SKRIPSI
Oleh
Masyhuri NIM: C01212028
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan yang berjudul “Efektivitas
Mediasi Dalam Penyelesaaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Sampang
PERMA No 1 Tahun 2016” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan mediasi pada perkara Perceraian di Pengadilan Agama Sampang setelah berlakunya PERMA No 1 Tahun 2016, serta kendala-kendala apa saja yang terdapat dalam pelaksanaan mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Sampang.
Adapun data yang digunakan adalah data kuantitatif. Dalam penelitian ini penulis menganalisis data kuantitatif, yaitu dengan mengolah data menjadi persentase.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Sampang Perma Nomor 1 Tahun 2016. Setelah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2016, mediasi diterapkan pada semua perkara perceraian tanpa ada klasifikasi khusus dan sudah ada hakim yang bersertifikat mediator. Selain itu, pengujian hipotesis menyimpulkan bahwa perkara perceraian sebelum Perma No 1 Tahun 2016, diperoleh nilai yang tidak signifikan. Hal tersebut dibuktikan dengan rata-rata persentase keberhasilan mediasi hanya sebesar 3,2%. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Sampang kurang efektif. Meski demikian, secara tidak langsung hasil tersebut berpengaruh terhadap persentase penumpukan perkara yang nantinya terjadi di tingkat banding dan kasasi. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan mediasi adalah;a) Lemahnya pengetahuan para pihak yang bersengketa mengenahi keuntungan mediasi, b) Terbatasnya waktu yang digunakan oleh mediator dalam melaksanakan mediasi, c) Tingkat kerumitan problem yang harus dipecahkan serta, d) Kurangnya respon advokat dalam menerapkan mediasi.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10
G. Definisi Operasional ... 11
H. Metode Penelitian ... 12
I. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS MEDIASI ... 19
A. Pengertian dan Dasar Hukum Efektivitas Mediasi ... 19
1. Pengertian Efektivitas ... 19
3. Dasar Hukum Mediasi... 24
B. Latar Belakang Lahirnya Proses Mediasi ... 25
C. Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 29 D. Mediasi Dalam Perkara Perceraian ... 33
E. Manfaat Mediasi ... 35
BAB III : PELAKSANAAN MEDIASI PADA PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SAMPANG SESUDAH BERLAKUNYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016 ... 37
A. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Agama ... 37
1. Sejarah dan kedudukan Pengadilan Agama Sampang ... 37
2. Wilayah kewenangan ... 39
3. Jumlah penduduk ... 41
4. Jarak Tempuh ... 41
5. Susunan jabatan ketua Pengadilan Agama Sampang ... 41
6. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sampang ... 42
7. Daftar mediator Pengadilan Agama Sampang ... 42
B. Pelaksanaan Upaya Mediasi Pada Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Sampang ... 43
C. Kendala-kendala dalam Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Sampang ... 50
A. Efektitas Mediasi Pada Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Sampang Sesudah Berlakuya Perma Nomor 1 Tahun 2016 ... 52
B. Kendala Pelaksanaan Mediasi Pada Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Sampang Sesudah Berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2016 .. 58
C. Efektivitas Mediasi pada Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Sampang sesudah Berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2016 ... 59
BAB V :Penutup ... 64
A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 65
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan
peradilan dianggap sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berperan
sebagai katup penekanan atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban
masyarakat. Peradilan dapat dimaknai juga sebagai tempat terakhir mencari
kebenaran dan keadilan, sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan
yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the
truth and justice).1
Meskipun demikian, kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat
ini adalah ketidakefektifan dan ketidakefisienan sistem peradilan. Penyelesaian
perkara membutuhkan waktu yang lama. Mulai dari tingkat pertama, banding,
kasasi, dan peninjauan kembali. Di sisi lain, para masyarakat pencari keadilan
membutuhkan penyelesaian perkara yang cepat yang tidak hanya bersifat
formalistis belaka.2
1M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Pesidangan, penyitaan, pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Cet.VII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h 229.
2Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan salah
Hukum merupakan bagian dari pergaulan hidup manusia, yang terwujud
dalam prilaku manusia maupun di dalam perangkat kaedah-kaedah yang
sebenarnya juga merupakan abtraksi dan prilaku manusia.3 Menurut Soerjono
Soekanto: Hukum tidak saja merupakan sarana pengendalian sosial, dalam arti
suatu sarana pemaksa yang melindungi masyarakat dan ancaman-ancaman
maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri serta harta bendanya,
akan tetapi di lain pihak hukum juga berfungsi sebagai sarana untuk
memperlancar interaksi sosial (law as a facilitation of human interaction).4
Secara umum, hukum dibagi atas dua macam, yaitu hukum publik
(pidana) dan hukum privat (perdata). Perkawinan merupakan bagian dari bentuk
hukum privat (perdata) telah diatur dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dimana di dalamnya telah diatur secara rinci mulai dari tahap awal proses
perceraian dan akibat hukumnya. Perkawinan sendiri merupakan ikatan suci
(misaqan galidan) yang mempunyai tujuan untuk membina keluarga kekal,
sakinah, mawaddah dan warahmah.5
Namun dalam kenyataan, sebuah ikatan perkawinan tidak selamanya
harmonis bahkan memunkinkan adanya perselisihan dan perkawinan yang
mengakibatkan perceraian. Untuk menyelesaikan perkara perceraian ini. Negara
telah mengatur tentang tata cara dan proses perceraian agar masalah tersebut
dapat diselesaikan secara tertib tanpa merugikan pihak lain, di antaranya dengan
membentuk lembaga Peradilan Agama yang salah satu fungsinya adalah
3 Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2010), 49.
4Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peran Hukum Adat di Indonesia, ( Jakarta: Kurnia Esa,
1970), 44
menyelesaikan masalah perkawinan, yang termasuk di dalamnya juga adalah
masalah perceraian. Hal ini tercantum dalam Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 1
Tahun 1974 dan di dalam Pasal 115 KHI. “Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belak pihak”.6
Namun sebelum hakim memutus suatu perkara dengan jalan litigasi,
maka hakim berhak mendamaikan para pihak terlebih dahulu, dengan cara
mediasi, hakim di sini sebagai mediator atau sebagai katalisator yang mendorong
lahirnya diskusi-diskusi dalam membicarakan akar persengketaan mereka.
Sebagaimana telah diatur, Pasal 4 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2016
yang menyebutkan, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan
termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak
berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap
pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu
diupayakan penyelesaian malalui mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung ini.7
Salah satu langkah untuk menekan terjadinya penumpukan perkara dan
mengatasi tunggakan perkara dari tahun ke tahun di Mahkamah Agung dengan
mengoptimalkan pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan
lembaga damai dengan memadukan salah satu bentuk atau sarana penyelesaian
6 Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Arkola, t.t),
216
7 Pasal 4 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2016, Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Perma Nomor
sengketa, yang bisa disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) yaitu
mediasi dengan ditunjuknya hakim sebagai mediator dalam proses peradilan
litigasi, karena perkara atau sengketa yang diakhiri dengan perdamaian pada
tingkat sudah tertutup kemungkinan untuk upaya banding, kasasi dan peninjauan
kembali.
Ketua Mahkamah Agung, dalam pidatonya juga mengharapkan
pengintegrasian mediasi dalam proses beracara di Pengadilan. Banyak
keuntungan menggunakan mediasi sebagai salah satu alternatif menyelesaikan
sengketa di luar proses peradilan. Keuntungan itu antara lain: sengketa dapat
diselesaikan dengan prinsip “win-win solution” tidak berkepanjangan, biaya lebih
ringan, hubungan baik antara yang bersengketa tetap dapat dipertahankan. Dalam
mediasi atau alternatif penyelesaian lebih ditekankan pada kemaslahatan bagi
semua pihak.8
Upaya perdamaian sebenarnya telah diatur dalam Pasal 130 HIR/154
Rbg. Yang menyebutkan bahwa: Jika pada hari persidangan yang telah
ditetapkan, kedua belah pihak yang berperkara hadir dalam persidangan maka
ketua majelis hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara
tersebut, jika dapat dicapai perdamaian, maka pada hari itu juga dibuatkan
putusan perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati persetujuan
yang telah disepakati itu, terhadap putusan dan putusan yang sedemikian itu
tidak dapat dimohon banding.9
Perdamaian merupakan penyelesaian perkara perdata yang dianggap
lebih efektif. Disamping itu, penyelesaian perkara melalui perdamaian proses
cepat dan biaya ringan, sehingga memberikan keuntungan yang praktis serta
ekonomis bagi para pihak yang bersengketa. Subekti, dalam bukunya
mengatakan “suatu kompromi dalam menyelesaikan perkara perdata adalah jalan
yang terbaik, dari pada menunggu putusannya untuk mengetahui siapa yang
kalah dan siapa yang menang”.10
Namun meskipun ketentuan tentang upaya perdamaian telah diatur,
dalam kenyataan dilapangan belum berjalan dengan maksimal. Selama
bertahun-tahun pelaksanaan upaya perdamaian hanya berupa formalitas di persidangan.
Hakim tidak sungguh-sungguh dalam mengupayakan perdamaian dan para pihak
juga tidak memandang penting upaya perdamaian. Hal tersebut terbukti dengan
masih rendahnya tingkat keberhasilan penyelesaian sengketa dengan melalui
upaya perdamaian.
Untuk menyikapi hal ini Mahkamah Agung (MA) sudah mengatur
tentang upaya perdamaian ini, diantaranya SEMA (Surat Edaran Mahkamah
Agung) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tinggi Pertama
Menerapkan Lembaga Damai, mengintruksikan semua majelis hakim yang
menyidangkan perkara, dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian
dengan menerapkan ketentuan Pasal 130 HIR/154 Rbg, namun karena beberapa
hal yang pokok belum secara eksplisit diatur dalam Sema tersebut, maka
Mahkamah Agung mengeluarkan Perma (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 2
Tahun 2003 & Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
pengadilan tingkat pertama yang didalamnya mengatur mengenai tata cara
pelaksanaan mediasi, namun setelah dilakukan evaluasi, ternyata ada beberapa
masalah sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan.11 Sehingga Perma
Nomor 2 Tahun 2003 & Perma Nomor 1 Tahun 2008 direvisi dan disempurnakan
dengan Perma Nomor 1 Tahun 2016 sebagai upaya mempertegas dan
mempercepat serta mempermudah penyelesaian sengketa yang harus
dilakukannya mediasi terkait dengan proses berperkara di pengadilan.12
Pengadilan Agama (PA) Sampang merupakan pengadilan tingkat
pertama dan berada di lingkungan Pengadilan Agama yang berkedudukan di
bawah MA, sudah seharusnya menerapkan mediasi dalam proses penyelesaian
perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama Sampang, khususnya pada perkara
perceraian, baik perkara perceraian yang diajukan oleh pihak suami atau istri.
Untuk itulah, penulis berupaya mengukur pelaksanaan mediasi pada
perkara perceraian di Pengadilan Agama Sampang, sebagai salah satu
penyelesaian sengketa (perceraian) dapat dikatakan efektif atau adanya
peningkatan pencabutan perkara perceraian dengan upaya damai atau rukun,
dengan cara membandingkan prosentase perkara perceraian yang masuk pada
Pengadilan Agama Sampang sesudah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2016.
Dengan menitik beratkan pada perkara perceraian yang masuk pada Pengadilan
Agama Sampang yang berhasil di cabut dengan alasan damai atau rukun.
11Perma RI Nomor 2 Tahun 2003 ditetapkan tanggal 11 September 2003.Lihat juga Perma
Nomor1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, menimbang; poin d.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari paparan latar belakang masalah di atas, penulis
mengidentifikasikan inti permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai
berikut:
a. Faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya mediasi
b. Keefektivan mediasi
c. Jenis mediasi
d. Implementasi mediasi di Pengadilan Agama Sampang
2. Batasan Masalah
Dengan adanya permasalahan di atas, maka untuk memberikan arah
yang jelas dalam penelitian ini penulis membatasi pada masalah-masalah
berikut ini:
a. Pelaksanaan mediasi pada perkara Perceraian Di Pengadilan Agama
Sampang
b. Efektivitas pelaksanaan mediasi pada perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Sampang
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, dapat
1. Bagaimana pelaksanaan mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Sampang?
2. Bagaimana efektivitas pelaksanaan mediasi dalam menyeleaikan perkara
perceraian di Pengadilan Agama Sampang?
D. Kajian Pustaka
Kajian tentang Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara
Perceraian Di Pengadilan Sampang ini belum pernah dibahas sebelumnya oleh
peneliti lain, akan tetapi peneliti menemukan beberapa penelitian Masalah
mediasi yang telah banyak ditulis secara teoritis di dalam literatur dan skripsi.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti, diantaranya adalah:
Skripsi yang ditulis oleh Atika Inatsun Najah yang berjudul Penerapan
Mediasi Dalam Mengupayakan Perdamaian Di Pengadilan Agama Sidoarjo
(Studi Analisis Dengan Perspektif PERMA RI Nomor 2 Tahun 2003 Dan Hukum
Islam)13. Penelitian ini memfokuskan pada penerapan mediasi di Pengadilan
Agama Sidoarjo dalam mengupayakan damai kepada pihak-pihak yang
berperkara dan produk hukum Pengadilan Agama Sidoarjo terhadap hasil
kesepakatan perdamaian melalui mediasi
Ayu Mas’udah yang berjudul Efektivitas Peran Lembaga Mediasi Dalam
Penyelesaian Perkara Di Pengadilan Agama Sidoarjo (Perspektif Perma RI
Nomor 2 Tahun 2003)14. Penelitian ini lebih berkonsentrasi pada penilain secara menyeluruh terhadap taraf pencapaian penerapan mediasi dalam upaya
penyelesaian perkara oleh lembaga mediasi di Pengadilan Agama Sidoarjo
selama kurang lebih 4 tahun, yaitu sejak terbitnya Perma RI Nomor 2 Tahun
2003.
Siti Rochmatul Ima yang berjudul Prosedur Mediasi Di Pengadilan
Agama Bangkalan Ditinjau Dari Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun
2016 Tentang Prosedur Mediasi15. Penelitian ini mengkaji terhadap Prosedur
Mediasi Di Pengadilan Agama Bangkalan Ditinjau Melalui PERMA Nomor 1
Tahun 2016
Sedangkan penulis dalam skiripsi ini menganalisa Efektivitas Mediasi
Dalam Penyelesesaian Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Sampang
dengan Perspektif PERMA Nomor 1 Tahun 2016 berbeda dengan pembahasan
penelitian - penelitian sebelumnya, karena dalam skripsi ini menguraikan ke
Efektivan Mediasi dalam penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama
Sampang dengan berpijak pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dimana salah satu
pasal dalam Perma tersebut menyebutkan bahwa jika tidak menempuh prosedur
mediasi berdasarkan peraturan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal
yang mengakibatkan putusan batal demi hukum, adanya penekanan ini
merupakan cambuk bagi praktisi di Pengadilan. Khususnya bagi hakim yang
14Ayu Mas’udah, Efektivitas Peran Lembaga Mediasi dalam Penyelesaian Perkara di Pengadilan Agama Sidoarjo (Perspektif Perma RI Nomor 2 Tahuin 2003), Skripsi pada Jurusan Ahwal al-Syaksiyyah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Tahun 2007.
menjadi Mediator untuk lebih mengoptimalkan peran Mediator dalam
penyelesaian perkara perceraian.
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang diuraikan di atas, tujuan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pada Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama
Sampang
2. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan mediasi dalam menyelesaikan
Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Sampang
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan
mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya
bermanfaat diantaranya:
1. Aspek keilmuan (teoritis)
Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan perkembangan
ilmu hukum yang menyangkut proses mediasi dalam penerapannya pada
sistem peradilan perdata.
2. Aspek terapan/praktis
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangsih pemikiran atau pijakan
3. Bagi penulis
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berpikir kritis
serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.
G. Definisi Operasional
Untuk lebih memperjelas arah pembahasan dan pemahaman dalam
penelitian ini, serta untuk mencegah adanya kesalahpahaman terhadap isi tulisan
ini, maka peneliti terlebih dahulu akan menjelaskan definisi operasional yang
terkait dengan judul ini, yaitu “Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara
Perceraian Di Pengadilan Agama Sampang”
Efektivitas Mediasi : Sesuatu yang telah direncanakan dalam
pelaksanaan mediasi dapat tercapai,
pencapaian ini diukur dari meningkatnya
perkara perceraian yang berhasil dicabut
kembali dengan alasan rukun atau damai di
Pengadilan Agama Sampang.
Penyelesaian Perkara Perceraian : Perundingan yang dipandu oleh seorang
mediator yang bertujuan untuk mencapai
kesepakatan yang diterima oleh
perkara16 yang bisa mengakibatkan perceraian (terputusnya ikatan suami istri).
H. Metode Penelitian
Dalam pengumpulan bahan atau data penyusunan skripsi ini agar
mengandung suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode
penelitian ilmiah sebagai berikut:
1. Data Yang dikumpulkan
a. Data tentang prosedur pelaksanaan mediasi dalam mengupayakan
perdamaian pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Sampang
sesudah berlakunya Perma No 1 Tahun 2016.
b. Data tentang perkara perceraian yang berhasil dicabut kembali dengan
alasan rukun atau damai di Pengadilan Agama Sampang sesudah
berlakunya Perma No 1 Tahun 2016.
c. Data tentang kendala dalam pelaksanaan mediasi pada perkara perceraian
di Pengadilan Agama Sampang sesudah berlakunya Perma No 1 Tahun
2016.
2. Sumber Data
a. Jenis penelitian
Adapun jenis data yang digali dalam penelitian ini sebagai berikut:17
Data kuantitatif, yaitu data yang dinyatakan dengan bilangan atau angka,
adapun bilangan tersebut adalah: Jumlah perkara perceraian (baik dengan
16 Perma Nomor 1 Tahun 2016
jalan mediasi ataupun litigasi), antara persamaan dan perbedaan mediasi
pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Sampang sesudah berlakunya
Perma No 1 Tahun 2016.
b. Sumber Data
Tempat dan sumber data yang digunakan, jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian lapangan, adapun sumber-sumber yang
diperlukan sebagai berikut:
1) Sumber data primer yaitu hakim mediator dan panitera di lingkungan
Pengadilan Agama Sampang yang berhubangan langsung dalam
pelaksanaan mediasi
2) Sumber data sekunder yaitu dokumen (berkas, arsip, salinan penetapan
dan data mediator yang melakukan mediasi) perkara perceraian yang
masuk pada Pengadilan Agama Sampang yang diputus secara litigasi
maupun berhasil dicabut dengan, alasan rukun atau damai sesudah
berlakunya Perma No 1 Tahun 2016 selain itu sumber data yang berupa
kitab-kitab yang menjadi dasar acuan dan bacaan lain yang memiliki
keterkaitan dengan bahan skripsi.
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan,
Pesidangan, penyitaan, pembuktian, dan Putusan Pengadilan, 2008
c) Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum, 2010.
d) Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peran Hukum Adat di Indonesia,
e) Undang-Undang Pokok Perkawinan, Cet Keenam, 2006
f) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
g) R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, 1995.
h) R. Soesilo, Aneka Perjanjian Indonesia, 1982
i) Perma RI No 2 Tahun 2003
j) Perma RI No 1 Tahun 2008
k) Perma RI No 1 Tahun 2016
l) Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
m)Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg)
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan
data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan18
a. Wawancara (Interview)
Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan
dimana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses
interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu
pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau interview sedangkan pihak
lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan (responden).19
18 Soegiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R & D, (Bandung:
Alfabeta,,2009),224.
19 Soemitro Romy H, Metodelogi Penelitian Hukum Dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia,
Wawancara dilakukan penulis dengan Hakim yang ditunjuk sebagai
Mediator di Pengadilan Agama Sampang yang mampu mengkaji,
mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalannya proses Mediasi.
b. Dokumenter
Metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data
yang digunakan metodelogi penelitian sosial. Pada intinya metode
dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis.
Metode ini digunakan untuk penulis dalam mencari data-data berupa foto,
surat-surat dan sebagainya untuk memberikan gambaran terhadap sosiologi
yang terjadi di dalam mediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama
Sampang.
Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan mencari
konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat, atau penemuan yang berhubungan
erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan berupa peraturan
perundangan, karya ilmiah para sarjana, laporan lembaga, dan lain-lain
sumber.20
4. Teknik Penggolahan Data
Data yang telah terkumpul di atas diolah dengan teknik editing,
pengorganisasian dan tabulasi, yaitu:
a. Pengolahan Data dengan Teknik Editing
Yaitu kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai
menghimpun data lapangan. Kegiatan ini menjadi penting karena
20Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum (Surakarta : UMS Press,
kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadangkala belum memenuhi
harapan penelitian21, untuk itu diperlukan pemeriksaan kembali semua
data yang diperoleh, kejelasan makna, kesesuaian makna satu dengan yang
lainnya, relevansi, kesesuaian satuan dan kelompok data.
b. Pengolahan Data dengan teknik Pengorganisasian
Yaitu agar memperoleh gambaran yang sesuai dengan
pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah.
5. Teknik Analisis data
Data yang berhasil dihimpun dari data primer akan dianalisis secara
kualitatif yakni berupa bentuk kalimat, uraian-uraian, bahkan dapat berupa
cerita pendek22. Dengan tataran analisis deskriptif yang bertujuan untuk
menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau
variable yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian23 metode
ini digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara jelas
tentang Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian Di
Pengadilan Agama Sampang. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
pola pikir deduktif yaitu diawali dengan mengemukakan teori yang bersifat
umum tentang perceraian, kemudian teori tersebut digunakan sebagai alat
untuk menganalisis ke Efektivan Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara
Perceraian Di Pengadilan Agama Sampang lalu ditarik kesimpulan yang
bersifat khusus.
I. Sitematika Penulisan
Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk memudahkan
pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. dan agar dipahami
permasalahannya lebih sistematis dan kronologis, maka pembahasan ini akan
disusun penulis sebagai berikut:
Bab pertama, bab ini memuat pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, membahas tentang efektivitas mediasi, berisi pengertian dan
dasar hukum mediasi, latar belakang lahirnya proses mediasi, mediasi versi
perma Nomor 1 Tahun 2016, mediasi dalam perkara perceraian dan manfaat
mediasi
Bab ketiga, berisi tentang pelaksanaan mediasi pada perkara perceraian
di Pengadilan Agama Sampang sesudah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2016
mengulas mengenai gambaran umum Pengadilan Agama Sampang (landasan,
kerja, kompetensi absolute, struktur organisasi dan daftar mediator Pengadilan
Agama Sampang) sesudah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2016, dan
kendala-kendala dalam pelaksanaan mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan
Bab keempat, penulis melakukan analisis tentang pelaksanaan mediasi
dan kendala pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
Sampang Perma Nomor 1 Tahun 2016.
Bab kelima, yakni penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari
hasil peneletian yang bisa diterapkan dan menjadi pegangan bagi Pengadilan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS MEDIASI
A. Pengertian Efektivitas dan Dasar Hukum Mediasi
1. Pengertian Efektivitas
Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam
bahasa Inggris effective, dalam Kamus Jhon M. Echols dan Shadily artinya
dapat membawa berhasil dan ditaati. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
efektif artinya dapat membawa hasil, berhasil guna tentang usaha atau
tindakan. Dapat berarti sudah berlaku tentang undang-undang atau peraturan
tentang mediasi dan pelaksanaan mediasi yang profesional.1
Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary, Effective adalah bentuk
adjective yang bila disandingkan dengan kata statue, order, contract, dst
berarti in operation at given time. Bias juga berarti performing within the
range of normal and expecte standards atau juga productive; achieving a
result. Adapun secara terminologi para pakar hukum dan sosiologi hukum
memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam,
bergantung pada sudut pandang yang diambil. Soerjono Soekanto
sebagaimana dikutip oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum,
termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu amunisi, bahwa:
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, cet II,
Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator
berfungsinya suatu sistem hukum. dan berfungsinya hukum merupakan
pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha
untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.
Menurut Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum
ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini mempunyai arti netral,
sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut:2
a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)
Maksud faktor hukumnya dalam poin pertama ini menurut Soerjono
Soekanto dengan undang-undang dalan arti materil adalah peraturan tertulis
yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah.
b. Faktor penegak hukum
Ruang lingkup dari istilah penegak hukum adalah luas sekali, oleh
karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung
berkecimpung dibidang penegakkan hukum
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
Tanda adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakkan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas
tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
2 Soerjono soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum, (Jakarta: Raja
cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi maka mustahil
penegakkan hukum akan tercapai tujuannya.
2. Pengertian Mediasi
Kata “mediasi” berasal dari bahasa Inggris, “mediation” yang artinya
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau
penyelesaian sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan
mediator atau orang yang menjadi penengah.3
Secara umum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah proses pengikut sertaan pihak
ketiga dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasehat.4 Sedangkan
pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan
dalam Pasal 1851 KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah
suatu perjanjian dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan
atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung
atau mencegah timbulnya suatu perkara kemudian.5
Dikenal juga dengan istilah dading yaitu suatu persetujuan tertulis
secara damai untuk menyelesaikan atau memberhentikan berlangsungnya
3 John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. ke xxv (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama,2003), 377. Pengertian yang sama dikemukakan juga oleh Prof. Dr. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: PT.Kencana, 2005), 175. Lihat juga Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsilasi, Arbitrase), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), 69
4 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 640
5 Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita,
terus suatu perkara.6 Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan penjelasan tidak
ditemukan pengertian mediasi, namun hanya memberikan keterangan bahwa
jika sengketa tidak mencapai kesepakatan maka sengketa bisa diselesaikan
melalui penasehat ahli atau mediator.7
Dalam hukum Islam terminologi perdamaian disebut dengan istilah
is}lah (as-sulh) yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan
antara dua pihak. Dan menurut syara’ adalah suatu akad dengan maksud untuk
mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.8
Sedangkan dalam PERMA No.1 Tahun 2016 Pasal 1 angka (1)
menjelaskan tentang mediasi, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan
dibantu oleh mediator.9
Pengertian diatas intinya memiliki pengertian yang sama tentang
mediasi yakni proses penyelesaian sengketa dengan mendatangkan pihak
ketiga atau disebut dengan mediator yang bertugas sebagai penengah yang
netral serta melakukan proses tawar-menawar untuk menemukan sebuah
6 Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Cet ke 8 (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 33
7 Bunyi Pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 adalah “Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui mediasi”.
8 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (Arab-Indonesia), (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 1999), 1188. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz III (Beirut: Dara al Fikr,1977), 305
9 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
solusi sehingga di akhir perundingan para pihak tidak ada yang merasa
dirugikan.
Dari pengertian mediasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
mediasi mengandung unsur-unsur mediasi sebagai berikut:
a. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas
kesukarelaan melalui sesuatu perundingan.
b. Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang bersengketa
untuk mencari penyelesaian
c. Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa.
d. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan
selama perundingan berlangsung.
e. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai / menghasilkan kesepakatan yang
dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.10
Sebagai seorang mediator yang dituntut untuk mengedepankan
negosiasi yang bersifat kompromis, hendaklah memiliki
keterampilan-keterampilan khusus keterampilan-keterampilan khusus yang dimaksud ialah:
a. Mengetahui bagaimana cara mendengar para pihak yang bersengketa.
b. Mempunyai keterampilan bertanya terhadap hal-hal yang
dipersengketakan.
c. Mempunyai keterampilan membuat pilihan-pilihan dalam menyelesaikan
sengketa yang hasilnya akan menguntungkan para pihak yang bersengketa
(win-win solution)
d. Membantu para pihakuntuk menemukan solusi mereka sendiri terhadap
hal-hal yang dipersengketakan.11
3. Dasar Hukum
Dasar hukum perdamaian atau mediasi dalam Hukum Islam adalah
sebagaimana firman Allah:
ۡ
ۡ ۡ
ا
مهنۡيب
ْو ۡب
ٗمكح
ۡ ِ
ۡ
ۦ
ٗمكح
ۡ ِ
ٓ ه ۡ
ٓوي
ٗح ۡص
ِ
ُ
ٓ مهنۡيب
ُ
ُ
ًمي ع
و ٗ يب
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-istrri itu. Sesungguhnya Allah S.W.T Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.12
Dasar hukum mediasi di Indonesia adalah:
a. HIR Pasal 130 dan Rbg Pasal 154 telah mengatur lembaga perdamaian
hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang yang berperkara
sebelum perkaranya diperiksa
b. SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan lembaga perdamaian
dalam Pasal 130 HIR/154bg.
c. PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan
11 Harijah Darmis, “Hukum Mediasi Versi Sema Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai”, Dalam Mimbar Hukum, Nomor 63 Thn. XV, Edisi Maret-April 2004, 28
d. PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan
e. PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan
f. Mediasi atau APS di luar pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU No. 30
Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa.
B. Latar Belakang Lahirnya Proses Mediasi
Mediasi dalam literatur Hukum Islam dapat ditemui dalam firman, Allah
Ash Shu'ara ayat 38 :
ُ
ْو ب ۡ
ۡ هِب
ْو
ُل
ۡ ۡ
و
ۡ هنۡيب
ُم
ۡ هنۡ و
ن
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Pada ayat Al-Qur’an di atas, Allah S.W.T menganjurkan kepada manusia
agar dapat menyelesaikan sengketa melalui musyawarah. Hal ini sejalan dengan
sifat mediasi yang penyelesaian sengketanya bersifat consensus (kesepakatan)
dengan cara negosiasi. Agar dapat diselesaikan tanpa melalui proses litigasi.13
Di Indonesia, bila dilihat secara mendalam, tata cara penyelesaian
sengketa secara damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai
penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa diantara warganya.
Terlebih pada tahun 1945, tata cara ini secara resmi menjadi salah satu
falsafah negara dari bangsa Indonesia yang tercermin dalam asas musyawarah
untuk mufakat.
Mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah
merupakan culture (budaya) bangsa Indonesia sendiri. Baik dalam masyarakat
tradisional maupun sebagai dasar negara pancasila yang dikenal istilah
musyawarah untuk mufakat. Seluruh suku bangsa di Indonesia pasti mengenal
makna dari istilah tersebut, walaupun penyebutannya berbeda, akan tetapi
mempunyai makna yang sama dalam klausul-klausul suatu kontrak atau
perjanjian, pada bagian penyelesaian sengketa selalu diikuti dengan kata-kata
“kalau terjadi sengketa atau perselisihan akan diselesaikan dengan cara
musyawarah dan apabila tidak tercapai suatu kesepakatan akan disediakan di
Pengadilan Negeri’.14
Walaupun dalam masyarakat tradisional di Indonesia mediasi telah
diterapkan dalam menyelesaikan konflik-konflik tradisional, namun
pengembangan konsep dan teori penyelesaian sengketa secara kooperatif justru
banyak berkembang di negara-negara yang masyarakatnya tidak memiliki akar
penyelesaian konflik secara kooperatif.
Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya.
Pertama yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem hukum Indonesia (dalam
hal ini MA) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam sistem
peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed
resulotion.15
Untuk saat ini, pemberlakuan mediasi dalam sistem peradilan di
Indonesia didasarkan pada Perma Nomor 1 Tahun 2016 yang menetapkan
mediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu
putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui proses mediasi.
Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang masih
menganggap mediasi sebagai penyelesaian sengketa diluar pengadilan, sedangkan
tujuan utama dari pengintegrasian mediasi dalam proses beracara di pengadilan
adalah tidak lain untuk mengurangi tunggakan perkara di MA yang semakin
meningkat dari tahun-ketahun.
Berdasarkan uraian tersebut, maka yang menjadi latar belakang adanya
proses mediasi ialah sebagai berikut.
1. Sistem litigasi (peradilan) proses yang memakan waktu (waste time)
Mahkamah Agung sebagai pucuk lembaga peradilan telah
memberlakukan kebijakan dengan suratnya yang ditujukan kepada seluruh
15 Penggabungan dua konsep penyelesaian sengketa ini (mediasi dan litiasi diharapkan mampu
ketua pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi, yang isinya tentang
pelaksanaan proses peradilan pada tingkat pertama dan tingkat banding
masing-masing untuk tidak melebihi 6 bulan. Kebijakan tersebut dapat
dianggap efektif berjalan lancar sesuai harapan. Namun yang terjadi adalah
penumpukan perkara pada tingkat MA karena arus perkara yang demikian
tinggi, sehingga justisiabelen setelah melewati masa kurang menunggu pada
tingkat MA yang lamanya rata-rata lebih dari tiga tahun. Waktutersebut
belum ditambah apabila ada pihak yang mengajukan peninjauan kembali.
2. Biaya yang tinggi (high cost)
Biaya mahal yang harus dikeluarkan oleh para pihak untuk
menyelesaikan sengketa di pengadilan timbul oleh karena mereka diwajibkan
membayar biaya perkara yang secara resmi telah ditentukan oleh pengadilan.
Belum lagi upah yang harus dibayarkan kepada pengacara/advokat bagi pihak
yang menggunakan jasa mereka.16
3. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan perkara
“Menang jadi arang kalah jadi abu” begitu kira-kira slogan yang
menggambarkan jika suatu sengketa diselesaikan dengan menggunakan jalur
litigasi. Tersebut mencerminkan putusan pengadilan terkadang tidak serta
merta menyelesaikan persoalan sengketa melalui jalan perundingan, karena
dengan melalui hal itu akan mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar,
baik kerugian yang berupa moril dan materiil.
Menurut Yahya Harahap, tidak ada putusan pengadilan yang mengantar
para pihak yang bersengketa kearah penyelesaian masalah, putusan pengadilan
tidak bersifat problem solving diantara pihak yang bersengketa melainkan
putusan pengadilan cenderung menempatkan kedua belah pihak pada dua sisi
ujung yang saling berhadapan, karena menempatkan salah satu pihak pada
posisi menang (winner) atau kalah (loser), selanjutnya dalam posisi ada pihak
yang menang dan kalah, bukan kedamaian dan ketentraman yang timbul tetapi
pihak yang kalah timbul dalam dendam dan kebencian.17
Selain itu, putusan hakim terpaku dengan formil yang jika tidak
terpenuhi akan mengakibatkan batal demi hukum, pada perkara-perkara
tertentu, seorang yang mempunyai hak sering dirugikan karena tidak
memenuhi syarat formil. Sebaliknya orang yang seharusnya dihukum
memberikan gaji rugi, karena tidak terbukti secara formil maupun materil
maka dia bebas dari jeratan hukum.
C. Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur
mediasi di pengadilan merupakan bentuk pembaruan dan peraturan Mahkamah
Agung sebelumnya, yakni peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
tentang prosedur mediasi di pengadilan.
Penyempurnaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan
17 M. Yahya Harahap “Tinjauan Sistem Peradilan”, dalam Mediasi dan Perdamaian (Jakarta:
tersebut ditemukan beberapa masalah, sehingga perlu dikeluarkan PERMA baru
dalam rangka mempercepat dan mempermudah penyelesaian sengketa serta
memberikan akses yang lebih luas kepada pencari keadilan.
Mediasi merupakan salah satu instrumen yang efektif untuk mengatasi
penumpukan kasus di pengadilan serta memaksimalkan fungsi lembaga
pengadilan dalam penyelesaian perkara.18 Sebagaimana mediasi bukan hanya
sekedar formalitas beracara belaka tapi memberikan kesempatan untuk berdamai,
namun hakim harus berperan aktif mengupayakan perdamaian.19
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur
mediasi di pengadilan ini memiliki tempat istimewa karena proses mediasi
menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan,
sehingga hakim dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa
melalui mediasi, apabila para pihak melanggar atau tidak menghadiri mediasi
terlebih dahulu, maka putusan yang dihasilkan batal demi hukum dan akan
dikenai sanksi berupa kewajiban membayar biaya mediasi, hal ini disebutkan
dalam pasal 22 ayat 1 dan ayat 2 peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
Dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan tingkat pertama, para pihak
harus beri’tikad baik dalam proses mediasi, namun mengingat tidak semua para
pihak beri’tikad baik dalam proses mediasi, maka dalam pasal 22 ayat 1 dan 2
18 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, 310.
19 Bagir Manan, Peradilan Agama dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung, (Jakarta: Direktori
PERMA ini mempunyai akibat hukum bagi para pihak yang tidak beri’tikad baik
dalam proses mediasi.
Hakim atau kuasa hukum dari pihak-pihak yang berperkara dituntut untuk
aktif dalam mendorong para pihak untuk berperan aktif dalam proses mediasi,
dengan adanya kewajiban menjalankan mediasi, maka hakim dapat menunda
persidangan perkara agar dapat terjalin komunikasi antara para pihak yang
berperkara.
Adapun dalam proses mediasi di Pengadilan Agama diatur prosedur
beracara mediasi yakni:
a. Tahap Pra mediasi
Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim menunda proses
persidangan persidangan perkara unruk memberikan kesempatan proses
mediasi lama 30 hari kerja. Hakim menjelaskan prosedur mediasi kepada para
pihak yang bersengketa. Para pihak memilih mediator dari daftar nama yang
telah tersedia pada hari sidang pertama atau paling lama 2 hari kerja
berikutnya. Apabila dalam jangka waktu tersebut dalam point 4 para pihak
tidak dapat memilih mediator yang dikehendaki. Ketua majelis hukum segera
menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan fungsi
mediator.
b. Tahap Proses mediasi
Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk
kepada hakim mediator yang ditunjuk. Proses mrdiasi berlangsung paling lama
30 hari kerja sejak penetapan perintah melakukan mediasi. Mediator
berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para
pihak telah 2 kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai
jadwal yang disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.
c. Mediasi mencapai kesepakatan
Jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan perdamaian maka wajib
dirumuskan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
Jika mediasi diwakili oleh kuasa hukum maka para pihak wajib menyatakan
secara tertulis persetujuan yang dicapai. Para pihak wajib menghadap kembali
kepada hakim pada sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan
kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta
perdamaian.
d. Mediasi tidak mencapai kesepakatan
Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan, mediator wajib menyatakan
secara tertulis proses mediasi telah gagal. Pada tiap tahapan pemeriksaan
perkara hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mengusahakan
perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Jika mediasi gagal,
pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.20
20 Mahkamah Agung RI, PERMA RI No 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
D. Mediasi Dalam Perkara Perceraian
Perkara perceraian termasuk perkara contentius21 dan termasuk
karakteristik sengketa emosional.22 Dalam sengketa perkara perceraian,
kewajiban mendamaikan para pihak bersifat imperative yakni sebagai beban yang
diwajibkan oleh undang-undang atau hukum kepada majelis hakim yang
memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut,23 oleh karena itu upaya
mendamaikan ini haruslah dilakukan secara serius dan optimal. Khusus dalam
perkara perceraian yang didasarkan pada alasan terjadinya perselisihan dan
pertengkaran terus menerus,24 maka agar majelis hakim mendapat informasi yang
akurat dan lengkap tentang penyebab dan seluk beluk perselisihan tersebut untuk
dijadikan sebagai bahan dalam upaya mendamaikan, undang-undang pun
merintahkan agar menghadiri keluarga serta orang-orang yang dekat dengan
suami istri itu untuk didengarkan keterangannya.25 Bahkan untuk perkara
syiqa>q,26 majelis Hakim dapat menunjuk keluarga kedua belah pihak untuk
diangkan menjadi h}akam, kemudian h}akam inilah yang secara intensif akan
mengupayakan perdamaian kedua belah pihak yang hasilnya kemudian
disampaikan kepada majelis hakim.
21 Perkara contentius adalah suatu perkara yang didalamnya berhadapan kedua belah pihak yang
bersengketa, disebut juga dengan perkara gugatan. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 41.
22 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 192.
23 Lihat Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 PP NoMOR 9 Tahun 1975 jo. Pasal 65
dan 82 UU Nomor 7 Tahun 1989. Evi Sofiah, “Putusan Perdamaian dan Penerapannya di PA”, Jaih Mubarok (ed), Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 123
24 Lihat Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f)KHI 25 Lihat Pasal 22 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975
26 Merupakan Perselisihan yang meruncing antara suami isteri yang diselesaikan oleh dua orang
juru damai (hakam). Syahrizal Abbas, Mediasi (Dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum
Hal tersebut senada dengan Q.S. An-Nisa’: 35.
ۡ
ۡ ۡ
ا
مهنۡيب
ْو ۡب
ٗمكح
ۡ ِ
ۡ
ۦ
ٗمكح
ۡ ِ
ٓ ه ۡ
ٓوي
ٗح ۡص
ِ
ُ
ٓ مهنۡيب
ُ
ُ
ًمي ع
و ٗ يب
Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah S.W.T, supaya kamu mendapat rahmat”.27
Adapun apabila perkara perceraian itu karena alasan zina, cacat badan,
atau sakit jiwa yang berakibat tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka
upaya perdamaian oleh mejelis hakim tetap saja harus dilaksanakan karena hal
itu suatu kewajiban tetapi tidak dituntut secara optimal, apa yang dilakukan
hanya sebagai suatu kewajiban moral saja, bukan sebagai kewajiban hukum.
Perdamaian dalam sengketa yang menyangkut hukum kebendaan
(zakenrecht), maka akan dengan sendirinya menghentikan sengketa dan
perdamaian yang dibuat serta telah disepakati kedua belah pihak yang kemudian
dilakukan dengan putusan perdamaian berkekuatan eksekutorial. Lalu halnya
dengan perkara yang menyangkut dengan status seseorang (personal recht)
seperti dalam perkara perceraian ini, maka apabila terjadi perdamaian, karena
tidak mungkin dibuat suatu perjanjian/ketentuan yang melarang seseorang
melakukan perbuatan tertentu, seperti melarang salah satu pihak meninggalkan
tempat tinggal bersama, memerintahkan supaya tetap mencintai dan
menyayangi, tetap setia, melarang supaya tidak mencaci maki, ngomel, dan lain
sebagainya, karena hal-hal seperti ini apabila diperjanjikan dalam suatu akte
perdamaian, dan kemudian dilanggar oleh salah satu pihak, maka akte
perdamaian itu tidak akan dapat dieksekusi. Selain itu akibat dari berbuat dan
tidak berbuat yang demekian itu tidak mengakibatkan putusnya perkawinan
kecuali salah satu pihak mengajukan gugatan baru untuk perceraiannnya.28
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut diatas, maka untuk
mewujudkan keinginan perdamaian dalam perkara perceraian adalah dengan jalan
mencabut perkara tersebut oleh Penggugat/Pemohon, pencabutan perkara karena
damai (rukun kembali) ini, haruslah dibuatkan penetapan oleh majelis hakim.29
E. Manfaat Mediasi
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya
mampu mencapai kesepakatan diantara mereka, sehingga manfaat mediasi sangat
dirasakan. Bahkan dalam mediasi yang gagal, meskipun belum ada penyelesaian
yang dicapai, proses mediasi yang sebelumnya berlangsung telah mampu
mengklarifikasi persoalan dan mempersempit perselisihan. Dengan demikian para
pihak dapat memutuskan penyelesaian seperti apa yang dapat mereka terima
daripada mengejar hal-hal lain yang tidak jelas.
Untuk menyelesaikan sengketa memang sulit, namun mediasi dapat
memberikan beberapa manfaat penyelesaian sebagai berikut:30
28 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Yayasan Al-Hikmah, 2000), 104
29 Hal tersebut sejalan dengan yurisprudensi MA RI No 216 K/Sip/1953 tanggal 21 Agustus 1953
yang berpendapat bahwa gugaran perceraian (termasuk permohonan talak) harus ditolak apabila antara suami dan isteri telah terjadi perdamaian dan apabila ditolak harus dibuatkan produk hukum berupa putusan atau penetapan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Abdul Manan, Penetapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, 105.
30 Gatot P. Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaian sengketa dengan cepat dan relatif
murah dibandingkan membawa perselisihan tersbut ke pengadilan.
b. Mediasi akan mefokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata,
jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya.
c. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung
dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
d. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap
proses dan hasilnya.
e. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling
pengertian yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa karena
mereka sendiri yang memutuskannya.
f. Mediasi menghilangkan konflik atau permusuhan yang selalu mengiringi
setiap putusan yang memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan.
Selain yang disebutkan di atas, manfaat mediasi lainnya adalah proses cepat
acaranya cepat, kerahasiaannya terjamin, biaya yang ditimbulkan tidak mahal,
lebih memberikan rasa keadilan bagi para pihak dan berhasil baik dalam
penyelesaian masalah tanpa masalah.31
31 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap Pengadilan
BAB III
PELAKSANAAN MEDIASI PADA PERKARA PERCERAIAN DI
PENGADILAN AGAMA SAMPANG
A. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Agama
1. Sejarah dan Kedudukan Pengadilan Agama Sampang
Pengadilan Agama Sampang termasuk salah satu Pengadilan Agama
yang berkedudukan di madura, yang dahulu pengaturan tentang susunan,
kekuasaan dan hukum acaranya berdasarkan pada Stb. Tahun 1882 Nomor 152
jo Sbt. Tahun 1973 Nomor 116 dan 610 tentang Peradilan Agama di Jawa dan
Madura.
Dasar hukum pembentukan Peradilan Agama Sampang secara spesifik
sampai hari ini masih dalam penelusuran. Dokumen tertua yang telah
ditemukan berupa putusan Pengadilan Agama Sampang Nomor 1 Tahun 1958
dalam perkara fasakh yang dijatuhkan pada tanggal 07 januari 1958 dengan
ketua dijabat oleh KH. Zubair. Sudah barang tentu, dalam perkembangan
kekuasaan kehakiman yang kemudian diganti dengan undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, dan
terakhir diganti dengan undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman.
Sebelum lahirnya undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
lahirnya undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dan
undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menjadi dasar eksistensi dan
kewenangan Pengadilan Agama telah semakin diperkokoh dengan lahirnya
undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur eksistensi dan kekuasaan Pengadilan Agama
sebagaimana tersebut di atas, sudah barang tertentu kesemuanya menjadi
dasar berdirinya Pengadilan Agama Sampang.1
Dalam Bab III Pasal 49 s/d 53 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dijelaskan tentang kewenangan dan kekuasaan
mengadili yang menjadi beban tugas Peradilan Agama. Dalam Pasal 49
ditentukan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam, khususnya di bidang hukum perdata.
Dengan demikian Pengadilan Agama Sampang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan menerima perkara yang yang dapat diterima
menurut jenis perkaranya. Yaitu:
a. Sengketa Perkawinan
b. Sengketa Waris
c. Sengketa Wasiat
d. Hibah
e. Zakat
f. Wakaf
g. Infaq
h. Shodaqoh
i. Sengketa Perekonomian Syari’ah.2
Pengadilan Agama Sampang selama tahun 2016 telah memutus 1.708
perkara, yang terdiri dari sengketa perkawinan (Perkara perceraian (1.642
perkara di putus dengan litigasi dan 56 perkara diputus/ditetapkan dengan
mediasi), isbat nikah (472 perkara), dispensasi kawin (7 perkara), wali adlol (1
perkara), penetapan ahli waris (4 perkara), penguasaan anak ( 0 perkara), harta
bersama (0 perkara), izin poligami (1 perkara), pembatalan perkawinan (0
perkara), perwalian (2 perkara), pengesahan anak, wasiat, hibah, wakaf
perwalian, infaq, izin kawin, shodaqoh, dan perekonomian syari’ah, (0
perkara), lain lain (99 perkara), ditolak (2 perkara), tidak diterima (8 perkara),
gugur (11 perkara), dicoret dari register (2 perkara).3
2. Wilayah Kewenangan
Pengadilan Agama Sampang merupakan Pengadilan tingkat pertama
yang bertugas dan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan Hukum Islam serta wakaf, zakat, Infaq dan shodaqoh serta
ekonomi syari’ah yang diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009.
2 Abdul Manan, penerepan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2008). 12
Menurut Yahya Harahap, dalam lia tugas dan kewenangan Pengadilan
Agama yaitu:4
a. Mengadili.
b. Memberi keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang Hukum Islam kepada
instansi pemerintah.
c. Kewenang Pengadilan Agama Tinggi mengadili perkara dalam tingkat
bending dan mengadili sengketa kompetensi relatif, serta bertugas mengawasi
jalannya peradilan.
Visi dari Pengadilan Agama Sampang terwujudnya badan Peradilan
Indonesia yang agung. Misinya (1) menjaga kemandirian badan peradilan, (2)
memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan, kepada pencari keadilan, (3)
meningkatkan kepemimpinan badan peradilan, (4) meningkatkan kredibilitas dan
transparansi badan peradilan.5
Yuridiksi Pengadilan Agama Sampang meliputi wilayah Kabupaten
Sampang dengan luas 1.233,02, Propinsi Jawa Timur dengan batas-batas sebagai
berikut:
a. Sebelah utara dibatasi dengan laut jawa
b. Sebelah timur dibatasi dengan Kabupaten Pamekasan
c. Sebelah selatan dibatasi dengan Selat Madura
d. Sebelah barat dibatasi dengan Kabupaten Bangkalan Kabupaten Sampang.
4 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. (Jakarta: Pustaka
Kartini, 1989), 133
5Pengadilan Agama “Visi dan Misi” dalam
Terdiri dari 14 kecamatan, 180 Desa dan 6 Kelurahan keempat belas
Kecamatan tersebut adalah sebagai berikut: Sampang, Torjun, Camplong,
Jrengik, Omben, Tambelangan, Kedungdung, Sreseh, Robatal, Ketapang,
Sokobenah, Banyuates, Pengarengan dan Karangpenang.
3. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Sampang menurut data badan pusat
statistika Kabupaten Sampang; 925,911 jiwa pada Tahun 2014
4. Jarak Tempuh
Jarak Pengadilan Agama Sampang dengan Kecamatan yang ada di
Kabupaten Sampang: a) Sampang 0 KM, b) Camplong10 KM, c) Omben13
KM, d) Torjun7 KM, e) Jrengik16 KM, f) Sreseh43 KM, g) Kedundung13
KM, h) Tambelangan25 KM, i) Robatal 27 KM, j) Ketapang 41 KM, k)
Banyuates 56 KM l) Sokobanah 57 KM, m) Pengarengan 9 KM, n)
Karangpenang 28 KM
5. Susunan Jabatan Ketua Pengadilan Agama Sampang
Dari data sementara ini dapat dihimpun, jabatan Ketua Pengadilan
Agama Sampang secara berurutan yang pertama s/d sekarang ini dijabat oleh:
1) KH. Zuber (Periode jabatan masih ditelusuri), 2) KH. Zayyadi (Periode
jabatan masih ditelusuri), 3) Drs. H.M. Yusoef Cotib, SH. (Tahun
1976-1992), 4) A. Soetikno Rozy, SH. (Tahun 1992-1994), 5) Drs. A. Faqih
Sulaiman (Agustus 1994-Januari 2001), 6) Drs. Mustanjid Aziz (Juni
2002-Agustus 2004), 7) Drs. Hidayat Kusfandi, SH. (2002-Agustus 2004-Januari 2006),
2008-September 2010), 10) Drs. H. Khazini (September 2010 September
2012), 11) Drs. H. Syaiful Heja, MH. September 2012-sekarang)6
6. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sampang
Untuk menunjang program kerja yang telah dirumuskan, maka
diperlukan adanya suatu koordinasi kerja yang baik agar program kerja dapat
dilaksanakan dengan baik, efektif dan efisien.
Program kerja berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan jika
didukung dan diselenggarakan dengan pengorganisasian yang baik dan teratur.
Hal ini dapat menciptakan hubungan-hubungan mekanisme kerja; Ketua (Drs.
H. Rohmad Ariadi, SH), Wakil Ketua (Drs. Nasrul, MA), Hakim (Dra. Hj. Siti
Aisah, MH, Dra. Hj. Nurul Hidayati, M. Hum, Ismail, S.Ag, M.Hi, dan
Muhammad Azhar, S.ag, M.H), Sekretaris (Akhmadi,SH), Panitera (Drs.
Abdullah Faqih), Wakil Panitera (Siti. Khodijah, SH), Panitera Muda
Gugatan (Imran Saleh, SH), Panitera Permohonan (Dra. Hj. Hafiyah), Panitera
Hukum (Moh. Nurholis, SH), Kaur Kepegawaian (Dini Rahmawati. S.Sos),
Kaur Keuangan (Benny Hardiyanto. SH), Kaur Umum (Hj. Fitriatus Shoidah),
Panitera Pengganti (Abdul Rachman dan Akhmad Khoirul Huda)
7. Daftar Mediator Pengadilan Agama Sampang
Berdasarkan Surat Keputusan dari Ketua Pengadilan Agama Sampang
04 April 2016, maka ditunjuk 5 orang hakim mediator. Hal ini sudah mengacu
pada Perma Nomor 1 Tahun 2016. Kriteria terpenting mediator adalah
memiliki kemampuan mengajak atau mempengaruhi dan meyakinkan pihak
yang bersengketa untuk mencari jalan yang terbaik menyelesaikan sengketa
mereka dan mampu berinteraksi dengan luas atau mampu menciptakan
pendekatan sosial kepada para pihak yang bersengketa, serta memiliki
keahlian khusus pada bidangnya masing-masing, sehingga pada proses
perumusan dan penyelesaian masalah yang dihadapi akan lebih terarah dan
terperinci. Selain itu penunjukan hakim sebagai mediator juga untuk
menghindari sanksi pada Pasal 3 Ayat 3 Perma Nomor 1 Tahun 2016 yang
menyatakan bahwa: “Hakim pemeriksa perkara yang tidak memerintahkan
para pihak untuk menempuh mediasi sehingga para pihak tidak melakukan
mediasi telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai mediasi di pengadilan.”
Penunjukan hakim mediator oleh Ketua Pengadilan Sampang telah
dituangkan dalam surat keputusan ketua Pengadilan Agama Sampang Nomor:
W13-A31/615/HK.05/IV/2016.
Mediator Pengadilan Agama Sampang; 1) Drs. Nasrul, MA. 2) Dra. Hj.
Siti Aisah, MH. 3) Dra. Hj. Nurul Hidayati, M. Hum. 4) Ismail,S.ag., M.HI. 5)
Muhammad Azhar, S.Ag., MH. 7
B. Pelaksanaan Upaya Mediasi pada Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Sampang
Penawaran anjuran