PERSAMAAN MANUSIA (II) Prof. Drs Saad Abdul Wahid
Tafsir Ayat
Ayat pertama, yaitu surat An’am (6): 98 termasuk ayat makkiyah. Sebab surat al-An‘am seluruhnya adalah makkiyyah, kecuali satu ayat, yaitu ayat 111. Ayat ini adalah madaniyyah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul- Munzir dari Abi Juhaifah. (Rasyid Rida, t.t. VII: 283).
Dimaksudkan dengan “nafs” pada ayat tersebut ialah manusia yang terdiri dari ruh dan badan.(Rasyid Rida, VII: 638), dan yang dimaksudkan dengan “nafsin wahidah” (seorang diri) ialah Nabi Adam as. (As-Sabuniy, 1981, III: 87).
Ayat kedua, yaitu surat al-A’raf (7): 189, termasuk ayat makkiyyah, sebab seluruh surat al-A’raf adalah makkiyyah, kecuali ayat 163, menurut pendapat Qatadah, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh dan Ibnu Hibban. (Rasyid Rida, VIII: 294).
Ketika menafsirkan ayat ini Rasyid Rida menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan “nafsun wahidah” ialah “jinsun wahidun (satu jenis), yang bentuknya adalah manusia. (Rasyid Rida, IX : 517).
Ayat ketiga (surat Zumar (39): 6), juga termasuk ayat makkiyyah, sebab surat az-Zumar seluruhnya adalah makkiyyah.
Tiga ayat tersebut (al- An’am (6): 98, al-A’raf (7): 189 dan az-Zumar (39): 6)
menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari jenis yang sama. Ini menunjukkan bahwa manusia adalah sama, tidak ada yang lebih tinggi dari lainnya.
Ayat keempat (surat Nisa’ (4): 1) adalah madaniyyah, sebab seluruh ayat dari surat Nisa’ adalah madaniyyah. Al-‘Au fiy meriwayatkan dari Ibni ‘Abbas, bahwa surat an-Nisa’ diturunkan di Madinah. Riwayat yang sama juga disampaikan oleh Ibnu
Mardawiyah, dari ‘Abdullah ibnuz- Zubair dan Zaid ibnu Sabit. (Al-Qasimiy, 1978, V: 6). Ayat ini juga menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari satu jenis (min nafsin
wahidah). Siapakah satu jenis itu? Dalam hal ini para mufassir berbeda pendapat. Rasyid Rida dalam tafsirnya menjelaskan, sebagian mufassir berpendapat bahwa setiap seruan seperti ini (ya ayyuhan-nasu: hai manusia), yang dimaksudkan adalah ahli Makkah atau kaum Quraisy, jika pendapat ini benar, maka bolehlah diambil pengertian bahwa yang dimaksudkan dengan nafsin wahidah adalah kaum Quraisy atau ‘Adnan, dan apabila pernyataan itu bersifat umum bagi seluruh Arab, maka boleh diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan “nafsin wahidah” adalah Ya’rib atau Qahtan. Apabila pernyataan itu ditujukan kepada seluruh ummat, maka yang dimaksudkan dengan “nafsin wahidah”, adalah siapa saja menurut keyakinannya.. Apabila yang diyakini adalah bahwa semua manusia berasal dari Adam, maka yang dimaksudkan dengan “nafsin wahidah” adalah Adam. (Rasyid Rida, IV: 324). Pendapat yang terakhir inilah yang paling mendekati kepada kebenaran, sebab pada beberapa ayat Allah memanggil manusia dengan istilah “Ya Bani Adama” (Hai anak cucu Adam),yaitu pada surat al-A’raf (7): 26, 27, 31 dan 35). Ayat kelima (Ali Imran (3): 59), termasuk ayat madaniyyah, sebab surat Ali ‘Imran seluruhnya adalah madaniyyah.
Adapun sebab nuzul ayat tersebut, berkenaan dengan peristiwa kedatangan para utusan dari Nasrani Najran yang mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah saw: “Mengapa kamu mencela sahabat kami?”. Rasul menjawab: “Apa yang kukatakan?”. Mereka berkata: “Kamu berkata bahwa ‘Isa adalah hamba Allah”. Rasul menjawab: “Ya, ia adalah hamba dan utusan-Nya dan kalimah-Nya yang Dia berikan kepada perempuan perawan”. Kemudian mereka marah dan berkata: “Apakah kamu pernah melihat seseorang tanpa bapa? Jika kamu pernah melihatnya., tunjukkanlah kepada kami.
Kemudian Allah menurunkan ayat ini. (Al-Maragiy, 1969, III: 173). Ayat ini memberikan isyarat bahwa manusia pada hakikatnya adalah sama.
Ayat keenam (Al-Hujurat (49): 13), termasuk ayat madaniyyah, sebab surat al-Hujurat seluruhnya adalah madaniyyah. (Al-Qasimiy, 1978, XV: 105).
Sebab nuzul ayat tersebut, menurut riwayat yang ditakhrijkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Ibnu Abi Mulaikah, berkenan dengan peristiwa Bilal ketika naik di atas Ka’bah untuk mengumandangkan azan pada hari al-Fath (hari penaklukan kota Makkah). Pada waktu itu sebagian orang merasa kurang pas karena ia adalah seorang hamba berkulit hitam, kemudian turunlah ayat tersebut (al-Hujurat (49): 13).
Menurut Abu Dawud, ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa Abi Hindin ketika Rasulullah saw memerintahkan kepada Bani Bayadah (bangsa berkulit putih) agar menikahkan anak perempuannya dengan Abi Hindin, tetapi mereka menolaknya dengan berkata: “Apakah kami harus menikahkan anak kami dengan budak-budak yang berkulit hitam?”. Kemudian turunlah ayat tersebut.(As-Siyutiy, 1954, Lubabun-Nuzul: 204). Peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat tersebut menunjukkan bahwa pada
permulaan Islam, sebagian orang muslim masih beranggapan bahwa kemuliaan manusia ditentukan oleh warna kulit dan harta kekayaan. Hal ini terjadi karena pada waktu itu masih sangat dekat dengan masa jahiliyyah. Mereka beranggapan bahwa orang berkulit putih lebih tinggi kedudukan dan derajatnya dari orang yang berkulit hitam. Maka pada masa itu sebagian orang muslim tidak menghargai Bilal, seorang muazzin yang disayangi Rasul saw. Padahal manusia di sisi Allah SWT adalah sama, tiada yang membedakan antara mereka kecuali taqwanya.
Pada ayat sebelumnya Allah telah berulang kali memerintahkan kaum mukminin supaya membina masyarakat Islami yang berhiaskan akhlak karimah, dengan menjunjung setinggi-tingginya persamaan dan kehormatan, serta melarang perbuatan sombong, dengki, saling menghina dan merendahkan. Kemudian pada ayat ini Allah
memerintahkan kepada semua manusia yang terdiri dari berbagai bangsa dan berbagai suku agar menyadari bahwa semua manusia berasal dari satu bapa dan satu ibu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuann.
Dimaksudkan dengan “min zakarin wa unsa” menurut al-Qasimi ialah: dari Adam dan Hawa, atau dari air mani laki-laki dan ovum (sel telur) perempuan, atau dari bapa dan ibu, yang keduanya berasal dari satu jenis. Maka tidaklah beralasan jika saling berbuat sombong dan beranggapan bahwa dirinya lebih mulia dari lainnya, sebagaimana
ditegaskan pada surat al-An’am (6): 98, al-A’raf (7): 189, az-Zumar (39): 6, an-Nisa’ (4): 1 dan Ali ‘Imran (3): 59.
Hai manusia, ketahuilah bahwa Tuhanmu adalah satu dan bapakmu adalah satu, ketahuilah bahwa tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab atas bangsa lainnya dan tidak ada kelebihan bangsa lain atas bangsa Arab, dan tidak ada kelebihan bagi bangsa berkulit hitam bagi bangsa berkulit merah, dan tidak ada kelebihan bangsa berkulit merah atas bangsa berkulit hitam, kecuali karena taqwa. Ketahuilah,apakah anda telah mendengar apa yang saya sampaikan? Mereka menjawab: Ya. Nabi saw: bersabda: Maka hendaklah orang yang hadir menyampaikan pernyataan ini kepada orang yang tidak hadir.. (Ditakhrijkan oleh Ahmad, Musnad Ahmad, V: 411, dari Nadrah).
Ishaq al-Mausiliy dalam syairnya mengatakan:
Manusia di alam yang penuh khayalan ini adalah sama Bapak mereka adalah Adam, ibu mereka adalah Hawa’. Jika mereka mempunyai kemuliaan dalam keturunan mereka yang mereka banggakannya, maka hanyalah tanah dan air. (Al-Maragiy, 1969,XXVI: 141). Maka pada hakikatnya manusia adalah sama, berasal dari satu bapak dan satu ibu, kemudian Allah mengembangbiakkannya menjadi berbagai bangsa dan berbagai suku yang berbeda-beda bahasa dan warna kulitnya, berbeda-beda kepandaian, kekayaan dan kekuatannya. Perbedaan-perbedaan tersebut hendaknya tidak menimbulkan
kesombongan, pertikaian dan permusuhan. Perbedaan tersebut hendaknya dijadikan motivasi untuk saling mengenal, saling menolong dan saling menghormati, sehingga dapat hidup bertetangga dengan damai dan dapat membangun manusia seutuhnya. Nilai manusia di hadapan Allah tidak dapat diukur dengan warna kulit, keperkasaan, kekayaan, kekuasaan dan nilai-nilai keduniaan lainnya. Ukuran nilai manusia di sisi Allah hanyalah taqwa. Orang yang paling bertaqwa itulah yang paling mulia di sisi-Nya sebagaimana ditegaskan pada firman-Nya:
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Tantawiy Jauhariy dalam tafsirnya mengatakan: bahwa manusia itu bagaikan cabang-cabang, daun-daun, bunga-bunga dan buah-buah suatu pohon, semuanya saling berkaitan, bersatu dan berkumpul pada satu batang pokok. Tiada kelebihan suatu daun dari daun lainnya pada satu pohon. Demikian pula tiada kelebihan bunga atas bunga lainnya dan tiada kelebihan satu buah atas buah lainnya. Manusia pun demikian, karena diciptakan dari satu laki-laki dan satu perempuan, maka semuanya adalah sama tiada kelebihan seorang manusia atas manusia lainnya, kecuali karena taqwanya. (Tantawiy Jauhariy, t.t. Tafsir al-Jawahir, XXII: 145).
Dari penjelasan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan: Bahwa manusia di sisi Allah adalah sama, maka apabila pernyataan tersebut telah menjadi keyakinan bagi setiap orang di dunia ini, tiadalah bangsa yang merasa lebih mulia dari bangsa lainnya, tiada etnis yang merasa lebih mulia dari etnis lainnya, bahkan tiada seorang pun yang merasa lebih tinggi derajatnya dari orang lain. Mereka yang berkulit putih, berkulit hitam, atau berwarna lain akan merasa sama, tidak saling menyombongkan diri, tidak saling menghina, dan tiada seorang pun yang bersifat adigang, adigung, adiguna. Maka faktor utama yang dapat mewujudkan kedamaian di dunia ini adalah kesadaran kesamaan derajat manusia.
Sumber: