perkembangan teknologi seluler yang semakin tinggi kebutuhannya di masyarakat
yang demikian akan membutuhkan penggunaan frekuensi yang semakin tinggi
pula. Demikian halnya di bidang teknologi penyiaran dan komunikasi lainnya[2].
2.3 Teknologi Cognitive Radio
Dalam dunia telekomunikasi nirkabel (Wireless Communications) spektrum frekuensi adalah hal yang mendapatkan perhatian penting, karena melalui spektrum
inilah data bisa dikirimkan, semakin besar interval frekuensi didapatkan, semakin
tinggi pula kecepatan data (data rate dalam bps) yang bisa diperoleh. Karena spektrum sangat penting dan merupakan sumber daya (resource) yang terbatas,
penggunaannya harus dilakukan secara efisien dan se-maksimal mungkin. Dalam
hal ini teknologi sistem Cognitive Radio menjadi alternatif solusi di masa yang akan
datang. Sebuah sistem yang dinamis dan berpotensi untuk terus dikembangkan
hingga mampu menjadi andalan dalam tingkat yang lebih praktis pada kebutuhan
2.3.1 Pengertian Cognitive Radio
Istilah Cognitive Radio pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan asal swedia, Joseph Mitola III, yang mana Cognitive Radio disebut sebagai sistem radio yang dapat memahami konteks keberadaan dalam suatu lingkungan komunikasi,
yang mampu mengatur parameternya secara optimal untuk melakukan proses
komunikasi. Karena kemampuan performansi dalam akses spektrum tersebut,
sehingga Cognitive Radio disebut dapat sebagai solusi untuk masalah keterbatasan spektrum frekuensi[4].
Cognitive Radio didefenisikan sebagai sebuah model pola teknologi komunikasi wireless dimana pengguna lain (secondary user) dapat bekerja pada kanal komunikasi milik pengguna utama (primary user) disaat tidak sedang aktif.
Untuk meningkatkan efisiensi kerjanya secondary user berubah melalui parameter-parameter transmisinya secara sendiri tanpa mengalami interferensi dengan
primary user. Primery User (PU) merupakan pemilik spektrum utama (licensed user) yang ditugaskan pada saluran frekuensi tertentu. Sedangkan Secondary User (SU) merupakan pengguna yang tidak berijin (unlicensed user) yang dapat
menggunakan spektrum frekuensi hanya ketika primery user sedang tidak menggunakan spektrum frekuensinya, dengan kata lain spektrumnya sedang
kosong[3]. Pengertian ini menjadikan Cognitive Radio harus mampu untuk
mendeteksi spektrum frekuensi radio secara baik untuk mencapai operasi jaringan
secara optimal sesuai kebutuhannya. Sistem komunikasi saat ini yang
menggunakan radio dapat berlaku adaptif di beberapa hal. Sebagai contoh teknologi
komunikasi 3G memiliki kemampuan yang dinamis mengatur level daya pancarnya
sesuai kondisi lingkungan, yang tidak mempengaruhi kualitas layanan. Sistem
link dan throughput. Hal tersebut tidak terlihat secara nyata oleh user, padahal
kenyataannya sistem komunikasi saat ini mampu berlaku adaftif dalam menjaga
kestabilan konektivitas dalam berbagai kondisi.
Pada sistem WiMAX, sifat adaftif tersebut diterapkan. Pada sistem
komunikasi, modulasi merupakan proses pengalokasian data pada gelombang radio
untuk ditransmisikan. Modulasi dengan skema berordo tinggi menawarkan data rate
yang lebih tinggi, namun butuh kondisi sinyal yang baik agar optimal bekerja.
Sedangkan, modulasi dengan skema berordo rendah menawarkan data rate yang
lebih rendah, namun tidak terlalu membutuhkan kondisi optimal sinyal dalam
bekerja. Sinyal diterima biasanya berkualitas didekat base station sehingga skema modulasi berordo tinggi dapat digunakan. Sedangkan untuk area disekitar batas
jangkauan maksimum base station, level sinyal diterima dalam kondisi kurang baik sehingga sistem akan menggunakan modulasi skema ordo yang lebih rendah
digunakan untuk menjaga kualitas konektivitas agar tetap stabil.
Sistem Cognitive Radio memiliki sifat adaptif, bahkan lebih kompleks dari yang diterapkan saat ini. Dimana pada sistem ini, bahwa level adaftifitas yang lebih
tinggi diaplikasikan ke berbagai parameter kerja seperti frekuensi kerja, level daya,
skema modulasi, pola beam antena, penggunaan baterai, penggunaan prosesor, dll.
Cognitive Radio memiliki empat jenis masukan (input), yaitu kondisi lingkungan, kondisi sistem itu sendiri, kebijakan regulasi yang berlaku, dan tuntutan
telekomunikasi. Sistem ini harus mengenal posisi dan lingkungan area kerjanya.
Keempat masukan itu adalah tolak ukur dari persiapan membangun sistem
Cognitive Radio sehingga dalam penerapannya tidak akan menimbulkan permasalahan seperti interferensi karena ke tidak aturan dalam merancang sistem
2.3.2 Konfigurasi Cognitive Radio
Dalam melakukan konfigurasi sistim cognitive radio dilakukan pen-settingan parameter pada sistim tersebut. Ada banyak pen-pen-settingan yang bisa
dilakukan, mulai dari frekuensi, lebar pita frekuensi (bandwidth), durasi sinyal,
teknik modulasi, daya pancar (penggunaan baterei), dan sebagainya. Dalam
melakukan pen-settingan ini perlu diperhatikan konsekuensinya, banyak
konsekuensi positif ataupun negative. Pen-settingan sistim tergantung dari
hardware dan software yang tersedia di piranti komunikasi, juga tergantung dari
standard dan regulasi yang membawahi piranti tersebut. Visi dari sistim cognitive
radio adalah tidak adanya hambatan yang membatasi kemungkinan dan kemampuan untuk melakukan konfigurasi, kecuali konsekuensi negative yang akan
muncul. Dari hasil observasi dengan spektrum analyzer yang terintegrasi di dalam
sistim, ditambah data-data lainnya, misalnya dari data base regulasi dan spesifikasi
alat, dilakukan proses pengambilan keputusan, yang akan memicu proses
pen-settingan parameter pemancaran dan penerimaan untuk melakukan komunikasi
secara kognitif. Adapun komponen pada piranti sistem cognitive radio ditunjukkan
pada Gambar 2.2 [4].
2.3.2.1 Konfigurasi dari sudut pandang frekuensi
Komponen penerima dari sistim cognitive radio yang dilengkapi oleh spectrum analyzer harus mampu untuk bisa mendeteksi wilayah spektrum yang
kosong secara akurat, di mana dan seberapa lebar. Sistim cognitive radio ini
kemudian menggunakan wilayah yang kosong tersebut untuk suatu waktu tertentu,
sampai ia harus kembali meninggalkannya.
Untuk melakukan proses di atas, sistim cognitive radio harus didukung oleh kemampuan software dan hardware yang memadai, bagian frekuensi radio (radio
frequency/RF) yang berupa synthesizer, filter lolos tengah yang selektif bersama
dengan bagian digital yang mempunyai kemampuan prosesor yang besar dan cepat
mengupayakan pemanfaatan spectrum yang kosong ini dengan interferensi yang
minimal seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Pemanfaatan spectrum yang kosong oleh sistim cognitive radio[3].
2.3.2.2 Konfigurasi dari sudut pandang lokasi geografis
Dalam beberapa kondisi, sangat mungkin spectrum yang bisa digunakan
hanya berlaku untuk suatu wilayah atau sector arah tertentu. Ada tiga kasus menarik
yang ditampilkan di gambar 2.4. Jika BTS sekunder menggunakan antena
omnidireksional, bisa jadi, untuk mensuplai pengguna sekunder yang berada
relative jauh dari BTS sekunder diperlukan daya yang besar, yang akan
penyuplaian. Kondisi seperti ini pasti akan dihindarkan oleh sistim cognitive radio
Ada dua cara yang akan atau bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Gambar 2.4 (b) menunjukkan, dipergunakannya daya pancar yang lebih
kecil dari kasus a), sehingga tidak akan terjadi interferensi di pengguna utama,
tetapi ada pengguna sekunder yang akhirnya tidak bisa melakukan hubungan
komunikasi, karena berada di luar jangkauan BTS sekunder.
Gambar 2.4 (c) memberikan alternative yang sangat menarik, yaitu dengan
dipergunakannya antena yang memiliki beamforming khusus, yang dirancang secara configurable untuk setiap kasus yang muncul, sehingga semua pengguna
sekunder tetap mendapatkan kesempatan untuk melakukan komunikasi.
Komponen utama pada kasus ini adalah antena array, yang bersifat adaptif . Antena
adaptif, atau antena cerdas ini terdiri dari sekumpulan antena yang didukung oleh
rangkaian elektronika dengan mikroprosesor.
2.3.2.3 Konfigurasi dari sudut pandang ketahanan sinyal
Pada bagian sebelumnya, ditunjukkan konfigurasi frekuensi kerja, daya
pancar dan bentuk pancaran antena dari sistim cognitive radio. Selain itu diharapkan juga sistim ini bisa mengubah bentuk modulasinya. Misalnya sistim
orthogonal frequency division multiplexing (OFDM), bisa menjadi suatu pilihan utama, jika sistem komunikasi berada di lingkungan multipath. Jenis modulasi dan
ordo pemodulasian juga menentukan resistensi dari sinyal tersebut terhadap derau.
Modulasi ordo tinggi sangat mudah untuk diganggu derau, yang akan
mengakibatkan bertambahnya bit error rate (BER). Penggunaan pengkodean
saluran dengan coding rate yang rendah akan menaikkan resistensi sinyal dari gangguan, karena di dalam sinyal tersebut terdapat cukup parity yang bisa
membantu piranti penerima dalam melakukan proses error detection and
correction.
2.3.2.4 Konfigurasi dari segi kecepatan transfer data
Konfigurasi sistem yang akan mengubah kecepatan transfer data telah
diceritakan sebahagian pada bagian 2.3.3 Modulasi dan koding merupakan proses
yang langsung bisa menaikkan atau menurunkan kecepatan transfer data. Terjadi
kompromis (trade-off) antara kecepatan transfer data dengan rentanitas sinyal dari
gangguan. Pada prakteknya, lebih sering data rate yang dikorbankan untuk
mendapatkan sinyal yang lebih tahan dari gangguan dan kesalahan. Sistim multiple
input multiple output (MIMO), yang diperkenalkan oleh Foschini di tahun 1996, memberikan usulan yang merupakan jalan keluar penting di akhir abad 20-an, untuk
menaikkan data rate dari sebuah hubungan komunikasi tanpa membutuhkan
dihubungkan dengan mikroprosessor tertentu, yang akan mengatur amplitude dan
phasa dari pencatuan, sehingga bisa dihasilkan pembesaran data rate sesuai dengan
jumlah antena yang digunakan. Sistem MIMO akan bekerja secara efisien, jika
lingkungan tempat sistem ini berada, bersifat rich scattering, yaitu kondisi dengan
banyaknya refleksi dan difraksi, sehingga memungkinkan sinyal satu dengan sinyal
lainnya untuk mencapai penerima melalui jalur yang beraneka ragam[3].
2.4 Teknik Spectrum Sensing
Salah satu komponen kunci utama pada sistem Cognitive Radio adalah
teknik spectrum sensing. Spectrum sensing didefinisikan sebagai pola penunjukan statistik data dari beberapa spektrum dan memilih keputusan yang relevan dalam
menggunakan spektrum berdasarkan hasil pengukuran statistik data tersebut.
Spectrum sensing memudahkan dalam mengelola spektrum. Dengan mengetahui bagian-bagian spektrum yang tidak terpakai, kita dapat mengelolanya untuk
memaksimalkan penggunaan frekuensi yang ada, akses terhadap spektrum yang
sudah terpakai dihindari untuk mencegah interferensi dengan pengguna utamanya
(primary user). Ketika sistem radio dapat berubah sewaktu-waktu, diperlukan proses sensing secara periodik sehingga pengguna lain (secondary user) dapat memanfaatkan spektrum yang kosong saat tidak digunakan oleh pengguna
utamanya (primary user). Spectrum sensing meningkatkan efisiensi yang mana dapat menambah throughput sistem yang sudah ada[5].
Teknik Spectrum sensing merupakan proses deteksi transmisi primary user (pemilik lisensi kanal tertentu) pada kanal band frekuensinya. Untuk hal itu, jika
kanal tidak sedang digunakan maka akan ada kemungkinan untuk secondary user
waktu tertentu. Hal ini sekaligus menghindari terjadinya interferensi antar
pengguna komunikasi yang berbeda. Melalui teknik spectrum sensing diharapkan sistem mampu mengukur dan menyesuaikan sistem dengan karakteristik dan
kemampuan spektrum yang ada serta mengetahui kemampuan sistem terhadap
lingkungannya. Kondisi – kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh waktu, letak
geografi, metode pengkodeannya dan penggunaan spektrum frekuensi[5].
Pada teknik spectrum sensing berdasarkan deteksi primary transmitter, sistem cognitive radio memastikan kekuatan sinyal dari primary user. Pada metode ini, lokasi dari primary receivers tidak diketahui oleh sistem cognitive dimana tidak
ada pensinyalan antara primary user dengan cognitive user. Model matematis teknik spectrum sensing dapat dijabarkan Persamaan 2.1
X(t) = n(t) ………… H0
X(t) = h*s(t) + n(t) ... H1 (2.1)
Jika X(t) adalah sinyal diterima oleh cognitive user, n(t) adalah AWGN
noise, s(t) adalah primary user dan H1 adalah kehadiran primary user.
Channel
Gambar 2.5 Model sistem sensing spektrum berbasis deteksi Transmitter[5]
Pada model ini, lingkungan radio telah dibentuk dimana terdapat ‘n’ jumlah
primary user yang ditransmisikan pada band frekuensi yang berbeda-beda. Hal itu memiliki tujuan bahwa ada sejumlah primary user mengirimkan data (sinyal) pada lingkungan radio tersebut, dan cognitive user menerima informasi yang digunakan untuk menentukan keberadaan primary user pada lingkungan radio tersebut.
Primary user dibangkitkan secara acak untuk mengirimkan sinyal-sinyal yang akan ditransmisikan pada kanal yang telah ditentukan. Sinyal dari primary user yang
berbeda tidak identik satu sama lain. Selain primary receiver, cognitive user juga akan mendeteksi sinyal tersebut saat melakukan sensing pada kanal transmisi
tersebut.
Ada 3 (tiga) teknik umum pada spectrum sensing yaitu: cooperative
primary transmitter detection secara umum terdiri dari: energy detection, matched filter detection dan cyclostationery feature detection. Pada dasarnya, belakangan ini para peneliti banyak fokus terhadap spectrum sensing agar menghasilkan komunikasi yang interaktif dan efektif antara cognitive user dengan lingkungannya.
Deteksi transmitter adalah salah satu topik utama dalam skema spektrum sensing, yang mana pada skema ini frekuensi dari primary user langsung ditentukan[6].
2.4.1 Energy Detection
Teknik spektrum sensing menggunakan metode energy detection
merupakan metode yang cukup umum dimana ciri sistem ini tidak memerlukan
terlebih dahulu sejumlah informasi tentang sinyal yang akan dideteksi. Oleh karena
itu, teknik ini independen dari sinyal dan dapat digunakan untuk mendeteksi sinyal
apapun. Dengan demikian, metode energy detection tidak dapat membedakan antar sinyal. Artinya, metode ini hanya akan membandingkan level daya sinyal tersebut
dengan level threshold. Untuk menetapkan level threshold, energy detection memerlukan pemahaman akan parameter-parameter seperti besar noise pada kanal
transmisi. Hasil perbandingan level daya sinyal tersebut digunakan untuk
mengetahui kehadiran atau ketidakhadiran sinyal primary user[6].
Untuk menghitung energi sinyal, sinyal diterima terlebih dahulu
disampling, kemudian diubah ke bentuk domain frekuensi dengan melakukan FFT
sinyal yang dilanjutkan dengan menjumlahkan koefisien sinyal dan menghitung
rata-ratanya. Pada penelitian ini deteksi energi menggunakan nR yang bervariasi.
Digunakan persamaan berdasarkan banyaknya antena penerima yang ditunjukkan membuat detektor berfungsi dengan baik. Tetapi pada prakteknya noise power tidak selalu tetap atau mengalami perubahan (uncertain noise). Maka dari itu harus
adanya metode lain yang tahan terhadap perubahan tersebut. Skema deteksi metode
energy detection dalam domain frekuensi tersebut dijelaskan seperti Gambar 2.6 .
ADC Average M bins N
times Squarer
FFT
X(t) Test statistik
Gambar 2.6 Skema energy detector domain frekuensi
2.4.2 Matched F ilter Detection
Pada matched filter detection, filter linear digunakan untuk memaksimalkan SNR. Deteksi dengan metode ini berguna hanya pada kasus dimana informasi
tentang primary user diketahui oleh cognitive user. Pada cognitive radio matched
filter dapat dijadikan sebagai salah satu metode sensing atau pendeteksi sinyal yang dikirim dari primary user. Prinsip kerjanya sangat mudah, sinyal input yang telah
dibangkitkan dikonvolusi dengan respon impuls dari filter. Metode ini biasanya
memiliki ketetapan dalam menetukan kehadiran dan ketidakhadiran dari suatu
primery user, dalam hal ini digunakan threshold atau batas ambang sebagai batasan penentu kehadirannya[7].
2.4.3 Cyclostationary F eature Detection
Cyclostationary Feature Detection atau biasa disebut dengan Cyclostationary Detection saja merupakan metode pendeteksi sinyal yang dikirim dari primary user dengan memanfaatkan sinyal yang diterima dari receiver. Metode pendeteksi menggunakan cyclostationary memanfaatkan
periodisitas dari sinyal yang diterima untuk mengidentifikasi keberadaan primary
user. Periodisitas tersebut biasanya terdapat pada sinyal pembawa sinusoidal, spreading code, hopping sequence, atau pada cyclic prefix dari sinyal primary user. Metode Cyclostationery Feature Detection juga memerlukan informasi dari tipe sinyal yang akan dideteksi. Metode ini, membutuhkan informasi tentang tipe
modulasi dari sinyal yang akan dideteksi. Dengan demikian, Cyclostationery
Feature Detection merupakan metode yang optimal dalam mengisolasi noise dari sinyal user[8].
2.5 PSD ( Power Spectral Density )
Power Spectral Density (PSD) adalah metode yang banyak digunakan untuk menganalisis hasil sinyal keluaran. Power Spectral Density menggambarkan
bagaimana daya dari sebuah sinyal atau waktu yang ada didistribusikan terhadap
frekuensi. PSD merupakan fungsi positif dari suatu frekuensi. Dimensi yang
dimiliki dari PSD adalah daya per Hz, biasa disebut sebagai spektrum dari sinyal.
Pada sistem ini digunakan jenis PSD yaitu PSD Periodogram. Secara matematis
PSD dapat dilihat pada Persamaan 2.3.
� � = | |
2
� ; 0 ≤ i ≤ N (2.3)
Dari Persamaan 2.3 tersebut maka dapat diturunkan persamaan matematis untuk
memperoleh nilai PSD pada Persamaan 2.4.
� = �∑�−
= � (2.4)
Dimana,
Sx(i) = spesifikasi data dari setiap daya rata-rata
x(i) = data
N = panjang signal atau data
Px = nilai PSD
2.5.1 PSD Blackman-Tukey
PSD Blackman-Tukey adalah salah satu jenis PSD periodogram yang sangat
cocok digunakan pada fungsi korelasi dengan penyimpangan data yang cukup
ekstrim, dimana penyimpangan data yang direkomendasikan adalah sekitar 30-40%
dari total keseluruhan panjang data. Dimana persamaan PSD Blackman-Tukey ini
ditunjukkan pada persamaan 2.5 [9].
w(m) = window yang digunakan untuk mendesign PSD Blackman-Tukey
2.5.2 PSD Welch
Metode ini pertama sekali dikemukakan oleh Welch (1967). Isyarat
masukan dibagi menjadi segmen–segmen yang pendek dan perhitungan
periodogram dilakukan berdasarkan perhitungan FFT, dengan demikian untuk
mencari estimasi spektrum daya dapat dilakukan dengan perhitungan yang lebih
efisien. Setiap segmen data dimodifikasi dengan mengalikan pada suatu fungsi
jendela (window), sebelum dilakukan perhitungan periodogram. Selanjutnya periodogram yang telah dimodifikasi ini dirata-ratakan dan akan menghasilkan
estimasi spektrum yang lebih baik. Persamaan matematis untuk metode ini dapat
dilihat pada Persamaan 2.7[9].
xi(n) = x ( iD + n) w(n) ; 0 ≤ n ≤ N-1 (2.7)
Untuk metode Welch, PSD dihitung dengan mempertimbangkan nilai estimasi pada periodogram Blackman-Tukey, sehingga diperoleh Persamaan 2.8
̂ = �∑�−�= ��̀ (2.8)
Keterangan:
n = indeks segmen
K = sampel periodogram
w = spectral estimasi Welch
xi = signal masing-masing segmen ditambah window D = panjang antar segmen
Untuk memperoleh sinyal keluarannya dengan MATLAB, maka langkah
awal dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan objek estimatornya dengan
persamaan fungsi: hw = spectrum.welch ({winname,winparameter}), dimana hw
menyatakan jenis spektrumnya yaitu Welch, winnname menyatakan jenis window yang digunakan, dan winparameter menyatakan banyaknya parameter frekuensi
yang dibangkitkan. Dan untuk menghasilkan estimasi sinyal yang sesungguhnya
maka selanjutnya digunakan fungsi Hpsdw = psd (h, x, ‘Fs’,Fs), dimana Hpsdw
adalah sinyal keluaran yang dihasilkan oleh PSD Welch.
2.6 Kebijakan Dan Perencanaan Spektrum Untuk Penyiaran
Penggunaan spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyiaran mengacu
pada definisi Broadcasting Services di Peraturan Radio (Radio Regulation) ITU.
Broadcasting services menurut ITU-R, didefinisikan sebagai “aradio communication service in which the transmissions are intended fordirect reception
by the general public. This service may include soundtransmissions, television transmissions or other type of transmissions”. Definisi itu bila diterjemahkan menjadi: suatu servis komunikasi radio di mana transmisinya ditujukan untuk
penerimaan langsung oleh masyarakat umum. Servis ini dapat mencakup transmisi
suara, transmisi televisi atau jenis transmisi lainnya. Penyiaran adalah servis
komunikasi satu arah dan memiliki sejarah panjang terhadap penggunaan spektrum
pendidikan, hiburan, informasi serta berita melalui gelombang udara. Penyiaran
dalam banyak aspek mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Secara singkat, sistem penyiaran yang saat ini diadopsi Indonesia
dikelompokkan berdasarkan jenis pita frekuensi terdiri dari[2] :
1. Penyiaran Terrestrial Nirkabel
a. Pita Frekuensi LF/MF/HF
1.) Siaran radio AM, Analog
b. Pita Frekuensi VHF
1.) VHF Band II: Siaran radio FM, Analog
2.) VHF Band III: Siaran TV VHF, Analog
c. Pita Frekuensi UHF
1.) UHF Band IV dan V: Siaran TV UHF, Analog
2.) Penyiaran Terrestrial Kabel
3. Penyiaran Satelit
a. S-band
b. C-band