• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pancasila Dalam Perspektif Islam (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pancasila Dalam Perspektif Islam (1)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka dari penjajah tidak mudah harus melalui perjuangan dan pengorbanan tumpah darah seluruh bangsa Indonesia yang pada akhirnya kemerdekaan itu dapat diraih bersama. Tentunya untuk memperkuat status kemerdekaan perlu adanya konstitusi yang mengatur mobilitas berjalanya sistem kenegaraan yang baik tapi untu mewujudkan konstitusi atau menentukan arah ideologi bangsa Indonesia banyak terjadi perdebatan para tokoh-tokoh bapak bangsa dalam perumusan dasar Negara Indonesia.

Pada tanggal 7 september 1944 pemerintah jepang mengumumkan janji untuk memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Janji tersebut diulangi pada tanggal 1 maret 1945. Peryataan pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 1 maret 1945 diikuti dengan pembentukan panitia yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan (tepatnya merancang UUD). Panitia tersebut dikenal sebagai BPUPKI (dokuritzu zunbi tjoosakai) yang beranggotakan 62 orang diketuai oleh radjiman wediodiningrat. Menurut boland, panaitia ini disebut “comitte of 62” Tugas pokok badan ini menyusun rancangan UUD, tetapi kemudian badan ini menghabiskan sebagaian besar waktu sidang pertamanya untuk memperdebatkan dasar Negara.[1]

Pelaksanaan konstitusi yang berlaku disuatu Negara paling tidak mempunyai beberapa kemungkinan. Pertama, konstitusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang termuat didalamnya. Kedua, terdapat beberapa ketentuan konstitusi yang tidak dilaksanakan lagi meskipun seccara resmi masih berlaku. Ketiga, konstitusi dilaksanakan tidak berdasarkan ketentuan yang termuat didalamnya melainkan demi kepentingan sesuatu golongan atau tertentu.[2]

Dalam perumusan pancasila itu masalah yang paling krusial adalah rumusan dasar Negara yang tidak memisahkan agama dengan Negara yang menjadi perdebatan sejak masa pergerakan nasional, terutama antara A Hasan dan Muhammad natsir, disatu sisi dengan Soekarno di sisi yang lain. Pada tahun 1932 natsir telah menuliskan artikel mengenai konsep kebangsaan yang tepat bagi Indonesia berbeda dengan konsep nasionalisme etnis, natsir mengajukan pandangannya mengenai konsep islam, argument natsir ada dua, islam adalah agama pemersatu karena berisikan ajaran-ajaran moral universal yang bisa diterima oleh semua golongan masyarakat, seperti keadilan dan persatuan dalam tulisan sebelumnya natsir mensinyalir terjadinya perpecahan dikalangan partai-partai kebangsaan, sementara itu, islam mengajarkan persatuan dengan memegang tali Allah yaitu agama. Karena itu, ketika soekarno mengutip pendapat ali Abdul raziq bahwa tidak ada ijma, ulama yang menetapkan kewajiban membentuk Negara islam. Tapi natsir juga mengatakan bahwa tidak ada ijma ulama untuk tidak mendirikan suatu Negara untuk menegakkan syariat islam.[3]

Aliran yang menolak pemerintahan islam. Ada dua argumentasi yang melandasi penolakannya, yaitu: pertama, nabi memang membentuk tertib politik dimadinah, tetapi itu bukan merupakan hubungan instrinsik antara islam dan politik melainkan merupakan peristiwa historis semata. Situasi sosial polotik pada saat itu menghendaki terbentuknya tertib politik namun itu bukan tugas agama yang menjadi bagian dari wahyu ilahi. Mehdi hairi yazdi menjelaskan bahwa otoritas politik yang dimilki nabi saat itu merupakan desakan rakyat yang kemudian mendapat legitimasi dari Tuhan. Kedua, seperti yang disampaikan Ali‟Abd al -Raziq, Nabi Muhammad tidak bermaksud mendirikan Negara dan sistem sosial politik tertentu. Menurut raziq, nabi hanyalah seorang sebagai rasul (QS.al-Isra‟:95,al-Naml: 92)[4]

(2)

agama di ruang publik politik, tapi yang lebih ensesial adalah, biarlah agama bukan merupakan urusan Negara, melainkan pelaksanaannya diserahkan kepada individu dan masyarakat sendiri secara leluasa. Sebab, jika dimasukan keruang publik, agama bisa menjadi alat legitimasi kepentingan mencapai dan mempertahankan kekuasaan.

Sungguhpun begitu, dalam pidatonya di Karachi yang terkenal berjudul “sumbangan islam dalam perdamaian dunia” menjelaskan bahwa pancasila itu tidak bertentangan dengan islam sehingga pancasila dapat disebut sebagai ideologi islam dalam versi Indonesia. Meskipun demikian dalam sidang kontituante 1958, natsir dengan golongannya kembali memperjuangkan islam sebagai dasar Negara. Argumen natsir adalah bahwa islam merupakan ajaran ideal dan uniiversal dan arena itu layak jika Negara Indonesia mendasarkan diri pada ajaran islam yang komprehensif sebagai sumbangan islam terhadap kebangsaan dan kemanusiaan.

Natsir yang memang piawai dalam menjelaskan ajaran islam mengatakan bahwa islam dapat dijadikan dasar Negara dengan Al-qur‟an sebagai konstitusi, sebagai mana dikatakan juga oleh abu a‟laal maududi, pemikir muslim besar dari india-pakistan. Namun keterangan itu diletakkan pada konteks masyarakat monolitik homogeny yang imajiner. Dalam persepsinya Indonesia seolah-olah masyarakat seperti itu. Padahal Indonesia adalah masyarakat yang prural. Jika perbedaan cara pandang yang dualistis itu terus berlanjut bangsa Indonesia tak akan bisa mencapai persatuan. Dengan perkataan lain, pancasila akan gagal menjadi alat pemersatu. Dalam situasi seperti itu tidak ada yang menang. Seperti dalam kisah mahabrata yang disimbolkan dalam alphabet jawa “honocoroko” yang berakhir pada “monggo bothongo” atau semua hancur.[5]

B. Rumusan masalah.

1. Bagaimana perspektif islam terhadap pancasila sebagai dasar Negara.

2. Apakah Pancasila sebagai dasar negara dari lima sila yang terkandung didalamnya mengandung nilai-nilai keislaman.

BAB II PEMBAHSAN

A. Historis perumusan dasar Negara Indonesia

Kata pancasila terdiri dari dua kata basa sanskerta: panca berarti lima dan uila prinsip atau asas. Panncasila sebagai dasar Negara republik Indonesia[6] dalam upaya perumusan pancasila sebagai dasar Negara yang resmi, terdapat usulan-usulan peribadi yang dikemukakan dalam BPUPKI, tanpa kata Indonesia karena dibentuk negara jepang.[7]

(3)

individu-individu yang memainkan peranan penting dalam hal ini, individu-individu yang paling menonjol adalah soekarno. Sejak “fase pembuahan” soekarno mulai merintis pemikiran kearah dasar falsafah pancasila dalam gagasannya untuk mensisntesiskan antara “nasionalisme-islamisme dan marxisme” dan konseptualisasinya tentang “socionationalisme”, “socio-democratie” sebagai asa marhaenisme. Pada fase perumusan dialah orang yang pertama yang mengkoseptualisasikan dasar Negara dalam konteks “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) secara sistematik dan koheren, dan dia pula yang menyebut lima perinsip dari dasar Negara itu dengan istilah pancasila; dalam proses penyempurnaan perumusan pancasila, dia pula yang memimpin “panitia Sembilan” yangmelahirkan piagam Jakarta dalam proses penerjemahan pancasila itu kedalam UUD dia pula yang memimpin panitia perancang hukum dasar. Akhirnya dalam fase pengesahan pancasila, dia pula yang memimpin PPKI.[8]

Dalam lintasan panjang konseptualisasi pancasila itu dapat dikatakan 1 juni adalah hari kelahiran pancasila. Pada hari itulah lima perinsip dasar Negara dikemukakan dengan diberi nama pancasila dan sejak itu jumlahnya tidak pernah berubah[9] meski demikian, untuk diterima sebagai dasar Negara pancasila itu perlu persetujuan kolektif melalui perumusan piagam Jakarta (22 juni), dan akhirnya mengalami perumusan final melaui proses pengesahan konstitusional pada 18 agustus. Oleh karena itu, rumusan pancasila sebagai dasar Negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan pancasila versi 1 juni atau 22 juni, melainkan versi 18 agustus 1945.

Sejak disahkan secara konstitusional pada tanggal 18 agustus 1945, pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) Negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur pemersatu dalam peri kehidupan dan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat kata pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun ( leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya seperti itu, pancasila merupakan sumber jati diri, keperibadian sumber moralitas, dan haluan keselamatan bangsa[10].

Dari berbagai macam kedudukan dan dewi fungsi pancasila sebagai titik sentral pembahasan adalah kedudukan dan fungsi pancasila sebagai dasar Negara republik Indonesia, hal ini sesuai dengan kausa finalis pancasila yang dirumuskan oleh pembentuk Negara pada hakikatnya adalah sebagai dasar Negara republik Indonesia, adalah digali dari unsur-unsur yang berupa nilai-niai yang terdapat pada bangsa Indonesia sendiri yang berupa pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu dari berbagai macam kedudukan dan fungsi pancasila sebenanya dapat dikembalikan pada dua macam kedudukan dan fungsi pancasila yang pokok yaitu sebagai dasar Negara republik Indonesia dan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Namun yang terpenting bagi kajian ilmiah adalah bagaimana hubungan secara kausalitas diantara kedudukan dan fungsi pancasila yang bermacam-macam tersebut[11]

B. Perspektif islam terhadap Nilai lima sila yang terkandunng dalam pancasila

1. Pada sila pertama yang berbunyi (ketuhanan yang maha esa). Bagaimana islam memaknai kalimat pada sila pertama tersebut.

(4)

Jika manusia mengakui kekuasaan yang tertinggi[13] konsep ketuhanan yang maha esa tidak lain adalah apa yang disebut dengan “Tauhid” demikian antara lain berbunnyi keputusan muktamar nahdatul ulama ke-26 di stubondo pada tahun 1984. Tafsir ini tidak dimaksud untuk menafikan hak hidup agama-agama lain yang diatur di Indonesia. Karena “tauhid” itulah keyakinan yang terdalam dan yang paling awal (perimodial) dari semua agama-agama yang ada di dunia. Al-Qur‟an menyatakan sebagai berikut:

dan tidak pernah mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".( QS al-anbiya‟ [21]: 25).

Akidah keesan tuhan (tauhid) tersebut tidak tergoyahkan meskipun kita tahu masing-masing umat punya cara keberagaman yang berbeda:

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (QS al-hajj [22]: 34)

Keimanan kepada tuhan yang mahasa esa Allah Swt, meski dengan idiom yang berbeda tetapi menjadi inti keimanan setiap umat meskipun dengan tata cara dan tempat ibadah yang berbeda-beda:

.. dan Sekiranya tidak ada pembelaan Allah atas keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.. (QS al-Hajj [22]: 40).

Semua agama, pada dasarnya dan pada mulanya, mendoktrinkan keimanan kepada Allah, tuhan yang maha esa (tauhid). Perbedaannya, jika harus disebut demikian, adalah dalam penyebutannya dan kelugasan konseptualisasinya. Yang pasti semua agama meyakinin bahwa segala sesuatu berawal dari yang esa yang satu yang maha baik, yang maha segalanya. Islam mengidentifikasi nama-nama agung itu dengan sebutan al-asma‟al-husna (nama-nama nan indah):

Bagi tuhan nama-nama nan indah, maka panggilah dia dengan nama-nama nan indah itu (QS al-A‟raf [7]: 180)

Katakanlah (Muhammad): panggilah dia tuhan (Allah) atau panggilah dia yang maha pengasih (ar-rahman); sebutan apa saja yang kalian pakai untuk memanggil-nya silahkan; bagi-Nya tersedia nama-nama nan indah ( QS al-isra‟ [17]: 110).[14]

Kejahatan atas integritas ruhani dan jasmani manusia merupakan kejahatan serius. Demi menjaga integritas ruhaninya, islam secara tegas menggaris-bawahi perinsip kebebasan keyakinan atau keimanan untuk manusia:

Tidak ada paksaan dalam agama; karena sudah jelas kiranya mana yang lurus dan mana yang bengkok (QS al-Baqarah [2]: 256)

Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya (QS yunus [10]: 99)[15]

(5)

atheis, paham yang meyangkal adanya tuhan sekaligus menolak beragama ? mengacu pada penegasan al-Qur‟an sendiri pada dasarnya semua anak manusia sebagai anak cucu adam adalah makhluk yang bertuhan:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami….) (QS al -A‟raf [7]: 172).

Dengan ayat ini jelas bahwa, dimata tuhan, tidak ada seorang manusia yang terlahir di dunia sebagai manusia yang atheis (kafir) yang tak ber-tuhan. Bahkan iblispun bukan makhluk kafir yang meyangkal adanya tuhan. Bagaimana iblis meyangkal adanya tuhan, sementar Dia sendiri sempat berdialok langsung degan-nya? Iblis disebut kafir bukan karena meyangkal adanya tuhan, atau karena keyakinann atheistiknya, melainkan karena menolak perintah tuhan, persisnya perintah sujud kepada adam. Dengan demikian, berdasarkan ayat al-Qu‟an diatas, semua anak manusia pada dasarnya ber-tuhan yang maha esa.

Bahwa dalam perjalanan hidup seseorang manusia kemudian bergeser pada peyangkalan adanya tuhan, bukanlah keyakinan awal atau primodialnya. Boleh jadi seseorang di tengah hidupnya tergoda pada keyakinan athestik karena kecewa dengan orang-orang yang mengklaim bertuhan tetapi ucapan dan perilaku (akhlak) nya tidak mencermikan akhlak orng yang beriman kepada tuhan, jadi ditengah-tengah kita muncul orang-orang atheis justru phenomena itu merupakan peringatan keras (alarm) disana tengah terjadi kemunafikan yang bertumbuh pesat pada kehidupan orang-orang yang mengaku ber-Tuhan dan beragama tapi hanya di mulutnya, tampilannya atau pakaiannya, tapi tidak pada perilakunya.

Negara kita bukan hanya menegaskan prinsip theistik, keimanan kepada tuhan yang maha esa, pada saat yang sama juga menegaskan sila-sila atau perinsip-perinsip kehidupan nang luhur sebagai konsekuensi dari keimanan kepada-nya.[16]

2. Sila kedua, (kemanusiaan yang adil dan beradab),

Dari kata-kata „manusia’ kemanusiaan adalah sesuatu yang terkait dengan hakikat manusia, apa dan siapanya. Yang hendak ditegaskan dengan perinsip kemanusiaan ini ( sila kedua pancasila) adalah bahwa hakikat dan martabatnya manusialah yang harus dijadikan acuan moral dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan-kebijakan berbangsa dan bernegara indonesia. Tentang hal ini, Dr.wahbah Zuhaili menulis:

Kemuliaan manusia adalah hak kodrati setiap insan yang di lindungi oleh islam sebagai landasan etika dan tata pergaulan, tak seorangpun boleh dilecehkan hak-haknya, ditumpahkan darahnya atau direndahkan martabatnya secara begitu saja; tidak peduli apakah dia orang yang dianggap baik atau buruk, beragama islam atau bukan (wahbah zuhaili, al-fiqh al-islami wa Adillatuh, jilid VI, hal. 70).

Pertayaan yang perlu dijawab: apa dan siapakah manusia itu? Pertama, al-Quran menegaskan bahwa pada dasarnya manusia dititahkan dimuka bumi sebagai khalifah (wakil, mandataris) Allah SWT:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi..” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Dalam salah satu hadis Rasulullah menegaskan yang artinya: bahwa Allah menciptakan manusia atas gambarnya (bukhari-Muslim)

Ayat senada juga termaktub dalam taurat, kita perjanjian lama:

Maka allah menciptakan manusia atas gambar-Nya; menurut gambar Allah diciptakan-Nya manusia; laki-laki perempuan (kitab kejadian: 1/27)

Di lain pihak secara material-jasmaniah manusia adalah makhluk yang tercipta dari tanah, sementara secara spiritual-batiniah dari ruh yang ditiupkan oleh Allah dari diri-nya:

(6)

yang hina. kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.. ( QS as-sajdah [32]: 7-9).[17]

Manusia pertama kali diciptakan Allah adalah Nabi adam As. Sebgai abu basyar dengan siti hawa sebagai unmul al-basyar. Kemudian keturunan nabi adam itu sebagai umat yang satu (ummatu whaidah) (Q.S. Al-Baqarah/2:212. substansi ayat ini mengajarkan agar manusia hidup dan berada dalam kebersamaan. Dalam kebersamaan ini manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang direalisasikan dengan berbagai macam aktifitas serta beracam hubungan antara sesamnya kebersamaan merupakan sarana atau ruang gerak bagi manusia dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya sendiri. Ketergantungan inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial, oleh eristoteles disebutkan sebagai makhluk zon politicon.[18]

karena esensi kemanusiaan yang bersifat ilahiah itulah Allah Swt menegaskan harkat dan martabat manusia anak cucu adam sebagai mengatasi makhluk-makhluk lainnya:

Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS al-Isra’ [17]: 70). [19]

Dalam rangka menghormati martabat manusia,[20] nyawa manusia itu sakral dan tak bisa dilanggar dan setiap usaha harus di buat untuk melindunginya[21]Islam memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk berserikat menjalin persahabatan dan kerjasama dengan siapa pun, tanpa paksaan dari pihak lain,[22] setiap orang berhak diperlakukan sesuai dengan hukum, dan hanya sesuai dengan hukum, setiap orang berhak dan berkewajiban untuk membela hak-hak orang lain dan hak-hak komunitas secara umum, dalam membela hak-hak pribadi maupun publik, setiap orang tidak boleh diskriminasikan[23]. Dengan demikian, memuliakan manusia, sebagai gambar Allah dan khalifahnya pada hakikatnya adalah memuliakan Allah, tuhan yang maha esa Pun sebaliknya, menghinakan manusia dan kemanusiaan adalah penghinaan kepada Allah Swt. Dalam hidup bernegara Indonesia, dengan alasan apapun, tidak boleh terjadi pelecahan terhadap harkat dan martabat manusia.[24]

3. Pada sila ke tiga (Persatuan Indonesia)

Dari kata-kata „satu‟ (abad, wahid dalam bahasa arab), „persatuan‟ (wahidah) menggambarkan konsep menyatunya unsur-unsur yang berbeda, dalam satu derap langkah bersama karena memiliki dan ingin mencapai cita-cita yang juga sama. Dalam bahasa islam disebut dengan „jamaah‟[25] dalam islam nilai-nilai persatuan merupakan perintah Allah yang tertuang dalam al-qur,an agar kaum muslimin tetap berpegang teguh kepada aturan-aturannya dan tidak terpecah-pecah. Demikian pula perintah Allah agar kaum muslim tidak mengikuti sikap umat terdahulu setelah datangnya petunjuk, seperti tertuang dalam ayat:

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.…….. (Ali imran: ayat 105)

Ajaran-ajaran ini benar-benar di pegang oleh kaum muslimin bukan hanya sekedar ajaran yang amalkan, akan tetapi sudah merupakan behavior yang berwujud dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan. Hal ini terlihat dalam aktivitas sehari-hari berupa pengalaman shalat berjamaah shalat jum‟ah dan terutama pada saat kaum muslimin bersama-sama berwukuf diarofah, bernaug di bawah tenda yang sama dengan pakaian yang sama pula. Disinilah tanpak sekali anjuran islam tentang persatuan.

(7)

sangat meamahami bahwa di samping persatuan merupakan perintah Allah juga merupakan kekuatan yang sangat di perlukan dalam menuju cita-cita kemerdekaan.[26]

Persatuan saling berbagi tanggung jawab demi mencapai tujuan mulia ini sungguh sejalan dengan firman Allah sebagai berikut:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, (dalam konteks keindonesiaan cita-cita menegakkan keadilan sosial) secara bersama-sama dan janganlah kamu bercerai berai, (QS Ali imran [3]: 103)

Dan saling kerjasamalah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah bekerja sama dalam dosa dan permusuhan, dan bertakwalah kepada allah, sesungguhnya siksaan allah (akibat permushan keengganan bekerjasama dan tolong menolong) sangatlah keras adanya (qs al-maidah [5]: 2)

upaya membangun berbangsa dan bernegara atas landasan kebangsaan yang majemuk (plural) diatas bumi ini pertama kali dirintis oleh Muhammad rasulullah saw labih 14 abad lalu, persisnya tahun 622 M di madinah. Sebagaimana diketahui, pemerintahan Rasulullah Saw di madinah adalah pemerintahan/Negara yang dibangun diatas landasan penghargaan terhadap kebinekaan agama, tradisi dan suku. Perinsip ini tertuang dengan gamblang dalam naskah konstitusi Negara madinah yang dikenal luas dengan sebutan[27] piagam madinah[28]. Petikannya, dari sirah nabawiyah oleh ibnu katsir dan ibnu hisam, sebagai berikut:

inilah naskah perjanjian dari nabi Muhammad saw, antara orang-orang beriman umat islam dari suku quraisy dan yastrib, serta orang-orang yang menyertainya dan yang berjuang bersamanya: mereka adalah suatu komunitas yang manuggal; orang-orang muhajirin dari quarisy berhak atas tradisinya; puak auf berhak atas tradisinya; puak saadah berhak atas tradisinya; puak al-harist berhak atas tradisinya; puak jusam berhak atas tradisinya; puak amr bin auf berhak atas tradisinya;puakan-nubeit berhak atas tradisinya; dan puak alal-aus berhak atas tradisinya”

Perihal perlindungan atas kebhinekaan agama/yakinan termaktub dalam paragraph sebagai berikut:

Umat yahudi bani auf adalah satu umat atau komunitas bersama orang-orang yang beriman; bagi yahudi bani auf agama mereka dan bagi umat islam agama mereka; bagi yahudi bani najjar apa yang berlaku bagi yahudi bani auf; demikian pula bagi yahudi bani al-harits, yahudi bani saadah, yahudi bani jusam, yahudi bani al-aus, maupun bagi yahudi bani tsa’labah.

Bagi bangsa Indonesia yang memiliki latar belakang kebhineka sagat kompleks, bahkan baragkali yang paling kompleks didunia, baik secara sosial budaya, agama, bahasa, etnis juga demokratis, tekat persatuan ini sangat mulia.[29]

Seperti tercatat dalam, ketika pembukaan UUD 1945 hendak ditetapkan, sebagai saudara sebangsa kita dari Indonesia bagian timur meminta agar sila pertama : ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”.di ganti menjadi “ketuhanan yang maha esa” Setelah melakukan konsultasi terutama dengan tokoh-tokoh islam yang mengakar dan berpengarukh besar dikalangan umat islam, seperti KH hasyim, putra KH hasyim asy‟ari, akan membuka pintu sektarianisme dalam perpolitikan Indonesia ( greg barton, 2003)

(8)

keras permintaan suhel tersebut. Tapi dengan kebesaran hatinya nabi menerima usulan itu dan bahkan nabi mencoretnya dengan tangan beliau mandiri.[30]

Nabi Muhammad dalam hal perjanjian udaibiyah tidak melihat siapa suku, budaya, agama beliau lebih mengutamakan persatuan dan kedamaian terbukti dalam sejarah perjanjian udaibiyah antara Nabi dan kaum Qurasy yang Nampak jelas nabi sendiri mencoret perjanjian yang sudah dituliskan oleh sahabatnya. Demi memenuhi permintaan kaum Qurasy yang semuanya itu nabi lakukan untuk mewujudkan persatuan dengan kaum Qurasy. Dalam hal Negara Indonesia yang sangat prural bunyi sila ketiga menyerukan persatuan sudah pas konteksnya di Negara indonesia.

4. Sila keempat Permusyawaratan Rakyat.

Demokrai pancasila yang menghimpun berbagai macam unsur demokrasi sebenarnya timbul dari masyarakat indonesia yang religious, kaum muslimin dapat menerima demokrasi ini, karena didalamnya terdapat unsur-unsur ketuhanan dalam artian selama keputusan yang diambil dalam permusyarawatan harus bersesuaian dengan ajaran keagamaan, perinsip kemanusiaan, persatuan, permusyarawatan, dan keadilan sosial.

Bagaimana pengaruh islam terhadap perinsip permusyawaratan ini? Di dalam al-qur‟an terdapat perintah supaya permusyawarahan dalam urusan dunia seperti:

Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…. (ali-imran: 159 (

.… Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawrah antara mereka )

al-syura:38 (

Perinsip syura dalam islam tidak berbentuk demokrasi absolute melainkan demokrasi ketuhanan (teodemokrasi) seperti termuat dalam al-qur;an dan hadis serta praktik yang telah dilaksnakan oleh nabi muhammad serta sahabat-sahabatnya. Demokrasi ketuhanan dalam ajaran islam hanya berkisar mengenai urusan umat. Jadi penerapannya hanya yaitu urusan-urusan kesejahteraan, hidup bermasyarakat, bernegara, berperang, dan lain-lain yang brsangkut paut dengan umat. Dalam menyelesaikan urusan umat hendak mbermusyawarah mufakat yang dijiwai oleh prinsip-prinsip yang termuat dalam al-Qur‟an dan sunnah.[31]

Tak ada satupun di dunia ini yang lepas dari pengetahuan, dan kasih sayang Tuhan. Ringkasnya, Tuhan mengetahui dan mengatur semua aspek kehidupan makhluknya, termasuk manusia. Namun demikian, kemaha kuasaanya dikendalikan oleh kasih sayang-Nya. Allah Swt bisa saja membuat semua manusia menjadi satu umat saja (QS.11: 118), tapi itu tidak dilakukannya dan dibiarkannya.[32] Hal demikian melambangkan bahwa tuhan sendiri sebenarnya sebagai penguasa jagat raya tidak persifat otoliter meskipun memilki kekuasaan yang tidak sebanding dengan makhluk ciptaannya dengan memberi kebebasan kepada setiap makhluk untuk memilih apa yang menjadi keinginannya. Konsekuensi dari ayat ini menciptakan perbedaan yang pada inti untuk menyelesaikan perbedaan itu diperlukan musyawarah. Bahkan kisah yang tidak kala spektakuler ketika Nabi melakukan isra dan mi‟raj kesiratul muntaha yang terjadi dialok negosiasi dengan tuhan dalam hal minta keringanan shalat lima waktu yang awalnya lima puluh sehari semalam menjadi lima waktu kejadian ini menyadarkan kita bahwa tuhan saja sebagai penguasa segala kehidupan di alam raya ini masih melakukan musyawarah dengan Nabi Muhammad untuk menentukan hukum kepada hambanya.

(9)

seorang kepala Negara berbuat salah, umat mempunyai hak untuk menasehati meluruskan dan mengoreksi, bahkan mempunyai hak untuk memecat jika terdapat alasan yang sah untuk bertindak demikian.

Sementara itu status kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan islam adalah sama dengan kepala pemerintahan suatu Negara yang undang-undang dasar.[34] Dengan demikian secara keseluruhan umat adalah sebagai sumber kekuasaan dan hubungan antara umat dengan khalifah kepala Negara adalah hubungan kontrak sosial yang dalam term kaum muslimin dinamakan dengan mubaya‟ah.[35]

Terjadinya pemilihan yang bermusyawarah Ketika rasulullah menjelang wafat kaum muslimin segera merasakan kekosongan kepemimpinan[36] fenomena itu tampak pertama kali dalam sejarah islam dalam pertemuan saqifah. Yang diperdebatkan peserta pertemuan itu adalah tentang khilafah atau imamah kepemimpinan Negara.[37] Perbedaan pendapat yang pertama dikalangan kaum muslimin setelah wafatnya nabi Muhammad adalah perbedaan pendapat dalam masalah immamah (kepemimpinan Negara).

Mereka berbeda pendapat dalam masalah kepemimpinan karena Rasulullah Saw. seperti tercatat dalam sejarah tidak menjelaskan hal ini dengan jelas beliau tidak menentukan dengan pasti siapa yang akan menggatikan beliau, juga tidak menjelaskan cara pergantian jabatan kepemimpinan, tidak memberi syarat-syarat yang harus dilengkapi oleh pemimpin, dan detail-detailnya. Beliau hanya menerangkan kaidah-kaidah umum dan menjelaskan tuntunan akhlak yang mulia dan semagat islam.[38] Faktor yang melatar belakangi nabi tidak mengatur hal demikian sesuai dengan rasional dan berdasarkan analogis atas apa yang telah terjadi dalam sejarah islam serta selaras dengan kecenderungan syariat dan sistem islam adalah karena adanya hikmah syariat yang besar dikhendaki dengan tidak dijelaskan hal itu. Agar tidak mengikat umat islam dengan aturan-aturan baku yang kaku yang kemudian tidak cocok dengan perkembangannya yang terus terjadi, serta tidak sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena syariat islam berkehendak agar undang-undang islam terus bersifat lentur, sehingga kelenturannya itu memberikan kesempatan kepada akal manusia untuk berpikir, serta umat islam dapat menciptakan sendiri sistem politik dan kemasyarakatannya sesuai dengan kebutuhan mereka yang terus berubah-ubah.[39]

Sehingga ketika nabi wafat di pilihlah Abu bakar sebagai pemimpin baru melalui musyawarah antara masyarakat muhajirin dan Ansor. ini bukti bahwa islam mengajarkan musyawarah dalam hal pemilihan kepemimpinan dan ini sesuai dengan bunyi sila keempat “permusyawaratan” dalam pancasila.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Keadilan: dari kata al-„adl (adil) yang secara harfiah berarti “lurus”, “seimbang”. Dalam fiqih, „adil‟ pertama-tama berarti memperlakukan setiap orang secara setara, tanpa diskriminasi berdasarkan hal-hal yang bersifat subjektif. Dalam kitab al-mufasshal fi fiqh ad-da‟wah, abul qasim al-amadi menulis:

keadilan adalah konsep yang merengkuh setiap orang, atau setiap komunitas; tanpa dipengaruhi perasaan subjektif suka tidak suka, atau faktor keturunan, atau status soal kaya-miskin, kuat lemah; intinya menakar setiap orang dengan takaran yang sama dan menimbang dengan timbangan yang sama, sebagai manusia, hamba allah dan ciptaanya.”

Dengan kata lain, unsur pertama keadilan adalah „kesetaraan‟ perbedaan suku ras dan semisal tidak boleh menjadi alasan untuk mendiskriminasikan orang lain keanekaragaman bahasa, budaya maupun warna kulit adalah salah satu tanda kebesaran Allah Swt.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS ar-Rum [30]: 22)

(10)

kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS al-hujrat [49]: 13).

Perbedaan agama atau keyakinan tidak boleh dijadikan alasan untuk mendiskriminasikan seseorang karena persolalan agama dan keyakinan adalah persoalan hidayah[40] salah satu perinsip keadilan adalah tidak memperlakukan diri sendiri atas seseorang berdasarkan garis nasab, darah. [41]

Kedua, keadilan terkait hak-hak yang melekat secara kodrati dan sosial pada setiap individu atau kelompok. Maka keadilan secara praksis sebagaimana didefenisikan oleh para ulama, antara lain imam al-ghazali dalam ihya sebagai berikut:

“adil adalah etika setiap orang/pihak mendapatkan apa yang menjadi haknya”

Yang dimaksud empunya hak di sini tentunya tidak terbatas pada makhluk manusia, melainkan juga binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lingkungan semesta sebagai sesama makhluk Allah Swt. Untuk manusia, khususnya sebagai prioritas, hak-hak yang melekat padanya meliputi apa yang dalam konsep HAM moderen dikategorikan dalam hak-hak sipil, hak sosial ekonomi, hak politik, dan sosial budaya. Dalam konteks ini detail hak-hak insani yang begitu rinci dalam konsep HAM universal sangat membantu misi agung umat manusia juga Negara untuk menegakkan keadilan.[42] Dalam hal jual beli saja islam sangat menganjurkan adil dalam transaksi seperti dalam hal timbangan. dan Allah sangat mengecam manusia yang berbuat curang atau tidak adil.

Diantaranya perbuatan menimbun, dilakukan terhadap barang makanan pokok maka pelaku terkutuk dan dikenai sanksi yang berat. Atau menyembunyikan keaiban, karena perbuatan ini merupakan perbuatan khianat. Dan keharusan meluruskan timbangan, bagi yang meninggalkannya mendapat ancaman yang berat, sehubungan dengan hal ini Allah Swt telah berfirman:

Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang) (Al-muthaffifiin:1).[43]

Ibnu taimiyah dalam kitab majmu al-fatwa dan kitab al-hisab mengutip umgkapan dari ibnu aqil menyatakan:

Allah menolong Negara yang adil meskipun kafir (sekuler); dan allah tidak akan menolong Negara yang lalim meskipun mukmin (religious)

Manakala tanda-tanda keadilan telah tampak dan menunjukkan wajahnya, dengan cara apapun, maka disana ada syariat allah dan agama-Nya… jalan apapun yang dapat menghadirkan keadilan dan keseimbangan, itulah agama. Tidak bisa dikatakan bahwa politik yang adil berlawanan dengan syariah. Sebaliknya, politik yang adil itu sejalan belaka dengan syariah, bahkan merupakan bagian dari padanya.kami menamakannya sesuai arti termonologinya; ialah keadilan Allah dan rasul-Nya (ibnu al-Qayyim, at-thuruq al-hukmiyah; vol 1, hal. 19).

(11)

BAB III PENUTUP A. Simpulan

Pancasila sebagai dasar negara indonesia yang terkandung lima nilai falsafah yang tertuang didalamnya sudah memenuhi keriteria dan keinginan ajaran islam. Dengan begitu banyak suku, bahasa, budaya dan agama didalamnya pancasila mampu mengakomodir semunya dalam satu bingkai persatuan, ini menandakan Negara kita memiliki dasar yang islami karena semunya itu masuk pada ajaran islam. Karena sebenarnya ajaran islam itu sangat menghargai perbedaan menjunjung tinggi keadilan dan sangat terbuka. Banyak masyarakat terjebak hanya persoalan konsep kemudian itu dipermasalahkan apakah itu ajaran islam atau bukan yang terpenting didalamnya adalah menjujung tinggi harkat martabat manusia membawa kedamaian dan kesejahteraan dalam pelaksanaanya maka sesungguhnya itu sudah masuk dalam ranah ajaran islam. Penulis melihat persoalan ini lebih kepada teknis pelaksaan dan penerapan nilai lima sila tersebut apakah dalam pelaksanaan berkehidupan dan bernegara sudah seutuhnya sesuai dengan cita-cita yang termaktub dalam lima sila tersebut. Maka dapat dipastikan akan banyak yang menjawab belum seutuhnya sehingga tidak salah jika banyak masyarakat yang berteriak bukan saja ingin merubah dasar Negara bahkan ada juga ingin merdeka melepas dari NKRI dll. Karena persoalan kesejahteraan yang tidak merata belum lagi persoalan bangsa akhir-akhir ini yang kita saksikan berbagai tontonan kebobrokan sistem hukum kita, keamanan, ekonomi, budaya, dan lainya ditambah sikap pemerintah yang lemah membuat masyarakat tidak begitu percaya terhadap pemerintah. Hal demikian yang sangat membahayakan untuk kesetabilan negara indonesi maka pemerintah harus benar-benar memikirkan persoalan ini agar ada solusi terbaik untuk bangsa Indonesia sehingga bisa meredam anarkis masyarakat Indonesia.

[1]

Moh mahfud Md, Politik Hukum Di Indonesia, cetakan kelima, ( Jakarta:

(12)

[2]

Ellydar chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, cetakan pertama,

(Yogyakarta: kreasi total media yogyakarta, 2007) Hlm 54

[3]

Yudi latif, Negara paripurna historis, rasionalitas, dan aktualitas

pancasila, cetakan keempat (Jakarta: PT gramedia, 2012) Hlm 620

[4]

Ainur rofiq al-amin, Membongkar proyek khilafah ala hzbuhtahrir di

Indonesia, cetakan pertama ( yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2011) Hlm 17

[5]

Yudi

latif, Negara

paripurna

historis,

rasionalitas,

dan

aktualitas

pancasila., Op.cit., hlm 622

[6]

Buku pintar politik sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan, Cetakan

pertama (Yogyakarta: Jogja great publisher, 2001) Hlm 9

[7]

Ibid

[8]

Yudi latif, Negara paripurna historis, rasionalitas, dan aktualitas

pancasila, cetakan keempat Op.cit,. Hlm 39-40

[9]

Peringatan hari lahir pancasila setiap tanggal 1 juni telah menjadi

konvensi kenegaraan terutama sejak departemen penerangan menerbitkan pidato

bungkarno pada tanggal 1 juni 1945 dalam bentuk buku yang diberi judul lahirnya

pancasila pada tahun 1947 radjiman widyoningrat memberikan kata pengantar pada

buku tersebut, tanggal 1 juli 1974.

[10]

Yudi latif, Negara paripurna historis, rasionalitas, dan aktualitas

pancasila, cetakan keempat , Op.cit., Hlm 40-41

[11]

Kaelan, Negara kebangsaan pancasila, kultur, historis, filosofis, yuridis,

dan aktualisasinya, cetakan pertama (Yogyakarta, paradigm, 2013) Hlm 40-41

12 Tijani Abd.Qadir Hamid, Pemikiran Politik Dalam Al-

Qur’an

, cetakan

pertama, ( Jakarta: gema insane press, 2001) Hlm 57

13 Ibid., 174-175

[14]

Masdar farid mas‟udi,

syarah UUD 1945 Perspektif islam, cetakan

ketiga, ( Jakarta: PT pustaka alvabert, 2013) hlm 33-35

[15] Ibid., hlm 41 [16]

Ibid., hlm 35-37

[17]

Ibid., 37-40

[18]

Said

agil

husin

al

munawar, fiqih

hubungan

antara

umat

Bergama,cetakan ketiga, ( Jakarta: ciputat press, 2005), Hlm 1

[19]

Masdar farid mas‟udi,

syarah UUD 1945 Perspektif islam, op, cit Hlm

40

[20]

Ibid.,

[21]

Badri khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, cetakan

pertama (Bandung: Cv Pustaka setia, 2010)hlm 307

[22]

Masdar farid mas‟udi,

loc, cit

[23]

Badri khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, op., cit Hlm

308-309

[24]

Masdar farid mas‟udi,

syarah UUD 1945 Perspektif islam, op, cit Hlm

43

[25]

Ibid.

(13)

[27]

Masdar farid mas‟udi,

syarah UUD 1945 Perspektif islam, op, cit hlm

43-44

[28]

Disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia

yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Piagam

ini dibuat atas persetujuan bersama antara nabi Muhammad saw dengan

wakil-wakil penduduk kota madinah tak lama setelah beliau hijrah dari mekkah ke

yastrib, nama kota madinah sebelumnya, pada 622 M. para ahli menyebut piagam

madinah tersebut dengan berbagai istilah yang berlainan satu sama lain, lihat Jimly

Asshiddiqie, pengantar ilmu hukum tata Negara, cetakan kelima (Jakarta: pt: Raja

grafindo persada, 2013) hlm 85

[29]

Ibid., Hlm.44-48

[30]

Ibid.,

[31]

ibid.,Hlm 80-82

[32]

The wahid institute sending pural and peaceful islam dan gerakan

bhineka tunggal ika maarif, Ilusi Negara islam ekspansi gerakan islam

transnasional di Indonesia, cetakan pertama ( Jakarta: PT desantara utama media,

2009) hlm114

[33]

M.abdul

karim, islam

dan

kemerdekaan

indonesia (membongkar

marjinalisasi peranan islam dalam perjuangan kemerdekaan RI) cetakan pertama

(Yogyakarta: sumbangan pres Yogyakarta, 2005) Hlm 98

[34]

Muhibbin, hadis-hadis politik, cetakan pertama, ( Yogyakarta: pustaka

pelajar, 1996) Hlm 30-31

[35]

ibid

[36]

M.Dhiauddin rais, teori politik islam, cetakan pertama (Jakarta: gema

insane press, 2001) Hlm10

[37]

ibid

[38]

Ibid 10-11

[39]

Ibid 11

[40]

Masdar farid mas‟udi,

syarah UUD 1945 Perspektif islam, op, cit Hlm

51-52

[41]

Ibid., hlm 53

[42]

Ibid., hlm 54-55

[43]

Imam al-ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, cetakan kedua (Bandung:

sinar baru algensindo, 2011) Hlm 179

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan CIVIL EXPO 2017 yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Semarang ini merupakan agenda yang dilakukan

Telah disampaikan bahwa reaksi terhadap pollen yang merupakan salah satu bahan alergen ini merupakan immediate hypersensitivity (Hipersensitivitas spontan atau

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara penggunaan media sosial dengan kualitas tidur, kestabilan emosi dan kecemasan sosial pada

Dari hasil penelitian pertumbuhan Styloshantes guianensis dengan pemberian fosfor dengan level berbeda dan tanpa diberikan pupuk diperoleh kesimpulan bahwa tidak

Objek kajian Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam ini yang terdiri dari sesuatu yang