BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gerakan reformasi pada tahun 1998 yang telah menghentikan
pemerintahan Orde Baru melahirkan berbagai perubahan di bumi persada
Indonesia. Kegelisahan dan keresahan segenap warga akan pemerintahan Orde
Baru yang dinilai sebagai rezim yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme
mengharuskan presiden soeharto meletakkan jabatannya pada saat itu.
Kesepakatan umum yang timbul ketika itu bahwa proses transisi menuju
demokrasi harus dimulai dengan melakukan reformasi konstitusi. Dasar logika
dari kesepakatan umum ini sederhana yakni bahwa krisis multidimensi yang sulit
diatasi disebabkan oleh tampilnya pemerintahan yang tidak demokrastis atau
otoriter, sedangkan otoriterisme itu sendiri dibangun melalui manipulasi tafsir dan
implimentasi atas konstitusi yang memang membuka celah untuk dibelokkan.
Atas dasar inilah ketika itu muncul semacam jargon bahwa tiada reformasi tanpa
amandemen kostitusi.1 Untuk mencegah berulangnya kecenderungan otoriter
pemerintahan tersebut, maka sangat tepat untuk memperbaharui Undang Undang
Dasar Tahun 1945 guna mengukuhkan dan menjamin pelaksanaan demokrasi.
Tuntutan untuk melakukan amandemen tersebut dirasa perlu mengingat
kedudukannya sebagai norma dasar (staats fundamental norm) penyelenggaraan
pemerintah. Sehingga apabila ingin melakukan pergantian pemerintahan
(goverment reform) demi terwujudnya kedaulatan rakyat dan demokrasi, perlu
1
kiranya dilakukan perubahan terhadap aturan dasarnya2. Aturan dasar atau yang disebut dengan konstitusi ini, pada hakikatnya merupakan landasan eksistensi
suau negara sebagai organisasi kekuasaan, pembagian dan pembatasan kekuasaan,
alat rakyat untuk mengonsolidasikan kedudukan hukum dan politiknya dalam
rangka mencapai cita-cita bersama.3
Sebagai tindak lanjut atas desakan untuk melakukan amandemen terhadap
UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan berlandaskan pasal
37 UUD 1945 telah melakukan amandemen dengan cara adendum yaitu sebanyak
empat kali. Amandemen pertama kali terjadi pada sidang Umum MPR tanggal
14-21 Oktober 1999, kemudian amandemen kedua berlangsung dalam sidang
Tahunan MPR dari tanggal 7-18 Agustus 2000, amandemen ketiga berlangsung
pada sidang Tahunan MPR tanggal 1-9 November 2001, dan amandemen keempat
berlangsung pada sidang tahunan MPR dari tanggal 1-11 Agustus 2002.4
Perubahan yang dilakukan sebanyak empat kali itu secara substansial telah
mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar5. Salah satu ciri yang
menandai perubahan itu adalah diserahkannya kedalatan itu kepada rakyat dan
dijalankan berdasarkan Undang Undang Dasar. Sebelum perubahan UUD 1945
disebutkan bahwa MPR masih memiliki wewenang didalam menjalankan
kedaulatan rakyat.
2
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Yrama Widya Bandung, 2007, hal. 1.
3
Banks Lynda, dalam Ibid., hal. 56.
4
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyawaratan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jendral MRR RI Jakarta, 2006, hal. 41.
5
Kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari demokrasi. Menurut Prof.
Miriam Budiardjo6 demokrasi adalah rakyat berkuasa atau goverment by the
people. Demokrasi yang berasal dari kata Yunani demos berarti rakyat,
kra tos/kra tein berarti kekuasaan/berkuasa. Pandangan terhadap istilah demokrasi
diidentikkan dengan istilah kedaulatan rakyat.7 Demokrasi atau paham kerakyatan
kemudian diasumsikan sama dengan pemaknaan kedaulatan rakyat yang dalam
perkembangannya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan dengan
kedaulatan hukum (nomokrasi).8
Indonesia merupakan negara yang menganut paham demokrasi.
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, dalam arti rakyat sebagai asal
mula kekuasaan negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan
untuk mewujudkan cita-cita bangsa.9 Suatu pemerintahan dari rakyat haruslah
sesuai dengan filsafat hidup rakyat itu sendiri yaitu filsafat Pancasila, dan ini
menjadi dasar filsafat demokrasi Indonesia.10 Demokrasi Pancasila11 merupakan
ideologi atau cita-cita negara digunakan sebagai landasan pembentukan peraturan
negara. Nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai kerakyatan yang
menunjukkan peran masyarakat Indonesia sebagai pelaku demokrasi. Nilai
6
Miriam Budiardjo,Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 105.
7
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat:Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Per bandingannya dengan Negara Lain, Cetakan I, Nusamedia, Bandung, 2007, hal. 5.
8 Ni’matul Huda,
Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 245.
9
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2002, hal.100.
10
Ibid, Hal. 101.
11“Demokrasi Pancasila” adalah demokrasi yang berlaku di Indonesia meskipun dasar
kerakyatan tersebut dapat ditunjukkan dengan cara masyarakat bebas
mengeluarkan pendapatnya, bebas memenuhi haknya sebagai warga negara, dan
bebas menentukkan pilihannya dalam sebuah pemilihan umum.12
Demokrasi dalam praktek bernegara dewasa ini semakin mengalami
perkembangan. Dimana demokrasi dalam pengertian yang sederhana sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (goverment of the people,
by the the people, and for the people)13 begitu gencar melanda setiap negara
termasuk Indonesia. Bahkan saat ini demokrasi tidak sekedar menjadi wacana
intelektual melainkan juga impian politik berbagai negara, khususnya negara
-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini mensyaratkan diakuinya suatu
negara dalam pergaulan Internasional terletak pada pengakuannya akan
demokrasi.14
Demokrasi dapat diaplikasikan melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu
yang berlangsung di Indonesia merupakan wujud warga negara untuk
menyalurkan hak politiknya sebagai implementasi dari demokrasi. Pelaksanaan
Pemilu di Indonesia adalah cara untuk mewujudkan pemilu secara langsung,
umum, bebas, jujur, rahasia, dan adil dalam Negara Republik Indonesia
berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945)15 dan Pancasila. Setelah UUD NRI 1945 mengalami
12
https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/03/15/tinjauan-konstitusi-pemilihan-kepala-daerah/ Diakses pada tanggal 17 Maret 2015 pada pukul 10.30 WIB
13
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah; ; Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung, 2004, hal. 62.
14
https://hamdanzoelva.wordpress.com., Op. Cit.
15
amandemen, salah satu ketentuan dalam konstitusi pasca amandemen yang
memayungi perihal mekanisme pemilihan kepala daerah ialah Pasal 18 ayat (4)
UUD NRI 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa, “Gubernur, Bupati dan
Wa likota ma sing – ma sing sebaga i Kepa la Pemerinta h Da era h Pr ovinsi,
Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.”16
Sebelum perubahan UUD 1945 pemilihan Kepala Daerah menjadi bagian
dari agenda kegiatan pemerintah, dan akibat dominasi pemerintah tersebut maka
timbul ketidakpuasan dan ketidakadilan, timbul keinginan untuk melakukan
perubahan melalui perubahan UUD 1945. Setelah dilakukan perubahan UUD
1945 pada Pasal 18 ayat (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis. Pemahaman demokratis tersebut menimbulkan multi tafsir, harus
dikaji secara mendalam tentang pengaturan pemilihan Kepala Daerah sehingga
penerapannya dapat memberikan manfaat bagi demokratisasi daerah dan
kesejahteraan masyarakat daerah. Selain itu dapat dilihat dari tafsir sosiologis
bagaimana kemauan dan fakta di masyarakat terhadap persoalan tersebut,
sehingga ini dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam membentuk peraturan
perundang-undangan khususnya terkait dengan masalah pemilihan kepala daerah.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat. Demokrasi secara umum dimaknai dari, oleh dan untuk
rakyat, dengan demikian dalam pengambilan keputusan seharusnya diberikan
akses kepada rakyat untuk ikut menentukan.
16
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), tidak
mengatur secara tegas tentang model pemilihan kepala daerah sehingga
menimbulkan multi tafsir. Pembentuk undang-undang menafsirkan model
pemilihan kepala daerah sesuai dengan kemauan politik. Sesudah perubahan UUD
NRI 1945 pemiliha kepala daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 200417, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 201418 dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 201519. Pengaturan pemilihan Kepala Daerah pada
undang-undang tersebut terdapat perbedaan yaitu sebelum dan sesudah amandemen UUD
NRI 1945, perbedaannya terletak pada pola pemilihan Kepala Daerah. Sebelum
amandemen UUD 1945 Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan sesudah
amandemen UUD NRI 1945 Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Tujuannya dari perubahan pola pemilihan Kepala Daerah ini adalah agar
masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
demokratis, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial di
daerah.
Dari rumusan pasal yang demikian ini secara sepintas dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat ukuran baku menurut konstitusi bagaimana pemilihan
Kepala Daerah yang demokratis. Konsekuensi logisnya ialah bahwa masih terlalu
dini bagi masyarakat untuk mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah yang
17
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125;Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
18
Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 243;Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5586)
19
demokratis adalah pemilihan kepala daerah secara langsung ataupun pemilihan
kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)20 itu tidaklah
demokratis. Sebagaimana dimaksudkan dalam rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD
NRI Tahun 1945, kita terlebih dahulu memaknai kata demokratis tersebut untuk
mengetahui seperti apa pemilihan kepala daerah demokratis yang dimaksudkan
oleh pasal 18 ayat (4) tersebut. .
Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan
permasalahan-permasalahan diatas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan meneliti
persoalan ini lebih lengkap, dengan mengambil judul “Esensi Pemaknaan Kata
Demokratis Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Pasca Perubahan UUD
NRI 1945 (Studi Konstitusional Terhadap Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945)”.
B. Rumusan Masalah
Setelah mengetahui latar belakang masalah dalam penulisan ini. Maka
dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan pemilihan kepala daerah dalam peraturan
perundang-undangan setelah amandemen UUD NRI 1945 di Indonesia?
2. Bagaimana pemaknaan demokrasi terhadap pemilihan kepala daerah di
Indonesia?
3. Bagaimana pemilihan kepala daerah yang demokratis berdasarkan konsep
negara demokratis kontusional?
20
C. Tujuan dan Manfaaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan
dalam skripsi ini, maka sudah sepatutnya juga memberikan uraian cermat dan
jelas mengenai tujuan pembahasan yang terdapat dalam skripsi ini. Secara rinci
maka tujuan dari pembahasan skripsi ini sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pengaturan pilkada dalam peraturan
perundang-undangan setelah amandemen UUD NRI 1945 di Indonesia.
b. Untuk mengetahui pemaknaan demokrasi terhadap pemilihan kepala daerah
di Indonesia.
c. Untuk lebih mengetahui pemilihan kepala daerah yang demokratis
berdasarkan konsep negara demokratis kontusional.
2. Manfaat Penulisan
a. Secara Teoritis
1. Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan dan menambah wawasan dalam bidang hukum tata negara,
khususnya yang berkaitan dengan demokrasi didalam pemilihan kepala daerah di
Indonesia.
2. Bagi penulis sendiri, penulisan skripsi ini bermanfaat dalam memenuhi syarat
untuk menyelesaikan studi dan meraih gelar sarjana program strata satu (S-1) di
b. Secara Praktis
Dapat dijadikan rujukan dan sebagai pedoman bagi rekan rekan
mahasiswa dan masyarakat luas untuk pengetahuan yang lebih dalam mengenai
makna kata demokratis didalam pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pengetahuan penulis dan pemeriksaan mengenai penelitian
yang ada, penelitian mengenai “Esensi Pemaknaan Kata “Demokratis” Dalam
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Pasca Perubahan UUD NRI 1945
(Studi Konstitusional Terhadap Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945)” belum pernah di bahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau
bukan diambil dari skripsi orang lain. Penulisan ini dilakukan memalui berbagai
referensi seperti buku-buku, media cetak dan elektronik serta bantuan dari
berbagai pihak yang dapat menunjang kelengkapan dari skripsi ini sehingga
penulisan skripsi ini dapat di pertanggung jawabkan kebenaran ilmiahnya. Dengan
demikian, penulis menyatakan bahwa keaslian skripsi ini dapat dipertanggung
jawabkan.
E. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan secara Normatif. Mengacu pada
tipologi penelitian menurut Sorjono Soekanto, studi pendekatan terhadap hukum
perundang-undangan yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu sebagai
produk dari suatu kekuasaan negera tertentu yang berdaulat21.
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah meneliti bagaimana
prinsip demkrasi itu didalam pemilihan pemilihan kepala daerah. Pendekatan
normatif yang dimaksudkan untuk menggali dan mengkaji peraturan
perundang-undangan sebagai dasar berpijak dalam meneliti dalam persoalan.
2. Alat pengumpul data
Pengumpulan data yang diperlukan oleh penulis berkaitan dengan
penyelesaian skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library
resea rch). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur
untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar
analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan dari
kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi
peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet,
maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
F. Tinjauan Kepustakaan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dikaji
guna menghindari meluasnya pembahasan yang dapat mengakibatkan kaburnya
pokok bahasan. Masalah yang dikaji terbatas pada kata demokrasi yang terdapat
dalam rumusan pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 secara khusus mengenai
pemaknaan kata demokrasi tersebut dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Pembahasan makna demokrasi dalam penulisan skripsi ini berlandaskan
pada konsep Konstitusi dan Kedaulatan Rakyat sebagai teori utama (grand
21
theory). Penggunaan konsep ini didasari pemikiran bahwa demokrasi tidak
terlepas dari konstitusi dan kedaulatan rakyat.
1. Teori Konstitusi
Secara etimologis antara kata konstitusi, konstitusional dan
konstitusionalisme inti maknaya sama, namun penggunaan atau penerapan
katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai
ketatanegaraan atau Undang Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain segala
tindkan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak
didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan tersebut tidak
konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham
mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti
membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan
suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Dalam bahasa Inggris
konstitusi (constitusion) berarti keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana
suatu pemerintahan dilaksanakan dalam masyarakat.22
Teori konstitusi muncul melalui proses yang sangat panjang, dimulai dari
perdebatan antara filsuf Yunani Kuno kemudian dilanjutkan oleh para sarjana
yang lahir pada abad-abad berikutnya seperti: socrates, Plato, Aristoteles, Thomas
Aquinas, Polibius dan Cicero. Negara dalam pandangan Aristoteles merupakan
perkumpulan manusia palinh sempurna dari seluruh jenis perkumpulan dalam
22
rangka mencapai kebahagiaan hidup bersama. Pendapat ini berangkat dari asumsi
Aristoteles yang menilai manusia sebagai makhluk pilitik (zoon politicon) yang
cenderung mengedepankan cita-cita hidup bersama. Menurut Aristoteles manusia
didalam negara itu mulai mengkontruksikan gagasan dalam menata masyarakat
politik dimana hak dan kewajiban masyarakat diatur, hukum harus diatas
segala-galanya dan berlaku bagi setiap manusia baik rakyat maupun penguasa negara itu.
Aristoteles mengatakan bahwa orang yang adil adalah orang yang mengambil
tidak melebihi dari haknya. Pengakuan hak milik harus bermakna fungsi sosial
yang artinya hak milik dapat menjadi alat untuk kebaikan kehidupan bersama
masyarakat. Eksistensi konstitusi akan menentukan apakah kehidupan suatu
negara demokrastis atau oligarkhis hanya akan eksis jika hukum berdaulat.23
Pada abad pertengahan di Perancis muncul sebuah buku yang berjudul Le
Contra t Socia l karya J.J Rousseau. Dalam buku ini Rosseau mengatakan bahwa
manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam hak-haknya sedangkan hukum
merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Tiap manusia
sungguh-sungguh merdeka. Untuk menjamin kepentingannya maka manusia memberikan
hak dan kekuasaannya pada suatu organisasi bernama negara. Kepada orgnaisasi
ini diberikan kemerdekaan dan dibawah organisasi ini manusia mendapat kembali
kemerdekaan sipil, yaitu kemerdekaan berbuat segala sesuatu asal dalam batas
lingkungan undang-undang.24 Karena deklarasi inilah yang mengilhami
pembentukan Konstitusi Perancis (1971) khususnya menyangkut hak-hak asasi
23
Dikutip dari Disertasi Mirza Nasution, Perubahan Pertanggungjawa ban Gubernur Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan UUD 1945, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 29-40.
24
manusia. Pada masa inilah awal dari konkritisasi konstitusi dalam arti tertulis
(modern) seperti yang ada di Amerika.
Konstitusi model Amerika (yang tertulis) ini kemudian diikuti oleh
berbagai konstitusi tertulis diberbagai negara di Eropa. Seperti konstitusi Spanyol
(1812), konstitusi di Norwegia (1814), konstitusi di Nederland (1815), konstitusi
di Belgia (1831), konstitusi di Italy (1848), konstitusi di Austria (1861), dan
konstitusi di Swedia (1861). Sampai pada abad XIX, tinggal Inggris, Hongaria,
dan Rusia yang belum mempunyai konstitusi secara tertulis. Konstitusi disini
belum menjadi hukum dasar yang penting.25
Konstitusi sebagai Undang Undang Dasar dan hukum dasar yang
mempunyai arti penting atau sering disebut dengan “konstitusi modern” baru
muncul bersamaan dengaan semakin berkembangnya sistem demokrasi
perwakilan dan konsep nasionalisme. Menurut L.J. Van Apeldoorn26, Undang
Undang Dasar sebagai bagian tertulis dari konstitusi. Demikian pula dengan pakar
Indonesia antara lain Sri Soemantri, Bagir Manan dan J.C.T Simorangkir tidak
membedakan antara konstitusi dengan Undang Undang Dasar.27 Bagir manan
menjelaskan bahwa konstitusi atau Undang Undang Dasar hanya merupakan
gabian hukum konstitusi (Constitusional Law) diluar jurisprudensi dan konvensi
ketatanegaraan.28
25
Dahlan Thaib, Op.Cit., hal. 5-6.
26
Miriam Budiarjo, Op.Cit., hal. 54.
27
Mirza Nasution, Op.Cit., hal. 56.
28
Pada prinsip nya tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kewenangan
tindakan pemerintah, untuk menjamin hak hak yang diperintah, dan merumuskan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.29
Konstitusi merupakan norma dasar yang mengatur cara penyelenggaraan
kedaulatan rakyat. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran R.M Mac.Iver yang
menempatkan konstitus sebagai inti dari hukum tata negara sedangkan nyoman
dekker menempatkan konstitusi dalam posisi teratas dari suatu hukum tata negara.
Untuk itu penggunaan teori konstitusi sebagai alat untuk membedah permasalahan
demokratisasi dalam pemilihan kepala daerah ini terkait erat dengan keberadaan
konstitusi sebagai hukum dasar negara yang mengatur cara rakyat
menyelenggarakan kedaulatannya dalam suatu sistem ketatanegaraan.30
2. Kedaulatan Rakyat
Menurut Jimly Asshiddiqie, Kedaulatan atau souvereiniteit (souvereignty)
merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan Negara.
Kata “daulat” dan “kedaulatan” berasal dari kata Arab daulah yang berarti rezim
politik atau kekuasaan. Makna aslinya seperti yang dipakai dalam Al-Quran
adalah peredaran dalam konteks pengertian kekuasaan.31
Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa gagasan kedaulatan
sebagai konsep mengenai kekuasaan meliputi proses pengembalian keputusan.
Persoalannya adalah seberapa kekuatan keputusan-keputusan yang ditetapkan itu,
baik dilapangan legislatif maupun eksekutif (the administration law). Sedangkan
29
Dahlan Thaib, Op.Cit., hal. 27.
30
Ibid., hal. 38.
31
jangkauan kedaulatan (domain of sovereignty), melalui analisis relasional
(rela tiona l a na lysis) antara ‘souvereign’ dan ‘subject’, terkait soal siapa atau apa
yang menjado objek dalam arti sasaran yang dijangkau oleh kekuasaan tertinggi
itu.32
Mengenai jangkauan kedaulatan, dalam konsep ini ada dua hal penting,
yaitu :
a. Siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara ;
b. Apa yang dikuasai oleh pemegang kekuasaan tertinggi.
Berkaitan dengan siapa atau apa yang menguasai, maka kedaulatan itu
pada prinsipnya dapat di pegang oleh seseorang, sekelompok orang, sesuatu badan
yang melakukan administrasi fungsi-fungsi pemerintahan33.
Dalam ajaran berbagai macam kedaultan diklasifikasikan menjadi 5 (lima)
teori atau ajaran, yaitu: Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Raja, Teori
Kedaultan Rakyat, Teori kedaulatan Negara, dan Teori Kedaulatan Hukum.
Khusus mengenai Kedaulatan Rakyat, teori ini memandang dan memaknai
bahwa kekuasaaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya
pemerintah harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan
demokrasi.34 Jadi keberadaan konsep kedaulatan rakyat sebagai suatu kajian
filsafat kemudian berkembang menjadi teori kedaulatan rakyat dalam kajian
keilmuan. Demokrasi merupakan praktis dari teori kedaulatan rakyat dalam suatu
32
Ibid,. Hal. 144.
33
Ibid,. Hal. 150.
34
sistem politik maupun pula bila menyamaka kedaulatan rakyat dengan
demokrasi.35
Sebagai negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 1
ayat (2) UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa :“Kedaulatan berada di
ta nga n ra kya t da n di da sa rkan menurut Undang Unda ng Da sa r” Maka Indonesia
menyelenggarakan demokrasi secara langsung maupun dengan tidak langsung.
Penyelenggaraan ini merupakan bentuk penyaluran gagasan kedaulatan rakyat itu
sendiri. Sebagai negara modren, tentunya tidak bisa hanya menerapkan demokrasi
secara langsung karena hal tersebut hanya efektif dilakukan dengan bentuk negara
kota (polis) ketika era Yunani kuno, maka diakuilah adanya suatu bentuk
demokrasi tidak langsung atau yang seringdikatakan sebagai demokrasi
perwakilan melalui keberadaan wakil-wakil rakyat di parlemen. Maka baik
demokrasi langsung maupun tidak langsung dijalankan bersama-sama atau
dijalankan secara beriringan.36 Secara langsung misalnya dalam bentuk pemilihan
umum kepala daerah dan secara tidak langsung misalnya menciptakan lembaga
perwakilan rakyat sebagai perlembagaan kedaulatan rakyat.
Kedaulatan Rakyat terdiri atas gabungan istilah “Kedaulatan” dan
“Rakyat”. Istilah kedaulatan dapat ditemukan atau dipergunakan dalam berbagai
pengertian sebagaimana dapat dijumpai pengertian kedaulatan dalam hukum
Internasional, bahwa kedaulatan yang ditunjukkan kepada Negara dalam hal suatu
negara berhak menentukan urusannya sendiri baik menyangkut urusan dalam
35
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.56.
36
negeri maupun urusan luar negeri tanpa adanya campur tangan dari negara
lainnya.
C.S.T. Kansil mengatakan kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi dalam
suatu negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah segenap rakyat dalam negara
itu. Kedaulatan adalah juga kekuasaan penuh untuk untuk mengatur seluruh
wilayah negara tanpa campur tangan dari pemerintah negara lain.37
2. Pemilihan kepala daerah
Salah satu tujuan reformasi adalah untuk mewujudkan suatu Indonesia
baru, yaitu Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa dicapai dengan
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Selama ini, baik dimasa orde baru
maupun di era reformasi, kedaulatan sepenuh nya berada dilembaga -lembaga
eksekutif, dan ditangan lembaga legislatif. Bahkan di era reformasi ini, melalui
fraksi-fraksi nya di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dapat melakukan apapun yang berkaitan dengan
kepentingan bangsa dan negara, bahkan dapat memberhentikan presiden sebelum
berakhir masa jabatannya, seperti layaknya pada negara dengan sistem
Parlementer padahal negara kita menganut sistem presidensil. Di daerah-daerah,
DPRD melalui pungutan suara dapat menjatuhkan kepala daerah sebelum berakhir
masa jabatannya.38
UUD NRI 1945 tidak mengatur apakah kepala daerah dipilih langsung
oleh rakyat atau dipilih melalui DPRD, namun pasal 18 ayat (4) menegaskan
37
C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, 1984, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, Hal. 74.
38
bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Rumusan “dipilih secara
demokratis”, lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja
MPR tahun 2004 antara pendapat yang mengkehendaki pemilihan kepala daerah
dipilih oleh DPRD dan pendapat lain mengkehendaki dipilih melalui pemilukada.
Sebagaimana diketahui, pada saat itu berlangsung berbagai pemilihan kepala
daerah di Indonesia yang dilaksanakan berdasarkan Undang Undang Nomor 22
Tahun 1999 yang dipilih oleh DPRD. Sebahagian besar proses maupun hasil
pemilihan oleh DPRD tersebut mendapat protes dari rakyat di daerah yang
bersangkutan dengan berbagai alasan. Kondisi inilah yang mendorong para
anggota MPR untuk berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah dipilih melalui
pemilukada untuk mengurangi protes kepada anggota DPRD. Pada sisi lain
dengan pertimbangan kesiapan berdemokrasi yang tidak sama antar berbagai
daerah di Indonesia serta kebutuhan biaya yang besar dalam proses pemilihan
kepala daerah secara langsung, dikhawatirkan akan menimbulkan instabilitas
politik dan pembengkakan anggaran negara, sehingga anggota MPR bersikukuh
bahwa kepala daerah tetap dipilih oleh DPRD. Disamping itu, pada saat yang
sama terjadi perdebatan sangat tajam tentang cara pemilihan Presiden antara yang
mengkehendaki pemilihan langsung oleh rakyat dan pemilihan oleh MPR dengan
berbagai variannya, juga turut mempengaruhi perdebatan tentang cara pemilihan
kepala daerah ini.39
Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Makna demokratis
disini tidak langsung dipilih oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih
39
oleh DPRD yang angota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui
pemilu. Ketika Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah
diajukan oleh pemerintahan dan diperdebatkan di DPRD, tidak ada perdebatan
yang mendalam lagi tentang apakah kepala daerah itu harus dipilih langsung oleh
rakyat atau dipilih oleh DPRD. Hal ini, paling tidak disebabkan oleh dua hal, yaitu
pertama; telah disepakati dalam perubahan ketiga dan keempat UUD NRI 1945
bahwa presiden dan wakil presiden Negara Republik Indonesia dipilih secara
langsung oleh rakyat, dan kedua; dari aspirasi dominan masyarakat yang
mengkehendaki kepala daerah itu dipilih secara langsung oleh rakyat.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Skrispsi ini dilakukan dengan membagi 4 bab, dengan
sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini merupakn pembukaaan yang berisikan Latar Belakang,
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan
BAB II PENGATURAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM
PERATURAN PERUNDAN-UNDANGAN DI INDONESIA
Pada bab ini akan diuraikan pembahasan tentang pengaturan pemilihan
kepala daerah dalam peraturan pemilihan kepala daerah di Indonesia
setelah amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
BAB III PEMAKNAAN DEMOKRASI DALAM PEMILIHAN KEPALA
DAERAH DI INDONESIA
Bab ini akan membahas mengenai sejarah perkembangan demokrasi,
pengertian, demokrasi di Indonesia dan demokrasi didalam pemilihan
kepala daerah.
BAB IV PEMILIHAN KEPALA DAERAH YANG DEMOKRATIS
BERDASARKAN KONSEP NEGARA DEMOKRASI
KONSTITUSIONAL
Bab ini akan dibahas mengenai pemilihan kepala daerah demokratis
yang didalamnya dibahas pemilihan kepala daerah secara langsung dan
melalui DPRD serta sisi positif dan negatif dari pola pemilihan kepala
daerah tersebut
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini yaitu bab yang ke empat merupakan kesimpulan dan
saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan
kesimpulan dan uraian-uraian sebelumnya dan dilengkapi dengan