IMPLEMENTASI PEMIKIRAN AZ-ZARNUJI TENTANG AKHLAK PESERTA DIDIK TERHADAP GURU DI MA TARBIYATUT
THOLABAH KRANJI PACIRAN LAMONGAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Negeri Islam Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu Pendidikan Islam Oleh :
SEPTA ANDRIAWAN NIM. D01212095
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
ABSTRAK
SEPTA ANDRIAWAN.Implementasi Pemikiran Az-Zarnuji Tentang Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru di MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan. Surabaya: Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.
Latar belakang penelitian ini adalah pentingnya menjaga hubungan antara peserta didik terhadap guru dan menuntut peserta didik agar senantiasa menjaga akhlaknya ketika berhubungan dengan seorang guru. Dengan senantiasa menjaga akhlaknya, peserta didik akan semakin terhindar dari perbuatan yang menimbulkan sakit hati atau marah seorang guru. kemanfaatan ilmu yang diterima peserta didik dari seorang guru juga bergantung dari bagaimana peserta didik itu menjaga hati guru.
Dalam menjaga akhlak peserta didik, Syekh BurhanuddinAz-Zarnuji di dalam karya beliau yang berjudul Ta’lim al-Muta’allim telah memberikan pedoman kepada peserta didik tentang bagaimana seharusnya akhlak peserta didik terhadap guru. Pemikiran Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap guru ini juga masih banyak diterapkan atau diimplementasikan di beberapa sekolah yang berada di dalam lembaga yayasan pondok pesantren terutama di pondok pesantren salaf, salah satunya adalah sekolah MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan yang berada di dalam lembaga Yayasan Pondok Pesantren TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi pemikiran Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap guru di MA TarbiyatutTholabahKranji ini dilakukan dengan cara mengadopsi pemikiran Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap guru ke dalam tata tertib dan peraturan sekolah di MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan.
ABSTRACT
SEPTA Andriawan. Implementation of Az-Zarnuji Thinking About Moral of Students Against Master in MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan. Surabaya: Department of Islamic Education and Teacher Training Faculty of MT UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.
The background of this study is the importance of maintaining the relationship between the teacher and the learner requires learners to always keep her virtues when dealing with a teacher. By continuing to maintain moral, learners will increasingly avoid actions that might provoke or upset the teacher. received benefit science students of a teacher also depend on how learners that keep the heart of teachers.
In keeping with the character of learners, Sheikh BurhanuddinAz-Zarnuji in his work entitled Ta'lim al-Muta'allim has been providing guidance to students on how to morals students against teachers. Thought Az-Zarnuji aboutmoral learners to teachers was also still widely applied or implemented in several schools in the institute foundation boarding school, especially in boarding old schools, one of which is the school MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan inside the institution Foundation Pondok Pesantren TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan.
The results of this study indicate that the implementation of thinking Az-Zarnuji about moral learners to teachers in MA TarbiyatutTholabahKranji is done by adopting the thought Az-Zarnuji about moral learners to teachers into the rules and regulations of the school in MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii
PERNYATAAN KEABSAHAN ... iv
PERNYATAAN PUBLIKASI ... v
ABSTRAK ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Kegunaan Penelitian ... 9
E. Penelitian Terdahulu ... 10
F. Definisi Operasional ... 12
G. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II: KAJIAN TEORI ... 21
A. Konsep Umum Pemikiran Syekh Az-Zarnuji ... 21
B. Pemikiran Az-Zarnuji Tentang Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru ... 28
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 36
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 37
B. Jenis dan Sumber Data ... 40
C. Kehadiran Peneliti ... 43
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 44
E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 48
F. Teknik Analisis Data ... 51
BAB IV: TEMUAN DAN ANALISIS DATA ... 57
A. Temuan Data ... 57
B. Analisis Data ... 67
BAB V: PENUTUP ... 115
A. Kesimpulan ... 115
B. Saran ... 116
C. Kata Penutup ... 117
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan secara teori mengandung pengertian “memberi makan”
(Opvoending) kepada peserta didik sehingga mendapatkan kepuasan
rohaniyah, yang juga diterjemahkan dengan “menumbuhkan” fitrah atau
kemampuan dasar manusia.1 Pemberian makan itu yang dimaksudkan adalah
pemberian makanan pada akal dan hati peserta didik dengan cara pengajaran
yang diberikan oleh seorang pendidik dalam proses belajar mengajar.
Dari konteks di atas, dapat diketahui bahwa dalam dunia pendidikan ada
seseorang yang “memberi makan” dan ada yang “diberi makan”. Maksudnya
di dalam suatu dunia pendidikan, tidak dapat dihilangkan adanya guru dan
adanya peserta didik. Baik yang terjadi di dalam dunia pendidikan yang
terjadi pada masa pra modern maupun masa modern saat ini, karena
pendidikan itu sendiri merupakan suatu proses antara seorang guru dengan
seorang murid.
Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal.
Pendidikan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia yang tidak dapat
diganti dengan yang lain. Oleh karenanya, pendidikan merupakan suatu
kegiatan yang menjadi keharusan untuk dilaksanakan oleh pribadi seseorang.
Tujuan pendidikan itu sendiri setidaknya membentuk pribadi seorang
peserta didik menjadi pribadi yang berkualitas baik jasmani dan rohani.
Dengan demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis
dalam membentuk anak didik menjadi manusia yang berkualitas, tidak saja
berkualitas dari aspek kognitif, tetapi juga aspek spiritual.2 Tujuan pendidikan
secara lebih jelasnya adalah membentuk pribadi yang berwatak, bermartabat,
beriman, dan bertakwa, serta beretika.3
Kesempurnaan akhlak peserta didik dapat diajarkan melalui pengajaran
secara teori di lingkungan pendidikan. Kemudian ditunjang dengan
pembiasaan para peserta didiknya untuk melakukan akhlak yang baik di
lingkungan pendidikan. Karena keberhasilan pendidikan akhlak peserta didik
terhadap masyarakat dimulai dari pendidikan akhlak peserta didik di
lingkungan pendidikan.
Untuk mencapai suatu tujuan pendidikan, maka hubungan antara seorang
pelajar dengan seorang guru harus terjaga dengan baik. Akhlak seorang
pelajar kepada guru harus tertata dengan baik karena guru selain sebagai ahli
ilmu, guru juga merupakan sumber ilmu tempat di mana seorang murid
memperoleh suatu ilmu dan pengajaran.
Di dalam dunia pendidikan islam, telah banyak diajarkan akhlak seorang
murid atau pelajar kepada seorang guru. Karena dunia pendidikan islam
sangat mementingkan pendidikan akhlak kepada peserta didiknya. Oleh
karena itu, pendidikan islam sangat menekankan peserta didiknya untuk
menghormati sumber ilmu. Sedangkan sumber ilmu itu termasuk seorang
pendidik atau seorang guru itu sendiri.
Pendidikan Islam memberikan pengajaran kepada peserta didiknya tidak
hanya dalam aspek teori saja, namun juga memberikan pengajaran untuk
mengamalkan apa yang telah diketahui oleh peserta didiknya. Tujuan akhir
dari pendidikan Islam adalah menjadikan peserta didiknya menjadi Insan
Kamil. Keberhasilan pendidikan Islam dapat dilihat dari akhlak keseharian
para peserta didiknya. Sebab, Nabi Muhammad SAW diutus di dunia sebagai
penyempurna akhlak para manusia.
ميظع قلخ ىلعل كَوِإ َو
Artinya:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
(QS. al-Qalam: 4)
لوسر نأ غلب دق وأ كلام ه ع يىثدح .قاخأا ه سح ممتأ تثعب :لاق ملسو يلع ه ىلص ه
)سوأ ه ع كلام ياور( 4
Artinya:
“menceritakan kepadaku dari Malik bahwasanya benar-benar sampai
kepadanya (sebuah riwayat) sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: aku
diutus untuk memperbaiki kemuliaan akhlak.” (H.R. Malik bin Anas dari
Anas bin Malik).
Seorang Pelajar tidak akan mendapat kesuksesan ilmu pengetahuan dan
tidak akan mendapat kemanfaatan dari ilmu pengetahuan yang dimilikinya,
selain jika mau mengagungkan ilmu pengetahuan itu sendiri, menghormati
ahli ilmu dan mengagungkan guru. Ada diterangkan, bahwa seseorang akan
4 Imam Jalaludin Abdurrahman AS-Suyuti, Kitab Muwaththo’, (Beirut: Dar
mencapai sesuatu kesuksesan kalau dia sendiri mau mengagungkan sesuatu
yang dicarinya, demikian pula kegagalan seseorang lantaran tidak mau
mengagungkan sesuatu yang sedang dicarinya.5
Seorang pelajar atau peserta didik dalam proses pencarian ilmunya, tidak
akan pernah bisa dilepaskan dengan adanya guru yang memberikan
pengarahan dalam proses pencariannya. Jadi wajiblah bagi para peserta didik
menjaga akhlaknya terhadap pengajar atau guru yang telah memberikan
bimbingan kepadanya selama proses pencarian ilmunya. Karena ridho
seorang guru sangatlah berpengaruh terhadap kemanfaatan ilmu peserta didik.
Peserta didik harus sangatlah berhati-hati dalam menjaga hubungannya
dengan gurunya. Baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hati
seorang guru ibarat sebuah rumah yang sangat rapuh dan harus sangat dijaga
oleh seorang peserta didik. Ilmu ibarat pedang yang tumpul, sedangkan ridlo
guru ibarat alat untuk mempertajam pedang itu. Jika seorang peserta didik
tidak mendapatkan ridlo dari gurunya atas ilmu yang telah diajarkannya,
maka ilmu itu ibarat pedang yang tumpul dan sangat sukar untuk
dimanfaatkan.
Seorang pelajar juga harus menjaga hubungannya dengan gurunya dengan
tanpa adanya sebuah kontradiksi dengan gurunya. Dikatakan dalam
terjemahan kitab Risalah Qusyairiyah bahwa seorang pelajar tidak boleh ada
suatu ganjalan kontradiksi terhadap gurunya. Bila dalam benaknya terdapat
persepsi bahwa dirinya lebih baik daripada gurunya baik dari segi dunia
5 A Mudjab Mahali, Pembinaan Moral Di Mata Al-Ghozali, (Yogyakarta: BPFE, 1984),
maupun akhirat, maka cita-cita dari seorang pelajar tersebut sudah rusak atau
dalam artian seorang pelajar tersebut telah gagal dalam meraih kemanfaatan
dari ilmu yang didapatkannya.6
Nabi Muhammad SAW bersabda:7
اور بيطخلا جرخأو ي
يوصعتاو لقاعلا اودشرتسا :)اعوفرم( ه يضر ةرير يبأ ه ع كلام ة
اومدىتف Artinya:
“Al-Khatib mentakhrij Hadits marfu’ dalam periwayatan Malik dari Abu Hurairah R.A: mintalah petunjuk dari cendekiawan yang cerdik, maka kamu akan benar, dan jangan kamu menyelisihi, maka kamu akan menyesal.”
Pendidikan akhlak peserta didik terhadap seorang guru harus benar-benar
diajarkan sedetail mungkin. Karena kedudukan seorang guru sama halnya
dengan kedudukan orang tua peserta didik. Guru merupakan orang tua kedua
setelah orang tua dari peserta didik. Jadi jangan sampai ada kontradiksi hati
sedikitpun yang terjadi antara peserta didik dengan seorang guru. Bahkan,
sepandai-pandainya peserta didik jangan sampai mempunyai prasangka
bahwa dirinya lebih pandai daripada gurunya meskipun secara ukuran dirinya
memang kepandaiannya telah melampaui kepandaian gurunya. Karena
prasangka itu merupakan sikap yang tidak mencerminkan akhlak yang terpuji
terhadap seorang guru.
Oleh sebab itu, pendidikan Islam lebih banyak ditujukan kepada perbaikan
sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan
6 Muhammad Luqman Hakiem, Terjemahan Risalah Qusyairiyah, (Surabaya: Risalah
Gusti, 2006), h. 477
7 Imam Hafidz Zain Din „Abd Rauf Manawi, Tafsir bi Syarkhi
diri sendiri maupun orang lain. di segi lainnya, pendidikan Islam tidak hanya
bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan
antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu pendidikan Islam merupakan
pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan karena itu pendidikan Islam berisi
tentang pendidikan sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju
kesejahteraan kehidupan pribadi dan bersama, maka pendidikan Islam adalah
pendidikan individu dan masyarakat. dengan demikian pendidikan Islam itu
adalah pembentukan kepribadian Muslim yang intelektual.8
Di era modern sekarang ini, banyak sekali sekolah yang mengedepankan
pendidikan intelektual peserta didiknya dan melupakan pendidikan akhlak
peserta didiknya. Terlebih lagi pendidikan akhlak peserta didik kepada
gurunya sendiri. Sebab guru merupakan subyek pokok dalam mencapai
tujuan pendidikan. Jadi akhlak peserta didik kepada gurunya harus selalu
terjaga selama pendidikan berlangsung maupun ketika di luar lingkungan
pendidikan.
Banyak peserta didik yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi,
namun meninggalkan sikap hormatnya kepada guru yang telah memberikan
pendidikan kepadanya. Sehingga tujuan dari pendidikan yang telah dicapai
oleh lembaga pendidikan tersebut hanya sampai pada tujuan akal atau
kecerdasan intelektual peseta didiknya saja.
Dunia pendidikan islam telah mengetahui bahwa akhlak seorang pelajar
terhadap seorang guru tidak akan tertata dengan benar tanpa adanya sebuah
pengajaran yang akan menjadi sebuah pedoman bagi seorang murid agar tetap
bisa menjaga akhlak atau adabnya kepada gurunya. Oleh karenanya, para
ulama islam yang ahli dalam dunia pendidikan islam maupun pendidikan
akhlak telah banyak mengajarkan dan menuliskan pedoman bagi para peserta
didik agar senantiasa berpedoman dalam menjaga sikap dan akhlaknya
terhadap gurunya. Agar selama jalannya peserta didik mencari ilmu selalu
mendapatkan kemanfaatan dari ilmu yang dia dapat dari gurunya. Salah satu
ulama‟ yang telah memberikan pengajaran tentang pendidikan akhlak peserta
didik kepada gurunya adalah Imam Az-Zarnuji.
Di dalam karangan beliau yang berjudul Ta’lim al-Muta’allim Fashl Fii
Ta’dhimil Ilmi wa Ahlihi beliau memberikan kita pengajaran bagaimana
mendidik peserta didik agar memiliki akhlak yang baik terhadap guru yang
memberikan pendidikan kepadanya. Oleh karena itu, ajaran beliau yang
berkenaan dengan pendidikan akhlak seorang peserta didik terhadap
pendidiknya banyak sekali diajarkan diberbagai sekolah-sekolah terutama di
lingkungan sekolah yang ada di pondok pesantren. Salah satu dari sekolah itu
adalah sekolah MA Tarbiyatut Tholabah yang berada di lingkungan pondok
pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan.
MA Tarbiyatut Tholabah merupakan sekolah swasta yang berada di
lingkungan pondok pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji, menjadikan
sekolah ini mempunyai visi dan misi ala pesantren yang mengutamakan
pendidikan akhlak yang baik kepada para peserta didiknya serta menjadikan
Di dalam penerapan pendidikan akhlak di sekolah ini tidaklah dilakukan
dengan tanpa adanya kendala. Status sekolah yang berada di lingkungan
pondok pesantren menjadikan mayoritas para peserta didiknya selain
menjalani program pendidikan di sekolahan tersebut juga mendalami program
pendidikan di lingkungan pondok pesantren. Dengan artian para peserta
didiknya mayoritas merupakan para peserta didik dari lingkungan luar yang
bermacam-macam keadaannya. Hal itu pula yang menjadikan para peserta
didik membutuhkan pembiasaan yang berbeda-beda tingkat kesulitannya
untuk membiasakan diri berakhlak dengan baik di lingkungan yang baru bagi
mereka. MA Tarbiyatut Tholabah mencoba mendidik akhlak para peserta
didiknya dengan berbagai cara dan metode dengan harapan para peserta
didiknya tidak hanya mempunyai pengetahuan secara intelektual yang luas
namun juga para peserta didiknya mempunyai moral dan akhlak yang mulia
di tengah masyarakatnya dan di tengah zaman yang modern ini.
Dari paparan latar belakang diatas, maka dari itu, penulis memberikan
judul skripsi ini dengan judul “Implementasi Pemikiran Az-Zarnuji Tentang
Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru Di MA Tarbiyatut Tholabah Kranji
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran Imam az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik
terhadap guru ?
2. Bagaimana implementasi pemikiran Imam az-Zarnuji tentang akhlak
peserta didik terhadap gurunya di MA Tarbiyatut Tholabah Kranji
Paciran Lamongan dalam mengikuti konsep Imam Az-Zarnuji?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pemikiran Imam Az-Zarnuji tentang akhlak peserta
didik terhadap guru.
2. Untuk mengetahui implementasi pemikiran Imam Az-Zarnuji tentang
pendidikan akhlak peserta didik terhadap gurunya di MA Tarbiyatut
Tholabah Kranji Paciran Lamongan.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis.
1. Secara teoritis
Menambah khazanah ilmu pengetahuan dan memperdalam teori
pendidikan Islam yang berhubungan dengan kajian pesantren dalam
menanamkan akhlak mulia. Serta sebagai sumber informasi yang dapat
digunakan untuk referensi penelitian-penelitian berikutnya yang masih
berhubungan dengan topik penelitian ini.
a. Bagi penulis, diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
menambah wawasan penulis tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan kontribusi pendidikan akhlak peserta didik terhadap
gurunya, khususnya dalam menanamkan akhlak mulia peserta
didik terhadap gurunya menurut perspektif Imam Az-Zarnuji di
MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan.
b. Bagi lembaga pendidikan, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam
menanamkan akhlak peserta didik terhadap gurunya secara efektif
dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan yang maksimal demi
kemajuan bangsa.
Bagi pihak lain yang membaca tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat
dalam memberikan informasi dan pengetahuan mengenai kontribusi
pendidikan Islam menurut Imam Az-Zarnuji dalam menanamkan akhlak
mulia peserta didik terhadap gurunya, ataupun sebagai bahan kajian lebih
lanjut bagi peneliti berikutnya.
E. Penelitian Terdahulu
Pada dasarnya segala sesuatu yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang
baru, melainkan sesuatu yang telah ada sejak dulu. Begitu pula dengan
penelitian yang dilakukan saat ini bukanlah penelitian yang murni baru,
Sehingga penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang
akan dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, penelitian yang berjudul Konsep Pemikiran Burhanuddin
Az-Zarnuji dalam Pendidikan Modern, metode yang digunakan Az-Zarnuji ini
merupakan jalan yang harus ditempuh dan dilaksanakan bagi setiap orang
yang mencari ilmu sehingga dapat sukses dan berhasil dengan baik. Metode
yang dikemukakannya ini memang lebih mengedepankan faktor
pertimbangan spiritual yang dalam. Konsep Az-Zarnuji tentang etika belajar
yang harus dilakukan oleh siswa ini sebenarnya merupakan tuntunan agama,
sehingga dalam keterangannya tentang etika belajar ini Az-Zarnuji lebih
banyak mengutip hadits Nabi. Aplikasi metode dan etika belajar ini dalam
konteks pendidikan modern sangatlah relevan untuk diterapkan seluruhnya
apalagi terhadap pendidikan Islam.
Kedua, penelitian skripsi dengan judul “Studi Komparasi Pendidikan
Menurut Az Zarnuji dan Paulo Ferre“. Skripsi ini menjelaskan tentang dua
konsep pendidikan yang berbeda dari dua tokoh yang berbeda pula
Az-Zarnuji dan Paulo Ferre. Menurut Az-Az-Zarnuji unsur pertama yang dimiliki
oleh peserta didik yang hendak menuntut ilmu adalah dengan bertujuan
mencari ridha Allah SWT, mencari kebahagiaan akhirat, memerangi
kebodohan diri sendiri dan kebodohan para kaum yang bodoh, serta
mengangkat harkat dan derajat agama. Sedangkan menurut Paulo Ferre
pendidikan bertujuan untuk pembebasan manusia dari kebodohan dan situasi
berusaha mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk humanisasi diri dan
sesama, yaitu melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Dalam hal ini
persamaan diantara keduanya adalah konsep yang ditawarkan oleh Zarnuji
dan Ferre bisa dikatakan sebagai representasi pendidikan Islam dan Barat atau
pendidikan tradisional dan modern.
Ketiga, skripsi yang berjudul “Syarat Belajar Menurut Shaikh Az-Zarnuji
dan Menurut Hadits Nabi Muhammad SAW”. Skripsi ini menjelaskan bahwa
peserta didik harus menempuh enam persyaratan dalam mencari ilmu
menurut pemikiran Az-Zarnuji dan dan menurut Hadits Nabi Muhammad
SAW. yaitu: cerdas, semangat, sabar, biaya, petunjuk guru dan waktu yang
lama.
Selain dari ketiga penelitian terdahulu di atas, masih banyak lagi penelitian
yang berhubungan dengan skripsi penulis ini. Namun, karena keterbatasan
penulis, sehingga penulis hanya mencantumkan sebagian kecil dari jumlah
penelitian yang terdahulu.
F. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah hasil dari operasionalisasi. Menurut Black dan
Champion untuk membuat definisi operasional adalah dengan memberi
makna pada suatu variabel dengan menetapkan “operasi” atau kegiatan yang
diperlukan untuk mengukur variabel tersebut.9
9 James A. Black dan Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial,
Untuk lebih memperjelas dan mempermudah pemahaman dan
menghindari kesalahpahaman, maka peneliti akan menegaskan definisi
operasional variabel-variabel penelitian ini sebagai berikut:
1. Implementasi
Secara bahasa kata implementasi berarti melaksanakan, menerapkan.10
Maksud dari “implementasi” di dalam judul skripsi ini adalah bagaimana cara
menerapkan suatu hal, atau seperti apakah penerapannya atau
pelaksanaannya.
2. Akhlak
Secara bahasa akhlak berarti budi pekerti, kelakuan, pendidikan.11
Sedangkan secara definisi kata ”akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari
kata “khuluqun” yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah
laku atau tabiat.12 Sedangkan secara istilah beberapa ilmuwan memberikan
berbagai definisi yang berbeda-beda. Namun secara kesimpulan definisi
akhlak memiliki pengertian kehendak jiwa yang menimbulkan perbuatan
dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran
terlebih dahulu.13 Imam Al-Ghozali memberikan pengertian akhlak dengan
suatu ibarat tentang keadaan jiwa yang menetap pada suatu hal yang tidak
memerlukan pemikiran atau penelitian.14
10 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 186
11 Ibid., h. 20
12 Mushtofa, Akhlak Tashawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 11 13 Ibid., h. 14
Dengan demikian akhlak merupakan jiwa yang menetap pada suatu
perbuatan yang tidak perlu lagi memerlukan pemikiran atau pertimbangan
untuk melakukan perbuatan itu.
Ada istilah lain yang lazim digunakan di samping kata akhlak ialah apa
yang disebut Etika. Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari
kata latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti juga adat
atau cara hidup.15
Namun kata akhlak ini pengertiannya lebih luas daripada etika dan moral
karena akhlak meliputi segi-segi kejiwaan dari batiniah dan lahiriyah
seseorang.16
Antara etika dan akhlak sama-sama memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah sama-sama membahas masalah baik dan buruknya
tingkah manusia sehingga akhlak sering disebut dengan etika Islam.
sedangkan dari segi perbedaannya adalah etika bertitik dari akal pikiran,
sedangkan akhlak berdasarkan ajaran Allah dan Rasulnya.17
Akhlak juga dikenal dengan istilah moral yang memiliki pengertian
sesuatu yang sesuai dengan ide-ide umum tentang tindakan manusia, yang
baik dan wajar, sesuai dengan ukuran tindakan yang diterima umum, meliputi
kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Dengan demikian, jelaslah
persamaan antara etika, moral, dan akhlak. Namun, ada pula perbedaan di
15 Akmal Hawi, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), h. 49
16 A. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2: Mu'amalah dan Akhlak, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 1999), h. 73.
antara ketiganya. Yakni, etika merupakan teori yang bertitik dari ide-ide
sedangkan akhlak merupakan dari ajaran Allah SWT dan Rasulnya,
sedangkan moral lebih bersifat praktis.18
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan tentang pengertian akhlak,
yaitu tindakan yang dilakukan secara spontan dan tidak memerlukan
pemikiran lagi dalam melakukan tindakan tersebut, serta tindakan atau
perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan yang telah menjadi ciri kepribadian
seseorang. Dari keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa pengertian akhlak
dengan budi pekerti merupakan satu pengertian yang sama. Akhlak atau budi
pekerti merupakan tingkah laku seseorang yang sudah menjadi ciri khasnya.
Sehingga dalam melakukan tingkah laku tersebut, tidak perlu melakukan
proses pemikiran lebih.
3. Peserta didik
Dalam proses pendidikan, seseorang atau kelompok yang menjadi obyek
dalam proses pendidikan itu disebut dengan peserta didik. Peserta didik
secara pengertian bahasa memiliki arti orang yang dididik.19 Jadi peserta
didik merupakan seseorang yang diberikan pengajaran dan pelatihan.
Peserta didik merupakan obyek pokok dalam dunia pendidikan, karena
sifatnya yang selalu menggantungkan dan membutuhkan orang lain.20 Dengan
kata lain peserta didik merupakan obyek pendidikan yang membutuhkan
bantuan seorang guru dalam membina keinginannya untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu peserta didik bisa disebut
18 Ibid., h. 14. 19 Ibid, h. 78
dengan istilah “murid” yang berasal dari bahasa Arab “araada” yang
mempunyai pengertian manusia yang menghendaki untuk agar mendapatkan
ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik
melalui proses pengajaran dan pendidikan untuk bekal hidupnya di dunia
maupun akhirat dengan proses belajar yang bersungguh-sungguh. Peserta
didik merupakan orang yang masih memerlukan bimbingan dan bergantung
pada guru, belum menggambarkan kemandirian.21
Istilah murid ini sesungguhnya memiliki kedalaman makna. Artinya,
dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang secara sungguh-sungguh
menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan dan keterampilan. Hal ini
menunjukkan bahwa istilah murid menghendaki adanya keaktifan pada
peserta didik dalam proses belajar mengajar, bukan keaktifan pendidik.22
Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan
sepenuhnya dari guru, karena saat peserta didik lahir ke dunia dalam keadaan
suci dan fitrah atau dalam keadaan belum mengerti apa-apa.
Di dalam keterangan di atas, sudah dapat disimpulkan bahwa seorang yang
wajib dan utama dalam memberikan pendidikan dan bimbingan kepada
peserta didik adalah orang tua. Pendidikan pertama kali yang diterima oleh
peserta didik adalah pendidikan dari orang tua. Di sini, peran orang tua adalah
sebagai guru pertama bagi peserta didik.23
21 Suwito dan Fauzan, Sejarah sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h.
54-55.
22 Suyanto, ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 104.
23 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, ()Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.
Peserta didik merupakan individu yang belum dewasa baik dari aspek
fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia
dan akhirat kelak. Pendidikan yang diterima oleh peserta didik tidak hanya di
lingkungan sekolah atau pun madrasah. Peserta didik memperoleh masa
pendidikan dari berbagai lingkungan hidupnya. Oleh karena itu peran orang
tua, guru, masyarakat dan livngkungan sangat mempengaruhi proses
kedewasaan peserta didik. Istilah-istilah bagi peserta didik dalam memperoleh
pendidikan pun berbeda-beda jika dilihat dari segi lingkungan dia
mendapatkan pendidikan. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga,
murid adalah peserta didik di sekolah dan madrasah, anak-anak penduduk
adalah peserta didik di masyarakat sekitarnya, dan umat beragama adalah
peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.24
4. Guru
Guru dalam segi bahasa berarti orang yang pekerjaannya mengajar.25 atau
disebut juga dengan pendidik adalah orang yang bertugas dalam memberikan
suatu pelatihan dan pengajaran kepada peserta didiknya. Guru juga
merupakan pelaku utama selama proses pendidikan berlangsung.
Secara umum pengertian guru adalah orang yang memiliki tugas
mendidik. Jadi, guru adalah orang yang mengupayakan perkembangan
seluruh perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi kognitif,
psikomotor, maupun potensi afektif. Potensi peserta didik harus
dikembangkan secara seimbang sampai setinggi mungkin.26
Guru merupakan subyek utama dalam proses pendidikan. Oleh sebab itu,
seorang guru harus merupakan figur yang bisa ditiru oleh peserta didiknya.27
Dengan demikian guru dapat diartikan sebagai orang yang digugu dan ditiru.
Karena guru dalam melaksanakan pendidikan baik di lingkungan formal dan
non formal dituntut untuk mendidik dan mengajar. Karena keduanya
mempunyai peranan yang penting dalam proses belajar mengajar untuk
mencapai tujuan ideal pendidikan. Mengajar lebih cenderung untuk membina
pengetahuan peserta didik dari aspek pengetahuannya saja sedangkan
mendidik merupakan pengembangan potensi peserta didik dari aspek nilai
dan kejiwaan peserta didik.28
Guru berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi
pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan
memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi
tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. dan mampu melakukan
tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.29
Seorang guru harus memahami tentang tujuan pendidikan, agar guru
ketika memberikan pengajaran tidak keluar dari tujuan pendidikan yang ada,
26 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 74.
27 Ishom Achmadi, Kaifa Nurobbi, Ibid., h. 21. 28 Akmal Hawi, Kompetensi Guru, Ibid., h. 9.
29 Suryosubrata B, Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h.
dan agar tercapai tujuan pendidikan yang ideal. Seorang guru juga hendaknya
tidak sekedar orang yang mengerti tentang ilmu pengetahuan saja, karena
seorang guru adalah orang menjadi panutan bagi para peserta didiknya. Oleh
karena itu seorang guru harus memiliki akhlak dan kepribadian yang mulia,
agar para peserta didiknya dapat meniru dalam berperilaku yang baik dan
mulia.30 Karena seorang guru merupakan salah satu komponen manusiawi
yang memiliki peranan besar dalam membentuk Sumber Daya Manusia,
karena berperan sebagai pengajar, pendidik, dan pembimbing yang
mengarahkan sekaligus menuntun peserta didiknya selama proses belajar.31
Dengan demikian, guru merupakan fokus kunci dalam mencapai tujuan
pendidikan atau bahkan membentuk manusia yang sesuai dengan falsafah dan
nilai etis-normatif. Hal ini berarti bahwa guru adalah sebuah profesi yang
menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Suatu profesi yang tidak
dapat dilakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan
untuk menjadi sosok guru.32
G. Sistematika Pembahasan
Penulis membagi sistematika pembahasan penelitian ini menjadi lima bab
dengan rincian tiap bab sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan yang meliputi tentang: latar belakang masalah,
rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kajian pustaka, kerangka konseptual/kerangka teori, sistematika pembahasan.
30 Abu Fajar Al Qalami, Terjemah Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, (Surabaya: Gitamedia
Press, 2003), h. 29.
31 A. M. Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar dan Mengajar, (Jakarta: Rajawali,
1996), h. 123.
Bab II Kajian Teori meliputi tentang: konsep umum pemikiran Az-Zarnuji
dan pemikiran Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap guru menurut
pendapat para ahli.
Bab III Metode Penelitian meliputi: pendekatan dan jenis penelitian, jenis
dan sumber data, kehadiran peneliti, teknik dan instrumen pengumpulan data,
teknik pemeriksaan keabsahan data, dan teknik analisis data.
Bab IV Laporan Hasil Penelitian yang meliputi: temuan data dan analisis
data.
Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan dari penelitian, saran-saran, dan
BAB II KAJIAN TEORI
Salah satu hal yang menarik dalam ajaran Islam adalah penghargaan Islam
yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga
menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi, mengapa
demikian? Karena guru selalu terkait dengan ilmu pengetahuan, sedangkan
Islam amat menghargai ilmu pengetahuan.1
Oleh karena itu, para ahli pendidikan Islam sangat menjunjung tinggi
kedudukan guru. Salah satunya adalah Syekh Burhanuddin Az-Zarnuji.
Pemikiran Az-Zarnuji tentang masalah pendidikan telah banyak dikaji dan
diajarkan secara rutin di berbagai pesantren-pesantren salaf. Pemikirannya
juga menimbulkan banyak kontroversi di kalangan para ahli setelahnya.
Terutama mengenai pembahasannya tentang akhlak yang harus dijaga oleh
peserta didik terhadap guru. Karena banyaknya kritik dan saran yang tertuju
kepada pemikirannya, menimbulkan keinginan penulis untuk membahas
pemikiran Az-Zarnuji secara umum serta pemikirannya berkenaan tentang
akhlak peserta didik terhadap gurunya. Wallahu a’alam...
A. Konsep Umum Pemikiran Syekh Az-Zarnuji
Konsep pemikiran Az-Zarnuji secara monumental telah dituangkan dalam
karyanya Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum. Kitab ini banyak diakui
sebagai karya yang monumental dan sangat diperhitungkan keberadaannya.
Kitab ini banyak pula dijadikan bahan penelitian dan rujukan dalam penulisan
karya-karya ilmiah, terutama dalam bidang pendidikan. Kitab ini digunakan
tidak terbatas pada ilmuwan muslim, tetapi juga oleh para orientalis dan para
penulis barat. Diantara tulisan yang menyinggung kitab ini antara lain adalah
tulisan G.E. Van Grunebaum dan T.M. Abel yang yang dikutip oleh Abuddin
Nata bahwa Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum: Instruction of the Students: The Method of Learning; Carl Brockelmann dengan bukunya GeschicteDerArabschen Litteratur; Mehdi Nakosten dengan tulisannya History of Islamic Origins of Western Education A.D. 80013500, dan lain sebagainya.2
Keistimewaan lainnya dari buku Ta‟lim al-Muta‟allim tersebut pada
materi yang dikandungnya. Sekalipun kecil dengan judul yang seakan-akan
hanya membicarakan tentang metode belajar, namun sebenarnya membahas
tentang tujuan belajar, prinsip belajar, strategi belajar dan lain sebagainya
yang secara keseluruhan didasarkan pada moral religius.
Keterkenalan kitab Ta‟lim al-Muta‟allim terlihat dari tersebarnya buku ini
hampir ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini telah dicetak dan diterjemahkan
serta dikaji di berbagai dunia, baik di Timur maupun di Barat. Kitab ini juga
menarik beberapa ilmuwan untuk memberikan komentar atau syarah
terhadapnya.3
2 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), cet. Ke-2. h. 107.
Di Indonesia, kitab Ta‟lim al-Muta‟allim dikaji dan dipelajari hampir di
setiap lembaga pendidikan Islam, terutama lembaga pendidikan klasik
tradisional seperti pesantren, bahkan di pondok pesantren modern sekalipun,
seperti halnya di pondok pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur.4
Dari kitab tersebut dapat diketahui tentang konsep pendidikan Islam yang
dikemukakan Az-Zarnuji. Secara umum kitab ini mencakup tiga belas pasal
yang disingkat-singkat. Pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan ke dalam tiga
bagian besar, yakni mencakup: (1). The Division of Knowledge (pembagian ilmu); (2). The Purpose of Learning (tujuan pendidikan); dan (3). Methode of Study (metode pembelajaran).5 Ketiga bidang ini dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Pembagian Ilmu
Az-Zarnuji membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kategori. Pertama
ilmu fardhu „ain, yaitu ilmu yang setiap muslim secara individual wajib
mempelajarinya, seperti ilmu fiqh dan ilmu ushul (dasar-dasar agama).
Kedua, ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu di mana setiap umat muslim sebagai
suatu komunitas, bukan sebagai individu diharuskan menguasainya, seperti
ilmu pengobatan, ilmu astronomi dan lain sebagainya.
2. Tujuan Pendidikan
Mengenai tujuan pendidikan, Az-Zarnuji mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah yang ditunjukkan untuk mencari keridhaan Allah,
memperoleh kebahagiaan di akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada
diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam,
serta mensyukuri nikmat Allah.
Dalam hubungan ini Az-Zarnuji mengingatkan, agar setiap penuntut ilmu
jangan sampai keliru dalam menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar
yang diniatkan untuk mencari pengaruh, mendapatkan kenikmatan duniawi
atau kehormatan serta kedudukan tertentu. Jika masalah niat ini sudah benar,
maka ia akan merasakan kelezatan ilmu dan amal, serta akan semakin
berkuranglah kecintaannya terhadap harta benda dan dunia.
3. Metode Pembelajaran
Dari segi metode pembelajaran yang dimuat Az-Zarnuji dalam kitabnya ini
meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik, dan kedua metode yang bersifat strategi. Metode yang bersifat etik antara lain mencakup niat
dalam belajar; sedangkan metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara
memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam
belajar.
Menurut penelitian Grunebaum dan Abel, pemikiran Az-Zarnuji dapat
diklasifikasikan kedalam dua kategori utama. Pertama, yang berhubungan etik religi, dan kedua yang berhubungan dengan aspek teknik pembelajaran. Termasuk ke dalam kategori pertama adalah pemikirannya yang
mengharuskan para pelajar mempraktekkan beberapa jenis amalan agama
tertentu. Kategori ini dikatakannya sebagai allogical, dalam arti kita tidak dapat mendiskusikannya secara rasional. Sebagai contoh Az-Zarnuji
dianjurkan untuk membaca Subhanallah al’azim, subhanallah wa bihamdih sebanyak seratus kali.
Mengenai kategori kedua, yakni aspek teknik pembelajaran, Muhammad
Iqbal mengambil pendapat Von Grunebaum dan Abel terhadap enam hal yang
menjadi sorotan Az-Zarnuji, yaitu (1). The curriculum and the subject matter (kurikulum dan materi pelajaran), (2). The choise of setting and teacher (pilihan pengaturan dan guru), (3). The time for study (waktu pembelajaran), (4). Techniques for learning and manner for study (teknik untuk belajar dan cara untuk belajar), (5). Dynamics of learning(dinamika belajar), and (6). The students relationsship to others (hubungan siswa dengan orang lain).6
Mengenai keenam aspek tersebut, Sudarnoto dkk menulis dengan rinci
penjelasannya sebagai berikut: 7
1. Aspek Kurikulum dan mata pelajaran
Az-Zarnuji mengutamakan dua mata pelajaran: yakni fiqih dan
kedokteran. Pelajaran seperti astronomi, di luar batas yang dibutuhkan untuk
kepentingan ibadah termasuk dalam kategori subjek yang dilarang untuk
dipelajari. Alasannya, pelajaran seperti ini hanya akan menjauhkan peserta
didik dari ajaran-ajaran keagamaan yang mereka anut. Tentu saja Az-Zarnuji
sangat mengutamakan pelajaran fiqh yang dalam perspektif pendidikan
modern dikategorikan sebagai mata pelajaran pokok. Adapun materi pelajaran
kedokteran dikategorikan bersifat minor
6Ibid., h. 109-110
7 Sudarnoto Abdul Hakim, Hasan Asari, Yudian W. Asmin, Islam Berbagai Perspektif,
2. Aspek penemuan lingkungan dan guru
Dengan tepat Az-Zarnuji menegaskan perlunya melakukan perjalanan bagi
para peserta didik yang menempuh pendidikan tingkat tinggi, ini nampaknya
mencerminkan situasi pada zamannya Az-Zarnuji di mana pusat belajar, baik
lembaga umum maupun pribadi, sudah tumbuh dan berkembang luas. Namun
demikian, Az-Zarnuji menyarankan seorang peserta didik hendaknya mencari
informasi yang tuntas tentang guru yang akan dituju-nya. Di dalam
menentukan guru ini, Az-Zarnuji menentukan tiga kriteria: kepandaian,
keberhasilan, dan pengalaman guru tersebut.
3. Aspek waktu belajar
Menurut ajaran Islam manusia harus belajar sepanjang usia hidupnya.
Az-Zarnuji berpendapat bahwa permulaan usia muda adalah saat yang paling
baik untuk belajar. Namun demikian, Az-Zarnuji menekankan agar
penggunaan waktu diatur dengan normal, jangan berlebihan atau
memaksakan diri.
4. Aspek teknik dan proses belajar
Dalam hal ini, Az-Zarnuji mempertimbangkan proses perkembangan jiwa
seseorang. Pada masa kanak-kanak, aktivitas belajar dengan menghafal
dengan cara pengulangan harus ditempuh dengan tekun. Setelah itu,
memasuki pendidikan lebih tinggi, penekanan pada aspek pemahaman mulai
dilakukan. Hal-hal yang dipelajari tidak saja harus dikuasai secara material,
tetapi juga difahami maknanya. Tetapi dengan kemampuannya menghafal dan
dalam merefleksikan pengertiannya sekaligus kreatif dalam bertanya.
Dikatakan bahwa bertanya itu lebih baik daripada menghafal selama satu
bulan. Dalam prosesnya, Az-Zarnuji juga menekankan pentingnya mencatat
dan menulis apa yang diingat dan dipahaminya.
5. Aspek dinamika belajar
Ide Az-Zarnuji pada prinsipnya didasarkan pada dua aspek. Aspek pertama
berhubungan dengan ketentuan-ketentuan teknis sedang aspek yang kedua
berkenaan dengan kepentingan etis. Dengan kata lain bahwa untuk mencapai
keberhasilan belajar, peserta didik harus menunjukkan kemauan yang keras
dan berusaha yang serius. Kemauan saja tanpa kerja keras akan gagal.
Begitupun sebaliknya, kerja keras dengan tidak disertai dengan semangat dan
kemauan membaja tidak akan mencapai hasil yang optimal. Kedua aspek itu
tidak dapat dipisahkan. Namun demikian, hendaknya juga dipelihara
semangat belajar secara konstan, tapi tidak menjemukan. Disinilah perlunya
variasi mata pelajaran yang ditempuhnya.
6. Aspek hubungan guru-peserta didik dan lingkungannya
Az-Zarnuji menyatakan bahwa lingkungan pergaulan baik dalam
hubungannya dengan guru, teman, maupun masyarakat pada umumnya,
sangat mempengaruhi pola belajar dan berpikir seseorang. Karena itulah
disarankan agar seseorang pelajar membangun hubungan seluas mungkin
dengan kalangan cerdik dan pandai. Belajar sama sekali tidak hanya
bergantung pada buku atau seseorang guru. Dimanapun berada, seseorang
lingkungannya. Dengan kata lain, belajar tidak cukup hanya dengan aktivitas
formal, melainkan juga harus berlangsung dalam proses pergaulan yang
saling menerima dan memberi.
Jadi, pemikiran Az-Zarnuji yang telah tertuang dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim ini dapat dijadikan pedoman dan bimbingan para peserta didik untuk mencapai ilmu yang bermanfaat dengan cara atau metode belajar dan
etika yang dapat diamalkan secara konsisten.
B. Pemikiran Az-Zarnuji Tentang Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru Perhatian Az-Zarnuji terhadap eksistensi diri manusia lebih nampak ketika
ia menghubungkan ilmu dengan etika kehidupan. Menurut Az-Zarnuji, ilmu
sangat penting untuk bisa menumbuhkan akhlak yang terpuji sekaligus bisa
menghindarkan dari akhlak tercela. Sejalan dengan kewajiban memelihara
tingkah laku hidup, Az-Zarnuji menekankan untuk mempelajari ilmu akhlak
sehingga bisa membedakan antara perilaku yang baik dan yang buruk,
kemudian mengaplikasikannya secara tepat, merupakan kewajiban setiap
pribadi Muslim.8
Akhlak sendiri merupakan sasaran pokok pendidikan Islam. Oleh karena
itu, Islam menuntut seorang guru tidak hanya mengajar peserta didiknya,
namun juga mendidik para peserta didiknya.
Secara definisi kata ”akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata
“khuluqun” yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku
atau tabiat.9 Sedangkan secara istilah beberapa ilmuwan memberikan
berbagai definisi yang berbeda-beda. Namun secara kesimpulan definisi
akhlak memiliki pengertian kehendak jiwa yang menimbulkan perbuatan
dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran
terlebih dahulu.10 Dengan demikian akhlak merupakan jiwa yang menetap
pada suatu perbuatan yang tidak perlu lagi memerlukan pemikiran atau
pertimbangan untuk melakukan perbuatan itu.
Ada istilah lain yang lazim digunakan di samping kata akhlak ialah apa
yang disebut Etika. Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari
kata latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti juga adat atau cara hidup.11
Tentang individu peserta didik, Az-Zarnuji tidak banyak membahasnya
dalam segi fitrahnya maupun perkembangannya, tetapi lebih cenderung
membicarakan partner dalam studi. Pandangan tentang fitrah manusia
cenderung kepada teori tabularasa, bahwa individu itu seperti kertas putih,
pengaruh luarlah yang menghitam putihkan perkembangan. Az-Zarnuji juga
memberikan gambaran tentang akhlak yang harus dimiliki oleh peserta didik,
salah satu dari akhlak itu adalah hormat kepada guru dan kerabat guru.12
Penghormatan terhadap guru bertujuan untuk menjaga hubungan antara
peserta didik dan guru. Karena hasil dan kemajuan belajar yang dicapai oleh
9 Mushtofa, Akhlak Tashawuf,Ibid., h. 11 10 Ibid., h. 14
11 Akmal Hawi, Kompetensi Guru, Ibid., h.49
siswa ditentukan juga oleh bentuk hubungan antara peserta didik dan guru.
Hubungan peserta didik dan guru menjadi syarat mutlak bukan hanya sebagai
pembimbing dan yang dibimbing tetapi juga sebagai mitra belajar. Maka dari
itu guru harus memahami peserta didik yang dibimbingnya dan sebaliknya
peserta didik harus mengakui kewibawaan pembimbingnya.13 Bentuk
pengakuan kewibawaan tidak lain adalah dengan bentuk penghormatan dan
memuliakan guru.
Pemikiran Az-Zarnuji mengenai kedudukan seorang guru bagi murid
sangatlah agung, seperti kedudukan seorang hamba dan tuannya. Hal ini telah
dipahami dengan olehnya mengutip perkataan sahabat Ali bin Abi Thalib di
dalam kitabnya Az-Zarnuji yang berjudul Ta’lim al-Muta’allim, kutipan itu berbunyi: “sahabat Ali karramallahu wajhah berkata: saya adalah budak seseorang yang telah mengajarkanku ilmu meskipun hanya satu huruf....”.14
Para ahli pendidikan Islam juga sepakat dalam menetapkan prinsip dasar
edukatif yang sangat penting, bahwa kedudukan kitab atau buku tidak dapat
menggantikan posisi guru dalam pengajaran.15
Pemikiran Az-Zarnuji dalam memposisikan guru bagi peserta didik ini
didukung oleh Ahmad Tafsir. Beliau berpendapat bahwa tingginya
penghargaan guru itu adalah dengan menempatkan kedudukan guru setingkat
13 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), h. 196.
14 Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, (Surabaya: al-Hidayah), h. 18.
di bawah kedudukan Nabi dan Rasul karena guru selalu terkait dengan ilmu
pengetahuan.16
Untuk memahami deskripsi akhlak seorang murid terhadap gurunya dalam
konteks pemikiran Az-Zarnuji, menurut Awaluddin dalam tesisnya dapat
dipahami dari pernyataannya yang mengandung tuntutan peserta didik untuk
berlaku tertentu dalam berhubungan dengan guru. Tuntutan tersebut
direkomendasikan dalam kontek pelaksanaan akhlak peserta didik untuk
menghormati ilmu dan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu. Penghormatan dan
penghargaan yang tertinggi terhadap martabat guru digambarkan secara ilmu
dan menonjolkan nilai-nilai pentingnya.17
Berdasarkan pada tinjauan etika-etika sebagaimana dianjurkan oleh
Az-Zarnuji, merupakan upaya pembiasaan bagi terbentuknya akhlak mulia
peserta didik, sebab dengan memegang etika menjadikan peserta didik
berakhlak dan beradab. Sehingga dengan keluhuran akhlak, harkat dan
martabatnya terangkat. Melalui pembiasaan diri dengan melaksanakan etika,
jiwa peserta didik akan selalu dibimbing dengan budi pekerti yang luhur.
Oleh sebab itu, latihan jiwa sangat perlu sekali, guna memperteguh dan
melatih diri peserta didik supaya mempunyai budi pekerti yang baik.18
Akhlak peserta didik terhadap guru dalam pemikiran Az-Zarnuji, menurut
Maemonah, adalah mengindikasikan adanya nilai kepercayaan antara peserta
16 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, Ibid., h. 76
17 Awaluddin Pimay, Konsep Pendidik Dalam Islam, (Studi Komparatif Atas Pandangan al-Ghozali dan al-Zarnuji), (Semarang: Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo, 1999), h. 81
didik dan guru. Lebih lanjut Maemonah berpendapat bahwa nilai kepercayaan
peserta didik terhadap guru seperti halnya kepercayaan seorang pasien
terhadap dokter. Seorang guru lebih tahu disebabkan pengalaman yang lebih
dibandingkan dengan peserta didik. Sedangkan seorang dokter memang
memiliki keahlian dalam mendiagnosa untuk menyembuhkan berbagai
penyakit dari pasien.
Di sini fungsi hubungan guru dan peserta didik sebagai hubungan antara
dokter dengan pasien adalah adanya kepercayaan dan kepatuhan peserta didik
terhadap guru dalam persoalan pendidikannya, dengan mengutamakan
petunjuk dan nasehat sebagai kepentingan utama. Hubungan ini
mengisyaratkan adanya penghormatan peserta didik terhadap ketinggian nilai
ilmu yang dimiliki oleh guru.19
Pemikiran Az-Zarnuji dalam hal ini, selain mendapatkan apresiasi yang
tinggi juga tidak dapat dipungkiri ada beberapa kritik dan saran yang diajukan
kepada pemikirannya, mereka yang mengkritik pemikirannya berpendapat
bahwa pemikiran Az-Zarnuji kurang menumbuhkan minat dan gairah belajar
serta tidak memberikan ruang bagi perbedaan pendapat antara peserta didik
dan guru karena menjaga akhlak terhadap guru. Dalam pemikiran Az-Zarnuji,
sepertinya harus ikut kepada guru dan tidak boleh memberikan kritik
kepadanya.20
19 Muchtar Affandi dalam Maemonah, Reward And Punishment Sebagai Metode
Pendidikan Anak Menurut Ulama' Klasik (Studi Pemikiran Ibnu Maskawaih, al-Ghozali, Dan Az-Zarnuji), (Semarang: Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo: 2001), h. 76-77.
Namun berbeda pendapat dengan itu, KH. M. Kholil Bisri memberikan
pendapat bahwa “seseorang yang belum mengenal tradisi pesantren”, tentu
melontarkan kritik tajam terhadap pemikiran Az-Zarnuji, terutama yang
berkaitan dengan pemikiran Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap
guru dengan menganggapnya penuh kontroversi dan berisikan teror sadis bagi
para peserta didik yang menuntut ilmu. Menurut KH. M. Kholil Bisri,
kemanfaatan ilmu yang diperoleh peserta didik itu didasari oleh 3 faktor, dan
itu sudah termuat dalam pemikiran Az-Zarnuji, Pertama, mencari fadhol dari Allah SWT dengan berdo‟a. Kedua, Belajar sungguh-sungguh. Ketiga, menyadong pertularan. Faktor yang ketiga ini berdasarkan watak atau karakter dasar manusia yang cenderung “mencuri” watak atau karakter orang
lain.21
Akhlak peserta didik terhadap guru sebenarnya memiliki maksud sebagai
bentuk akhlak peserta didik terhadap suatu ilmu yang dimiliki oleh gurunya,
serta sebagai akhlak yang harus dijaga antara pengajar ilmu dan yang
diajarkan ilmu. Sebab, dalam ajaran agama Islam sangat menjunjung tinggi
eksistensi ilmu sendiri.
Kehormatan dan kemuliaan seseorang juga dikarenakan oleh seberapa
dalam dia memiliki ilmu. Bahkan Allah SWT mengangkat derajat seseorang
menuju kedudukan yang sangat tinggi karena ilmunya. Jika dihubungkan,
bahwasanya Allah sang Maha Pencipta telah memberikan penghormatan
kepada hambanya yang berilmu, jika demikian, maka sudah sepatutnya bagi
21 Kholil Bisri, Konsep Pendidikan Dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim dan Relevansinya
peserta didik yang menimba ilmu untuk berakhlak yang mulia terhadap
seorang guru yang mengajarakannya ilmu dengan memberikan penghormatan
kepadanya serta menjaga hati seorang guru.
Penghormatan peserta didik terhadap guru tidak hanya diterapkan ketika
masa Az-Zarnuji, namun sudah dilakukan oleh para malaikat-malaikat Allah
dengan memberikan penghormatan kepada Nabi Adam AS karena ilmu yang
dimiliki oleh Nabi Adam AS yang tidak dimiliki oleh para malaikat dan
setelah Nabi Adam AS memberikan pengajaran ilmu kepada para malaikat
itu.
Jika peserta didik terlalu memegang kreativitasnya dan melupakan
penghormatan terhadap guru, itu akan menjadi boomerang bagi peserta didik
tersebut. Sebab, peserta didik ibarat seseorang musafir yang berada di hutan
dan hendak mencari bekal makanan guna perjalanannya kembali. Sedangkan
posisi seorang guru adalah seorang yang telah berpengalaman dan
mengetahui sebagian dari wilayah hutan tersebut. Jika musafir tersebut tidak
menunjukkan penghormatan kepada orang berpengalaman tersebut, maka ia
akan enggan untuk membimbing musafir tersebut mencari bekal makanan di
hutan. Jika musafir mengandalkan instingnya, maka kemungkinan besar dia
akan tersesat. Begitupun dengan peserta didik dan guru, jika seorang peserta
didik mengandalkan kreativitasnya dan meninggalkan penghormatan
bimbingan seorang guru, maka kemungkinan peserta didik tersebut akan
salah pemahaman akan suatu ilmu atau ilmu yang dia peroleh tidak memiliki
Realita ketidak-manfaatan ilmu orang yang berilmu telah kita lihat di
zaman modern ini. Kenyataannya banyak sekali orang yang berilmu, yang
seharusnya dengan ilmu tersebut orang itu bisa menjaga dirinya agar tidak
melakukan perbuatan yang keluar dari ajaran agama maupun norma-norma
umum, tapi malah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji yang
keluar dari ajaran-ajaran agama serta norma-norma umum.
Oleh karena itu, peserta didik patut mempelajari dan menerapkan
pemikiran dari Az-Zarnuji untuk menjadikan pedoman baginya selama
menuntut dan menimba ilmu serta agar peserta didik bisa menghindari
melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan kurangnya kemanfaatan ilmu
yang diperolehnya, terutama tentang pemikiran Az-Zarnuji mengenai akhlak
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Perkembangan kemauan manusia menggunakan nalar sehat mereka
banyak mendorong lahirnya ilmuwan-ilmuwan di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Manusia akhirnya menyadari betapa luar biasanya kemampuan
nalar kemampuan yang dimilikinya sehingga pada batas ekstrim negatif pada
penggunaan nalar ini seorang Nietzche berani menyatakan Tuhan telah mati.
Bagi penganut paham kebebasan, hal ini sah-sah saja karena tidak ada batas
bagi manusia untuk menggunakan nalar atau akal yang dimilikinya. Karena
hal itu harus ada kesepakatan penggunaan nalar dan ilmu pengetahuan.
Karena ada batas ruang yang tidak mampu dicapai oleh nalar manusia.1
Perkembangan ilmu pengetahuan terjadi antara lain karena disebabkan
fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki rasa ingin tahu, mencari dan
berpihak kepada kebenaran. Didukung oleh nalar manusia, manusia
senantiasa menuntut untuk memperoleh pengetahuan baru secara sistematis.
Upaya pencarian kebenaran dan pengetahuan baru manusia dilakukan dengan
cara ilmiah dan non-ilmiah. Pencarian kebenaran ilmiah inilah yang disebut
dengan penelitian.2
Oleh karena penelitian dilakukan manusia untuk memperoleh pengetahuan
baru serta untuk memperoleh kebenaran serta pemecahan masalah dari teori
yang sudah dipelajarinya. Penelitian yang dilakukan manusia tidaklah
dilakukan dengan cara asal-asal tanpa sistematis yang dirancang. Dalam
melakukan penelitian, langkah-langkah yang harus dilakukan ada beberapa
macam dan harus dilalui secara bertahap untuk memperoleh hasil yang
maksimal dari hasil penelitiannya dan memperoleh kebenaran darinya.
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan yang bersifat ilmiah melalui prosedur yang telah
ditentukan. Untuk mencapai kebenaran secara sistematis dengan
menggunakan metode ilmiah diperlukan suatu desain atau rancangan
penelitian.3 Jadi, penelitian pada hakikatnya adalah suatu kegiatan untuk
memperoleh kebenaran mengenai suatu masalah dengan menggunakan
metode ilmiah.4
Secara umum tujuan dari penelitian adalah untuk memperoleh pemecahan
masalah dari kebenaran ilmu pengetahuan yang sudah ada atau untuk
memperoleh ilmu pengetahuan baru. Namun, secara spesifik, tujuan
penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: 5
1. Mendeskripsikan fenomena
2. Menjelaskan hubungan
3. Meramalkan fenomena yang akan terjadi
3 Taufiqul Hakim, Amtsilati Program Pemula Kitab Kuning, (Jepara: Al-Falah Offset, 2004), h. 40-41.
4. Mengendalikan fenomena.
Dalam mencapai tujuan penelitian, penelitian juga memiliki banyak variasi
jenis penelitian. Jenis penelitian dapat dikategorikan sebagai berikut: 6
1. Menurut penggunaan jenis penelitian:
a) Penelitian Murni
b) Penelitian Terapan
2. Menurut pengukuran dan analisis data penelitian:
a) Penelitian Kuantitatif
b) Penelitian Kualitatif
3. Menurut penggunaan sampel dan populasi:
a) Penelitian Sensus
b) Penelitian Sampel
4. Menurut tingkat kedalaman analisis data:
a) Penelitian Deskriptif
b) Penelitian Eksplanation (analisis hubungan antar variabel)
5. Menurut desain (rancangan) penelitian yang digunakan:
a) Desain Deskriptif
b) Desain Historis
c) Desain Korelasi
d) Desain Studi Kasus
e) Desain Pengembangan
f) Desain Eksperimen
g) Desain Tindakan
6. Menurut intensitas penelitian:
a) Riset
b) Survey
7. Menurut tempat:
a) Library Research
b) Field Research
c) Laboratorium
8. Menurut bidang yang diteliti:
Jenis penelitian sebanyak bidang yang disebut: ekonomi, pendidikan,
teknik, perdagangan, politik, dan sebagainya.
Dalam tulisan skripsi ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif,
yaitu suatu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi
objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.7
Sementara itu, dilihat dari teknik penyajian datanya, penelitian
menggunakan pola deskriptif. Yang dimaksud pola deskriptif menurut Best
sebagaimana dikutip oleh Sukardi, adalah:
“Metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya”.8
7 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung,: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 9
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa metode penelitian kualitatif
dengan pola deskriptif yang dilakukan bermaksud menggambarkan secara
sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.
Peneliti disini bertindak sebagai pengamat, peneliti hanya membuat
kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatat dalam buku observasinya.
Peneliti tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis
atau membuat prediksi.9
Karena demikian, Penelitian yang berjudul “implementasi pemikiran Imam
Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap pendidiknya di MA
Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan” ini termasuk kategori
penelitian deskriptif kualitatif.
B. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kualitatif. Data kualitatif yaitu data yang tidak berupa angka-angka,10
melainkan diuraikan dalam bentuk kalimat.11 Adapun data kualitatif meliputi:
1) Data tentang gambaran umum mengenai objek penelitian
2) Data lain yang tidak berupa angka.
9Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2004), h. 4.
10 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987), h. 66.
2. Sumber Data
Menurut Suharsmi Arikunto mengemukakan bahwa Sumber data dalam
penelitian adalah subjek dari mana data