• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 tipus PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "2 tipus PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pisang (Musa paradisiaca L.)

Pisang (Musa paradisiaca L.) merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara termasuk banyak terdapat di Indonesia. Tumbuhan pisang banyak disukai oleh hampir seluruh kalangan masyarakat, baik dikonsumsi secara langsung maupun diolah. Tumbuhan pisang ini dapat dimanfaatkan mulai dari bunga, buah, daun, batang sampai bonggol dapat digunakan sebagai sayur. Pisang merupakan tumbuhan hortikultura yang memiliki potensi cukup besar untuk dijadikan inovasi produk dan jumlah produksi berlangsung tanpa mengenal musim (Dewati, 2008).

Pisang merupakan salah satu jenis komoditas hortikultura yang memiliki potensi dan nilai ekonomi yang tinggi baik untuk impor maupun ekspor. Total produksi pisang di Indonesia pada tahun 2015 adalah 7.299.275 ton, di Jawa Timur menyumbang 1.628.437 ton, di Kabupaten Malang menyumbang 690.135,7 ton, sedangkan di Kota Malang pada tahun 2014 menyumbang 213,3 ton (Badan Pusat Statistik, 2017).

(2)

2.2 Pisang Candi (Musa paradisiaca)

Gambar 2.1 Pisang Candi (Anonim, 2017)

Pisang Candi (Musa paradisiaca) merupakan salah satu buah tropis yang banyak tumbuh di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pisang candi ini banyak dijumpai pada daerah jawa, jika pada daerah Sukabumi, Jawa Barat pisang ini biasa disebut pisang Tanduk dan pada daerah Colo, Jawa Tengah biasa disebut pisang Byar. Menurut Rukmana (1999), karakteristik morfologi kelompok pisang Tanduk atau Candi memiliki tinggi pohon 3 m dengan lingkar batang 63-69 cm, berwarna cokelat muda dengan bagian atas berwarna merah jambu, daging buah putih atau kekuning-kuningan, rasa tidak manis sampai agak masam. Kelompok pisang tanduk terdiri dari pisang Agung, Byar, Galek, Karayunan, Candi, Kapas, dan Nangka. Menurut Murtiningsih dan Pekerti (1988), pisang candi berukuran besar dan bentuknya menyerupai tanduk. Buah yang matang memiliki warna kulit buah cokelat kemerahan berbintik-bintik cokelat dan warna daging buahnya kuning kemerahan. Berat setiap tandan berkisar antara 7-10 kg yang terdiri atas 3 sisir dan setiap sisirnya berisi paling banyak 7-10 buah. Ukuran buah pisang candi termasuk besar, yaitu panjangnya 25,3-30,9 cm, lingkar buah 13,6-15,2 cm dengan berat buah sebesar 247,4-346,3 gram, daging buah berkisar 113-119 gram.Persentase daging buah sekitar 73% karena bagian kulitnya yang cukup tebal. Pisang candi sangat cocok diolah menjadi keripik, buah dalam sirup, aneka olahan tradisional (pisang goreng, rebus), dan tepung.

(3)

2.3 Kulit Pisang

Kulit pisang banyak ditemui pada pedagang olahan pisang dan industri-industri pengolahan buah pisang. Menurut Susanti (2006) pada umumnya kulit pisang belum dimanfaatkan secara maksimal, biasanya hanya digunakan untuk pakan ternak dan hanya dibuang sebagai limbah organik saja. Jumlah kulit pisang yang cukup banyak kira-kira 1/3 dari buah pisang yang belum dikupas dan memiliki nilai jual yang menguntungkan jika dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan. Dari potensi yang ada perlu dimanfaatkan dan dikembangkan lagi menjadi produk inovasi dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat seperti selai.

Tabel 2.1 Komposisi Zat Gizi Kulit Pisang per 100 g Bahan

No Komponen Kadar

1 Air (g) 68,9a

2 Protein (g) 0,32 a

3 Lemak (g) 2,11 a

4 Karbohidrat (g) 18,50 a

5 Vitamin

Vitamin C (mg) 17,50 a

6

Vitamin B (mg) 0,12 a

Ca (mg) 7,5 a

Fe (mg) 1,60 a

P (mg) 117 a

7 Total Pektin 16,21%b

8 Total Gula 46,95%b

Sumber : a Munadjim, 1984 dan b Erawati, 2009

(4)

Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat didalam buah sangat bervariasi dan tergantung pada derajat kematangan buah (Erawati, 2009). Adapun persentase komposisi pektin dari berbagai jenis kulit pisang dapat dilihat pada Tabel 2.2 sebagai berikut:

Tabel 2.2 Komposisi Pektin Pada Berbagai Jenis Kulit Pisang Matang

Jenis Bahan Kandungan Pektin

(%)

Kulit Pisang Raja 9,22

Kulit Pisang Tanduk 13,3

Kulit Pisang Uli 11,2

Kulit Pisang Kepok 22,4

Sumber : Tuhuloula (2013)

Menurut Hanum (2012) kulit pisang kepok yang banyak mengandung pektin terdapat pada buah yang sudah matang, jika pada pisang dengan warna kulit yang hijau pektin yang terbentuk masih belum sempurna. Kulit pisang selain memiliki serat yang lebih banyak dibandingkan daging buahnya, juga mengandung pektin empat kali lebih banyak dibanding daging buah pisang. Selain itu kulit pisang bila dilihat dengan mikroskop, maka akan terlihat diselimuti oleh dinding sel yang kokoh. Kulit pisang yang diamati dengan menggungakan scanning electron microscope (SEM) dengan perbesaran 2000x akan memiliki kenampakan permukaan yang rapi dan teratur karena dilindungi oleh dinding sel yang berbentuk seperti sarangmadu (Ibrahim, et al., 2014).

Menurut Akili (2014) kulit buah pisang yang berwarna hijau memiliki rendemen pektin cukup tinggi, pada waktu mencapai tingkat kematangan kuning

rendemen pektin menurun jumlahnya karena proses degradasi pektin oleh

enzim. Menurut Winarno (2002) bahwa proses degradasi pektin terdapat banyak

enzim yang dapat aktif, yaitu PE (pectin methyl esterase) yang aktif dalam

pemecahan metil dari metil ester, PG (poly galacturonase) yang membantu

memecahkan ikatan 1,4 dan PTE (pectin trans eliminase) yaitu enzim yang

bekerja pada ikatan 1,4 sama dengan PG tapi PTE bekerja pada hasil

hidrolisisnya. Hal ini juga didukung oleh penelitian Loesecke (1950) yang

menemukan jumlah pektin di dalam kulit pisang hijau, kuning dan coklat

(5)

2.3 Selai

Selai merupakan produk pangan yang memiliki tekstur semi padat atau kental. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations (2016) selai merupakan produk pangan yang memiliki gel padat yang terbuat dari bahan dasar bubur buah dari satu jenis buah maupun campuran beberapa buah dengan komposisi tidak kurang dari 40%. Jika menggunakan beberapa jenis buah maka komposisinya tidak kurang dari 50% dari jumlah buah yang digunakan. Pada selai juga digunakan sukrosa atau yang biasa disebut gula, jika menggunakan jenis buah iklim tropis maka 70% gula merupakan komposisi yang tepat. Menurut SNI (2008), selai didefinisikan sebagai produk pangan semi basah yang dapat dioleskan yang terbuat dari olahan buah-buahan, gula, dengan atau tanpa penambahan bahan lain seperti pektin komersial, dan bahan tambahan makanan yang diizinkan.

Menurut Codex STAN 296 (2009), selai adalah produk yang memiliki konsistensi gel yang baik yang terbuat dari buah utuh, potongan buah, konsentrat pulp atau puree buah dari satu jenis atau lebih buah, yang dicampur dengan pemanis, dengan tambahan air maupun tanpa air. Konsistensi gel atau semi padat pada selai diperoleh dari senyawa pektin yang berawal dari buah itu sendiri atau pektin yang ditambahkan dari luar (pektin komersil), sukrosa, dan asam. Interaksi ini terjadi pada suhu tinggi dan bersifat menetap setelah suhu diturunkan. Kekerasan gel tergantung pada konsentrasi sukrosa, pektin, dan asam dalam bubur buah (Hasbullah, 2001).

Proses pembuatan selai yaitu dengan pemasakan antara bubur buah dengan gula hingga menjadi kental. Jumlah penambahan gula yang tepat pada pembuatan selai tergantung dari beberapa faktor, antara lain tingkat keasaman buah yang digunakan, kandungan gula dalam buah, dan tingkat kematangan buah yang digunakan. Buah yang ideal untuk pembuatan gel harus mengandung pektin dan asam yang cukup untuk menghasilkan selai yang baik (Desrosier, 1988). Menurut Fachruddin (1997) dalam Yulistiani, dkk (2014) kondisi optimum dalam pembentukan gel pada selai dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kadar gula yang tinggi ± 40%, total padatan terlarut antara 65-73%, pH 3,1-3,5, dan konsentrasi pektin 0,75-1,5%.

(6)

ditetapkan oleh pemerintah. Standar mutu selai di Indonesia terdiri dari dua yaitu SII (Standar Industri Indonesia) dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan SNI (Standar Nasional Indonesia) dapat dilihat pada Tabel 2.4

Tabel 2.3 Kriteria Mutu Selai Buah

Syarat Mutu Standar

Kadar air maksimum 35%

Kadar gula minimum 55%

Kadar pektin maksimum 0,7%

Padatan tak terlarut 0,5%

Serat buah Positif

Kadar bahan pengawet 50 mg/kg

Asam asetat Negatif

Logam berbahaya (Hg, Pb, As) Negatif

Rasa Normal

Bau Normal

Sumber : SII, No. 173 Tahun 1978

Tabel 2.4 Syarat Mutu Selai Buah

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Aroma - Normal

1.2 Warna - Normal

1.3 Rasa - Normal

2 Serat buah - Positif

3 Padatan terlarut % fraksi massa Min. 65

4 Cemaran logam

4.1 Timah (Sn)* mg/kg Maks. 250,0*

5 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0

6 Cemaran mikroba

6.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1 x 103

6.2 Bakteri coliform APM/g <3

6.3 Staphylococcus aureus Koloni/g Maks. 2 x 101

6.4 Clostridium sp. Koloni/g <10

6.5 Kapang/Khamir Koloni/g Maks. 5 x 101

(7)

2.4 Pektin

Pektin merupakan bahan alami yang terdapat dalam buah-buahan, yang membentuk koloid dalam air dan berasal dari perubahan protopektin selama proses pemasakan buah. Dalam kondisi tertentu, pektin dapat membentuk gel. Pektin memiliki sifat koloid yang reversible, larut dalam air terutama air panas, diendapkan, dipisahkan dan dilarutkan kembali tanpa kehilangan kapasitas pembentukan gel pada bahan. Pektin dapat diendapkan menggunakan alcohol dan dapat digunakan dalam pembuatan pektin komersial (Desrosier, 1988),

Gambar 2.2 Struktur pektin (Winarno, 2001)

Pektin secara umum terdapat di dalam dinding sel primer tanaman, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa pektin juga berfungsi sebagai perekat antara dinding sel yang satu dengan dinding sel yang lain (Winarno, 2001). Pektin dalam jumlah banyak dapat diperoleh dari buah-buahan yang telah matang dan belum ada tanda-tanda kebusukan. Terdapat beberapa bentuk senyawa pektin, antara lain (Susanto dan Saneto, 1994):

a. Protopektin, merupakan senyawa pektin yang tidak larut air, dapat dihidrolisis menjadi pektin dan asam pektinat

b. Asam pektinat, merupakan senyawa pektin asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan mengandung metil ester

c. Pektin, merupakan senyawa pektin asam poligalakturonat yang mengandung 3-16% metil ester, dapat larut dalam air, dan mampu membentuk gel dengan gula dan asam dalam kondisi yang cocok

d. Asam pektat, merupakan senyawa pektin yang tidak mengandung metil ester dan terdapat pada buah yang terlalu matang dan busuk

Menurut Handajani (1994), pektin berdasarkan kandungan metoksil atau derajat esterifikasinya dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:

(8)

Menurut Tarigan, dkk (2012) pektin pada kulit pisang termasuk pektin metoksil rendah. Kadar metoksil dalam kulit pisang raja adalah 3,53-4,34%. Kandungan pektin pada kulit pisang berkisar antara 0,9% dari berat kering, sedangkan pada buah terdapat sekitar 22,4% dari berat. Pektin dengan kadar metoksil tinggi digunakan untuk pembuatan selai dan jeli dari buah-buahan, kembang gula berkualitas tinggi, pengental untuk minuman, dan sirup buah-buahan berkalori rendah, dan digunakan dalam emulsi rasa dan saus salad. Sedangkan pektin dengan kadar metoksil rendah biasanya digunakan dalam pembuatan selai dan jeli berkalori rendah, saus salad, pudding, gel buah-buahan dalam es krim, juga sebagai pelapis dalam banyak produk pangan (Meilina, 2003). Pektin dalam bentuk larutan koloid akan terbentuk pasta yang kemudian ditambahkan gula dan asam akan membentuk gel dan prinsip pembentukan gel ini gunakan sebagai dasar pembuatan selai dan jeli (Winarno, 2001).

Terbentuknya gel selama proses pengolahan buah sangat tergantung pada kandungan pektin dalam bubur buah. Selain itu keasaman dan gula yang ditambahkan juga menentukan mutu gel yang terbentuk. Beberapa jenis buah mengandung pektin yang tinggi, sehingga tidak perlu menambahkan pektin komersil ke dalam bubur buah pada proses pembentukan gel. Namun banyak buah yang mengandung pektin rendah dan apabila diolah menjadi selai diperlukan penambahan pektin ke dalam bubur buah (Pusat Studi Ketahanan Pangan, 2012).

(9)

2.5 Sukrosa

Sukrosa atau biasa dikenal dengan gula digunakan sebagai pemanis. Penambahan sukrosa secara umum digunakan untuk memberikan rasa manis, mengawetkan, meningkatkan konsentrasi, dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan aktivitas air dari bahan olahan. Namun dalam pembuatan selai, sukrosa berfungsi dapat meningkatkan kemampuan pektin membentuk gel (Harrison dan Andress, 2013). Untuk menarik molekul air yang mengelilingi senyawa pektin, gula ditambahkan memiliki peran yang signifikan dalam tahapan ini. Semakin tinggi kadar sukrosa yang ditambahkan maka semakin berkurang air yang ditahan oleh struktur pektin. Namun jika terlalu banyak akan terbentuk kristal padat pada permukaan (Pusat Studi Ketahanan Pangan, 2012).

2.6 Asam Sitrat

Asam dibutuhkan untuk membantu pembentukan gel dan penambahan rasa, selain itu juga digunakan sebagai bahan pengawet, mengurangi rasa manis, memperbaiki sifat koloidal makanan yang mengandung pektin, memperbaiki tekstur dari jeli, membantu ekstraksi pektin dan pigmen dari buah-buah. Jumlah asam pada buah itu sendiri bervariasi tergantung pada jenis-jenis buah dan tingkat kematangannya. Ketika kandungan asam dalam buah itu sedikit maka tanpa penambahan pektin komersial (Harrison dan Andress, 2013). Semakin tinggi keasaman akan membentuk struktur gel yang padat namun keadaan ini dapat pula merusak jaringan struktur karena adanya hidrolisis dari pektin, tetapi jika keasaman rendah maka pembentukan gelnya akan lemah.

Dalam pembuatan selai, asam yang biasa digunakan adalah asam sitrat. Asam sitrat digunakan sebagai pemberi derajat keasaman yang cukup baik karena memiliki efek ganda terhadap pencegahan fenolase, menurunkan pH, juga sebagai chelating agent unsur Cu dalam enzim. Asam sitrat juga memiliki kelarutan yang tinggi dalam air dan mudah diperoleh dalam bentuk granular (Brock, 2007).

2.7 Air

(10)

dipisahkan, menentukan mutu produk seperti bentuk, kenampakan, kesegaran, cita rasa, hingga penerimaan konsumen terhadap produk makanan tersebut, serta daya simpan (Koswara, 2009).

Peran air dalam pembuatan selai adalah membantu kinerja gula, asam, dan pektin dalam buah untuk pembentukan gel. Pada kinerja gula, semakin tinggi kadar gula yang ditambahkan maka semakin berkurang air yang ditahan oleh struktur gel karena sifat gula yang dapat mengikat air. Penambahan gula yang berlebihan dapat mempengaruhi keseimbangan pektin dan air yang ada, namun jika dalam jumlah yang seimbang dengan pektin, asam, dan air makan struktur gel yang terbentuk mampu menahan cairan (Desrosier, 1988 dalam Fatonah, 2002). Pada kinerja asam, dengan adanya ion H+ dari asam akan terbentuk ikatan hidrogen yang dapat merubah bentuk rantai polimer pektin yang semula lurus menjadi bentuk tiga dimensi yang mampu menangkap air, namun jika konsentrasi ion H+ terlalu banyak dapat mengganggu kesetimbangan pektin dan air (Matz 1962 dalam Fatonah 2002). Pada kinerja pektin, semakin tinggi konsentrasi pektin maka semakin besar air yang diikat oleh pektin. Gel yang dibentuk pektin merupakan sistem spons yang diisi air. Rantai molekul pektin membentuk jaringan tiga dimensi dimana gula, air, dan padatan terlarut lainnya diikat (Estiasih dan Ahmadi, 2009).

2.8 Proses Pembuatan Selai

Proses pembuatan selai buah menurut (Hartati, 2010), secara garis besar dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Persiapan bahan dan peralatan

Buah dikupas terlebih dahulu kulitnya dengan pisau. Setelah dikupas, buah segera dicuci dengan air bersih yang mengalir. Selanjutnya, buah dipotong-potong menjadi bagian yang kecil. Buah yang sudah didipotong-potong-dipotong-potong dapat langsung dihancurkan dengan blender atau parutan. Untuk buah tertentu, pada saat diblender ditambahkan air secukupnya. Penghancuran dilakukan sampai terbentuk bubur buah atau slurry.

2. Pemasakan

(11)

pektin guna memperoleh sari buah yang optimum serta menghasilkan cita rasa yang enak dan untuk memperoleh struktur gel.

Pada proses pembuatan selai buah diperlukan kontrol yang baik. Pemasakan yang berlebihan akan menyebabkan selai buah menjadi keras dan kental, sedangkan jika pemanasan kurang akan menghasilkan selai buah yang encer. Pembuatan selai buah biasanya dilakukan pada suhu 103oC-105oC. Akan tetapi suhu ini dapat bervariasi disesuaikan dengan jenis buahnya atau perbandingan gula dan bahan lain.

Selama pemasakan harus dilakukan pengadukan agar campuran bahan selai buah, yaitu buah, pektin, gula, dan asam sitrat menjadi homogen. Pengadukan juga bertujuan untuk memperoleh struktur gel. Pengadukan tidak boleh tertalu cepat karena dapat menimbulkan gelembung-gelembung yang dapat merusak tekstur dan penampakan akhir. Pemasakan harus dilakukan dalam waktu yang singkat untuk mencegah hilangnya aroma, warna dan terjadinya hidrolisis pektin. Pemasakan bisa diakhiri bila total padatan terlarut telah mencapai 65%-68% yang dapat diukur dengan refraktrometer. Apabila tidak ada refraktrometer, titik akhir pemasakan dapat diketahui dengan spoon test, yaitu dengan cara mencelupkan sendok ke dalam selai buah, kemudian diangkat. Apabila selai buah meleleh tidak lama dan terpisah menjadi dua bagian, berarti selai buah telah terbentuk dan pemanasan dihentikan.

3. Pengemasan

Setelah proses pemasakan selesai, selai buah dimasukkan ke dalam wadah jar yang terbuat dari gelas dan tertutup rapat. Umur simpan dapat sampai jangka waktu yang relatif lama apabila dikemas dengan baik. Pengisian selai ke dalam botol dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

a. Pengisian panas

(12)

mikroba. Apabila jumlah selai yang dibuat sedikit, sebaiknya pengisian dilakukan dengan cara ini. Apabila pembuatan selai dalam jumlah banyak (skala industri), pengisian ke dalam jar sebaiknya menggunakan peralatan yang lebih modern.

b. Pengisian dengan proses pasteurisasi

Wadah yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu, tetapi tidak perlu disterilkan. Selai buah yang diisikan juga tidak harus dalam keadaan panas. Selanjutnya, dilakukan proses pasteurisasi dengan cara mengukus jar yang sudah berisi selai sampai suhu 82°C selama 30 menit. Suhu tersebut sudah cukup untuk mencegah pertumbuhan kapang dan mikroba lainnya.

c. Penyimpanan

Penyimpanan selai buah dapat dilakukan pada suhu kamar 25°C-28°C dan suhu pendingin pada 20oC-22oC. Umur simpan selai berkisar antara 9-12 minggu.

2.9 Evaluasi Sensori

Menurut Mason dan Nottingham (2002), evaluasi sensori atau nama lain dari uji organoleptik adalah ilmu pengetahuan yang digunakan untuk menimbulkan, menghitung, menganalisis, dan mengartikan reaksi dari karakteristik makanan dan bahan yang dapat dirasakan menggunakan indera manusia meliputi penglihat, pembau, perasa, pendengaran dan peraba sebagai pengukur dari tekstur, penampakan, aroma, dan flavor pada produk pangan. Setiap indera yang ada pada manusia memiliki kemampuan member tanggapan yang dapat dianalisis atau dibedakan berdasarkan jenis tanggapan bergantung pada rangsangan yang diterima oleh alat indera tersebut dan kemampuan memberikan reaksi atas rangsangan yang diterima. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan mendeteksi, mengenali, membedakan, dan kemampuan menyatakan menerima atau tidak menerima (Nurlatifah, 2015).

(13)

2.10 Metode Spektrum

Metode spektrum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dengan skala terukur. Menurut Nurlatifah (2015), metode ini akan memudahkan panelis untuk memberikan nilai tiap atribut yang diujikan, karena digunakan skala garis dalam penilaiannya. Skala terendah dimulai dari 0 dan diakhiri dengan 15 skala tertinggi. Dalam metode ini memberikan banyak informasi dibandingkan dengan pengujian hedonic yang hanya memberikan informasi secara subyektif dan informasi yang berhubungan dengan tingkat penerimaan panelis terhadap atribut yang diujikan saja. Panelis pada metode spektrum ini akan dipilih dan dilatih untuk mengevaluasi hanya satu produk atau berbagai produk. Produk dapat dideskripsikan dari segi penampakan, aroma, rasa, tekstur, atau karakteristrik suara, atau panelis yang dilatih untuk mengevaluasi semua atribut (Meilgaard, et.al, 2007).

Pada umumnya terdapat 3 jenis uji sensori, yaitu uji pembeda (discriminative test), uji deskripsi (descriptive test), dan uji afektif (affective test). Analisis metode spektrum termasuk dalam uji sensoris jenis uji deskripsi (Sugawara et al., 2009). Analisis uji deskripsi adalah analisis yang paling mampu menerima dengan baik dan berguna memperoleh informasi secara rinci untuk atribut sensori yang dirasakan pada sampel (Seo et al., 2007 dalam Ferdiansyah, 2016). Analisis ini umumnya menggunakan panelis terlatih sebanyak 6-12 orang untuk menganalisis dan identifikasi ukuran atribut sensori tertentu (Drake, 2007). Dengan melibatkan panelis terlatih, maka hasil data yang diperoleh akan berbeda dengan suatu uji yang melibatkan panelis non terlatih (Yamagata dan Sugawara, 2014).

2.11 Faktor yang Mempengaruhi Respon Panelis

Menurut Mason dan Nottingham (2002), respon dari panelis yang diberikan merupakan penilaian individu secara alami sehingga respon yang diberikan akan berbeda-beda, namun tergantung dari metode dan kondisi panelis saat memberikan penilaian, baik secara kondisi fisik maupun sikap. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi respon panelis, antara lain:

1. Sampel

(14)

tempat penyajian, alat untuk makan, preparasi sampel dan penyajian. Sampel juga harus disediakan secara random agar menghindari bias.

2. Faktor fisiologis

Faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi respon dari panelis adalah waktu pengujian (misalnya saat hari kerja yaitu Senin hingga Jumat, 1 jam sebelum atau 1-2 jam sesudah mengonsumsi meals), merokok atau konsumsi zat lainnya seperti permen karet, mints, dan rempah-rempah akan mempengaruhi respon dari sensitivitas rasa, kesehatan secara fisik, tingkat kesukaan atau tidak, jenis palate cleanser, wewangian atau bau rempah

3. Faktor psikologis

Karena sensori merupakan sistem subjektif, maka faktor psikologis dalam diri panelis juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi hasil dan memungkinkan data error. Faktor psikologis meliputi tidak stress saat bekerja, menstimulasi perkembangan perusahaan, profit yang tinggi, upah yang lebih, memastikan fasilitas yang diberikan memadai, metode dan desain yang digunakan efektif, dan memberikan penghargaan kepada panelis.

2.12 Palate Cleanser

Gambar

Gambar 2.1 Pisang Candi (Anonim, 2017)
Tabel 2.1 Komposisi Zat Gizi Kulit Pisang per 100 g Bahan
Tabel 2.2 Komposisi Pektin Pada Berbagai Jenis Kulit Pisang Matang
Tabel 2.3 Kriteria Mutu Selai Buah
+2

Referensi

Dokumen terkait

Aniarti, ST Anggota (………).

Mean ( ± SE) concentra- tions of microelements (Mn, Fe and B), toxic elements Al, F and Ca/Al molar ratio along the length (five sections) of current-year needles of Scots pine trees

Metode survei yang digunakan adalah dengan menyebarkan kuesioner kepada responden di seluruh Indonesia yang berasal dari berbagai instansi pemerintah yang terkait

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLI-B7, 2016 XXIII ISPRS Congress, 12–19 July 2016, Prague, Czech

50 Mereka bersetuju amalan demokrasi di Malaysia telah membuka peluang yang luas kepada wanita Melayu untuk terus aktif dalam proses-proses pilihan raya dan menjadi wakil

Sesuai dengan Surat Penetapan Pemenang dari Panitia Pengadaan Barang/Jasa Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pesawaran Nomor : 9/PAN/TAP-B.PB.07/PU/PSW/2013 Tanggal 29

The best practice is to search using a couple of keywords and if that does not give you the results you are looking for, try adding another keyword after that until you really get

Kebijakan Dana Desa … (Eri Bukhari) tersebut semenjak pertama kali digulirkan. Untuk APBN tahun 2015 belum ada formulasi, dalam pemberianr Dana Desa ini, sehingga