BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kota – kota besar di negara berkembang umumnya mengalami laju
pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor – faktor alami yaitu kelahiran dan terutama juga pengaruh dari perpindahan penduduk yang sangat pesat dari desa ke kota (urbanisasi). Laju pertumbuhan penduduk yang pesat ini
tentu akan membawa beragam permasalahan di daerah perkotaan seperti kemacetan kota, kemiskinan, meningkatnya kriminalitas, munculnya pemukiman
kumuh (slum area) terutama pada lahan-lahan kosong seperti jalur hijau disepanjang bantaran sungai, bantaran rel kereta api, taman-taman kota maupun di bawah jalan layang.
Pemukiman kumuh (slum area) adalah daerah yang sifatnya kumuh tidak beraturan yang terdapat di daerah perkotaan. Pemukiman kumuh ini merupakan
pemukiman liar karena dibangun di atas tanah milik negara atau tanah milik orang lain. Ciri-ciri permukiman kumuh ini adalah banyak dihuni oleh pengangguran, tingkat kejahatan/kriminalitas tinggi, emosi warga tidak stabil, miskin dan
berpenghasilan rendah, daya beli rendah, kotor, jorok, tidak sehat dan tidak beraturan, warganya adalah kaum migran yang bermigrasi dari desa ke kota,
Keberadaan permukiman kumuh menjadi salah satu indikator gagalnya pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan perumahan dan tata kota yang berkelanjutan. Selain menimbulkan keruwetan tata ruang kota maka
padatnya permukiman kumuh di sepanjang bantaran sungai, bantaran rel kereta api, areal pemakaman umum, di bawah jembatan maupun jalan layang ini juga
berdampak bagi lingkungan hidup, kesehatan dan standar hidup warga perkotaan, serta rawan menimbulkan tindak kejahatan. Konflik juga tak terhindarkan ketika pemerintah daerah berusaha mengatur tata ruang dan tata kota yang amburadul,
sementara keberadaan permukiman kumuh justru dianggap sebagai solusi bagi warga miskin yang hidup di perkotaan. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah
pada proses penggusuran, relokasi, dan pembebasan lahan sangat minim sehingga sering kali menimbulkan penolakan warga, bahkan tak jarang mereka sampai bertindak anarkis demi membela tempat tinggal miliknya.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa permasalahan permukiman kumuh harus mendapat skala prioritas dalam penanganannya. Penghuni pemukiman
kumuh (slum area) adalah sekelompok orang yang datang dari desa menuju kota dengan tujuan ingin mengubah nasib atau ingin mendapatkan kesuksesan, karena tidak mendapatkan peluang atau keberhasilan di daerah asalnya. Mereka mencoba
keberuntungannya di kota tanpa adanya keahlian yang memadai dan jenjang pendidikan yang cukup, sehingga akhirnya memasuki sektor informal yang
Akibatnya mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin karena hanya memiliki penghasilan yang rendah tetapi harus berhadapan dengan biaya hidup yang tinggi di kota. Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah
pengangguran menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga, tiadanya tabungan, tidak adanya persediaan makanan dan terbatasnya
jumlah uang tunai.
Kota Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia juga memiliki masalah dalam penataan pemukiman penduduk yaitu banyaknya pemukiman
kumuh yang menghiasi Kota Medan. Alasan pemerintah atas perkembangan permukiman kumuh ini tidak lain adalah masalah dana yang tidak memadai, hal
ini disampaikan oleh Tondi Nasha Yusuf Nasution selaku Kepala seksi Pembina Rumah Formal dan Swadaya Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan bahwa Penanganan sebenarnya sudah dilakukan. Bahkan di seluruh kawasan
sudah dilakukan penataan. Hanya saja hal itu tidak sepenuhnya dilakukan karena terbatasnya anggara
Kawasan permukiman kumuh di Kota Medan saat ini diperkirakan mencapai 22,5% dari luas wilayah Kota Medan yang terdiri dari 88.166 unit rumah atau 13,62% dari jumlah rumah yang ada di Kota Medan. Kawasan
permukiman kumuh tersebut tersebar di 145 titik lokasi, dimana pada umumnya berada pada bantaran sungai dan bantaran rel kereta api, terutama di pusat kota
penduduk Medan pada akhir tahun 2011 adalah 2.117.224 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,94% (BPS Kota Medan, 2012).
Laju pertumbuhan penduduk Kota Medan sejak tahun 2005 telah
menunjukkan kecenderungan menurun, tetapi walaupun demikian Kota Medan tercatat sebagai kota dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi yakni 7.987
jiwa/km². Kota Medan pada saat ini sedang mengalami masa transisi demografi yaitu menurunnya tingkat kelahiran dan tingkat kematian, tetapi disisi lain meningkatnya arus perpindahan antar daerah dan proses urbanisasi, termasuk arus
ulang alik (commuters) (Pemko Medan, 2012).
Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara telah berkembang
menjadi pusat perekonomian daerah dan regional yang penting di Pulau Sumatera. Pertumbuhan ekonomi kota sebesar 7,69% per tahun menyebabkan warga desa semakin hari semakin terhisap oleh magnet ekonomi Kota Medan. Migrasi ini
terjadi karena berlebihnya jumlah sumber daya manusia yang terdapat di pedesaan dan adanya peluang kerja di perkotaan. Beberapa masyarakat pedesaan di dunia
terdapat pandangan bahwa migrasi ke pota adalah cara untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari sekedar pertanian di pedesaan. Banyaknya arus migrasi ke Kota Medan menimbulkan sejumlah persoalan, antara lain adalah
masih tingginya persentase jumlah warga miskin di Medan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Kota Medan,
sangat sulit memperoleh rumah yang layak huni dan terjangkau, sehingga salah satu masalah terbesar penataan Kota Medan adalah penataan pemukiman padat.
Salah satu pemukiman kumuh yang ada di Kota Medan terdapat di
Medan Petisah. Kampung Kubur dan daerah-daerah rawan narkoba lainnya di
Indonesia, terdapat satu benang merah, yaitu kampung ini terletak di kawasan permukiman kumuh. Pertanyaanya sekarang adalah mengapa kawasan permukiman kumuh rawan akan narkoba
Ini sudah dijawab oleh Yayat Supriyatna selaku pakar tata kota di mana kampun g kumuh yang menjadi gudang bandar narkoba rata-rata tidak tersentuh
hukum (detik.com, 2016). Pernyataan ini menegaskan bahwa ada semacam ironi dalam pemberantasan bandar narkoba khususnya yang tinggal di kawasan kumuh. Di sisi lain, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)
mempunyai program 100-0-100 dimana di tahun 2019 target yang ingin dicapai yaitu 100% akses air minum, 0% kawasan kumuh dan 100% akses sanitasi.
Diharapkan setelah 0% kawasan kumuh, maka kota akan bebas kawasan kumuh seluruhnya di tahun 2019 (detik.com, 2016).
Ini seakan mengacu pada target dari UN Habitat yang mencanangkan kota
di abad 21 perlu menjadi kota yang pintar di mana ini mempunyai maksud kota yang fokus pada manusia dan dapat memadukan berbagai aspek kesejahteraan.
Rendah (MBR), banyaknya pengangguran, jalan lingkungan yang sempit, tingkat akses sanitasi dan air minum yang kurang adalah beberapa kata kunci yang terkait dengan kawasan permukiman kumuh. Adanya kata-kata kunci ini akhirnya yang
berpotensi dapat melibatkan masyarakat berpenghasilan rendah yang ada di dalam kawasan ini untuk mencari jalan pintas, termasuk di dalamnya bertindak
kriminalitas maupun terlibat narkoba.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk melaksanakan peremajaan kawasan kumuh dalam rangka untuk memberantas perdagangan narkoba
(DetikSport, 2016), yaitu:
1. Terlibatnya masyarakat secara aktif dalam peremajaan kawasan
kumuh. Kegiatan pemetaan kondisi sosial ekonomi lingkungan harus dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat. Selain tujuan untuk saling mengenal antar penduduk, kegiatan yang dapat
dikemas dalam bentuk rapat ini, juga akan merumuskan program peremajaan kawasan kumuh apa yang dapat diwujudkan nantinya.
Langkah pertama ini juga akan menumbuhkan modal sosial (social capital) berupa kepercayaan, norma dan jaringan (networking). Dengan adanya modal sosial yang tumbuh, maka akan timbul
kepercayaan dan jaringan antar warga masyarakat di kawasan kumuh. Apabila ada orang asing yang tinggal dan tidak ikut terlibat dalam
ini RT/RW setempat juga akan menjadi lebih perhatian dan tidak bersikap acuh tak acuh kepada warganya.
2. Kerjasama antar pemangku kepentingan di daerah tersebut. Wali
Kota/Bupati dapat menginstruksikan program peremajaan kawasan kumuh di kampung-kampung yang dirasa rawan terhadap perdagangan
narkoba. Program ini dapat dilaksanakan dengan melibatka Umum setempat berperan dalam membangun jalan lingkungan dan
sanitasi yang layak, Dinas Tenaga Kerja dapat berperan mengadakan pelatihan/training ketrampilan komputer, bahasa asing dan lainnya
kepada para pengangguran di kawasan kumuh ini. Dinas Tenaga Kerja juga dapat langsung menyalurkan lulusan pelatihan ini kepada perusahaan-perusahaan yang ada di kota tersebut. Dinas lain yang
dapat terlibat misalnya Dinas Kesehatan memberikan fasilitas periksa gratis, Dinas Pendidikan dapat berperan memberikan beasiswa kepada
anak – anak yang kurang mampu di kawasan kampun g ini. Dari luar SKPD, Kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi juga dapat masuk melalui sosialisasi bahaya narkoba. Dengan adanya
kerjasama program lintas SKPD ini, MBR dapat terbantu dalam hal mencari pekerjaan, meringankan belanja rumah tangga masyarakat
3. Membentuk organisasi pengelola kawasan, langkah ini merupakan lanjutan dari langkah pertama dan kedua. Dari kerjasama lintas SKPD yang mempunyai tujuan meringankan beban belanja pendidikan,
kesehatan masyarakat, secara tidak langsung, masyarakat akan dididik untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung (saving).
Masyarakat akan bisa menabung dan sebagian kecil uang dari masyarakat dapat digunakan sebagai modal dalam membangun kawasan. Modal ini dapat diputar melalui koperasi yang pada nantinya
koperasi ini akan berperan sebagai organisasi sebuah badan pengelola kawasan eks – kawasan kumuh. Organisasi ini bertujuan menjaga agar
kawasan ini tidak menjadi kumuh, menjaga keberlanjutan lingkungan di kawasan dan dapat menjadi alat kontrol sosial dari masyarakat terhadap ancaman narkoba dari luar.
Langkah-langkah ini akan efektif dilakukan jika dilakukan secara bersama-sama. Dengan langkah peremajaan kawasan kumuh ini diharapkan tujuan
mengentaskan kawasan kumuh sekaligus memberantas perdagangan narkoba dapat tercapai dengan baik. Langkah ini juga dapat mencapai pengertian kota yang fokus pada manusia dan dapat memadukan berbagai aspek kesejahteraan
seperti utarakan oleh UN Habitat..
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas maka penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Strategi Pembangunan Perumahan dan Permukiman Untuk Mengatasi Masalah Permukiman
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan, maka perumuskan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah strategi yang dilakukan oleh Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan untuk mengatasi masalah permukiman kumuh di Kota
Medan.
b. Kendala apa saja yang dihadapi dalam mengatasi masalah permukiman kumuh di Kota Medan.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui strategi pembangunan perumahan dan permukiman yang dilakukan oleh Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan
untuk mengatasi masalah permukiman kumuh di Kota Medan.
b. Untuk mengetahui kendala – kendala apa saja yang dihadapi oleh Dinas
Perumahan dan Permukiman Kota Medan dalam mengatasi masalah permukiman kumuh di Kota Medan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini, yaitu:
b. Secara Akademis, sebagai suatu kontribusi baik secara langsung atau tidak langsung bagi perpustakaan jurusan Ilmu Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis yang tertarik dalam masalah penelitian ini.
c. Secara Praktis, sebagai bahan masukan pemikiran bagi semua kalangan terkhusus pada Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Medan dalam
memahami lebih lanjut pembangunan perumahan dan pemukiman.
E. Kerangka Teori
Sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu dan
bahan referensi dalam penelitian.
1. Strategi
Kata Strategi berasal dari bahasa Yunani yaitu strategia yang berarti seni
atau ilmu menjadi seorang jendral. Jendral Yunani yang efektif perlu untuk memimpin tentara, menang perang dan memimpin wilayah, melindungi kota dari
serbuan musuh, menghancurkan musuh. Setiap jenis tujuan memerlukan pemanfaatan sumber daya yang berbeda. Orang yunani mengetahui bahwa strategi lebih dari sekedar berperang dalam pertempuran, sejak zaman yunani kuno,
konsep strategi sudah mempunyai komponen perencanaan dan pembuatan keputusan atau komponen tindakan (Stoner, 1996:267).
umumnya akan mengalami kegagalan apabila tidak mempersiapkan langkah spesifik untuk menginplementasikan strategi tersebut.
Dalam strategi diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang nantinya
pertimbangan tersebut akan dijadikan landasan dalam pembuatan strategi dalam organisasi. Oleh karena itu menurut Hoffer dan Scheldel (dalam Tangkilisan,
2003:54) mengajukan empat komponen strategi yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
a. Ruang lingkup (Scope), yaitu ruang gerak interaksi antara organisasi atau
institusi dengan lingkungan eksternalnya, baik masa kini maupun masa yang akan datang.
b. Pengarahan sumber daya (Resource deployments), yaitu pola pengarahan sumber daya dan kemampuan untuk mencapai tujuan atau sasaran organisasi atau instansi.
c. Keunggulan kompetitif (Competitive advantage), yaitu posisi unik yang dikembangkan institusi atau organisasi.
d. Sinergi, yaitu efek bersama dari pengerahan sumber daya atau keputusan seluruh komponen yang ada mampu begerak secara terpadu dan efektif.
2.Pembangunan
Penggunaan kata pembangunan telah dipopulerkan oleh beberapa sarjana
sosial. Todaro dalam Arifin (2008:6) mendefinisikan pembangunan merupakan suatu proses multidimensial yang meliputi perubahan-perubahan struktur sosial, sikap masyarakat, lembaga-lembaga nasional, sekaligus peningkatan pertumbuhan
ekonomi, pengurangan kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan. Menurut Todaro dalam Arifin (2008:7), makna sebenarnya pembangunan itu adalah
pemerataan jadi hakikatnya dibutuhkan cara yang baik agar pembangunan yang begitu pesatnya merata yang berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat dengan menjunjung tinggi azas keadilan.
a.Alat Ukur Pembangunan
Menurut Arif Budiman (dalam skripsi Alex Candro Sidabutar, 2008: 20) dalam bukunya Teori Pembangunan Dunia Ketiga, diuraikan indikator-indikator pembangunan. Indikator tersebut adalah:
a. Kekayaan Rata-Rata. Kemajuan ekonomi masyarakat biasanya ditandai dengan pemerataan pendapatan. Berdasarkan hal tersebut kemajuan
ekonomi menjadi hal yang signifikan dalam pembangunan.
b. Pemerataan. Bangsa atau Negara yang berhasil melakukan pembangunan adalah mereka yang disamping tingginya produktivitasnya, penduduknya
juga makmur dan sejahtera secara relatif merata.
c. Kualitas Kehidupan. Kualitas yang dimaksud adalah rata-rata harapan
hidup, rata-rata jumlah kematian bayi, dan rata-rata presentasi buta huruf. d. Kerusakan Lingkungan. Pembangunan tidak akan jauh pengaruhnya
e. Keadilan Sosial dan Kesinambungan. Adanya pembangunan yang berkelanjutan adalah bukti bahwa pembangunan tersebut akan berhasil.
3. Perumahan dan Permukiman
Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia yang mempunyai peran strategis dalam pembentukan dan kepribadian bangsa. Ada beberapa unsur pokok yang terkait erat dengan perumahan dan permukiman (Syahrin, 2003: 120), antara lain:
a. Adanya tempat hunian yang bersifat perlindungan dan sosialisasi manusia sebagai individu dalam lingkungan terkecil.
b. Tempat hunian yang berfungsi lebih luas yang memperhatikan adanya kaitan unsur-unsur lainnya seperti sosial, ekonomi, budaya dan lainnya.
c. Adanya jaringan pelayanan yang memungkinkan manusia sebagai individu atau masyarakat menjalankan kehidupan dan penghidupannya.
d. Adanya unsur perbatasan yang terkait dengan tingkah laku manusia sebagai individu dan masyarakat dalam menjalankan kehidupan dan penghidupannya.
a. Pengertian Perumahan
Berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
b. Pengertian Permukiman
Dalam Undang – Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (UUPP), permukiman mengandung pengertian sebagai bagian
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Kata permukiman merupakan sebuah istilah yang tidak hanya berasal dari satu kata, namun jika ditinjau dari struktur katanya, kata permukiman
terdiri dari dua kata yang mempunyai arti yang berbeda, yaitu:
a. Isi yaitu mempunyai implementasi yang menunjukkan kepada manusia sebagai penghuni maupun masyarakat dilingkungan sekitarnya.
b. Wadah yaitu menunjuk pada fisik hunian yang terdiri dari alam dan elemen – elemen buatan manusia.
4. Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Dalam Keputusan Presiden (KePres) No. 63 Tahun 2000 Tentang Badan Kebijakan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Nasional tertulis bahwa pembangunan perumahan dan permukiman merupakan kegiatan
yang bersifat lintas sektoral, yang pelaksanaannya perlu memperhatikan aspek-aspek prasarana dan sarana lingkungan, rencana tata ruang, pertanahan, industri
a. Asas Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Syahrin dalam bukunya “Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan” menguraikan beberapa asas selain
asas yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perumahan dan Permukiman (Syahrin, 2003:106), yaitu:
a. Asas Demokrasi, artinya pembangunan perumahan dan permukiman harus memperhatikan pengelolaan sumber daya alam serta adanya adanya pengakomodasian kekuasaan dan kewenangan dalam mengelola antara
pusat dan daerah, transparan dalam pengambilan keputusan, meningkatkan partisipasi semua pihak yang terkait, tidak dikriminasi dalam perbuatan
dan implementasi kebijakan, bertanggung jawab kepada publik, penyelesaian konflik penguasaan dan pemanfaatan secara bijaksana, dan menghargai hak-hak asasi manusia dalam pengelolaan sumber daya alam.
b. Asas Transpansi, artinya keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan membuka ruang bagi peningkatan partisipasi dan pengawasan
publik dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan perumahan permukiman, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.
c. Asas Koordinasi dan Keterpaduan antar sektor, artinya pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman dilakukan secara terintegrasi
berkelanjutan fungsi perumahan dan permukiman diatas kepentingan masing-masing sektor.
d. Asas Efisiensi, artinya pemanfaatan sumber daya alam bagi pembangunan
perumahan dan permukiman di dasarkan pada pengelolaan secara bijaksana dengan memperhatikan sifat dapat diperbaharukan (renewable)
dan tidak terbaharukan (unrenewable), dengan selalu memperhitungkan keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya alam bagi kepentingan generasi kini dan mendatang.
e. Asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang tanggung jawab pengelolaan perumahan dan permukiman serta keterkaitannya dengan
lingkungan hidup oleh pemerintah kepada daerah otonom, atau Mentei kepada tingkat birokrasi dibawahnya, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing
daerah.
f. Asas Partisipasi Publik, artinya pengelolaan perumahan dan permukiman
dalam kaitannya dengan kelestarian fungsi lingkungan, membuka kesempatan kepada masyarakat dan semua pihak yang terkait (stakeholders), untuk mengambil bagian aktif dalam pengelolaan
perumahan dan permukiman serta pelestarian lingkungan, mulai dari kegiatan identifikasi dan inventarisasi, perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.
perumahan dan permukiman serta pelestarian fungsi lingkungan, dengan mengambil bagian aktif dalam melakukan pengawasan yang efektif. h. Asas Akuntabilitas Publik, artinya upaya yang harus direncanakan dan
dilaksanakan oleh pihak pengelola pembangunan perumahan dan permukiman serta pelestarian fungsi lingkungan, khususnya mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan public dan kepentingan masyarakat, sebagai bentuk pertanggung jawabannya kepada rakyat atas segala tindakan yang dilakukan dalam pengelolaan secara trasparan.
i. Asas Informasi dan Persetujuan, artinya memberikan informasi yang benar dan meminta persetujuan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan
permukiman serta pelstarian fungsi lingkungan, dengan persetujuan tersebut didasarkan pada prinsip kebebasan dari pihak yang memberi persetujuan (free and prior informed consent).
b. Aspek-Aspek yang Terkait dalam Perumahan dan Permukiman
Ada 5 aspek yang terkait dalam perumahan dan permukiman (Aulia, 2008:20), yaitu:
1. Aspek Fisik
a. Typologi Hunian
a.1. Rumah Tunggal (Datached House)
a.2. Rumah Koppel (Semi – Detached House)
Rumah yang terdiri dari satu bangunan dengan dua unit rumah tinggal dimana atapnya menjadi satu.
a.3. Rumah Deret (Row House)
Sebuah hunian yang bangunan rumahnya menempel satu dengan
yang lainnya, umumnya berderet maksimal 6 unit dengan luas di bawah 200 m².
a.4. Rumah Tipe Maisonette
Rumah tinggal yang terdiri dari 2 lantai, berupa 1 unit tersendiri, berderet dan dapat juga berada pada satu massa besar. Umumnya
lantai 1 dimanfaatkan untuk ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan lain-lain. Sedangkan lantai 2 dimanfaatkan untuk ruang pribadi seperti ruang tidur.
a.5. Apartemen
Apartemen adalah sebuah bangunan bertingkat dan terdiri dari
unit – unit hunian. Ada beberapa jenis istilah untuk tipe bangunan rumah tinggal seperti ini, biasanya dibedakan atas kelompok penghuninya seperti rumah susun atau flat untuk kelompok
penghuni masyarakat menengah ke bawah dan apartemen untuk masyarakat mengah ke atas.
a.6. Ruko
b. Prasarana
Melihat pertumbuhan kota masa kini, di samping masalah sosio ekonomi, terdapat juga masalah kesehatan lingkungan yang
menyangkut perumahan dan permukiman, yaitu:
b.1. Penyediaan sarana dan pengawasan kualitas air bersih
Masih belum tersedianya kualitas air bersih untuk semua penduduk, bahkan sebagian kecil penduduk masih mendapatkan air bersih dengan tingkat Water Of Questionable Safetly.
b.2. Pembuangan sampah dan air limbah
Pembuangan sampah di kota pada umumnya belum memadai
karena kurangnya fasilitas angkutan, semakin terbatasnya tempat pembuangan sampah, dan kurangnya kesadaran masyarakat. Kualitas air limbah terutama yang berasal dari indutri masih
banyak yang kualitasmya di atas ambang batas yang ditetapkan menurut peraturan yang ada, oleh karenanya tidak jarang timbul
keluhan masyarakat karena pencemaran yang terjadi. b.3. Penyediaan sarana pembuangan kotoran
Di daerah perkotaan, penduduk yang menggunakan jamban lebih
tinggi, namun banyak kota, pembuangan kotoran dari jamban tersebut disalurkan ke septic tank atau sumur penampungan
sebagian bahkan langsung ke sungai atau badan-badan air lainnya. b.4. Penyediaan fasilitas dan pelayanan umum
dengan kemampuan pengelolaan kota, ditambah dengan kurangnya kesadaran masyarakat senidiri akan hubungan antara kesehatan lingkungan dengan kesehatan dirinya sendiri.
c. Struktur
c.1. Segi Konstruksi
Berbagai konstruksi bangunan rumah tinggal seperti sistim struktur rangka, dinding geser, dan lain-lain.
c.2. Segi Perancangan
Perancangan unit hunian mencakup arsitektur bangunan, perancangan tata ruang, dan tampil bangunan serta pemberian
warna pada komponen bangunan. c.3. Segi Pelaksanaan
Pada permukiman terencana, sistem pembangunan massal akan
merendahkan biaya bangunan. d. Bahan Bangunan
Pemilihan bahan bangunan juga akan mempengaruhi biaya pembangunan rumah tinggal, beberapa alternatif pemilihan bahan bangunan disesuaikan dengan potensi material yang ada di sekitar
lahan bahan bangunan, hal ini bertujuan untuk menekan biaya pengangkutan bahan. Pemilihan bahan bangunan juga dapat
Pada rumah sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah pertimbangan bahan bangunan lebih ditekankan pada fungsi materialnya dan harga bahan bangunan.
2. Aspek Teknis
Pedoman penyusunana rencana tata ruang kawasan perkotaan mencakup
pedoman penyusunan:
a. Rencana struktur tata ruang kawasan perkotaan metropolitan. b. Rencana umum tata ruang kawasan perkotaan.
c. Rencana detail tata ruang kawasan perkotaan. d. Rencana teknik ruang kawasan perkotaan.
3. Aspek Ekono mi a. Harga rumah
Ada 3 komponen utama yang mempengaruhi harga per unit
bangunan rumah tinggal, yaitu: a.1. Harga lahan
Aspek–aspek yang mempengaruhi harga lahan, yaitu: 1. Lokasi
2. Nilai tanah
3. Status tanah
4. Pengembangan kawasan
a.2. Bahan bangunan
material bangunan dengan memanfaatkan bahan bangunan produksi dalam negeri agar harganya bisa lebih murah.
a.3. Upah tenaga kerja
Kontraktor bangunan biasanya membayar upah tenaga kerja menurut spesialisasi keahliannya. Misalnya tukang batu,
tukang besi, tukang kayu akan lebih tinggi upahnya bila dibandingkan dengan tukang angkut biasa.
b. Nilai rumah
Aspek-aspek yang mempengaruhi nilai suatu bangunan, yaitu: b.1. Nilai dari kepemilikan unit bangunan.
Nilai ini bertambah dari waktu ke waktu sehingga banyak orang melakukan investasi uangnya dengan membeli rumah. b.2. Harga sewa bangunan.
Nilai bangunan akan terlihat dari harga sewanya, apabila itu rumah sewa maka akan terus bertambah dari waktu ke waktu.
b.3. Kualitas rumah.
Biasanya kondisi bangunan akan semakin menurun, sehingga perlu dilakukan renovasi untuk memperbaiki kualitas
bangunan, tetapi ada juga bangunan rumah tinggal yang telah berusia puluhan tahun tetapi masih terasa nyaman untuk
4. Aspek Sosial Budaya a. Budaya
Kebudayaan adalah hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.
Kebudayaan merupakan gabungan dari pandangan hidup dan lingkungan alam dan masyarakat. Ada 3 aspek budaya yang
mempengaruhi pembangunan, yaitu: a.1. Agama
a.2. Adat istiadat
a.3. Aturan b. Sosial
Kehidupan sosial merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan mendorong terwujudnya kelakuan-kelakuan yang dibedakan atas: b.1. Kelakuan manusia dengan Tuhan
b.2. Kelakuan manusia dengan dirinya sendiri
b.3.Kelakuan manusia dengan manusia lain yang berada
disekelilingnya
b.4. kelakuan manusia dengan alam 5. Aspek Kebijakan
Kebijakan penanganan permukiman kumuh dilakukan dengan 3 cara, misalnya perbaikan kampung, peremajaan kota, pemindahan penduduk
5. Permukiman Kumuh
Menurut UU No. 1 tahun 2011 pasal 1 ayat 13 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, pengertian permukiman kumuh adalah permukiman yang
tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak
memenuhi syarat.
Lahirnya pemukiman kumuh (slum area) adalah akibat pertumbuhan penduduk yang lebih cepat dari penataan pemukiman. Sementara pada sisi lain,
pembangunan perumahan oleh masyarakat dalam beberapa hal juga ternyata lebih cepat dari pada penataan dan pengawasan oleh pemerintah, sehingga munculnya
perumahan dan pemukiman di atas tanah yang dikuasai oleh negara atau milik orang lain.
Selain itu, lahirnya pemukiman kumuh (slum area) di daerah perkotaan
tidak terlepas dari perkembangan dan pertambahan penduduk kota, yang antara lain akibat urbanisasi atau migrasi. Para migran yang datang ke kota dengan
berbagai motif dan tujuan, mereka tidak memiliki pendidikan dan ketrampilan yang memadai untuk bekerja di sektor-sektor formal. Mereka terpaksa harus mengadu nasib di sektor – sektor informal dengan penghasilan rendah, tapi jumlah
jam kerja relatif lebih tinggi. Sedangkan untuk tempat tinggal, mereka memilih daerah pemukiman kumuh karena harganya lebih murah.
a. Perumahan yang layak huni dari kuantitas (luas) maupun dari segi kualitas (jenis lantai dan bahan baku yang digunakan).
b. Ketersediaan dan kemampuan mengonsumsi air yang layak.
c. Ketersediaan udara yang sehat untuk dihirup.
d. Ketersediaan dan kemampuan menggunakan penerangan rumah yang baik
(listrik) serta kondisi dan perkembangan lingkungan hidup.
a. Strategi Mengatasi Permukiman Kumuh
Ada beberapa strategi untuk mengatasi permukiman kumuh ini
1. Pembangunan Rumah Susun
Pembangunan rumah susun ini diprioritaskan pada kawasan-kawasan kumuh yang tingkat kekumuhannya sudah sangat tinggi atau kondisi
lingkungan permukiman yang sudah tidak layak huni, dimana infrastruktur yang tersedia sangat terbatas, kepadatan bangunan sangat tinggi, lahan
terbatas, namun status lahan umumnya merupakan lahan hak milik, dan berada di kawasan pusat kota. Bangunan rumah susun ini dilengkapi oleh beberapa fasilitas lingkungan seperti balai pertemuan, TK, SD, lapangan
parkir, listrik, air Bersih, taman lingkungan, TPS, pengolahan limbah. Pembangunan dan pengelolaan rumah susun ini dilakukan oleh Pihak
2. Pembangunan Rumah Susun Sewa
Pembangunan rumah susun sewa ini diprioritaskan pada kawasan – kawasan kumuh yang berada pada lahan-lahan yang ilegal (bantaran
sungai, taman kota, sempadan pantai) yang umumnya ditempati oleh sebagian besar merupakan pekerja informal dan buruh dengan tingkat
pendapatan yang rendah. Selain diperuntukan bagi kaum yang berpenghasilan rendah, model rumah susun sewa ini dapat juga dilakukan untuk meremajakan kota pada kawasan kumuh. Bangunan rumah susun
sewa ini dilengkapi dengan sarana dan prasarana infrastruktur seperti air bersih, pengolahan sampah (TPS), pengolahan limbah, parkir, listrik,
parkir. Pelaksanaan pembangunan rumah susun sewa ini dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah bekerjasama dengan instansi terkait lainnya. 3. Program Perbaikan Kampung atau Bedah Rumah
Program perbaikan kampung merupakan program untuk memperbaiki komponen infrastruktur dalam kampung, sedangkan bedah rumah
merupakan perbaikan beberapa rumah masyarakat yang tidak layak huni. Program ini dilaksanakan secara terpadu dengan sektor – sektor terkait. Kawasan kumuh yang mendapatkan prioritas program ini yaitu kawasan
kumuh dengan tingkat kekumuhan kurang kumuh sampai Kumuh , dimana infrastruktur terbatas atau kurang, sering terkena banjir atau genangan,
sehingga akan meningkatkan jumlah keluarga yang bertempat tinggal pada rumah-rumah yang layak huni dan sehat. Teknis pelaksanaan program ini adalah:
a. Perbaikan dan peningkatan sanitasi lingkungan.
b. Rehabilitasi kualitas rumah menjadi rumah yang layak huni.
4. Pembongkaran atau Penggusuran Rumah-Rumah Liar Di Bantaran/Sempadan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengamankan bantaran/sempadan sebagai kawasan lindung (konservasi) dari bahaya banjir disamping menjaga
keindahan kota. Kegiatan ini diprioritaskan pada perumahan – perumahan kaum migran (squatter) yang menepati kawasan ini. Sebagai solusinya
pemerintah harus menyediakan kawasan perumahan sederhana pada lokasi – lokasi yang masih kosong (lahan tidak produktif). Kegiatan yang dapat dilakukan seperti penertiban bangunan – bangunan liar di bantaran sungai
dan sempadan pantai sesuai dengan rencana tata ruang yang ada dan menata dan mengembangkan daerah hijau disepanjang bantaran sungai
dan pantai. Program ini dapat diterapkan pada kawasan kumuh yang menempati daerah – daerah dimana status lahannya bukan merupakan hak milik masyarakat.
5. Resettlement (Pemindahan Penduduk).
Resettlement adalah suatu program penataan kawasan permukiman kumuh
direhabilitasi dan dapat memberikan nilai ekonomi, sosial, dan estetika serta fisik lingkungan bagi kehidupan kota.
Menurut Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor
217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman(KSNPP), sebagai berikut :
1. Peningkatan kualitas lingkungan permukiman, dengan prioritas kawasan permukiman kumuh di perkotaan dan daerah pesisir/nelayan, yang meliputi : a. Penataan dan rehabilitasi kawasan permukiman kumuh.
b. Perbaikan prasarana dan sarana dasar permukiman.
c. Pengembangan rumah sewa, termasuk rumah susun sederhana sewa
(rusunawa) di perkotaan.
Untuk mendukung keberlanjutan permukiman, kualitas lingkungan secara keseluruhan dari segi fungsional, lingkungan, dan visual wujud lingkungan harus
dapat terjaga sesuai dengan karakteristik dan dinamika sosial, ekonomi, dan lingkungan setempat serta dampak kesalingterkaitannya dengan kawasan
disekitarnya pada skala yang lebih luas. Pada kawasan – kawasan permukiman kumuh, upaya peningkatan kualitas tidak dapat dilakukan hanya terbatas pada aspek fisik lingkungannya, seperti pengadaan dan perbaikan prasarana dan sarana
dasar kawasan permukiman, tetapi harus secara komprehensif didasari konsep TRIDAYA, yaitu secara menyeluruh disamping kegiatan utamanya memperbaiki
Upaya peningkatan kualitas lingkungan permukiman yang pernah dilaksanakan selama ini, seperti perbaikan kampung (KIP), pemugaran dan peremajaan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh dilaksanakan secara
lebih komprehensif, sehingga untuk keberhasilannya sangat diperlukan aktualisasi konsep pembangunan partisipatif yang berbasis kepada keswadayaan masyarakat,
termasuk didalamnya pertimbangan pengarusutamaan gender, dan melembaganya kemitraan positif dari berbagai pelaku pembangunan, tidak saja dari sisi pemerintah dan masyarakat, tetapi juga dari sisi dunia usaha. Pada kawasan
permukiman padat penduduk di perkotaan dan permukiman kumuh di daerah pesisir/nelayan, upaya peningkatan kualitas permukiman juga sekaligus diarahkan
untuk dapat memenuhi kebutuhan perumahannya, dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem rumah sewa, yang karena keterbatasan lahan di perkotaan, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah, dapat
berupa rumah susun sederhana (rusuna), atau rumah susun sederhana sewa (rusunawa).
Dalam hal dikaitkan dengan upaya peningkatan kualitas permukiman kumuh, pembangunan rusuna/rusunawa tersebut harus tetap memberikan prioritas kepada masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah yang tinggal di
permukiman kumuh tersebut untuk dapat lebih mudah mengakses kebutuhan huniannya, dengan menciptakan berbagai kemudahan tertentu bagi mereka, dan
2. Pengembangan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman, yang meliputi :
a. Pengembangan kawasan siap bangun (Kasiba) dan lingkungan siap bangun
(Lisiba).
b. Pengembangan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Pengembangan Kasiba dan Lisiba di daerah, termasuk Lisiba berdiri sendiri, adalah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten atau Kota, dan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di
Daerah (RP4D) yang telah ditetapkan melalui peraturan daerah. Kasiba dan Lisiba tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan kawasan permukiman skala besar
secara terencana sebagai bagian dari kawasan khususnya di perkotaan, mulai dari kegiatan seperti penyediaan tanah siap bangun dan kaveling tanah matang, serta penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman, termasuk utilitas umum,
secara terpadu dan efisien, dan pelembagaan manajemen kawasan yang efektif. Untuk mewujudkan struktur pemanfaatan ruang Kasiba dan Lisiba, disamping
melalui pentahapan program yang dikembangkan oleh badan pengelola dan sejalan dengan program pembangunan daerah, tetap diperlukan dukungan Pemerintah di dalam menyediakan prasarana dan sarana dasar kawasan yang
bersifat strategis sebagai kegiatan stimulan dan pendampingan, yang untuk selanjutnya diharapkan dapat lebih diwujudkan berdasarkan prinsip kemitraan
yang positif dari dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah.
efektif di dalam pengembangan Kasiba dan Lisiba, termasuk Lisiba berdiri sendiri. Penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba dengan manajemen kawasan yang efektif diharapkan juga mampu berfungsi sebagai instrumen untuk mengendalikan
tumbuhnya lingkungan perumahan dan permukiman yang tidak teratur dan cenderung kumuh. Keragaman fungsi secara relatif terbatas dari Kasiba dan
Lisiba, disamping dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan, juga diharapkan dapat menampung secara seimbang kebutuhan perumahan dan permukiman bagi semua lapisan masyarakat, termasuk lapisan masyarakat miskin
dan berpenghasilan rendah.
Sehingga dengan demikian mereka dapat terbantu untuk memperoleh
kesempatan yang sama untuk menikmati hunian yang layak, prasarana dan sarana dasar permukiman yang memadai dengan harga yang relatif lebih terjangkau, termasuk melalui pengembangan sistem subsidi silang bila diperlukan. Dalam
pengembangan Kasiba dan Lisiba serta kaitannya dengan pengelolaan tata guna tanah, juga perlu dipertimbangkan pengembangan Bank Tanah untuk lebih
mengendalikan harga tanah.
3. Penerapan tata lingkungan permukiman, yang meliputi :
a. Pelembagaan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan
permukiman di daerah (RP4D).
b. Pelestarian bangunan yang dilindungi dan lingkungan permukiman
tradisional.
c. Revitalisasi lingkungan permukiman strategis.
Upaya pengembangan permukiman juga ditujukan secara seimbang bagi permukiman yang telah terbangun, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas permukimannya, melindungi nilai – nilai spesifik, unik,
tradisional, dan bersejarah yang telah tercipta sepanjang umur kawasan, dan untuk meningkatkan kinerja kawasan sehingga dapat melampaui ukuran indeks minimal
keberlanjutan kawasan. Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D) merupakan pedoman perencanaan, pemrograman, pembangunan dan pengendalian pembangunan jangka menengah
dan atau jangka panjang yang harus diupayakan dapat melembaga di setiap daerah, melalui peraturan daerah, yang untuk realisasinya harus dipantau dan
dikendalikan dari waktu ke waktu, serta dikelola dengan tata pemerintahan yang baik dan melibatkan secara sinergi kemitraan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. RP4D merupakan arahan utama sehingga pada setiap kurun waktu
tertentu para pelaku pembangunan perumahan dan permukiman di daerah dapat mengukur dan mengevaluasi kinerja keberhasilan penataan lingkungan perumahan
dan permukiman di daerah yang bersangkutan.
Perumahan atau permukiman yang bernilai spesifik dan unik ditinjau dari aspek sosial budaya, teknologi, dan arsitektural, bernilai tradisional, dan bernilai
sejarah, termasuk secara khusus pada bangunan gedung dan lingkungannya, berdasarkan peraturan perundang-undangan cagar budaya yang ada dapat
pemeliharaan dan pengelolaan guna pelestarian khususnya nilai-nilai berharga yang terkandung didalamnya.
Pelestarian juga dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan jati diri
masyarakat yang dinamis namun masih berbasis pada nilai – nilai kontekstual setempat. Dalam hal tertentu, upaya revitalisasi kawasan perumahan dan
permukiman yang dinilai strategis tetap dimaksudkan untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan, namun dengan memanfaatkan potensi spesifik dari asset permukiman yang bisa dikembangkan secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Sejalan dengan dinamika masyarakat yang berinteraksi melakukan kegiatan berusaha, bersosial budaya, dan bertempat tinggal, keberlanjutan suatu
permukiman menjadi sangat dipengaruhi oleh tingkat pencapaian masyarakat secara keseluruhan dari segi sosial, ekonomi, dan tuntutan lingkungan yang dikehendaki, disamping akan juga dibatasi oleh daya tampung dan daya dukung
lahan atau ruang yang tersedia.
Karena itu, standar pelayanan minimal kawasan permukiman harus terus
dimantapkan, sekaligus ditumbuhkembangkan aplikasi konsep penataan lingkungan permukiman yang responsif, yaitu yang layak huni, berjatidiri, dan produktif. Penataan lingkungan permukiman dapat dikembangkan mulai dari yang
berskala tapak bangunan, suatu lingkungan, sampai dengan skala kawasan, dengan memperhatikan berbagai aspek seperti keragaman fungsi
Dalam rangka pengembangan penataan lingkungan permukiman dan pemantapan standar pelayanan minimal perumahan dan permukiman, juga harus pula dipertimbangkan pentingnya mencegah perubahan fungsi lahan, menghindari
upaya pemaksaan/penggusuran di dalam pelaksanaan pembangunan, mengembangkan pola hunian berimbang, menganalisis dampak lingkungan
melalui kegiatan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), serta Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL) secara konsisten, dan menerapkan proses perencanaan dan perancangan kawasan permukiman yang partisipatif dan transparan, serta mengantisipasi
potensi bencana alam yang mungkin terjadi.
6. Permukiman Kumuh di Kota Medan
Salah satu pokok permasalahan yang sering dialami oleh kota – kota besar di negara berkembang adalah permukiman kumuh (slum area). Pengertian
permukiman kumuh (slum settlement) sering dicampur adukan dengan permukiman liar (squartter settlement). Pada dasarnya squartter adalah orang yang menghuni suatu lahan yang bukan miliknya atau bukan haknya, atau tanpa
izin dari pemiliknya. Pengertian permukiman liar ini mengacu kepada legalitas, baik itu legalitas kepemilikan lahan/tanah, penghuni atau permukiman, serta
pengadaan sarana dan prasarananya.
Pemukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Beberapa faktor yang menjadi penyebab
munculnya permukiman kumuh di Kota Medan, antara lain:
a. Faktor ekonomi, ketidakmampuan masyarakat memperbaiki rumah.
b. Tingginya permintaan atau kebutuhan tempat tinggal sedangkan luas lahan terbatas.
c. Kepadatan penduduk.
Adapun ciri utama permukiman kumuh adalah :
a. Kenyaman tempat tinggal sangat kurang,
b. Nilai ekonomi tempat hunian rendah,
c. Permukiman mengandung resiko tinggi dari sudut menjangkitnya penyakit menular dan kebakaran,
d. Kemungkinan sebagai sumber timbulnya kerawanan sosial.
Berdasarkan undang-undang No. 1 tahun 2011 tentang perumahan dan
permukiman suatu lingkungan yang tidak sesuai dengan tata ruang adalah :
a. Kepadatan bangunan sangat tinggi
b. Kualitas bangunan sangat rendah
c. Prasarana lingkungan tidak memenuhi syarat, rawan dapat menbahayakan kehidupan dan penhidupan masyarakat penghuni dengan tidak memiliki
pengelolaan limbah dan sampah penerangan jalan, jalan setapak, sekolah (tempat pendidikan), klinik (balai kesehatan), tempat bermain olah raga dan tempat bertemu/sosialisasi.
d. Ditetapkan oleh Pemda Kabupaten/Kota sebagai lingkungan permukiman kumuh.
Sebagian besar penggunaan lahan di Kota Medan pada umumnya dimanfaatkan untuk pemukiman. Penggunaan lahan untuk kawasan terbangun seperti perumahan dan permukiman, perdagangan dan jasa, perkantoran dan
fasilitas umum lainnya hampir tersebar di seluruh wilayah Kota Medan. Berdasarkan RT/RW Kota Medan luas permukiman seluas 12.510 Ha, sawah
seluas 5.433 Ha, dan rawa/hutan rawa (428 Ha). Berdasarkan Keputusan Walikota Medan Nomor 640/039.K/I/2015 tentang Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Lingkungan Kumuh di Kota Medan, daerah – daerah yang di
Tabel 1.1
Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Lingkungan Kumuh di Kota Medan 2015
No. Kelurahan Kecamatan Tingkat
Kekumuhan Tegal Sari III Sei Kera Hulu
Tegal Sari Mandala III Tegal Sari Mandala II Gedung Johor
11
Pulo Brayan Darat I Pulo Brayan Darat II Harjosari I
Amplas Petisah Hulu Helvetia Dwikora Tanjung Gusta Petisah Tengah Bandar Selamat Bantan
Belawan Pulau Skanang Bahagia
F. Definisi Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang telah diuraikan maka dapat diuraikan defenisi konsep dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Strategi adalah suatu pola perencanaan dalam menyesuaikan seluruh sumber daya yang ada baik internal maupun eksternal organisasi untuk
menggunakan dan mengelola sumber daya yang ada.
2. Pembangunan Perumahan dan Pemukiman adalah suatu proses pemanfaatan sumber daya yang ada baik sumber daya manusia maupun
sumber daya alam dalam kajian tempat tinggal atau tempat hunian.
3. Permukiman Kumuh adalah suatu keadaan yang kompleks dimana
keadaan tersebut dapat membahayakan karena keadaan yang tidak layak dan tidak teratur.
4. Strategi Pembangunan Perumahan dan Pemukiman dalam Meminimalisir
Permukiman Kumuh adalah pola perencanaan yang dilakukan oleh dinas terkait dalam menyesuaikan masalah internal dan eksternal dalam
G. Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional, dan sistematika penulisan.
BAB II: METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisikan bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi, informan, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB III: DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi
penelitian sebagai objek penelitian yang relevan degan topik penelitian.
BAB IV: HASIL PENELITIAN
Bab ini berisikan hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis.
BAB V: PEMBAHASAN
Bab ini berisikan pembahasan atau interpretasi dari data-data yang disajikan dan diperoleh dari lokasi penelitian.
BAB VI: PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan penelitian dan saran-saran dari hasil