• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara prasangka sosial dengan toleransi beragama pada mahasiswa yang mengikuti organisasi kemahasiswaan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara prasangka sosial dengan toleransi beragama pada mahasiswa yang mengikuti organisasi kemahasiswaan."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PRASANGKA SOSIAL DENGAN TOLERANSI BERAGAMA PADA MAHASISWA YANG MENGIKUTI ORGANISASI

KEMAHASISWAAN SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Mohammad Ivan Fadeli

B77213085

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

xi INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara prasangka sosisal dengan toleransi beragama. Metode penelitian yang digunakan ialah metode kuantitatif dengan teknik sampling purposive sampling pada mahasiswa ITS dan UNAIR Surabaya yang mengikuti organisasi kemahasiswaan. Teknik analisis data yang digunakan ialah analisis korelasi product moment. Hasil analisis menunjukkan bahwa hipotesis penelitian dapat diterima, yaitu variabel prasangka sosial mempunyai hubungan negatif yang signifikan dengan toleransi beragama. Dimana koefisien korelasi antara prasangka sosial dengan toleransi beragama sebesar -0,435. Penelitian ini menunjukkan korelasi negatif yang berarti memiliki arah korelasi yang berlawanan, semakin tinggi prasangka sosial diikuti semakin rendah pula toleransi bergama. Prasangka sosial memberikan sumbangsih efektif terhadap toleransi beragama sebesar 18,9%. Selebihnya 81,1% dipengaruhi oleh faktor lain.

(7)

xii

ABSTRACT

This study aims to determine the relationship between sositional prejudice with religious tolerance. The research method used is quantitative method with sampling purposive sampling technique in ITS and UNAIR Surabaya students who follow student organization. Data analysis technique used is product moment correlation analysis. The result of the analysis shows that the research hypothesis is acceptable, that the social prejudice variable has a significant negative correlation with religious tolerance. Where the correlation coefficient between social prejudice with religious tolerance of -0.435. This study shows a negative correlation which means having the opposite direction of correlation, the higher the social prejudice followed by the lower the religious tolerance.Social prejudice contributes effectively to religious tolerance of 18.9%. The remaining 81.1% is influenced by other factors.

(8)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

INTISARI ... xi

ABSTRACT ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Toleransi Beragama 1. Pengertian ... 17

2. Aspek-Aspek Toleransi Beragama ... 24

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Toleransi ... 27

B.Prasangka Sosial 1. Pengertian Prasangka Sosial ... 30

2. Aspek-Aspek Prasangka ... 34

3. Sumber-Sumber Prasangka ... 35

4. Faktor-Faktor Penyebab Prasangka ... 40

C.Hubungan Antara Prasangka Sosial Dengan Toleransi Beragama ... 41

D.Landasan Teoritis ... 42

E. Hipotesis Penelitian ... 44

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian ... 45

B. Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel ... 45

(9)

vii

1. Populas ... 47

2. Sampel ... 47

3. Teknik Sampling ... 49

D. Teknik Pengumpulan Data ... 49

E. Validitas Dan Reliabilitas 1. Validitas ... 52

2. Reliabilitas ... 58

3. Uji Normalitas ... 60

4. Uji Linieritas ... 61

F. Teknik Analisis Data ... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek 1. Pengelompokan Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin .. 64

2. Pengelompokan Subyek Penelitian Berdasarkan Usia ... 65

3. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Agama ... 66

4. Penegelompokan Subyek Berdasarkan Organisasi ... 66

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data 1. Deskripsi Data ... 67

C. Hasil Penelitian ... 72

D. Pembahasan ... 74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

(10)

viii

viii DAFTAR GAMBAR

(11)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kategori Jawaban Skala Like ... 50

Tabel 2. Blue Print Skala Prasangka Sosial Try Out ... 51

Tabel 3. Blue Print Skala Toleransi Beragama Try Out ... 52

Tabel 4. Tabel Skala Prasangka Sosial Setelah Try Out ... 54

Tabel 5. Blue Print Skala Prasangka Sosial Setelah Try Out ... 56

Tabel 6. Tabel Skala Toelransi Beragama Setelah Try Out ... 56

Tabel 7. Blue Print Skala Toleransi Beragama Setelah Try Out ... 58

Tabel 8. Hasil Uji Estimasi Reliabilitas ... 59

Tabel 9. Hasil Uji Normalitas ... 61

Tabel 10. Hasil Uji Linieritas... 62

Tabel 11. Gambaran Subyek Peelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64

Tabel 12. Gambaran Subyek Peelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 65

Tabel 13.Gambaran Subyek Peelitian Berdasarkan Agama ... 66

Tabel 14.Gambaran Subyek Peelitian Berdasarkan Organisasi ... 66

Tabel 15.Deskrpsi Statistik ... 67

Tabel 16.Deskripsi Data Berdasarkan Jenis Kelamin Responden ... 68

Tabel 17.Deskripsi Data Berdasarkan Usia Responden ... 69

Tabel 18.Deskripsi Data Berdasarkan organisasi yang diikuti oleh subyek . 70 Tabel 19.Deskripsi Data Berdasarkan Agama Yang Dianut ... 71

Tabel 20.Deskripsi Data Berdasarkan Perguruan Tinggi ... 71

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Agama merupakan suatu ajaran yang ditujukan kepada manusia agara

manusia bisa hidup menjadi lebih baik. Agama mengajarkan kepada

pemeluknya untuk saling bergotong royong, saling menyapa, tidak boleh

menyakiti sesamanya. Di samping itu setiap agama mempunyai tuhan yang

diyakini sebagai penguasa tertinggi. Dengan mempercayai tuhan menjadikan

manusia merasa punya harapan dan semanagat hidup sehingga manusia tidak

mudah putus asa. Di sisi lain mausia juga memunyai rasa ketakutan terhadap

adzab dan kemurkaan tuhannya sehingga menjadikan manusia untuk terus

berbuat kebaikan.

Sebuah negara pasti terdapat keberagaman agama yang mewarnai

negara tersebut. Dalam format ini, sebagaimana dikatakan oleh Sukarja (1995),

“negara tidak identik dengan agama tertentu, tetapi negara juga tidak

melepaskan agama dari urusan negara”. Seperti di Indonesia yang merupakan

negara dengan kekayaan alam yang melimpah dan keindahan alamnya yang

sangat mempesona terdapat agama-agama besar yang mewarnainya. Seperti

halnya islam, kristen hindu, budha dan konghucu. Pada sensus tahun 2000,

religious demography di Indonesia menunjukkan 213 juta jiwa penganut agama

yang berbeda dengan komposisi 88.2% pemeluk Islam, 5.9% Kristen, 3.1%

Katolik, 1.8% Hindu, 0.8% Buddha, dan 0.2% agama serta kepercayaan

(13)

2

menunjukkan angka yang hampir sama, yaitu pemeluk Islam (88.58%), Kristen

(5.79%), Katolik (3.08%), Hindu (1.73%), Buddha (0.60%), Khonghucu

(0.10%), dan lainnya (0.12%).

Data diatas mengungkapkan bahwa penduduk beragama Islam

merupakan mayoritas secara nasional dan masyarakat dituntut untuk

berperilaku toleransi terhadap agama lain, tetapi di dalam praktekteknya

masyarakat masih menganggap bahwa agama yang dianut dianggap

mempunyai kebeneran yang mutlak dibandingkan agama yang lain, sehingga

sering menyalahkan penganut agama lain dan terjadinya intoleransi antar

agama.

Studi yang dilakukan Centre of Strategic and International Studies

(CSIS) pada tahun 2012, menyatakan bahwa toleransi beragama orang

Indonesia tergolong rendah. Dalam survei CSIS, sebanyak 59,5 % responden

tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 %

lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian ini dilakukan pada Februari 2012 di

23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan

rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 % responden

menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 % yang tidak

berkeberatan. Hasil survei juga menunjukkan kecenderungan intoleransi ada

pada kelompok masyarakat dalam semua kategori pendidikan. Sekitar 20 %

masyarakat berpendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan

(14)

3

pendidikan di atas SMA, hanya sekitar 38,1 % yang menyatakan setuju. Data

ini menunjukkan bahwa ternyata tingkat toleransi beragama tidak berkorelasi

langsung dengan tingkat pendidikan formal seseorang. Di sisi lain, temuan

survei CSIS ini juga menguatkan dugaan bahwa praktik demokrasi, khususnya

yang terkait dengan pluralitas dan perlindungan negara akan kebebasan

beragama, masih perlu ditingkatkan. Data tersebut selaras dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Binsar, dkk. (2016) dengan mengambil sampel

mahasiswa yang mengikuti organisasi keagamaan, yang menunjukkan bahwa

tingkat toleransi di Indonesia di tingkat rendah dengan nilai 3,37 dari skala 6

Fenomena lain yang berkaitan dengan toleransi seperti yang dilansir

oleh Benarnews.org (2015) di tolikara papua terjadi pembakaran masjid oleh

umat kristiani pada tanggal 17 juli 2015. Kejadian tersebut megakitabkan 2

orang tewas dan 153 orang terluka. Pembakaran masjid dipicu karena umat

kristiani dan umat islam mengadakan acara besar di hari yang sama. Umat

kristiani melarang umat islam menggunakan pengeras suara.

Seperti yang dikutip geocities.com Konflik bernuansa agama di Ambon

memperlihatkan bahwa Universitas Pattimura menjadi basis perlawanan

kalangan Kristiani. Wilayah kampus tersegregasi antara mahasiswa dari

kalangan Kristen dan dari kalangan Islam. Di sana para mahasiswa Kristiani

menggalang kekuatan dan turut terlibat secara aktif dalam konflik bernuansa

agama tersebut. Di Fakultas Teknik, dengan memanfaatkan peralatan yang ada

membuat senjata-senjata rakitan, anak panah, dan tombak bermata besi. Sikap

(15)

4

mereka yang terlibat dalam organisasi kemahasiswaan, sebagaimana

dituturkan Abu Bakar Riri, mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

(IMM) yang belakangan menjadi aktivis rekonsiliasi Gerakan Baku Bae

Maluku.

Konflik bernuansa agama yang melibatkan mahasiswa terjadi pula di

Jakarta, misalnya kasus bentrok antara warga Kampung Pulo dengan

mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia Injili Arastamar (SETIA) pada 25 Juli

2008. Konflik bernuansa agama yang melibatkan mahasiswa terjadi pula di

Jakarta, misalnya kasus bentrok antara warga Kampung Pulo dengan

mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia Injili Arastamar (SETIA) pada 25 Juli

2008. Pemicu terjadinya konflik disebabkan keberadaan SETIA dan perilaku

mahasiswa yang sering meresahkan warga. Mahasiswa SETIA diduga sering

terlibat bentrok antarsuku, pencurian, pacaran, bahkan warga sering

menemukan kondom dan celana dalam di sepanjang jalan sepi tempat

mahasiswa biasa jalan-jalan. Bentrokan 25 Juli 2008 lalu bermula dari

tertangkapnya seorang mahasiswa SETIA yang diduga melakukan pencurian

mesin pompa di salah satu rumah warga.

Suasana menegang ketika ada teriakan provokasi dari dalam kampus

yang tidak terima si pencuri dibawa ke kantor polisi. Sempat terjadi lempar

batu tetapi berhenti setelah dilerai pihak kepolisian. Sesaat kondisi keamanan

terkendali tetapi selang sehari kemudian kembali menegang ketika tiba-tiba ada

(16)

5

melakukan pelemparan, pelaku lari menuju asrama putri. Kelakuan mahasiswa

kriminal ini, mengundang reaksi warga. Mereka pun berkumpul menuju

asrama putri meminta pertanggungjawaban, namun kedatangan warga justru

disambut lemparan batu, serpihan kaca, ketapel dan anak panah besi.

Belakangan ini ibu kota digemparkan dengan berita konflik antar umat

muslim seperti yang telah diberitakan oleh Kompas.com (2017) bahwa di

beberapa masjid di ibu kota Jakarta terpasang sepanduk-sepanduk yang

melarang untuk menyolatkan jenazah yang telah mendukung calon bupati

Basuki tjahja (Ahok). Dari fenomena tersebut menunjukan bahwa keutuhan

NKRI sedang tergoyang yang diakibatkan oleh rasa toleransi beragama yang

rendah atau bisa disebut dengan rasa intoleransi beragama.

Dalam pandangan Islam, umat Kristiani (Nasrani) dan umat Yahudi

merupakan salah satu bagian dari ahli kitab. Secara umum pandangan Islam

terhadap ahli kitab sangat positif dan sangat konstruktif. Hal tersebut dapat

dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang dan sangat

mendorong kepada umat Islam untuk melakukan interaksi sosial dan kerjasama

dengan mereka (A’la, 2001). Islam menegaskan bahwa makanan ahli kitab

halal bagi umat Islam dan perempuan ahli kitab halal juga bagi umat Islam

(Alquran 5: 5). Islam juga mengharuskan umat Islam untuk berbuat baik, adil,

dan wajar dalam urusan mereka (Alquran 4: 135; 5: 8; 60: 8).

Sebagiamana yang tercantum Undang-Undang Dasar 1945 sebagai

konstitusi juga menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

(17)

6

menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Atas dasar undang-undang ini,

semua warga negara, dengan beragam identitas agama, kultural, suku, dan

sebagainya, wajib dilindungi oleh negara. Ini juga berarti negara tidak boleh

mendiskriminasi warganya dengan alasan apapun. Pemerintah dan semua

warga negara berkewajiban menegakkan konstitusi tersebut (Muhammad,

2009). Oleh karena itu masyarakat semestinya mempunyai rasa toleransi

terhadap sesama penduduk Indonesia meskipun berasal dari suku, agama,

kultural, jenis kelamin yang berbeda demi keutuhan NKRI. Toleransi adalah

kesediaan mengenali dan menghargai keyakinan, praktik-praktik, perilaku, dan

sebagainya dari orang lain, tanpa harus setuju dengan pendapat mereka

(Obinyan, 2004).

Siagian dalam Bukhori (2012) menyatakan bahwa toleran adalah sikap

saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak disukai; atau memberi tempat

kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat. Kata kerja

dari tolerance adalah (to) tolerate yang berarti: 1). Tidak ikut campur dengan;

mempersilahkan; mengizinkan, 2). Mengenal dan menghormati (kepercayaan,

praktik orang lain, dan lainlain) tanpa mencampurinya (Neufeldt dalam

Bukhori, 2012).

Dalam bahasa Arab, kata toleransi disebut dengan istilah tasamuh yang

berarti sikap membiarkan atau lapang dada. Badawi dalam Bukhori (2012)

menyatakan bahwa tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau sikap yang

(18)

7

lanjut dijelaskan bahwa toleransi ini erat kaitannya dengan masalah kebebasan

atau kemerdekaan hak asasi manusia dalam tata kehidupan bermasyarakat,

sehingga mengizinkan berlapang dada terhadap adanya perbedaan pendapat

dan keyakinan dari setiap individu.

Berdasarkan ungkapan mengenai istilah toleransi beragama diatas

dapat diketahui bahwa toleransi beragama merupakan sikap untuk memberikan

kebebasan atau kemerdakaan, serta memberikan hak asasi manusia untuk

memeluk agamanya masing-masing, dan mau untuk hidup berdampingan

meskipun antar kelompok berbeda keyakinan dan berbebeda pendapat. Namun

dalam praktiknya sering terjadi perbedaan pendapat antar agama, ini

merupakan sikap intoleransi terhadap agama lain. sehingga sering kali

menimbulkan konflik antar agama ataupun antar kelompok disuatu agama

tersebut dan bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI).

Konflik – konflik di atas dilatar belakangi oleh prasangka yang tinggi

terhadap kelompok lain. Menurut Baron dan Byrne (2012) bahwa wujud dari

ketiadaan toleransi adalah hidupnya prasangka sosial antar kelompok dalam

kehidupan bermasyarakat. Prasangka sosial sendiri dapat diartikan sebagai

sebuah sikap yang biasanya bersifat negatif terhadap kelompok agama tertentu,

yang semata-mata didasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut

(Baron & Byrne, 2012).

Munculnya isme atau aliran yang dikembangkan oleh

(19)

8

yang pada akhirnya memunculkan intoleransi terhadap kelompok lain dan bisa

menjadi sumber konflik agama (Hapsin dkk., 2004). Salah satu dari isme

tersebut adalah fundamentalisme agama, yakni keyakinan terhadap satu agama

yang berisi kebenaran literal mutlak tentang kehidupan (Pyszczynski,

Solomon, dan Greenberg, 2003). Penelitian Denney (2008) dan Bizumic &

Duckitt (2007) menunjukkan bahwa fundamentalisme agama berkaitan dengan

intoleransi terhadap pemeluk agama lain.

Kurt Lewin dalam Sarlito (2006) menyatakan bahwa sikap dan perilaku

manusia merupakan fungsi dari kepribadian (personality) dan pengalaman

(experience). Artinya, secara umum, munculnya sikap toleransi dan intoleransi

pada seseorang atau kelompok masyarakat dipengaruhi oleh faktor kepribadian

dan pengalaman. Untuk meningkatkan toleransi antar kelompok diperlukan

peningkatan kontak antar kelompok. Berkaitan dengan hal tersebut, Allport

dalam Brown (1995) mengajukan suatu hipotesis yang kemudian dikenal

dengan contact hypothesis, yaitu suatu teori yang menyatakan bahwa

peningkatan kontak antar anggota berbagai kelompok akan mengurangi

intoleransi di antara kelompok tersebut.

Menurut teori belajar sosial, toleransi diwariskan dari generasi ke

generasi melalui proses sosialisasi (Bukhori, 2010). Terdapat tiga lingkungan

pendidikan yang digunakan dalam proses sosialisasi tesebut, yakni lingkungan

keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.

(20)

9

sebuah sikap prasangka juga melibatkan prasangka negatif dan emosi pada

individu yang menjadi target prasangka ketika individu tersebut hadir ke dalam

kelompok yang tidak disukai (Baron dan Byrne, 2002). Artinya apabila sebuah

sikap prasangka terhadap kelompok lain itu muncul, maka apa saja yang

dilakukan oleh target prasangka benar maupun salah akan dianggap sebagai

perbuatan yang salah, maka yang terjadi adalah munculnya intoleransi

terhadapa kelompok lain.

Menurut Sarlito (2009) Jika prasangka muncul dalam sebuah perilaku

maka yang dapat dilihat, maka didefinisikan sebagai perilaku diskrimanasi.

Yang artinya apabila suatu kelompok atau agama berpransangka terhadap

kelompok atau agama lain maka akan memunculkan sikap diskriminasi

terhadap kelompok lain, maka sikap selajutnya yaitu intoleransi terhadap

agama lain. Brown (2010) berpendapat bahwa prasangka adalah sikap,

perasaan atau perilaku terhadap anggota sebuah kelompok dimana semua

komponen tersebut secara langsung atau tidak langsung berpengaruh secara

negatif atau bahkan anti pati terhadap kelompok tersebut. Hal ini sejalan

dengan penelitian Hermawati, dkk (2015) bahwa dalam konteks hubungan

antara umat beragama, intoleransi muncul ketika ada prasangka terhadap orang

atau kelompok yang berada di luar dirinya. Allport (1954) menyebutkan

tentang paradoks agama dan intoleransi. Menurutnya, agama turut bertanggung

jawab atas munculnya prasangka. Kendati ada aspek universal dari setiap

agama, tapi ketika ikatan-ikatan keagamaan itu terbentuk, maka perasaan in

(21)

10

tersebut dianggap sebagai out group dan diperlakukan berbeda, bahkan tidak

jarang dicurigai akan menganggu ketahanan ikatan tersebut. Dalam konteks

inilah, konflik dan perilaku kekerasan yang mengatasnamakan agama menjadi

rentan muncul.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Alfandi (2013) yang

hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa salah satu pemicu konflik antar

kelompok lain adalah antara satu kelompok tidak bisa memahamai dengan baik

kelompok lain, yang mempunyai latar belakang ideologi yang berbeda,

sehingga mempengaruhi cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang berbeda

dari diri mereka sendiri. Akibatnya hubungan yang dirusak oleh konflik agama,

disebabkan oleh prasangka terhadap kelompok lain. Artinya jika disuatu

kelompok timbul prasangka terhadap kelompok lain maka samakin besar pula

perilaku intoleransi terhadap kelompok lain sehingga memicu konflik anatar

kelompok, dalam penelitian ini toleransi beragama.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti apakah

toleransi beragama berhubungan dengan prasangka sosial. Dengan demikian

penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “Hubungan antara prasangka sosial

dengan toleransi beragama”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian adalah

(22)

11

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara prasangka

sosial dengan perilaku toleransi beragama.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitaian ini, dapat diharakan dapat memberi manfaat,

secara teoritis, maupun praktis.

a. Manfaat teoritis

Manfaat teoretis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah

memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan dan memperkaya wawasan

teoretik dalam psikologi agama dan psikologi sosial.

b. Manfaat praktis

Mampu memeberikan suatu wacana kepada masayarakat dan lainnya,

sehingga mereka memperoleh pengetahuan bahwa prasanagka sosial

berhubungan dengan perilaku toleransi beragama, untuk selanjutnya dapat

dilakukan intervensi yang tepat untuk meningkatkan toleransi.

E. Keasalian Penelitian

Keaslian penelitian dalam hal ini dimaksudkan untuk dua kepentingan:

Pertama, untuk menunjukkan bahwa penelitian tentang topik ini belum ada

yang meneliti. Kedua, untuk membangun landasan teori.

Penelitian dengan tema toleransi beragama, dan prasangka sosial

secara terpisah sudah banyak dilakukan, antara lain:

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hermawati, Paskarina, &

(23)

12

penelitian ini ingingn mengungkap tingkat toleransi di kota Bandung. Hasil

peneitian ini menunjukan bahwa tingkat toleransi di kota Bandung sebesar 3,82

termasuk dalam kategori tinggi.

Penelitian yan dilakuakan oleh Mardianto (2015) dengan judul

Hubungan antara prasangka masayarakat terhadap muslimah bercadar

dengan jarak sosial” Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara

prasangka masyarakat terhadap muslimah bercadar dengan jarak sosial. Hasil

uji korelasi kedua variabel menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif

antara prasangka dan jarak sosial.

Penelitian yang diakukan oleh Khareng & Awang (2012) yang berjudul

Cultural Socialization And Its Relation To The Attitude Of Religious

Tolerance Among Muslim And Buddhist Student In Prince Of Songkala

University” Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pola

komunikasi dan interaksi dengan toleransi beragama. Hasil uji korelasi dalam

penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pola komunikasi dan

interaksi dengan toleransi beragama.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati & Staria (2014) dengan

judul “implementasi toleransi beragama di podok pesantren darut taqwa pasuruan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruk pemikiran dan

implementasi toleransi beragama yang dijalankan di Pondok Pesantren Darut

Taqwa Ngalah Pasuruaan yang dipimpin oleh Kyai Sholeh Bahruddin. Hasil

(24)

13

program-program di Pondok Pesantren Darut Taqwa tersebut, dapat

dikategorikan sebagai pemikiran dan sikap inklusif dalam beragama, yaitu

pemikiran yang percaya adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama lain

tapi standar kebenaran dan keselamatan tertinggi tetap berada dalam agamanya

sendiri. Kyai Sholeh tetap mengedepankan kebenaran yang ada dalam agama

Islam sebagai agama yang dianutnya, namun hal tersebut sama sekali tidak

mengurangi penghormatannya terhadap agama lain dan tidak ada sama sekali

sikap merendahkan agama lain, serta tidak menjadi ganjalan dalam menjalin

toleransi beragama dalam kehidupan bermasyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh Arum, Fathurrohman, Ahmad (2013)

Penelitian dengan pendekatan psikologi ini bertujuan untuk menguji hubungan

antara identitas sosial dan fundamentalisme agama dengan prasangka terhadap

pemeluk agama yang berbeda pada mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta. Sebanyak 330 mahasiswa UIN Sunan Kalijaga menjadi subjek

dalam penelitian ini dengan mengisi tiga buah skala, yaitu skala prasangka

terhadap agama yang berbeda, skala identitas sosial, dan skala

fundamentalisme agama. Data dianalisis menggunakan analisis regresi.

Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara identitas

sosial dan fundamentalisme agama secara bersama-sama dengan prasangka

terhadap agama yang berbeda (R = 0.114, p = 0.120). Penelitian ini juga tidak

dapat membuktikan, baik hubungan antara fundamentalisme dengan prasangka

terhadap pemeluk agama yang berbeda, maupun hubungan antara identitas

(25)

14

Penelitian yang dilakukan oleh Ali, Indrawati & Masykur (2010) yang

berjudul “Hubungan Antara Identitas Etnik Dengan Prasangka Terhadap

Etnik Tolaki Pada Mahasiswa Muna Di Universitas Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara”. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

hubungan antara identitas etnik dengan prasangka terhadap etnik Tolaki pada

mahasiswa Muna di Universitas Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara.

Berdasarkan analisis data yang dilakukan diperoleh nilai koefisien korelasi

(rxy) sebesar 0,356 dengan p= 0,000 (p<0,05). Angka tersebut menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel identitas

etnik dengan prasangka terhadap etnik Tolaki. Arah hubungan kedua variabel

positif, yaitu semakin kuat identitas etnik maka akan semakin tinggi pula

prasangka terhadap etnik Tolaki pada mahasiswa Muna di Universitas

Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara.

Penelitian yang dilakuakan oleh Clobert, Saroglou, Hwang & Soong

(2016) yang berjudul “East Asian Religious Tolerance—A Myth or a Reality?

Empirical Investigations of Religious Prejudice in East Asian Societies

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan

prasangka antar agama dan etnik. Hasil dari penelitian ini yaitu studi 1 terdapat

hubungan positif antara religiusitas dengan toleransi antar agama protestan dan

katolik, dan mempunyai hubungan negatif dengan prasangka terhadap agama

Buddha dan Taois. Studi 2 menunjukkan religiusitas mempunyai hubungan

(26)

15

juga kelompok agama fiktif (Yxtos). Tetapi ini tidak berlaku terhadap

prasangka terhadap anti-atheist.

Penelitian yang dilakukan Adelina (2017) yang berjudul “Hubungan

Antara Prasangka Sosial Dengan Intensi Melakukan Diskriminasi Mahasiswa

Etinis Jawa Terhadap Mahasiswa Yang Bersal Dari Nusa Tenggara Timur”

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan

signifikan antara prasangka dan intensi melakukan diskriminasi mahasiswa

etnis Jawa terhadap mahasiswa yang berasal dari Nusa Tenggra Timur.

Peelitian yang dilakukan oleh Bukhori (2012) yang berjudul “Toleransi

Terhadap Umat Kristiani Ditinjau Dari Fundamentalisme Agama dan Kontrol Diri”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang negatif

dan signifikan antara fundamentalisme dengan toleransi terhadap umat

kristiani.

Peneliti membedakan penelitian ini dengan penelitian lain tentang

toleransi beragama dan prasangka sosial lainnya dari segi hubungan kedua

variabel, penelitian terdahulu yang menghubungkan kedua variabel belum

banyak ditemukan. Penelitian ini menghubungkan variabel toleransi beragama

dan prasangka sosial. Selain itu subjek penelitian ini juga mempunyai

perbedaan dari penelitian terdahulu dari segi subjek. Subjek dalam penelitian

ini menggunakan subjek mahasiswa yang mengikuti organisasi

kemahasiswaaan.

Penelitian ini juga mempunyai kesamaan dengan penelitian terdahulu

(27)

16

sama-sama membahas topik tentang toleransi dan prasangka. Dalam penelitian

ini juga mempunyai kesamaan dalam hal metodologi penelitian yaitu

(28)

17 BAB II

LANDASAN TEORI A. Toleransi Baragama

1. Pengertian

Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, kata toleran berarti

bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian

(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya)

yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Dalam Cambridge international

dictionary of English, kata toleransi diartikan sebagai kemauan seseorang

untuk menerima tingkah laku dan kepercayaan yang berbeda dari yang

dimiliki, meskipun ia mungkin tidak menyetujui atau mengizinkannya

(Procter, 2001).

Sedangkan toleransi menurut Erlewin (2010) adalah subuah

prinsip untuk berperilaku lebih baik di masyarakat sosial meskipun

terdapat perbedat perbedaan kepercayaan, selama selama pihak lain tidak

secara langsung menghalangi kesejahteraan diri sendiri atau orang lain.

Toleransi sebenarnya terhadap agama lain ditunjukkan dengan

tidak adanya ekspresi mempertentangkan atau tidak setuju terhadap kalin

orang lain terhadap kebenaran agama atau keyakinannya (Stetson dalam

Fachrudin, 2006).

Sullivan, Pierson, dan Marcus, sebagaimana dikutip Mujani

(29)

18

things one rejects or opposes, yakni “kesediaan untuk menghargai,

menerima, atau menghormati segala sesuatu yang ditolak atau ditentang

oleh seseorang”. Chaplin (2006) mengatakan, toleransi adalah satu sikap

liberalis, atau tidak mau campur tangan dan tidak mau campur tangan dan

tidak mengganggu tingkah laku dan keyakinan orang lain. Bagus (1996)

menjelaskan, toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap

keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat

disanggah, atau bahkan keliru. Sikap semacam ini tidak berarti setuju

terhadap keyakinan-keyakinan tersebut. Juga tidak berarti acuh tak acuh

terhadap kebenaran dan kebaikan, dan tidak harus didasarkan atas

agnostisisme, atau skeptisisme, melainkan lebih pada sikap hormat

terhadap pluriformitas dan martabat manusia yang berbeda.

Toleransi beragama adalah sikap bersedia untuk berpartisipasi

dalam masyarakat sosial yang lebih luas melalui proses asimilasi,

meskipun berada dalam kelompok minoritas atau agama yang berbeda.

Alasan mendasar sikap ini adalah apabila seluruh komponen dalam

masyrakat, yakni seluruh individu, termasuk oengikut agama minoritas,

berpartispasi secara menyeluruh secara menyeluruh dalm kehidupan

sosial, maka mereka harus dianggap warga penuh dari sebuah masyarakat.

(Hidayat, 2006). Menurut Fachrudin (2006) toleransi bukan juga

diwujudkan dengan sikap yang tidak kritis dan reflektif terhadap setiap ide

(30)

19

Khisbiyah menjelaskan, toleransi adalah kemampuan untuk

menahankan hal-hal yang tidak kita setujui atau tidak kita sukai, dalam

rangka membangun hubungan sosial yang lebih baik. Toleransi

mensyaratkan adanya penerimaan dan penghargaan terhadap pandangan,

keyakinan, nilai, serta praktik orang/kelompok lain yang berbeda dengan

kita. Intoleransi adalah ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk

bertoleran, muncul karena kita tidak bisa atau tidak mau menerima dan

menghargai perbedaan. Intoleransi bisa terjadi pada tataran hubungan

interpersonal, seperti hubungan antara kakak dan adik, orangtua dan anak,

suami dan isteri, antarteman, atau antarkelompok, misalnya suku, agama,

bangsa, dan ideologi.

Menurut Ensiklopedi nasional Indonesia, toleransi beragama

adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman dan kebebasan

beragama yang dianut dan kepercayaan yang diyakini oleh pihak atau

golongan lain. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan dan eksistensi suatu

golongan, agama atau kepercayaan, diakui atau dihormati oleh pihak lain.

Pengakuan tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat, baik dalam

tatanan kenegaraan, tatanan kemasyarakatan maupun di hadapan Tuhan

Yang Maha Esa, tetapi juga perbedaanperbedaan dalam cara penghayatan

dan peribadatannya yang sesuai dengan alasan kemanusiaan yang adil dan

beradab (Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1996).

Reese (1999) menyatakan bahwa praktek toleransi agama tumbuh

(31)

20

Adaptasi dan penyesuaian antar agama menempuh tiga tahap, yakni

territorialism, latitudinarianism, dan pax dissidentium. Territorialism

adalah masa di mana setiap daerah hanya mengakui dan memaksakan satu

agama yang sah, sementara penganut agama lain diminta untuk berpindah

ke tempat lain; latitudinarianism atau comprehension merupakan suatu

periode dimana satu agama diakui sebagai agama yang berkuasa walaupun

jumlah penganutnya sedikit, sedangkan pax dissidentium adalah suatu

babak di mana kebebasan suatu agama telah dijamin sepenuhnya.

Toleransi sebagai suatu sikap, menurut Walzer dalam Sutanto

(2007), merujuk pada berbagai matra di dalam suatu garis kontinum.

Pertama, yang mencerminkan toleransi keagamaan di Eropa sejak abad ke

16 dan 17 adalah sekadar penerimaan pasif perbedaan demi perdamaian

setelah orang merasa capek saling membantai. Jelas ini tidak cukup dan

karenanya dapat dicandra gerak dinamis menuju matra kedua, ketidak

pedulian yang lunak pada perbedaan. Di situ sang liyan diakui ada, tetapi

kehadirannya tidak bermakna apa-apa. Matra ketiga, melangkah lebih jauh

ada pengakuan secara prinsip bahwa sang liyan punya hak-hak sendiri

sekalipun mungkin ekspresinya tidak disetujui. Matra keempat bukan saja

memperlihatkan pengakuan, tetapi juga keterbukaan pada yang lain, atau

setidaknya keingintahuan untuk lebih dapat memahami sang liyan. Posisi

paling jauh dalam kontinum ini, yakni matra kelima, tidak sekadar

(32)

21

(keragaman sebagai ciptaan Tuhan), entah karena keyakinan ideologis

(keragaman merupakan tanah subur bagi perkembangan umat manusia).

menurut Anwar Harjono (1995), ada dua hal yang sama besar

bahayanya, yaitu: Pertama, apabila kita hanya terpaku kepada tugas-tugas

dalam lingkungan agama kita sendiri tanpa menghiraukan hak-hak

golongan agama lain. Kedua, apabila kita terlalu bersemangat

menjalankan toleransi sehingga kita menganggap semua agama sama saja,

sama benarnya, atau sama salahnya.38 Bahaya pertama akan mendorong

seseorang kepada penyiaran agama tanpa mengindahkan peraturan yang

ada, sehingga siapa saja dijadikan sebagai sasaran penyiaran agama.

Semangat demikian kelihatannya sangat luhur karena didorong oleh motif

suci melaksanakan perintah agama yang ganjarannya adalah surga.

Akan tetapi, jika semua orang begitu keyakinan dan perilakunya,

akibatnya akan terjadi “perang agama” secara permanen, baik terbuka

maupun terselubung. Bahaya kedua, akan mendorong seseorang

melakukan pendangkalan terhadap ajaran agama. Dicari-carilah

persamaan-persamaan di antara agama-agama yang ada. Berdasarkan

persamaanpersamaan itu, mereka merumuskan apa yang disebut sebagai

“hakikat” atau “intisari” agama jika tidak diwaspadai bahkan berpotensi

pula untuk menegasikan agama yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, dalam

menjalankan toleransi setiap umat beragama hendaknya berpedoman

(33)

22

masing-masing, supaya tidak terjebak atau terjerumus kepada bahaya di

atas.

Ali (2003) menjelaskan, toleran merupakan satu sikap

keberagamaan yang terletak antara dua titik ekstrim sikap keberagamaan,

yaitu eksklusif dan pluralis. Guna lebih jelasnya perhatikan skema berikut.

Eksklusif Toleran Pluralis

Pada titik paling kiri, ada mereka yang eksklusif menutup diri dari

(seluruh atau sebagian) kebenaran pada yang lain. Ada yang bersikap

toleran: membiarkan yang lain, namun masih secara pasif, tanpa kehendak

memahami, dan tanpa keterlibatan aktif untuk bekerjasama. Bersikap

toleran sangat dekat dengan sikap selanjutnya pada titik paling kanan,

yaitu sikap pluralis. Yakni sikap meyakini kebenaran diri sendiri, sambil

berusaha memahami, menghargai, dan menerima kemungkinan kebenaran

yang lain, serta lebih jauh lagi, siap bekerja sama secara aktif di tengah

perbedaan itu.

Dari uraian di atas diketahui bahwa kendati toleransi merupakan

sikap keberagamaan yang positif, namun masih bersifat pasif sebab hanya

sekadar membiarkan yang lain (the other), tanpa kehendak memahami, dan

tanpa keterlibatan aktif untuk bekerjasama. Namun demikian, konsep

tersebut tidak mengurangi nilai penting sikap toleran sebagai satu sikap

(34)

23

merupakan satu sikap yang harus dijauhi karena dapat menimbulkan

ketegangan, gesekan, bahkan konflik antarumat beragama. (Ali, 2003).

Al-Qardhawi (1985) berpendapat bahwa toleransi sebenarnya

tidaklah bersifat pasif, tetapi dinamis. Sehubungan hal tersebut,

al-Qardhawi mengategorikan toleransi keagamaan dalam tiga tingkatan.

Pertama, toleransi dalam bentuk hanya sebatas memberikan kebebasan

kepada orang lain untuk memeluk agama yang diyakininya, tetapi tidak

memberinya kesempatan untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan

yang diwajibkan atas dirinya. Kedua, memberinya hak untuk memeluk

agama yang diyakininya, kemudian tidak memaksanya mengerjakan

sesuatu sebagai larangan dalam agamanya. Ketiga, tidak mempersempit

gerak mereka dalam melakukan hal-hal yang menurut agamanya halal,

meskipun hal tersebut diharamkan menurut agama kita.

Berdasarkan elaborasi di atas, secara konseptual dan metodologis,

maka pertama, toleransi tidak merujuk kepada perbedaan, tetapi

penerimaan terhadap perbedaan. Sebab itu berapapun besar dan jauhnya

perbedaan tidak menggambarkan kondisi toleransi beragama. Kedua,

toleransi beragama sebenarnya merujuk kepada suatu situasi relasional

yang relatif damai di antara berbagai umat beragama yang berlainan.

Terlepas dari kegaduhan dan ketegangan yang ditimbulkan oleh

aktivitas-aktivitas berbagai kelompok partisan di ranah publik, sepanjang mereka

tidak benar-benar menolak apalagi menghilangkan eksistensi

(35)

24

mengalami perubahan yang berarti. Ini seharusnya merujuk kepada salah

satu indikator demokrasi yang memungkinkan siapa pun bebas

mengekspresikan diri dalam ruang publik, termasuk penolakannya kepada

kelompok beragama lain. Hal tersebut berarti, konsep tentang toleransi

mengandaikan pondasi nilai bersama sehingga idealitas bahwa

agama-agama dapat hidup berdampingan secara koeksistensi harus

diwujudkan.(Budiyanto, 2009)

2. Aspek – Aspek Toleransi Beragama

Yang dimaksud dengan aspek-aspek toleransi disini ialah suatu

sikap atau tindakan yang merupakan dasar bagi terwujudnya toleransi

tersebut, khususnya toleransi antar umat beragama (Jamrah, 1986).

Adapun aspek toleransi tersebut antara lain ialah :

1. Penerimaan

Osborn (1993) menyatakan bahwa kunci dari toleransi adalah

menerima orang apa adanya. Senada dengan pendapat tersebut,

Eisenstein (2008) menyatakan bahwa manifestasi dari toleransi adalah

adanya kesediaan seseorang untuk menerima pendapat, nilai-nilai,

perilaku orang lain yang berbeda dari diri sendiri. Penerimaan dapat

diartikan memandang dan menerima pihak lain dengan segala

keberadaannya, dan bukan menurut kehendak dan kemauannya sendiri.

Hal tersebut berarti setiap golongan umat beragama menerima

(36)

25

2. Pengahargaan

Selain kesediaan menerima, toleransi beragama terbentuk karena

adanaya sikap saling mengerti dan saling menghargai di tengah

keragaman ras, suku, agama, budaya (Misrawi, 2010). Kesediaan

menghargai tersebut harus dilandasi oleh kepercayaan bahwa tidak

benar ada orang atau golongan yang berkeras memaksakan

kehendaknya sendiri kepada orang atau golongan lain. Tidak ada orang

atau golongan yang memonopoli kebenaran, dan landasan ini disertai

catatan bahwa soal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing

orang.

3. Kebebasan

Aspek lain dari toleransi adalah memberi kebebasan kepada

sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk

menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan

nasibnya masing-masing (Yewangoe, 2009). Hak asasi manusia yang

paling esensial dalam hidup adalah hak kemerdekaan/kebebasan baik

kebebasan untuk berfikir maupun kebebasan untuk berkehendak dan

kebebasan di dalam memilih kepercayaan/agama. Kebebasan

merupakan hak yang fundamental bagi manusia sehingga hal ini yang

dapat membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya. Kebebasan

beragama sering kali disalahartikan dalam berbuat sehingga manusia

ada yang mempunyai agama lebih dari satu. Yang dimaksudkan

(37)

26

agama yang menurut mereka paling benar dan membawa keselamatan

tanpa ada yang memaksa atau menghalanginya.

4. Kesabaran

Hal penting lain yang terkait dengan toleransi adalah kesabaran,

yang merupakan suatu sikap simpatik terhadap perbedaan pandangan

dan sikap orang lain (Kartasapoetro & Hartini, 1992). Bagus (1996)

menyatakan bahwa wujud dari toleransi adalah kesediaan seseorang

yang bersabar terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang

dianggap berbeda, dapat disanggah, atau bahkan keliru.

5. Kerjasama

Abdillah (2001) menyatakan bahwa di dalam memaknai toleransi

beragama terdapat dua penafsiran tentang konsep ini. Pertama,

penafsiran yang bersifat negatif yang menyatakan bahwa toleransi

beragama itu cukup mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak

menyakiti orang atau kelompok lain baik yang berbeda maupun yang

sama. Kedua, penafsiran yang bersifat positif yaitu menyatakan bahwa

harus adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang lain

atau kelompok.

Sejalan dengan pendapat di atas, Al Munawar (2003) menyatakan

bahwa ada dua macam toleransi beragama, yakni toleransi statis dan

toleransi dinamis. Toleransi statis adalah toleransi dingin yang tidak

(38)

27

dinamis adalah toleransi aktif yang melahirkan kerja sama untuk tujuan

bersama, sehingga kerukunan antar umat beragama sebagai refleksi dari

kebersamaan umat beragama sebagai satu bangsa. Dengan demikian

dapat diperoleh pemahaman bahwa manifestasi dari toleransi beragama

adalah adanya kesediaan bekerjasama dengan pemeluk agama lain.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Toleransi

1. Kepribadian

Salah satu tipe kepribadian yang berpengaruh terhadap toleransi

adalah tipe kepribadian extrovert. Parkes (1986) menyatakan bahwa ciri

individu bertipe kepribadian extrovert adalah: bersifat sosial, santai,

aktif, dan cenderung optimis. Dengan ciri-ciri tersebut maka individu

dengan tipe kepribadian extrovert cenderung lebih bisa menjalin

hubungan dengan outgroup. Kecenderungan tersebut mengakibatkan

perasaan ingroup dan outgroupnya kurang berkembang.

2. Lingkungan Pendidikan

Menurut teori belajar sosial, toleransi diwariskan dari generasi

ke generasi melalui proses sosialisasi (Bukhori, 2010). Terdapat tiga

lingkungan pendidikan yang digunakan dalam proses sosialisasi

tesebut, yakni lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan

lingkungan masyarakat.

Di lingkungan keluarga, orangtua memainkan peran yang sangat

penting dalam membantu perkembangan toleransi pada anak.

(39)

28

mampu menangkap isyarat-isyarat non verbal yang dilakukan oleh

orangtua mereka ketika bereaksi terhadap individu di luar

kelompoknya, akibatnya jika orangtua toleran maka anak-anak tersebut

cenderung menjadi toleran. Sebaliknya jika orangtua intoleran maka

akan mengarahkan anak menjadi intoleran (Harding, Prochasky,

Kutner, & Cheno, dalam Lindzey & Aronson, 1985).

Di lingkungan pendidikan formal baik di sekolah maupun

kampus, seorang siswa/mahasiswa akan mendapatkan informasi yang

lebih akurat dan objektif tentang kelompok lain. Informasi tersebut

dapat diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap perilaku

kelompok lain.

Dengan pengamatan langsung tersebut siswa/mahasiswa dapat

memperoleh informasi tentang kelompok lain yang lebih akurat dan

objektif sehingga informasi yang bias dan stereotip yang dimiliki

sebelumnya dapat berubah.

Konsekuensinya toleransi mereka meningkat. Studi Bahari

(2010) menyimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat

menentukan dan memberi pengaruh terhadap pembentukan sikap,

penerimaan, tingkah laku, dan toleransi setiap mahasiswa terhadap

berbagai kemajemukan (etnis, organisasi, dan agama).

3. Kontak Antar Kelompok

(40)

29

Allport dalam Brown (1995) mengajukan suatu hipotesis yang

kemudian dikenal dengan contact hypothesis, yaitu suatu teori yang

menyatakan bahwa peningkatan kontak antar anggota berbagai

kelompok akan mengurangi intoleransi di antara kelompok tersebut.

Pettigrew (1997) menyatakan bahwa kontak dapat mengurangi

intoleransi dengan syarat: 1). Kelompok tersebut setara dalam hal

kedudukan sosial, ekonomi, dan status. 2). Situasi kontak harus

mendukung terjadinya kerjasama dan saling tergantung sehingga

mereka dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan yang disepakati. 3).

Bentuk kontak sebaiknya informal sehingga antar anggota dapat saling

mengenal sebagai individu dan bukan sebagai anggota kelompok

tertentu. 4). Ketika terjadi kontak, norma yang berlaku harus

menguntungkan berbagai pihak. 5). Interaksi antar kelompok harus

menjamin terjadinya diskonfirmasi tentang stereotip yang melekat pada

masing-masing kelompok.

4. Prasangka Sosial

Menurut Baron dan Byrne (2012) bahwa wujud dari ketiadaan

toleransi adalah hidupnya prasangka sosial antar kelompok dalam

kehidupan bermasyarakat. Prasangka sosial sendiri dapat diartikan

sebagai sebuah sikap yang biasanya bersifat negatif terhadap kelompok

agama, ras atau etnik tertentu, yang semata-mata didasarkan

(41)

30

Sebagai sebuah sikap prasangka juga melibatkan prasangka

negatif dan emosi pada individu yang menjadi target prasangka ketika

individu tersebut hadir ke dalam kelompok yang tidak disukai (Baron

dan Byrne, 2002). Artinya apabila sebuah sikap prasangka terhadap

kelompok lain itu muncul, maka apa saja yang dilakukan oleh target

prasangka benar maupun salah akan dianggap sebagai perbuatan yang

salah, maka yang terjadi adalah munculnya intoleransi terhadap

kelompok lain.

B. Prasangka Sosial

1. Pengertian Prasangka Sosial

Prasangka atau prejudice berasal dari l<ata Latin prejudicium, yang

pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagai berikut

(Soelaeman, 2005):

a. Semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan di ambil

atas dasar pengalaman masa lalu.

b. Dalam bahasa inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa

penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa atau tidak

matang.

c. Untuk mengatakan prasangka, dipersyaratkan pelibatan unsur

emosional (suka-tidak suka) dalam keputusan yang telah diambil

tersebut.

(42)

31

berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Prasangka

memang tidak selalu negatif, tetapi dalam kajian psikologi prasangka

positif jarang dipakai sebagai definisi dari prasagka.

Brown (2005) menyatakan bahwa prasangka seringkali

didefinisikan sebagai penilaian negatif yang salah atau tidak berdasar

mengenai anggota suatu kelompok, tetapi definisi semacam itu

menimbulkan kesulitan konseptual karena ada masalah pemastian apakah

penilaian sosial itu memang salah atau sekedar menyimpang dari

kenyataan. Sebagai gantinya, prasangka didefinisikan sebagai sikap,

emosi, atau perilaku negatif terhadap anggota suatu kelompok karena

keanggotaanya di kelompok tersebut.

Menurut Sears (1994) prasangka didefinisikan sebagai persepsi

orang tentang seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya

terhadap mereka. Newcom, dkk.(1985) mendefinisikan prasangka adalah

sikap yang tidak baik dan dapat dianggap sebagai suatu predisposisi untuk

mempersepsi, berfikir, merasa dan bertindak dengan caracara yang

“menentang” atau “mendekati” orang-orang lain, terutama sebagai

anggota-anggota kelompok.

Prasangka merupakan penilaian yang cenderung negatif terhadap

individu atau kelompok yang berbeda. Pada masyarakat Indonesia yang

penuh keanekaragaman, prasangka akan sangat potensial untuk meluas

menjadi masalah serius bagi keutuhan negara ini. Prasangka dapat muncul

(43)

32

orientasi dominasi sosial, sifat otoriter, identitas sosial, maupun agama.

Faktor agama yang disebutkan sebagai penyebab prasangka menarik untuk

diteliti, mengingat ajaran setiap agama justru mempromosikan nilai-nilai

kebaikan dan kemuliaan, termasuk tidak memiliki prasangka negatif

terhadap sesama manusia (Putra & Wongkaren, 2010).

Menurut Jones dalam Liliweri (2005) prasangka adalah sikap

antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan

tidak fleksibel. Kesalahan itu mungkin saja ditujukan kepada anggota

kelompok tertentu. Target prasangka akan dipandang negatif berdasarkan

perbandingan kelompoknya.

Effendy dalam Liliweri (2005) menungkapkan bahwa prasangka

merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi kegiatan

komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah

bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan

komunikasi. Dalam prasangka, kognitif mempercayai atau menyimpulkan

bahwa apa yang disampaikan oleh target prasangka pasti salah tanpa ada

dasar yang jelas. Contohnya dalam beragama ketika seseorang

berprasangka terhadap agama lain apapun yag dilakukan oleh agama lain

pasti dianggapnya salah.

Prasangka sosial menurut Manstead dan Hewstone (dalam Rahman

2002) didefinisikan sebagai “suatu keadaan yang berkaitan dengan sikap

(44)

33

anggota kelompok lain”. Awal mulanya prasangka hanya merupakan

sikap-sikap negatif, lambat laun akan memunculkan tindakan diskriminatif

pada target prasangka tanpa ada alasan yang objektif.

Sementara itu Brehm & Kassin (dalam Dayakisni dan Hudaniah,

2003) berpendapat bahwa prasangka adalah perasaan negatif yang

ditujukan terhadap seseorang berdasar semata-mata pada keang1Jotaan

mereka dalam kelompok tertentu. Kimbal Young (dalam Abu Ahmadi,

2000) menyatakan bahwa prasangka mempunyai ciri khas pertentangan

antara kelompok yang ditandai oleh kuatnya ingroup dan outgroup. Di

samping itu, Harding dkk, seperti yang dikutip Alex Sobur (2003),

mendefinisikan prnsangka sebagai sikap yang tidak toleran, tidak fair, atau

tidak favourable terhadap sekelompok orang.

Prasangka juga didasarkan pada pra-penilaian yang sering kali

merefleksikan evaluasi yang dilakukan sebelum tahu banyak tentang

karakteristik seseorang (Sears, dkk, 2009). Orang yang berprasangka

seringkali menilai terlebih dahulu sebelum mengetahui fakta yang objektif.

Prasangka sosial menurut Manstead dan Hewstone (dalam Rahman

2002) didefinisikan sebagai “suatu keadaan yang berkaitan dengan sikap

-sikap dan keyakinan-keyakinan yaitu ekspresi perasaan negatif,

penunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku diskriminatif terhadap

anggota kelompok lain”. Lebih lanjut Manstead dan Hewstone

menjelaskan prasangka sosial pada mulanya hanya merupakan sikap-sikap

(45)

34

tindakan yang diskriminatif terhadap orang orang yang termasuk golongan

yang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada

pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif. Prasangka

ini dapat bersumber dari dorongan sosiopsikologis, proses-proses kognitif,

dan pengaruh keadaan sosiokultural terhadap individu dan kelompoknya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan oleh penulis bahwa

prasangka adalah suatu sikap negatif yang ditujukan kepada seseorang

berkaitan dengan keanggotaannya pada suatu kelompok tertentu.

2. Aspek – Aspek Prasangka

Terdapat tiga aspek prasangka yang diungkapkan oleh Baron &

Byrne (2003), yaitu:

1. Kognitif

Prasangka merupakan sebuah sikap dan sikap seringkali

berfungsi sebagai karangka berfikir kognitf untuk mengorganisasi,

menginterpretasi, dan mengambil informasi. Maka ketika individu

berprasangka terhadap kelompok–kelompok tertentu cenderung

memproses informasi tentang kelompok ini secara berbeda dari cara

memproses informasi dari kelompok lain.

2. Afektif

Sebagai sebuah sikap, prasangka juga melibatkan perasaan

negatif atau emosi pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka

(46)

35

3. Konatif.

Ketika prasangka muncul maka individu cenderung untuk

berperilaku negatif terhadap target prasangka. Beberapa kecenderungan

diwujudkan dalam bentuk perilaku, maka perilaku tersebut berbentuk

diskriminasi terhadapa kelompok target prasangka.

Dari uraian diatas maka dapa diambil kesimpulan bahwa aspek–

aspek prasangka yaitu : 1). Kogntif, yakni proses penerimaan informasi

terhadap target prasanka, 2). Afektif, yakni perasaan negatif terhadap

objek prasangkan. 3). Konatif, yakni kecenderunan untuk berperilaku

negatif terhadap target yang dikenai prasangka.

3. Sumber-Sumber Prasangka

Prasangka memiliki berbagai fungsi, oleh karena itu prasangka

dapat ditinjau dengan menggunakan berbagai sumber. Sumber-sumber

prasangka terdiri dari sumber sosial, sumber kognitif dan sumber

emosional (Herek dalam Myers, 1999).

1. Sumber Sosial, meliputi : a. Perbedaan Sosial

Menurut Myers (1999), adanya perbedaan status antar kelompok

dapat menimbulkan prasangka. Stereotip disini dapat

merasionalisasikan status-status tersebut. Stereotip dapat menjadi

alasan dan penjelasan atas adanya perbedaan status antar kelompok

dalam masyarakat.

(47)

36

Setiap manusia mendefinisikan mereka berdasarkan kejompok

sosialnya Turner dan Tajfel dalm Myers (1999) menyatakan bahwa

manusia melakukan : (a) katagorisasi, yaitu pengelompokan

terhadap setiap individu kedalam kelompokkelompok serta

memberikan label kepada mereka berdasarkan

kelompok-kelompok tersebut. (b) identifikasi, yaitu proses dimana individu

mengasosiasikan diri mereka dengan kelompok-kelompoknya. (c)

komparasi, yaitu proses dimana individu membandingkan

kelompoknya dengan kelompok lain. Hal tersebut akan membagi

dunia individu menjadi dua katagori yang berbeda, yaitu dengan

orang lain yang satu kelompok dengannya (ingroup) dan orang lain

yang berbeda kelompok dengannya (outgroup). lngroup

didefinisikan sebagai kelompok individu yang memiliki rasa saling

memiliki dan suatu perasaan yang sama mengenai identitas

mereka, sedangkan outgroup didefinisikan sebagai kelompok

individu yang dipersepsikan secara nyata berbeda atau terpisah

dengan ingroup (Myers, 1999).

c. Konformitas

Menurut Fieldman (1995) konformitas adalah perubahan tingkah

laku individu karena adanya keinginan untuk mengikuti keyakinan

dan standar orang lain. Ketika prasangka diterima secara sosial,

(48)

37

lingkungan mereka. Prasangka gender adalah salah satu contoh

prasangka yang banyak dipertahankan berdasarkan konformitas.

d. Dukungan lnstitusi (Institutional Support)

Media komunikasi sebagai salah satu institusi, baik cetak maupun

elektronik merupakan sumber yang sangat berpengaruh dalam

berkembangnya prasangka. lndividu yang mendapatkan informasi

mengenai kelompok minoritas melalui media akan memiliki

pandangan sebatas pada gambaran yang diberikan oleh media

tersebut. Manusia cenderung untuk mempercayai atau menilai

benar terhadap sesuatu jika mereka mendapatkan informasi

tersebut melalui media.

2. Sumber Emosional

a. Frustasi dan Agresi

Penelitian menyebutkan bahwa orang-orang yang berada dalam

mood yang tidak menyenangkan akan bertingkah laku lebih negatif

pada kelompok-kelompok lain (Esses & Zanna, 1995 dalam Myers,

1999). Salah satu sumber frustasi adalah kompetisi. Dalam

Realistic group conflict theory dijelaskan bahwa prasangka muncul

ketika kelompok berkompetisi untuk sumber yang langka.

b. Personality Dynamic

Kebutuhan akan status dan belonging : prasangka lebih sering

terjadi pada mereka yang memiliki status sosial ekonomi rendah

(49)

38

3. Sumber Kognitif a. Kategorisasi

Kategorisasi sosial merupakan suatu cara dalam menyederhanakan

dunia sosial dengan mengelompokan berbagai hal yang ada

kedalam suatu kelompok tertentu berdasarkan kesamaan atau

karakteristik yang sama. Lebih lanjut Feldman (1998) menjelaskan

proses kategori sosial dapat menimbulkan beberapa kesalahan

dalam melakukan persepsi sosial adalah outgroup homogenity bias,

yaitu persepsi individu bahwa anggota-anggota yang berada pada

kelompok outgroup bersifat homogen atau memiliki tingkat

variabilitas yang rendah.

b. Stimulus Khusus

Menurut Baron & Byrne (2003) menyatakan bahwa individu yang

berbeda dari individu lainnya serta berbagai kejadian -kejadian

yang tidak biasanya akan menarik perhatian atau mengubah

pendapat orang lain. Hal ini terjadi karena ketika seseorang terlihat

menonjol didalam suatu kelompok maka ia akan cenderung

dipandang sebagai penyebab dari berbagai hal yang terjadi(Taylor

& Fiske, 1978 dalam Myers, 1999). Seseorang yang lebih menonjol

tersebut terkadang juga mengetahui bahwa orang-orang

disekeliling mereka bereaksi terhadap perbedaan yang dimilikinya.

(50)

39

dari orang lain, komentar yang tidak sensitif, serta adanya

perlakuan yang buruk (Swim & Others, 1998 dalam Myers, 1999).

c. Atribusi

Menurut Feldman dalam Myers (1999) individu yang berprasangka

secara sistematik akan menyelewengkan atribusi mereka terhadap

target prasangkanya dengan membuat atribusi yang

mernyenangkan mengenai kelompok mereka (mayoritas) dan

membuat atribusi tidak menyenagkan terhadap anggota minoritas

(yang diprasangkai). lndividu sering membuat fundamental

attribution error, yaitu kecenderungan individu mengatribusikan

perilaku orang lain pada disposisi mereka dan mengabaikan faktor

situasional.Hal yang berprasangka lebih terfokus pada individu

yang diprasangkai daripada faktor situasi (Myers, 1999).

d. Stereotip

Definisi stereotip rnenurut Lippman dan Nelson dalarn Myers

(1999) adalah kecenderungan seseorang untuk rnenganggap orang

lain atau sesuatu secara sarna (rnerniliki atribut yang sarna)

berdasarkan persarnaan ciri yang terdapat pada setiap anggota.

Menurut Baron & Byrne dalarn Myers (1999) stereotip dapat

berbentuk positif maupun negatif. Lebih lanjut stereotip negatif

menurut Vaughn & Hoog dalam Gerungan (2000) merupakan

proses sentral dari prasangka dan diskriminasi. Lapore & Brown

(51)

40

hubungan antara stereotip dengan prasangka. Prasangka ini tidak

digunakan sejak lahir, prasangka ini terbentuk selama manusia

berkembang, baik dengan cara didikan ataupun dengan cara

identifikasi dengan orang lain yang sudah berprasangka.

Dari uraian diatas dapat di peroleh kesimpulan bahwa

prasangka mempunyai fungsi heuristic (jalan pintas), yaitu

langsung menilai sesuatu tanpa memprosesnya secara terinci dalam

alam pikiran (kognisi) individu. Dari berbagai sumber prasangka

yang diuraikan diatas juga dapat diketahui bahwa manusia

merupakan makhluk yang bisa berprasangka terhadap apapun dan

manusia cenderung mendefinisikan diri mereka berdasarkan

kelompok sosialnya, jadi, ketika prasangka itu diterima secara

sosial, maka orang lain cenderung menerima apa yang diterima

oleh lingkungan mereka.

4. Faktor – Faktor peneyebab Prasangka

Ahmadi (2007) berpendapat bahaw orang tidak begitu saja secara

otomatis.tetapi ada faktor – faktor tertentu yang menyebabkan prasangka.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi prasangka yaitu :

1. Orang berprasangka dalam ranka mencari kambng hitam. Dalam

berusaha, sesorang mengalami kegagalan atau kelemahan. Sebab dari

kegagalan itu tidak dicari dalam dirinya sendiri tetapi pada orang lain.

(52)

41

3. Prasangka timbul karena adanya perbedaan, di mad=na perbedaan ini

menimbulkan perasaan superior. Perbedaan di sini bisa meliputi

perbedaan fisik, lingkungan, kekayaan, satatus sosia, agama, norma

sosial.

4. Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman

yang tidak menyenangkan.

5. Prasangka timbul karena adanya anggapan yang sudah menjadi

pendapat umum atau kebiasaan di dalam lingkungan tertentu.

C. Hubungan Antara Prasangka Sosial Dengan Toleransi Beragama

Untuk menjelaskan keterkaitan antar variable, berikut ini akan

dijelaskan kajian teori tentang faktor-faktor yang mempengaruhi toleransi.

Dalam perspektif psikologi diketahui bahwa toleransi dan intoleransi adalah

karakteristik mental yang merupakan bagian dari perilaku manusia (behavior).

Ia adalah sikap individu yang muncul ketika ia berhadapan dengan sejumlah

perbedaan dan bahkan pertentangan, baik di tingkat sikap, pandangan,

keyakinan dan juga tindakan, yang tumbuh di tengah masyarakat (Mujani, dkk

2005).

Menurut Baron & Byrne (2003) prasangka adalah sebuah sikap negatif

terhadapa anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka

dalam kelompok tersebut. Sebagai suatu sikap prasangka akan mempengaruhi

prilaku individu. Sejalan dengan konsep yang dikemukakan Tulus bahwa

perilaku merupakan cerminan kongkrit yang tampak dalam sikap, perbuatan,

(53)

42

lingkungan (Suharyat, 2009). Artinya antara sikap dan perilaku ada kesamaan

oleh karena itu psikolog sosial seperti Morgan dan King mengatakan bahwa

antara sikap dan perilaku adalah konsisten (Suharyat, 2009). Artinya, sikap dan

perilaku intoleran misalnya, bisa dikatakan muncul dari apa yang dipikirkan,

dirasakan, dan kemudian diperbuat seseorang terhadap orang lain yang

mungkin berbeda dengan dirinya, salah satunya disebabkan adanya prasangka

(prejudice).

Penelitian yang dilakukan oleh Adelina (2017) dalam hasil

penelitian-nya mengungkapan bahwa prasangka mempupenelitian-nyai hubungan yang positif dan

signifikan dengan intensitas melakukan diskriminasi. Sejalan dengan asumsi

yang dikemukakan Allport bahwa biasanya perilaku direfleksikan dalam

tingkah laku yang tampak (Baron dan Byrne, 2003). Artinya prasangka sebagai

sebuah sikap akan mempengaruhi cara individu berprilaku terhadap kelompok

lain.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku toleran atau

intoleran terhadap kelompok lain dalam kasus ini terhadap agama dipengaruhi

oleh sikap yang spesifik yaitu prasangka sosial.

D. Landasan Teoritis

Menurut Tajfel dan Turner (2004), dalam kehidupan, individu selalu

akan mengindentifikasikan dan mendefinisikan diri berdasarkan kelompok

sosialnya. Untuk sampai pada identifikasi dan definisi diri itu, tentunya ada

(54)

43

dilakukan manusia dalam proses itu, yaitu: (1) kategorisasi; (2) identifikasi;

dan (3) membandingkan.

Dalam kategorisasi sosial, manusia menyederhanakan dunia sosial

dengan menggolong-golongkan berbagai hal yang dianggap mempunyai

karakteristik yang sama ke dalam suatu kelompok tertentu. Beberapa di antara

pengelompokan sosial yang paling sering dilakukan adalah ras, etnik, agama,

dan status sosial, atau tidak tertutup kemungkinan bahwa orang melakukan

pengelompokan sosial berdasarkan hal-hal lain. Selanjutnya, individu akan

memasukkan dirinya ke dalam salah satu kelompok yang sudah

diimajinasikannya sendiri, misalnya aku orang Jawa, aku muslim, atau aku

murid STM. Dengan demikian, definisi sosial mengenai siapa dirinya, seperti

etnik, agama, jenis kelamin, dan golongan sosial, serta pendidikan juga berarti

mencakup siapa yang bukan dirinya. Hal ini kemudian dapat menciptakan

munculnya persepsi ingroup-outgroup dalam perilaku kelompok.

Selanjutnya, membandingkan adalah bahwa anggota ingroup selalu

akan memandang kelompoknya sendiri lebih menyenangkan, lebih baik, dan

lebih positif dibanding anggota outgroup yang hampir selalu dipandang secara

lebih negatif. Selanjutnya, ketika individu berada dalam ingroup-nya, mereka

mempersep

Gambar

Gambar 1. Hubungan Antar Variabel ........................................................................
  Gambar 1 Hubungan Antar Variabel
Table 1  Kategori Jawaban Skala Likert
Tabel 2  Blue Print Skala Prasangka Sosial Try Out
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis ketuntasan klasikal siswa pada setiap siklus dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat dilihat dari hasil belajar IPS

Berdasarkan hasil tersebut juga dapat dipahami bahwa korelasinya bersifat positif sehingga menunjukkan adanya hubungan yang searah, artinya semakin tinggi persepsi terhadap

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi atas dukungan guru dengan school engagement pada siswa ini juga sejalan dengan hasil

Komuninaksi electronic Word of Mouth merupakan pernyataan positif maupun negatif yang terbentuk dari adanya opini konsumen, calon konsumen, maupun mantan konsumen

Berdasarkan penelusuran yang terdapat pada literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian, hal ini penulis akan menemukan beberapa buku yang sangat relevansi

diperoleh p=0,399 yang berarti tidak ada hubungan antara beban kerja fisik dengan kebugaran jasmani pada karyawan konstruksi Jasmani. karyawan

Jurnal “Kajian Hasil Penelitian Hukum”, Vol. Dalam perkara tersebut terdakwa Supardiyo tidak menikmati secara pribadi atas hasil perbuatannya, Terdakwa adalah pensiunan PNS

Kenaikan BOPO dan NPF pada tahun 2012-2013 tidak membuat jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh bank umum syariah menurunkan.Begitu pula dengan inflasi, nilai