i
TERAPI BERMAIN LOMPAT JINGKAT ANGKA UNTUK
MENGEMBANGKAN KOGNITIF DALAM MENGENAL ANGKA PADA ANAK DOWN SYNDROM DI PAUD INKLUSI MELATI TRISULA
SIDOARJO
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperolah
Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)
Oleh:
SYAYIDA MIFTAKHUL WAHYU MASITHO NIM. B03213029
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Nama : Syayida Miftakhul Wahyu Masitho
NIM : B03213029
Jurusan : Dakwah
Prodi : Bimbingan dan Konseling Islam
Judul :
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.
Surabaya, 17 Januari 2017
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing,
Dr. Hj. Sri Astutik, M.Si
NIP. 19590205 198603 2 004
PERNYATAAN
PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI
Bismillahirrahmanirrahim
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Syayida Miftakhul Wahyu Masitho NIM : B03213029
Prodi : Bimbingan dan Konseling Islam
Alamat : Ds. Kemuning RT.10/02 Tarik-Sidoarjo Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa:
1) Skripsi ini tidak pernah dikumpulkan kepada lembaga pendidikan tinggi manapun untuk mendapatkan gelar akademik apapun.
2) Skripsi ini adalah benar-benar hasil karya saya secara mandiri dan bukan merupakan hasil plagiasi atas karya orang lain.
3) Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini sebagai hasil plagiasi, saya akan bersedian menanggung segala konsekuensi hukum yang terjadi.
Surabaya, 22 Januari 2017
ABSTRAK
Syayida Miftakhul Wahyu Masitho (B03213029). Terapi Bermain Lompat Jingkat Angka untuk Mengembangkan Kognitif dalam Mengenal Angka pada Anak Down Syndrom di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo.
Fokus penelitian ini adalah, (1) Bagaimana proses pelaksanaan terapi bermain lompat jingkat angka untuk mengembangkan kognitif dalam mengenal angka pada anak down syndrom di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo?, (2) Bagaimana hasil terapi bermain lompat jingkat angka untuk mengembangkan kognitif dalam mengenal angka pada anak down syndrom di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif komparatif yaitu membandingkan data yang ada pada teori dengan data yang terdapat pada lapangan. Sedangkan dalam mengumpulkan data peneliti menggunakan teknik observasi berperan, wawancara, dan dokumentasi. Setelah data terkumpul, analisa dilakukan untuk mengetahui proses serta hasil dengan membandingkan kondisi konseli sebelum dan sesudah melakukan proses terapi bermain lompat jingkat angka.
Penelitian ini berusaha mengembangkan kognitif konseli melalui terapi bermain lompat jingkat angka, yaitu permainan yang melatih konsentrasi dan ingatan konseli terhadap bentuk dan makna angka. Selain itu untuk menimbulkan semangat konseli dalam menjalani permainan ini, peneliti menerapkan teknik
reinforcement berupa pujian dan pelukan bila konseli mampu membilang angka
satu sampai tiga. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa kognitif klien kurang berkembang yang ditandai dengan kurangnya konsentrasi, tidak dapat membilang, dan cenderung melakukan segala sesuatu dengan asal-asalan. Melalui terapi bermain lompat jingkat angka, hasil akhir dari Bimbingan dan Konseling Islam dinyatakan cukup berhasil karena konseli sebelumnya tidak mengenal angka sama sekali, konsentrasi mudah teralihkan, dan berlaku asal-asalan. Namun, setelah diterapkan terapi bermain lompat jingkat angka konseli mampu membilang angka satu sampai tiga, mampu berkonsentrasi dalam waktu yang cukup lama, dan perilaku asal-asalannyapun dapat terminimalisir.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
PENGESAHAN ... iii
MOTTO... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Definisi Konsep ... 13
F. Metode Penelitian... 19
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 19
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian ... 21
3. Tahap-Tahap Penelitian ... 22
4. Jenis dan Sumber Data ... 24
5. Teknik Pengumpulan Data ... 25
6. Teknik Analisis Data ... 28
7. Teknik Keabsahan Data ... 29
G. Sistematika Pembahasan ... 32
BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritik ... 35
1. Terapi Bermain ... 35
a. Pengertian Terapi Bermain ... 35
b. Fungsi Terapi Bermain ... 40
c. Alat-Alat Main Media Intervensi... 45
2. Down Syndrom... 51
a. Pengertian Down Syndrom ... 51
b. Penyebab Down Syndrom ... 52
c. Karakteristik Down Syndrom ... 53
d. Metode Belajar Down Syndrom ... 56
3. Mengembangkan Kognitif ... 59
a. Pengertian Mengembangkan Kognitif ... 62
b. Urgensi Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini ... 68
x
4. Terapi Bermain Lompat Jingkat Angka sebagai Alternatif Mengembangkan Kognitif Anak Down
Syndrom dalam Mengenal Angka ... 73
B.Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 80
BAB III : PENYAJIAN DATA A.Dekripsi Umum Obyek Penelitian ... 84
1. Deskripsi Lembaga PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo ... 84
2. Deskripsi Konselor ... 96
3. Deskripsi Konseli ... 99
4. Deskripsi Masalah ... 102
B.Deskripsi Hasil Penelitian ... 105
1. Deskripsi Proses Terapi Bermain Lompat Jingkat Angka untuk Mengembangkan Kognitif dalam Mengenal Angka pada Anak Down Syndrom di PAUD Inklusi Sidoarjo ... 105
2. Deskripsi Hasil Terapi Bermain Lompat Jingkat Angka untuk Mengembangkan Kognitif dalam Mengenal Angka pada Anak Down Syndrom di PAUD Inklusi Sidoarjo ... 128
BAB IV : ANALISIS DATA A.Analisis Proses Terapi Bermain Lompat Jingkat Angka untuk Mengembangkan Kognitif dalam Mengenal Angka pada Anak Down Syndrom di PAUD Inklusi Sidoarjo ... 131
B.Analisis Hasil Terapi Bermain Lompat Jingkat Angka untuk Mengembangkan Kognitif dalam Mengenal Angka pada Anak Down Syndrom di PAUD Inklusi Sidoarjo ... 140
BAB V : PENUTUP A.Kesimpulan ... 142
B.Saran ... 144
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadirnya buah hati bagi orang tua tentu menjadi salah satu hadiah terbesar dari Tuhan, dialah yang menjadi perekat cinta kasih antara ayah dan ibu, aset masa depan bagi keduanya, serta sebuah kebanggaan yang patut dipamerkan kepada khalayak. Sebagai manusia yang tak pernah surut oleh pengharapan tentu orang tua menginginkan anugerah yang sempurna baik secara akhlak maupun fisiknya. Namun, kadangkala kenyataan tak sesuai dengan harapan. Inginnya memiliki buah hati rupawan nan sholih, Allah SWT malah memberi buah hati spesial, yang membutuhkan perlakuan khusus agar mendapatkan mutiara darinya. Buah hati spesial ini dikenal sebagai anak dengan kebutuhan khusus.
Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki pengertian sebagai anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dari anak pada umumnya, mereka mengalami penyimpangan/kelainan secara signifikan dalam perkembangan fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional. Ada banyak jenis ABK, diantaranya tunagrahita, hiperaktif, Down Syndrom, autis, tunarungu, tunanetra, tunawicara, tunadaksa, dan lain-lain.1 walau mereka tercipta sebagai individu yang berbeda, pada hakikatnya di mata Allah SWT, anak berkebutuhan khusus merupakan individu yang memiliki derajat kemuliaan setara dengan manusia ‘normal’ pada umumnya. Hal tersebut telah termaktub dalam kumpulan firman-Nya:
1
2
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S Al- Hujurat: 13)2
Ayat ini menyiratkan pengertian, bahwa setiap manusia memiliki persamaan hak, tidak terkecuali bagi mereka yang berlabel anak berkebutuhan khusus.
Ketidak sempurnaan fisik maupun mental bukanlah alasan menjadi pribadi rendah diri, karena walau bagaimanapun semua manusia mengalami proses penciptaan yang sama, yakni tercipta dari saripati tanah sebagai substansi dasar kehidupan manusia berupa protein dan sari-sari makanan yang mengalami proses metabolisme di dalam tubuh sehingga menjadi hormon (sperma), kemudian dari hasil pernikahan (hubungan seksual) antara ayah dan ibu terjadilah pembauran antara sperma dan ovum di dalam rahim, lalu berproses hingga mewujudkan bentuk manusia.3 Pembeda manusia satu dengan yang lain bukan terletak pada kegagahan atau kesempurnaan jasmani melainkan terletak pada ketaqwaan. Kekurangan yang melekat dalam diri anak berkebutuhan khusus sejatinya adalah salah satu bentuk ujian dari Allah SWT untuk mereka, orangtua, dan keluarganya, barang siapa yang mampu melewati ujian ini dengan sabar dan lapang dada maka
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: UD Mekar Surabaya, 2000), hal. 847.
3
3
tentulah keridloan Allah beserta surga menjadi hadiah untuk mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang tertulis dalam Q.S. Al- Baqarah ayat 155
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar” (Q.S Al- Baqarah: 155)4
Sabar bukan berarti berpangku tangan sembari mengharap keajaiban datang. Sebagai orang tua dari anak berkebutuhan spesial, khususnya anak dengan Down
Syndrom sudah sepantasnya bila memaksimalkan potensi yang ada pada mereka,
karena banyak ahli berpendapat bahwa anak dengan kebutuhan khusus memiliki bakat lebih unggul dibanding anak normal,5 akan tetapi untuk mendapatkan bakat terbaik dari mereka dibutuhkan usaha yang lebih keras dari orang tua dan pendidik.
Dewasa ini, banyak bermunculan kisah inspiratif yang telah ditorehkan oleh para difabel, diantaranya Stephanie Handoyo (18 tahun) berhasil memecahkan rekor MURI (Musium Rekor Indonesia) sebagai pemain piono dengan membawakan sebanyak 23 lagu berturut- turut dalam acara musik di Semarang- Jawa Tengah. Selain Stephanie, ada Samuel yang berhasil memperoleh penghargaan dari MURI (Musium Rekor Indonesia) sebagai pelukis penyandang
Down Syndrom pertama yang menggelar 50 karya lukisan dalam pameran
lukisannya, Reviera Novitasari membuktikan kehebatannya pada bidang olahraga
4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya(Surabaya: UD Mekar Surabaya, 2000), hal. 39.
5
4
cabang renang 100 meter gaya dada pada kejuaraan International di Canberra Australia tahun 2008 lalu, dengan membawa pulang piala perunggu,6 serta masih banyak lagi prestasi hebat yang telah diraih oleh anak berkebutuhan khusus. Mereka berhasil membuktikan kepada dunia bahwa kekurangan dalam diri bukanlah halangan untuk mengukir prestasi, melalui pendekatan yang tepat anak-anak spesial ini mampu mengoptimalkan potensi mereka. kisah- kisah tersebut menjadi salah satu bukti janji Allah yang selalu memberikan potensi ke dalam jiwa makhluk ciptaan-Nya, sebagai bentuk cahaya harapan dalam gelapnya keputus asaan.
Berdasarkan data dari Indonesia Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB) Bogor, anak dengan Down Syndrom di Indonesia pada tahun 2008 mencapai lebih dari 300.000 anak.7 Angka ini tentu tidak dapat dikatakan sebagai angka kecil yang keberadaannya dapat terabaikan. Perkembangan Ilmu tentang tumbuh kembang anak menjadi salah satu cara bagi orang tua untuk melek bagaimana seharusnya menghadapi anak dengan Down Syndrom.
Down Syndrom adalah kelainan kromosom, yakni kelebihan kromosom
pada nomor 21. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom yang saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.8 Gunarhadi menyatakan bahwa Down Syndrom merupakan kumpulan gejala akibat abnormalitas kromosom. Biasanya kromosom 21 yang tidak dapat memisahkan diri selama
6
Nadya Fitri, 7 Anak Down Syndrom yang Menakjubkan, 2014 (http://ibudanmama.com/topik-hangat/10-anak-sydrome-yang-menakjubkan-dunia, diakses 8 Oktober 2016).
7
Silviana Dekayati,dkk. Pengaruh Terapi Bermain Menyusun Menara Donat terhadap Peningkatan Kemampuan Motorik anak Down Syndrome Usia Sekolah di SLB Negeri Semarang, 20134(http://pmb.stikestelogorejo.ac.id, diakses 17 September 2016).
8
5
meiosis sehingga terjadi individu dengan 47 kromosom. Abnormalitas jumlah
kromosom inilah yang mengakibatkan keterbelakangan mental dan fisik pada anak.
Menurut Blackman dan Gunarhadi, secara fisik anak Down Syndrom memiliki tubuh relatif pendek, kepala mengecil, hidung datar menyerupai orang Mongolia, posisi mata miring ke atas, tangan pendek tapi lebar dengan lipatan tunggal pada telapak tangan, memiliki penyakit jantung bawaan, gangguan mental, tubuh kecil, kekuatan otot lemah, kelenturan yang tinggi pada persendian, bercak pada iris mata, adanya lipatan ekstra pada sudut mata, dan lubang mulut kecil.9
Salah satu hambatan yang dialami oleh anak Down Syndrom adalah terbatas dalam kemampuan kognitif, biasanya mereka kesulitan dalam hal- hal yang berhubungan dengan belajar karena kemampuan atensi, mengingat, dan generalisasi yang lambat bila dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. Masalah ini dapat berasal dari lemahnya kemampuan persepsi dan menilai, serta kemampuan menggunakan ingatan pendek yang lemah pada anak Down
Syndrom.10 Kelemahan inilah yang mempengaruhi anak Down Syndrom
mengalami kesuliatan berbahasa, karena faktor kognitif individu tidak dapat
9Anita Kusuma Wati, “Penanganan Kognitif Anak Down Syndrom Melalui Metode Kartu Warna di TK Permata Bunda Surakarta Tahun Ajara 2013/2014” (Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013), halaman 9.
10 Anita Kusuma Wati, “Penanganan Kognitif Anak Down Syndrom Melalui Metode Kartu Warna di TK Permata Bunda Surakarta Tahun Ajara 2013/2014” (Skripsi, Fakultas
6
dipisahkan pada perkembangan bahasa anak. Para ahli kognitif juga menegaskan bahwa kemampuan anak berbahasa tergantung pada kematangan kognitifnya.11
Kognitif merupakan kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa.12 Hal ini sejalan dengan pendapat Gagne bahwa kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berfikir. Kemampuan kognitif berkembang secara bertahap sejalan dengan perkembangan fisik dan saraf- saraf di pusat susunan saraf terkait. Terman mengatakan bahwa kognitif adalah kemampuan untuk berfikir secara abstrak. Sedangkan Colvin mengungkapkan bahwa kognitif adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.13
Jhea Piaget mengemukakan pendapatnya tentang empat tahapan kognitif bagi anak yang memiliki hambatan dalam perkembangan mental, sosial, fisik, dan intelegensi, tahapan- tahapan tersebut adalah:
1. Tahap sensorimotor Intelegensia (MA = 0 – 1,5 atau 2 Tahun) 2. Tahap berfikir secara pra- operasional (MA= 2-7 Tahun) 3. Tahap operasi konkret (MA= 7- 11 tahun)
4. Tahap operasi Formal atau nyata (MA= 11- 12 tahun lebih)
11
Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), halaman 39.
12
Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011), halaman 47.
13
7
Mengembangkan kognitif sangat baik dilakukan ketika anak Down
Syndrom masih berusia dini14, yakni pada usia 2-7 tahun15, karena pada masa ini
otak anak berada dalam fase golden age, yaitu perubahan cepat dalam perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional. Berdasarkan tahapan kognitif yang telah dikemukakan oleh Piaget anak usia 2- 7 tahun menginjak pada tahap berfikir secara pra- operasional.
Tahap pra-operasional, dicirikan dengan adanya perkembangan berbahasa secara ego-centric speech, yaitu berbicara kepada dirinya sendiri seperti:
repetation atau echolalia, monologue, duel or collective monologue, dan
socialized speech, yaitu bahasa yang berlangsung ketika terjadi kontak antara anak dan temannya atau dengan lingkungannya seperti adapted information,
criticsm, commands, request, threats; questions; answers. Disamping bentuk lain
seperti simbol-simbol untuk mereperesentasikan dunia atau lingkungan secara kognitif sebagai gambaran dari perkembangan konseptual secara cepat.16
Menurut hemat penulis anak Down Syndrom pada usia 2- 7 tahun memiliki salah satu tugas perkembangan kognitif berupa kemampuan mengungkapkan gagasannya secara simbolik sehingga ia mampu untuk melakukan kegiatan yang dipenuhi imajinasi seperti bercerita luar biasa atau bercerita yang tidak masuk akal.
14
Bandi Deplhie, Bimbingan Konseling untuk Perilaku Non- Adaptif, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005) halaman 59.
15
Nusa Putra & Ninin Dwilestari, Peneletian Kualitatif: Pendidikan Anak Usia Dini (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), halaman 4.
16
8
Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk memenuhi tugas perkembangan kognitif anak dengan Down Syndrom pada masa pra-operasional adalah dengan pengenalan angka, huruf, bentuk- bentuk geometri dan warna. Agar menarik perhatian anak-anak, aktivitas ini dapat diselipkan dalam kegiatan bermain, karena pembelajaran yang terlalu tekstual akan sulit dipahami oleh anak, selain itu mereka harus diberikan pemahaman melalui contoh- contoh konkrit, dan peragaan langsung.17
Bermain merupakan unsur yang penting untuk perkembangan anak baik secara fisik, emosi, mental, intelektual, kreativitas dan sosial. Anak yang mendapat kesempatan untuk bermain akan menjadi orang dewasa yang mudah bergaul, kreatif, dan cerdas bila dibandingkan dengan mereka yang masa kecilnya kurang mendapat kesempatan bermain.18
Seperti kasus yang terjadi pada Annisa Fushilat, seorang siswi PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo. Ia berusia 9 tahun. Dalam diagnosa dokter spesialis tumbuh kembang anak, Annisa mengalami kelainan kromosom yang dikenal dengan Down Syndrom. Secara kasat mata, ia terlihat berbeda dengan kawan seusianya, Annisa memiliki raut wajah oriental dengan hidung datar layaknya orang Mongolia, giginya tumbuh tidak beraturan, dan sering mengeluarkan air liur. Dalam perkembangan motoriknya, ia tergolong anak yang cukup aktif, ia mampu berjalan, meloncat, bahkan juga mampu menari. Sedangkan dari segi kegiatan menolong diri ia cukup mampu melakukan aktifitas pribadi seperti makan dan memakai sepatu secara mandiri walau terkadang masih
17 Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), halaman 49.
18
9
membutuhkan bantuan. Selain itu, Annisa pantas disebut sebagai peniru ulung, karena tanpa merasa kesulitan ia dapat meniru perilaku shadow yang mengiringinya, dalam sudut pandang perkembangan sosial, Annisa tumbuh menjadi anak perempuan yang memiliki kepercayaan diri cukup tinggi, ia dapat berbaur dengan anak normal seusianya walaupun ia kurang lancar dan cenderung membeo saat berkomuniksai. Untuk ukuran anak dengan Down Syndrom Annisa dapat dikatakan cukup mahir di dalam perkembangan motorik, dan sosialnya. Namun, di balik kelihaiannya tersebut, perkembangan kognitif Annisa mengalami hambatan, hal ini ditandai dengan ketidak mampuan Annisa dalam mengenali simbol-simbol untuk merepresentasikan gagasan yang ingin diucapkannnya. Ia belum bisa memaknai angka satu hingga sepuluh, hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya tugas perkembangan pada masa
pra-operasional. Padahal, kemampuan untuk melafalkan bilangan 1 sampai 10
merupakan tugas perkembangan bahasa anak pada usia 5 tahun. Sedangkan pemahaman pada makna bilangan 1- 20 merupakan tugas perkembangan kognitif anak pada usia 3-4 sampai 5-6 tahun.19 Hal ini diperkuat dengan pendapat Butterworth yang menyatakan bahwa setiap anak memiliki modul angka bawaan sejak lahir secara biologis yang terletak di otak. Jadi secara umum, tampaknya semua anak mempunyai kapasitas bawaan sejak lahir yang kurang lebih sama
19
10
dalam mengenal angka yang sifatnya biologis, walaupun tentu saja pasti ada variasi individual di sana sini. 20
Salah satu bantuan untuk mengembangkan kognitif anak Down Syndrom dalam mengenal angka dapat dilakukan melalui terapi bermain lompat jingkat angka. Permainan ini merupakan terapi bermain untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak karena mereka dilatih untuk mengingat dan menghafal bentuk angka 0-9 serta memahami maknanya, sehingga anak dapat memiliki pemahaman yang utuh terhadap angka dan mampu mengingat simbol-simbol yang terwujud dalam angka.
Lompat jingkat angka di dalamnya menyertakan angka yang disimpan pada papan loncatan, serta diiringi dengan nyanyian ‘mengenal angka dan bentuknya’. Saat permainan berlangsung anak akan meloncati papan angka dan mendarat sesuai dengan syair lagu tersebut, ketika ia berhenti pada tiap papan angka, ia harus mengucapkan angka yang diinjak tersebut disertai acungan jari tangan sesuai dengan angka yang diinjaknya. Permainan ini melatih ingatan anak pada bentuk angka, melatih konsentrasi penglihatan dan pendengaran anak, serta melatih anak untuk mengeluarkan suara yang bermakna.
Berlatar belakang demikian Peneliti sangat tertarik untuk mengembangkan kognitif Konseli yang diarahkan pada pengembangan kemampuan aritmatika untuk memperkenalkan angka 0-9 pada anak Down Syndrom di PAUD Inklusi Melati melalui terapi bermain lompat jingkat angka. Sehingga Peneliti mengangkat judul Penelitian
20Hanny Savitri Hartono, “Kemampuan Memahami Angka dan Matematika pada Anak”
11
Terapi Bermain Lompat Jingkat Angka untuk Mengembangkan Kognitif
dalam Mengenal Angka pada Anak Down Syndrom di PAUD Inklusi Melati
Trisula Sidoarjo.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses terapi bermain lompat jingkat angka untuk mengembangkan kognitif dalam mengenal angka pada anak down syndrom di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo?
2. Bagaimana hasil pelaksanaan terapi bermain lompat jingkat angka untuk mengembangkan kognitif dalam mengenal angka pada anak down syndrom di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo?
C.Tujuan Penelitian
1. Agar dapat mendeskripsikan proses terapi bermain lompat jingkat angka untuk mengembangkan kognitif dalam mengenal angka pada anak Down
Syndrom di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo.
2. Agar dapat mendeskripsikan hasil pelaksanaan terapi bermain lompat jingkat angka untuk mengembangka kognitf dalam mengenal angka pada anak Down Syndrom di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo.
D.Manfaat Penelitian
12
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis Penelitian ini dapat bermanfaat bagi civitas akademik UIN Sunan Ampel Surabaya, khususnya bagi program studi strata 1 Bimbingan dan Konseling Islam. Sebagai salah satu referensi ataupun koleksi perpustakaan di UIN Sunan Ampel Surabaya, juga sebagai sarana memperluas khazanah keilmuan dalam bidang terapi bermain untuk anak
down syndrom agar dijadikan sumber kajian bagi mahasiswa yang hendak
mengetahui atau meneliti kembali dalam konteks yang berbeda, sehingga dapat ditindak lanjuti bagi kepentingan-kepentingan keilmuan pada masa yang akan datang.
2. Manfaat praktis
13
3. Definisi Konsep
1. Terapi Bermain Lompat Jingkat Angka
Terapi menurut kamus Bahasa Indonesia adalah usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit, pengobatan penyakit, atau perawatan penyakit.21
Bermain merupakan setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir.22 Bermain dilakukan secara suka rela dan tidak ada paksaan. Kegiatan ini tidak memiliki peraturan lain kecuali yang ditetapkan oleh pemainnya sendiri.
Menurut Joan Freeman dan Utami Munandar, bermain merupakan suatu aktivitas yang membantu anak mencapai perkembangan yang utuh, baik secara fisik, intelektual, sosial, moral, dan emosional.23
Sedangkan menurut Hughes bermain merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja. Menurutnya suatu kegiatan dapat dikatakan bermain, apabila telah memenuhi lima unsur, yaitu:
a. Memiliki tujuan, artinya permainan tersebut dapat menghasilkan kepuasan bagi pemainnya.
b. Memilih dengan bebas dan atas kehendak sendiri, tidak ada paksaan dalam melakukan aktivitas bermain.
c. Menyenangkan.
21
Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru (Surabaya: Almalia, 2003), halaman 516.
22
Hurlock, Elizabeth B. Perkembangan Anak ( Jakarta: Erlangga, 1978) , halaman 320.
23
14
d. Mengkhayal untuk mengembangkan daya imajinatif dan kreativitas.
e. Melakukan secara aktif dan sadar.24
Berdasarkan keterangan yang telah didapat, maka dapat disimpulkan bahwa terapi bermain yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses penyembuhan atau pemberian bantuan yang memiliki fungsi pengembangan potensi anak melalui aktivitas menyenangkan berupa permainan untuk mencapai perkembangan yang optimal dalam bidang fisik, intelektual, emosi, dan moral.
Lompat jingkat atau lebih dikenal dengan permainan taplak,
engklek, atau gedrik merupakan permaian yang memiliki tujuan dalam
versi asli untuk melempar sebuah spidol (batu gepeng, kantung pasir, dan lain-lain) ke dalam kotak yang masing-masing bernomor teratur, melompat ke atas segiempat kecil dengan salah satu kaki dan melampaui kotak dimana spidol mendarat.25
Permainan lompat jingkat memiliki beragam manfaat dalam meningkatkan kemampuan kognitif dan fisik bagi anak. Manfaat- manfaat tersebut adalah:
a. Perkembangan kognitif 1) Mengenal angka 2) Berhitung
3) Menyusun angka
24
Andang Ismail, Education Games (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), halaman 14.
25
15
b. Perkembangan fisik 1) Melompat
2) Meningkatkan keseimbangan
3) Meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot26
Lompat jingkat angka yang dimaksud dalam Penelitian ini, yaitu suatu permainan dengan arena bermain berbentuk persegi panjang yang tersusun dari 10 buah persegi, masing-masing persegi menyertakan nomor urut dari angka 0-9, dalam permainan ini juga diiringi nyanyian ‘mengenal angka dan bentuknya’. Saat permainan berlangsung anak akan
meloncati papan angka dan mendarat sesuai dengan syair lagu tersebut, ketika ia berhenti pada tiap papan angka, ia harus mengucapkan angka yang diinjak disertai acungan jari tangan sesuai dengan angka yang diinjaknya. Permainan ini melatih ingatan anak pada bentuk angka, melatih konsentrasi penglihatan dan pendengaran anak, serta melatih anak untuk mengeluarkan suara yang bermakna.
2. Mengembangkan Kognitif
Pengertian mengembangkan menurut kamus Bahasa Indonesia berarti membuka lebar- lebar, menjadikan besar, dan usaha menjadikan maju.27
26
Rica Pae, Permainan- Permainan Pengembangan Karakter Anak- Anak (Jakarta: PT. Indeks, 2012), halaman 139.
27
16
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kognitif mengandung pengertian kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri. Kognitif merupakan kegiatan mental dalam memperoleh, mengolah, mengorganisasi , dan menggunakan pengetahuan.28
Pengertian kognitif meliputi aspek- aspek struktur intelek yang dipergunakan untuk mengetahui sesuatu.29 Kognitif memiliki pengertian sebagai kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa.
Witherington, mengemukakan bahwa kognitif adalah pikiran. Pikiran dapat digunakan dengan cepat dan tepat untuk mengatasi suatu situasi untuk memecahkan masalah. Perkembangan kognitif adalah perkembangan pikiran. Pikiran adalah proses berpikir dari otak, pikiran yang digunakan untuk mengenali, mengetahui, dan memahami.30
Pengembangan kognitif dimaksudkan agar anak dapat melakukan eksplorasi terhadap dunia sekitar melalui panca inderanya, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki, anak dapat melangsungkan hidup dan menjadi manusia utuh sebagai makhluk Tuhan yang memberdayakan segala karunia di dunia ini untuk kepentingan dirinya dan orang lain.
28
Paul Henry Mussen,dkk. Perkembangan dan Kepribadian Anak (Jakarta: Erlangga, 1984), halaman 194.
29
Singgih D. Gunarsa, Dasar dan Teori Perkembangan Anak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), halaman 136.
30
17
Adapun proses kognitif meliputi persepsi, ingatan, pikiran, simbol, dan pemecahan masalah.31
Selain dipengaruhi oleh fungsi otak dan proses hormonal yang terjadi pada manusia, kemampuan berpikir seseorang juga dipengaruhi oleh kuat lemahnya memori yang terekam dalam ingatan. Ingatan terbagi menjadi dua yaitu ingatan sadar dan ingatan bawah sadar. Ingatan sadar salah satunya dapat diperoleh melalui jalur pendidikan formal, misalnya ingatan dalam mempelajari matematika di sekolah. Sedangkan, ingatan bawah sadar diperoleh dari pengalaman yang telah dilalui manusia, biasanya ingatan ini terekam tanpa disadari dan dapat tersimpan dalam waktu yang lama. Namun, tidak semua pengalaman dapat menjadi ingatan bawah sadar, hanya pengalaman yang meninggalkan kesan atau pengalaman yang biasa saja tapi dilakukan berulang-ulanglah yang biasanya menjadi materi dalam ingatan bawah sadar manusia.32 Maka, berdasar pernyataan di atas, Peneliti berusaha menciptakan pengalaman yang meninggalkan kesan indah bagi Annisa Fushilat dalam mengenal angka melalui permainan lompat jingkat angka agar ingatannya terhadap angka tertanam kuat.
Perkembangan kemampuan berpikir dapat dipengaruhi oleh pola interaksinya dengan orang lain, yang mana dalam bahasa psikologi sering disebut stimulus/ impuls. Pemikiran manusia terbentuk melalui proses
31
Ahmad, Susanto. Perkembangan Anak Usia Dini (Jakarta: Kencana Prenada Media Grroup, 2011), halaman 48.
32
18
rangkaian stimulus - kognisi - respon, yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa, dan bertindak33.
Jadi, mengembangkan kognitif dalam Penelitian ini berarti usaha seorang konselor dan konseli dalam memajukan kemampuan berpikir konseli untuk mengenal angka sehingga seorang konseli dapat mengetahui simbol-simbol berupa angka untuk merepresentasikan gagasannya, yang selanjutnya dapat berimbas dalam kemajuan berbicara konseli.
3. Down Syndrom
Down Syndrom adalah kelainan kromosom, yakni kelebihan
kromosom pada nomor 21. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom yang saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.34 Gunarhadi menyatakan bahwa Down Syndrom merupakan kumpulan gejala akibat abnormalitas kromosom. Biasanya kromosom 21 yang tidak dapat memisahkan diri selama meiosis sehingga terjadi individu dengan 47 kromosom. Abnormalitas jumlah kromosom inilah yang mengakibatkan keterbelakangan mental dan fisik pada anak.
Menurut Blackman dan Gunarhadi, secara fisik anak Down Syndrom memiliki tubuh yang relatif pendek, kepala mengecil, hidung datar menyerupai orang mongolia, posisi mata miring ke atas, tangan pendek
33
Kasandra Oemarjoedi, Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi ( Jakarta: Kreativ Media, 2003), halaman 6.
34
19
tapi lebar dengan lipatan tunggal pada telapak tangan, memiliki penyakit jantung bawaan, gangguan mental, tubuh kecil, kekuatan otot lemah, kelenturan yang tinggi pada persendian, bercak pada iris mata, adanya lipatan ekstra pada sudut mata, dan lubang mulut kecil.35
Anak dengan Down Syndrom dalam Penelitian ini cukup mampu melakukan kegiatan menolong diri walau terkadang membutuhkan bantuan orang lain, lincah, suka menari, dan mampu bersosialisasi dengan teman- temannya. Hal ini dapat terjadi karena konseli mengikuti terapi semenjak usia 3 tahun. Walaupun banyak hal yang telah dikuasai, akan tetapi konseli masih memiliki salah satu hambatan berupa kesulitan menghafal/mengingat suatu kegiatan/keterampilan yang telah diberikan (membutuhkan waktu yang cukup lama bila dibandingkan teman-teman yang lain), serta mengalami kesulitan dalam mereperesentasikan gagasan yang dimilikinya khususnya ketika mengatakan tentang jumlah bilangan. Hambatan ini menjadi masalah karena melafalkan bilangan dan memaknai bilangan adalah tugas perkembangan kognitif anak pada usia 3-4 sampai 5-6 tahun. Sedangkan konseli kini telah berusia 9 tahun.
4. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Penelitian kualitatif, yakni penelitian yang bersifat naturalistik (alamiah), apa adanya, dalam situasi normal, dan tidak dimanipulasi situasi dan kondisinya.
35 Anita Kusuma Wati, “Penanganan Kognitif Anak Down Syndrom Melalui Metode
20
Sebagaimana yang telah diungkapkan Bogdan dan Taylor, metode penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif berusaha memahami persoalan secara keseluruhan dan dapat mengungkapkan rahasia dan makna tertentu.36
Penelitian kualitatif adalah metode Penelitian yang berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan data dengan triangulasi, analisis data bersifat kualitatif, dan hasil penelitian lebih menekankan makna daripada generalisasi.37
Penelitian kualitatif dipilih untuk memahami fenomena yang dialami konseli secara menyeluruh yang dideskripsikan berupa kata- kata dan bahasa untuk kemudian dirumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip, dan definisi secara umum.
Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah studi kasus yaitu uraian dan penjelasan komperehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi, suatu program, atau suatu situasi sosial. Jenis penelitian ini dipilih karena peneliti
36
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012) halaman 14.
37
21
ingin menelaah data sebanyak mungkin secara rinci dan mendalam selama waktu tertentu mengenai subyek yang diteliti sehingga dapat membantunya keluar dari permasalahannya dan memperoleh penyelesaian.
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian
Sasaran Penelitian ini bernama Annisa Fushilat berusia 9 tahun, ia merupakan seorang siswi PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo yang menderita down syndrom. Annisa mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif yang salah satunya ditandai dengan ketidak mampuan dalam mengenali simbol-simbol sehingga ia kesulitan dalam merepresentasikan gagasan yang dimiliki, salah satu kesulitannya ialah menyebutkan dan memaknai bilangan 0-9.
Lokasi Penelitian di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo jalan Yos Sudarso No. 63 Sidoarjo. Peneliti memilih lokasi ini karena PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo memiliki siswi dengan down
syndrom, selain itu dalam mendampingi anak berkebutuhan khusus
22
telah diterapkan di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo sangat mendukung intervensi yang akan dilakukan Peneliti yaitu terapi bermain.
Peneliti dalam penelitian ini berperan sebagai pendamping dan terapis bagi anak dengan Down Syndrom, dapat dikatakan pula Peneliti melakukan observasi partisipatif karena selain melakukan pengamatan, peneliti juga ikut melakukan apa yang dikerjakan sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya. Di samping itu, peneliti juga memberi tahu kepada sumber data bahwa kedatangannya ke PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo untuk melakukan Penelitian.
3. Tahap- Tahap Penelitian
Ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh peneliti dalam melakukan penelitian, hal tersebut terangkum dalam penjelasan di bawah ini:
a. Tahap persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini berupa:
1) Meminta izin kepada kepala PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo untuk melakukan Penelitian di sekolah tersebut
23
a) Kartu angka sebagai salah satu alat untuk mengetahui kemampuan mengenal angka yang dimiliki Konseli
b) Karpet puzzle berupa persegi panjang yang tersusun atas persegi sama sisi sebanyak 10 buah sebagai sarana intervensi permainan lompat jingkat angka.
c) Pedoman wawancara b. Tahap Pelaksanaan
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan Penelitian ini adalah:
1) Melakukan tes sesuai dengan jadwal yang telah disepakati 2) Melaksanakan intervensi berupa terapi bermain lompat jingkat
angkabersama guru kelas dan guru pendamping PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo.
3) Melakukan wawancara kepada orang tua konseli, guru kelas, dan guru pendamping PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo. c. Tahap analisis
24
bermain lompat jingkat angka, dan hasil wawancara. Data tersebut akan dianalisis dengan menggunakan deskriptif komparatif.
d. Tahap penulisan laporan
Pada tahap ini peneliti menulis dan menyusun laporan penelitian atau skripsi.
4. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat non statistik, hal itu dapat mengindikasikan bahwa data yang diperoleh nantinya berbentuk verbal atau deskriptif bukan dalam bentuk angka. Ada dua jenis data dalam Penelitian ini, yaitu:
1) Data primer
Data yang diambil dari sumber pertama di lapangan, dan menjadi data utama bagi keberhasilan penelitian.38
Data primer dalam penelitian ini berupa hambatan dan potensi yang dimiliki konseli, proses terapi bermain lompat jingkat angka, dan hasil terapi bermain lompat jingkat angka untuk mengembangkan kognitif dalam mengenal angka pada anak down syndrom di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo.
38
25
2) Data skunder
Data yang diperoleh dari sumber kedua atau berbagai sumber guna melengkapi data primer.39
Data skunder dalam Penelitian ini berupa keterangan kondisi sekolah Konseli, dan gambaran lingkungan Konseli.
b. Sumber Data
Sumber data adalah subyek dari mana data diperoleh.40
1) Sumber data primer, yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti.41 Dalam hal ini, informasi yang didapat dari orang tua Konseli, kepala PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo, guru kelas Konseli, guru pendamping PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo dan Observasi perilaku Konseli.
2) Sumber Data Skunder, yaitu sumber yang tidak langsung memberikan data kepada Peneliti.42 Misalnya dalam Penelitian ini, informasi yang didapat dari dokumen-dokumen Sekolah.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam Penelitian, karena tujuan utama dari Penelitian adalah
39
Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial: Format- Format Kuantitaif dan Kualitatif (Surabaya: Universitas Airlangga, 2001), halaman 128.
40
Suharsimi Arikunto, prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT , Rieneka Cipta, 2006), halaman 129.
41
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2012), halaman 308.
42
26
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka Peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standard data yang ditetapkan.
Dalam Penelitian kualitatif, pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.
a. Observasi
Yaitu melakukan pengamatan secara sistematis dan terencana untuk memperoleh data yang valid. Dalam Penelitian ini Peneliti mengamati tingkah laku konseli saat diminta melambangkan angka yang menunjukkan tanggal atau jumlah temannya oleh guru di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo, mengamati pola interaksinya dengan orang lain, dan mengamati konseli dalam menyelesaikan kegiatan menolong diri.
b. Wawancara
Merupakan suatu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian melalui tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang memberikan informasi, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.43
43
27
Peneliti melakukan wawancara kepada beberapa informan, diantaranya kepada konseli untuk mengetahui kemampuan aritmatika khususnya dalam membilang, orang tua konseli untuk mengulas kondisi lingkungan konseli serta potensi dan hambatan yang dialami Konseli, guru kelas untuk mengulik kemampuan aritmatika yang dimiliki konseli dan metode pengajaran yang diterapkan selama ini kepada konseli, melakukan wawancara kepada Kepala PAUD untuk mengetahui kondisi sekolah Konseli dan kepada Guru pendamping PAUD untuk mendapatkan informasi mengenai tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui oleh Konseli.
c. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, cerita, biografi, peraturan, kebijakan dan lain- lain. Sedangkan dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain- lain.44
Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Hasil penelitian dari observasi atau wawancara akan lebih kredibel jika didukung oleh sejarah pribadi. Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data dari
44
28
buku tugas konseli, buku hasil evaluasi belajar konseli, dan data-data tentang sekolah Konseli.
[image:36.595.134.517.230.660.2]Keterangan lebih jelas tentang jenis data, sumber data, dan teknik pengumpulan data dalam Penelitian ini dijelaskan dalam tabel 1.1 di bawah ini
Tabel 1.1
Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data
No Jenis Data Sumber Data TPD
1. Deskripsi tentang biografi Konseli, potensi dan hambatan yang dimiliki.
Konseli, Orangtua Konseli, guru kelas, dan guru
pendamping PAUD.
W + O
2. Deskripsi tentang keadaan lingkungan sekolah. Kepala PAUD Inklusi Melati Sidoarjo, Dokumentasi, dan orang tua Konseli
W+ D + O
3. Deskripsi tentang Kemampuan mengenal angka Konseli, Konselor, dan guru pendamping PAUD.
W + O
4. Melakukan terapi bermain lompat jingkat angka
Konselor, Konseli, dan Guru
pendamping PAUD
W + O + D
5. Hasil proses terapi Konselor dan Konseli
W + O Keterangan :
TPD : Teknik Pengumpulan Data W : Wawancara
O : Observasi D : Dokumentasi
6. Teknik Analisis Data
29
dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya dalam unit- unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.45
Analisis data dalam Penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Namun, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data.
Teknik analisis data ini dilakukan setelah proses pengumpulan data yang telah diperoleh. Penelitian ini bersifat studi kasus, untuk itu teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif komparatif, yaitu setelah data terkumpul dan diolah selanjutnya dianalisis. Membandingkan pelaksanaan terapi bermain lompat jingkat angka di lapangan dan di dalam teori serta membandingkan kondisi awal Konseli sebelum bersinggungan dengan terapi bermain lompat jingkat angka dengan kondisi setelah pelaksanaan terapi bermain lompat jingkat angka.
7. Teknik Keabsahan Data
Uji keabsahan data dalam penelitian, sering hanya ditekankan pada uji validitas dan reliabilitas. Keabsahan data merupakan tingkat ketepatan antara data yang diperoleh pada obyek penelitian dengan data yang
45
30
dilaporkan oleh peneliti. Data yang valid adalah data yang tidak terdapat perbedaan antara data yang dilaporkan peneliti dengan kenyataan yang terjadi pada obyek di lapangan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi bersifat jamak dan tergantung pada konstruksi masalah.46
Dalam hal ini peneliti sebagai instrumen yang menganalisa data- data langsung di lapangan untuk menghindari kesalahan pada data-data tersebut, maka dari itu untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam Penelitian ini, Peneliti harus mengetahui cara- cara memperoleh tingkat keabsahan data. Cara- cara tersebut antara lain:
a. Keikutsertaan
Keikutsertaan Peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan tidak dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan pada latar penelitian. Penelitian tinggal di lapangan penelitian sampai kejenuhan tercapai.47
Peneliti ikut serta dalam mendampingi konseli di PAUD Inklusi Melati Trisula Sidoarjo selama empat bulan, berakhir hingga data yang terhimpun dirasa telah jenuh.
b. Meningkatkan ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka
46
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2014), halaman 119. 47
31
kepastian data dan urutan peristiwa dapat direkam secara pasti dan sitematis.48
Ketekunan pengamatan diharapkan agar memahami pokok perilaku, situasi, kondisi serta proses tertentu sebagai pokok Penelitian. Dengan kata lain, jika perpanjangan penelitian menyediakan data yang lengkap, maka ketekunan pengamatan menyediakan pendalaman data. Oleh karena itu ketekunan pengamatan merupakan bagian penting dalam pemeriksaan keabsahan data.
Peneliti berusaha mengamati secara cermat segala bentuk perilaku yang ditampakkan konseli sehingga peneliti dapat menemukan perubahan-perubahan yang dialami konseli, walau perubahan tersebut sangat kecil. Pengamatan terhadap perilaku konseli tentu tidak dapat dilakukan secara intens oleh peneliti, mengingat ada keterbatasan waktu dalam pertemuan peneliti dengan konseli, maka untuk menyiasati rintangan tersebut, peneliti akan terus berhubungan melalui ponsel dengan orang tua Konseli untuk menanyakan perkembangan Konseli.
c. Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan
48
32
berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi metode, dan triangulasi waktu.49
Triangulasi sumber berarti mengecek data yang telah diperoleh melalui berbagai sumber. Namun yang perlu diingat, keterangan dari berbagai informan tersebut tidak dapat digeneralisasikan, tapi semuanya harus dideskripsikan, dikelompokkan mana pandangan yang sama, dan mana yang berbeda.
Sedangkan triangulasi metode merupakan cara pengecekan data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data diperoleh dari wawancara kemudian dicek melalui metode observasi, dokumentasi, dll.
Lain halnya dengan triangulasi waktu, peneliti menguji keabsahan data berdasarkan waktu memperoleh data tersebut. Misalnya data diperoleh seorang informan di pagi hari, maka peneliti akan dicek di waktu dan situasi yang berbeda.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi metode untuk mengecek kembali data yang diperoleh melalui wawancara kepada informan tentang perilaku konseli dan observasi yang dilakukan peneliti terhadap perilaku konseli.
Selain melakukan triangulasi metode, peneliti juga menggunakan triangulasi sumber dengan melakukan wawancara kepada beberapa informan seputar perilaku konseli, dalam hal ini peneliti akan
49
33
mengulik perilaku konseli kepada orang tua konseli, guru kelas konseli, dan guru pendamping konseli.
5. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan skripsi yang akan kami lakukan, terbagi atas lima bagian, dengan susunan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN. Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan Penelitian, manfaat Penelitian, definisi konsep, metode Penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II: KAJIAN PUSTAKA. Dalam bab ini peneliti menyajikan gambaran, penjelasan, serta teori- teori yang berkaitan dengan judul Penelitian, diantaranya kajian teoritik tentang terapi bermain, permainan lompat jingkat angka, perkembangan kognitif anak dan anak dengan
Down Syndrom. Selain itu peneliti juga menuliskan penelitian- penelitian
tentang terapi bermain dan perkembangan kognisi anak Down Syndrom oleh peneliti- peneliti terdahulu.
BAB III: PENYAJIAN DATA. Pada bagian ini menjelaskan tentang deskripsi obyek penelitian dan hasil penelitian dari informan mengenai obyek penelitian.
34
35
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Kerangka Teoritik
1. Terapi Bermain
a. Pengertian Terapi Bermain
Terapi bermain, tersusun atas dua kata dasar, yaitu terapi dan bermain. Terapi menurut kamus Bahasa Indonesia adalah usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit, pengobatan penyakit, atau perawatan penyakit.51
Sedangkan bermain berasal dari kata main yang berarti perbuatan untuk menyenangkan hati (yang dilakukan dengan alat-alat kesenangan atau tidak) misalnya bola, gundu, layang-layang dan lain-lain. Sedangkan bermain dalam kamus bahasa Indonesia berarti melakukan sesuatu dengan alat dan sebagainya untuk bersenang-senag.52
Bermain menurut Hurlock merupakan setiap kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir.53 Bermain dilakukan secara suka rela dan tidak ada paksaan. Kegiatan ini tidak memiliki peraturan lain kecuali yang ditetapkan oleh pemainnya sendiri.
51
Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru (Surabaya: Almalia, 2003), halaman 516.
52
Poerwadarminto, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,2005), halaman 620.
53
36
Menurut Joan Freeman dan Utami Munandar, bermain merupakan suatu aktivitas yang membantu anak mencapai perkembangan utuh, baik secara fisik, intelektual, sosial, moral, dan emosional.54
Sedangkan menurut Hughes bermain merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja. Menurutnya suatu kegiatan dapat dikatakan bermain, apabila telah memenuhi lima unsur, yaitu:
a) Memiliki tujuan, artinya permainan tersebut dapat menghasilkan kepuasan bagi pemainnya.
b) Memilih dengan bebas dan atas kehendak sendiri, tidak ada paksaan dalam melakukan aktivitas bermain.
c) Menyenangkan.
d) Mengkhayal untuk mengembangkan daya imajinatif dan kreativitas. e) Melakukan secara aktif dan sadar.55
Berdasarkan keterangan dari para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa bermain merupakan aktivitas menyenangkan yang dilakukan oleh seseorang tanpa paksaan dengan tujuan tersirat untuk mencapai perkembangan yang utuh baik fisik, intelektual, moral, dan emosional.
Pengertian terapi dan bermain telah kita ketahui, maka selanjutnya adalah kita harus memahami secara komperehensif mengenai makna terapi bermain, menurut Dian Andriana terapi bermain yaitu penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu kondisi
54
Andang Ismail, Education Games (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), halaman 16.
55
37
perilaku yang bermasalah atau dianggap menyimpang dengan melakukan suatu perubahan serta menempatkan anak dalam situasi bermain.56
Sementara Landerth mendefinisikan terapi bermain sebagai hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis profesional dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya mengekspresikan dan eksplorasi dirinya (perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilakunya) melalui media bermain.57
Sedangkan International Assosiation for Play Theraphy menyebutkan bahwa terapi bermain adalah penggunaan secara sistematik dari model teoritis untuk memantapkan proses interpersonal dimana terapis bermain menggunakan kekuatan teraupetik permainan untuk membantu konseli mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesuliatan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.58
56
Dian Andriana, Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain pada Anak (Jakarta: Salemba, 2011), halaman 78.
57
Setiyo Purwanto, Artikel Psikologi Klinis Perkembangan dan Sosial, 2007:
Penerapan Terapi Bermain bagi Penyandang Autisme
(https://klinis.wordpress.com/2007/08/30/penerapan-terapi-bermain-bagi-penyandang-autisme-1/, diakses 14 Desember 2016).
58
Setiyo Purwanto, Artikel Psikologi Klinis Perkembangan dan Sosial, 2007:
Penerapan Terapi Bermain bagi Penyandang Autisme
38
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi bermain adalah proses penyembuhan atau pemberian bantuan yang dilakukan secara sistematis oleh seorang terapis kepada konseli guna membantu anak meminimisir kesulitannya dan meraih fungsi pengembangan potensi anak secara optimal dalam bidang fisik, intelektual, emosi, dan moral melalui aktivitas menyenangkan berupa permainan.
Sejak lahir, anak telah dianugerahi oleh Allah potensi dasar sebagai modal utama untuk memberdayakan bumi dan seisinya, sudah menjadi kewajiban bagi orang tua yang memiliki lebih banyak pengalaman hidup untuk membantu anak-anak dalam mengembangkan kecakapan dan motoriknya. Selain itu anak-anak juga dilengkapi unsur-unsur afeksi, kognisi, psikomotor yang sangat menunjang kecerdasan berkualitas59, lagi-lagi orang tua memiliki peran penting dalam mengaktifkan unsur-unsur ini semenjak anak masih berusia dini.
Bermain menjadi Salah satu jawaban bagi orang tua yang berkeinginan untuk memfasilitasi perkembangan anak, karena bermain merupakan sarana belajar yang cukup efektif dan menyenangkan.60 Bermain dipilih menjadi bentuk terapi karena dunia anak adalah dunia bermain, dimanapun dan dengan siapapun mereka berada permainan pasti tercipta. Al- Ghazali berpendapat bahwa bermain-main adalah sesuatu yang sangat penting, sebab bila orang tua melarang anak bermain
59
Andang Ismail, Education Games (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), halaman 8. 60
39
dan memaksakannya untuk belajar, besar kemungkinan tindakan ini dapat mematikan hati anak, mengganggu kecerdasannya, dan merusak irama hidupnya.61 Pendapat Al- Ghazali ini juga didukung oleh tindakan Rasulullah S.A.W. dalam memperlakukan anak dengan menimang, bermain kuda-kudaan, bermain cilukba, dan lain sebagainya bersama Hasan-Husain.62
Nyatanya, bermain tidak melulu soal kesenangan dan kepuasan. Andang Ismail memandang bermain dapat dijadikan sarana belajar tentang kehidupan, melatih kepercayaan diri, dan keberanian.63 Hal inilah yang membantu anak dalam mengembangkan kemampuan intrapersonalnya. Melalui bermain pula, anak belajar untuk mengekspresikan diri dalam memperoleh kompensasi atas hal-hal yang tidak mungkin dialami, dengan bermain dan menggunakan alat permainan inilah anak-anak mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan.64 Bermain juga terbukti dapat melatih anak dalam meningkatkan kemampuan bahasa, ketika bermain mereka tidak hanya menggunakan alat permainan, tapi juga menggunakan kata-kata khusus, mereka beradu argumen dan pendirian bila terjadi penyelewengan peraturan yang telah disepakati.65
Bermain merupakan aktivitas yang penting dilakukan oleh anak-anak. Sebab, dengan bermain mereka akan mendapatkan tambahan
61
Andang Ismail, Education Games (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), halaman 3. 62
Andang Ismail, Education Games (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), halaman 2.
63
Andang Ismail, Education Games (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), halaman 3. 64
Andang Ismail, Education Games (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), halaman 5. 65
40
pengetahuan dan pengalaman dalam hidupnya. Melalui permainan mereka akan memperoleh pelajaran yang mengandung aspek kognitif, sosial, emosi, dan fisik.66 Berdasarkan alasan-alasan demikianlah bermain dijadikan terapi guna membantu Konseli dalam mengembangkan potensi yang telah dimiliki.
b. Fungsi Terapi Bermain
Fungsi terapi bermain serta implikasi dalam permainan yang bersifat teraupetik sangat erat hubungannya dengan faktor biological,
intrapersonal, interpersonal, dan sosiocultural.67
Faktor biological dimaksudkan bahwa terapi bermain berkaitan erat dengan fungsi secara biologis, diantaranya bermain dapat dijadikan sebagai sarana untuk mempelajari keterampilan dasar, dapat digunakan sebagai penyalur energi untuk mendapatkan relaksasi, dan bisa menjadi stimulus secara kinestetik. 68
Bermain merupakan suatu wahana bagi anak untuk mempelajari keterampilan-keterampilan dasar. Misalnya saat seorang Bayi belajar mengkoordinasikan tangan dan gerakan mata (keterampilan dasar) melalui alat permainan yang menarik bagi dirinya (krincingan bayi) sebagai bentuk permainan untuk menjelajahi lingkungannya. Dalam permainan teraupetik, pada umumnya keterampilan-keterampilan dasar
66
Andang Ismail, Education Games (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), halaman 23. 67
Bandi Deplhie, Bimbingan Konseling untuk Perilaku Non Adaptif (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), halaman 111.
68
41
dapat dipelajari anak secara kebetulan yang mana fokusnya secara keseluruhan merupakan bentuk penyembuhan.
Melalui bermain seorang anak dapat menyalurkan seluruh energi serta mendapat relaksasi. Bermain identik dengan gerak, Diana Mutiah berpendapat bahwa berpartisipasi dalam permainan yang menuntun seluruh badan untuk bergerak dapat memberikan kesempatan untuk menyalurkan energi yang tidak dapat dilakukan dengan cara lain.69 Sebuah teori klasik, yakni teori surplus energi yang diajukan oleh Spencer berpandangan bahwa aktivitas bermain bermula dari bertumpuknya energi dalam tubuh yang perlu disalurkan. Perilaku bermain ditujukan untuk membuang atau melepaskan energi yang berlebihan tersebut.70 Bermain juga dapat dijadikan sebagai sarana relaksasi, ketika anak telah jenuh dengan rutinitas yang monoton, mereka cenderung akan mencari kegiatan yang dapat mengembalikan tenaga, kegiatan yang paling tepat adalah bermain. Saat anak-anak bermain, mereka merasa bebas, mereka akan tertawa dan terlihat senang ketika ia berlari, berkejar-kejaran, melompat-lompat, bahkan di saat ia terjatuh.
Bermain memberikan kemungkinan terhadap anak untuk melakukan stimulasi secara kinestetik. Misalnya seorang anak duduk di atas kursi goyang dan ia berkhayal sedang mengendarai sebuah mobil. Gerakan yang aktif membuat anak lebih banyak melakukan gerakan secara terus-menerus. Bermain yang bersifat kinestetik sangat
69
Diana Mutiah, Psikologi Bermain Anak Usia Dini (Jakarta: Kencana, 2010), halaman 169.
70
42
menguntungkan bila diterapkan guna membantu perkembangan kesadaran akan tubuh untuk dapat mengatur diri.
Faktor intrapersonal dalam bermain melibatkan tiga fungsi, yakni untuk memenuhi gairah diri, untuk mendapatkan kemampuan menguasai situasi tertentu, dan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengatasi konflik-konflik dirinya. 71
Bermain dapat memenuhi gairah diri. Setiap individu tentu memiliki keinginan, namun tidak semua keinginan dapat terwujudkan. Ada beberapa keinginan yang harus diikhlaskan atas kemustahilan wujudnya, melalui bermainlah anak dapat menyalurkan keinginannya yang tidak terpenuhi di dunia nyata. Bermain bagi seorang anak merupakan sesuatu yang harus ia lakukan, sehingga bermain akan memudahkan seorang Konselor untuk melakukan penerapan fungsi
intrapersonal, dalam istilah lain melalui bermain konselor dapat
mengetahui keinginan apa yang diidamkan oleh seorang anak.
Bermain dapat memungkinkan seorang anak untuk memperoleh kemampuan menguasai situasi tertentu. Bermain memberikan kesempatan bagi seorang anak untuk dapat menjelajahi lingkungannya. Bermain juga menjadi sarana untuk mengukur potensi yang dimiliki anak, meraka akan berusaha untuk menguasai benda, memahami sifatnya, maupun peristiwa yang berlangsung dalam lingkungannya.72
71
Bandi Deplhie, Bimbingan Konseling untuk Perilaku Non Adaptif (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005),halaman 112.
72
43
Misalnya dalam permainan petak umpet, seorang anak akan menjelajahi lingkungan, sehingga saat itu memungkinkan seorang anak untuk mempelajari fungsi-fungsi yang berkaitan dengan pikiran atau daya ingat, tubuh, dan dunia sekitarnya. Begitu pula saat anak berlari keliling rumah sambil berpura-pura menjadi sebuah kapal terbang, dalam hal ini anak sedang mempelajari kemampuannya untuk dapat merasakan inderanya, menirukan suara dan gerak kapal terbang. Dalam kaitan ini, indera bermain seorang anak diarahkan secara menyeluruh kepada perkembangan kognitif.
Bermain dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengatasi konflik-konflik dirinya. Setiap makhluk yang bernyawa tentu tidak terlepas dari peliknya masalah hidup. Pun anak-anak, sekalipun dunia mereka terkesan sangat sederhana, anak-anak juga kerap diterpa masalah dalam hidup. Freud mengatakan bahwa melalui bermain anak dapat memindahkan perasaan negatif ke objek bermainnya.73 Sebagai contoh, setelah anak mendapat hukuman dari guru, anak dapat menyalurkan marahnya dengan bermain pura-pura memukul boneka. Dengan mengulang-ulang pengalaman negatif melalui bermain, otomatis anak dapat mengatasi konflik yang berkecamuk dalam dirinya karena mereka telah mampu membagi pengalaman negatifnya ke dalam bagian-bagian kecil yang dapat dikuasainya, inilah yang membuat mereka merasa lebih lega.
73
44
Bermain memberikan fungsi interpersonal sebagai wahana bagi seorang anak untuk lebih banyak mempelajari keterampilan-keterampilan sosial.74 Ketika bermain, anak belajar terlepas dari bayang-bayang pengasuhnya, mereka berusaha mempelajari keterampilan baru sebagai cara untuk menjadi seseorang yang diharapkan oleh orang yang lebih tua darinya. Bermain juga memperkenalkan anak pada pengertian bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat, oleh karena itu mereka harus belajar untuk mengenal dan menghargai masyarakat melalui fungsi bermain.75
Fungsi bermain yang terakhir adalah sosiocultural, yaitu sebagai media belajar anak-anak dalam mempelajari peranan budaya bagi kepentingan diri mereka maupun orang lain.76 Permainan juga berfungsi sebagai sarana pralatihan bagi anak untuk mengenal aturan-aturan (sebelum ke masyarakat), mematuhi norma-norma dan larangan-larangan, berlaku jujur, setia (loyal), dan lain sebagainya.77
Permainan yang berusaha membantu anak-anak dalam mengembangkan kemampuan kognitifnya sering disebut sebagai permainan edukatif.78
74
Bandi Deplhie, Bimbingan Konseling untuk Perilaku Non Adaptif (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005),halaman 113
75
Diana Mutiah, Psikologi Bermain Anak Usia Dini (Jakarta: Kencana, 2010), halaman 113.
76
Bandi Deplhie, Bimbingan Konseling untuk Perilaku Non Adaptif (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005),halaman 114.
77
Diana Mutiah, Psikologi Bermain Anak Usia Dini (Jakarta: Kencana, 2010), halaman 113.
78
45
Menurut Andang Ismail, permainan edukatif merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan dan dapat merupakan cara atau alat pendidikan yang bersifat mendidik.79
Andang Ismail juga berpendapat bahwa permainan edukatif memiliki fungsi untuk:
1. Memberikan ilmu pengetahuan kepada anak melalui proses pembelajaran bermain sambil belajar.
2. Merangsang pengembangan daya pikir, daya cipta, dan bahasa agar dapat menumbuhkan sikap, mental, serta akhlak yang baik.
3. Menciptakan lingkungan bermain yang menarik, memberikan rasa aman, dan menyenangkan.
4. Meningkatkan kualitas pembelajaran anak-anak.80
c. Alat-Alat Main Media Intervensi
Sebelum melakukan terapi bermain, sangat bijak bila seorang Terapis menyeleksi alat-alat bermain yang akan diterapkan sebagai media intervensi. Mainan yang digunakan seyogyanya dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan dirinya. Secara umum, alat main yang dapat dipisah-pisahkan atau unstructured toys sangat baik dipakai oleh anak sebagai media ekspresi diri dengan bebas melalui kata-kata unik yang ia miliki.81
79
Andang Ismail, Education Games (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), halaman