• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dokumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dokumen"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTIK BAIK SISTEM PENJAMINAN

MUTU INTERNAL DI PERGURUAN TINGGI

Hambatan atau Kendala yang dihadapi Dalam Menerapkan Sistem

Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi

MENJUNJUNG TINGGI BUDAYA MALU: MEMBONGKAR

HAMBATAN SISTEM PENJAMINAN MUTI INTERNAL DI

PERGURUAN TINGGI

Resa Dandirwalu *

*Universitas Kristen Indonesia Maluku, Ketua Program Studi (Lektor)

Abstract

MENJUNJUNG TINGGI BUDAYA MALU: MEMBONGKAR HAMBATAN SISTEM PENJAMINAN MUTI INTERNAL DI PERGURUAN TINGGI

RESA DANDIRWALU[1]

PENDAHULUAN

Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia. Kehadiran Perguruan Tinggi negeri dan swasta

dipandang sebagai salah satu sarana mewujudkan cita-cita dimaksud, sehingga jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia mencapai jumlah sekitar 4000-an. Pemerintah terus berupaya agar setiap perguruan tinggi di Indonesia memiliki kualitas unggul sehingga berpengaruh pada kompetensi lulusan, yaitu dapat menciptakan lapangan kerja dan mampu bersaing dalam dunia kerja. Karanenya pada tahun 2003 pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tindaklanjut dari hadirnya Undang-Undang tersebut, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mulai menerapkan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi secara bertahap. Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi tersebut bertujuan untuk menjamin mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh Perguruan Tinggi di Indonesia. Terhadap hal itu, setiap Perguruan Tinggi di Indonesia dituntut untuk menciptakan mutu pendidikannya. Selanjutnya, pada tanggal 16 Mei 2005 diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang kemudian diubah dengan PP no. 32 Tahun 2013 dan Perubahan kedua melalui PP no. 13 Tahun 2015 . Di dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa SNP bertujuan menjamin mutu pendidikan nasiona. Oleh karena itu, pemenuhan SNP oleh suatu perguruan tinggi akan berarti bahwa Perguruna Tinggi tersebut menjamin mutu pendidikan tinggi yang

(2)

Pendidikan Nasional mensupervisi dan membantu perguruan tinggi melakukan penjaminan mutu. Untuk memenuhi amanat tersebut, maka Dirjen Dikti mulai dari tahun 2007 sudah membentuk Kelompok Keja Nasional, dengan tugas utama merevisi Buku Pedoman Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Revisi perlu dilakukan agar buku pedoman senantiasa sesuai dengan perkembangan

pendidikan tinggi serta perubahan peraturan perundang-undangan dalam bidang pendidikan tinggi di Indonesia. Misalnya buku pedoman tahun 2003 hanya berisi penjaminan mutu pendidikan yang dilakukan oleh perguruan tinggi masing-masing yang disebut sebagai penjaminan mutu internal. Kemudian pada tahun 2007, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi membentuk komisi di bawah koordinasi Dewan Pendidikan Tinggi dengan tugas merancang kembali penjaminan mutu pendidikan tinggi sebagai sebuah sistem. Alhasil, pada bulan Agustus 2008 selesai disusun

Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam sebuah sistem yang dinamakan Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi. Sistem ini mengintegrasikan antara penjaminan mutu yang diselenggarakan masing-masing perguruan tinggi yang disebut Penjaminan Mutu Internal dengan Penjaminan Mutu Eksternal yang disebut Akreditasi berdasarkan satu basis data dan informasi yang dikelola dalam Pangkalan Data Perguruan Tinggi. Perkembang selanjutnya dalam dunia pendidikan tinggi adalah pada tahun 2012, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang

Pendidikan Tinggi. Kehadirannya untuk mengokohkan Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi yang telah dilaksankan sejak tahun 2008 nama baru yaitu Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi sebagai sebuah sistem tetap mengintegrasikan tiga pilar di bawah ini: 1. Sistem

Penjaminan Mutu Internal yang dilaksanakan oleh setiap Perguruan Tinggi 2. Sistem Penjaminan Mutu Eksternal atau Akreditasi yang dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Perguruan Tinggi atau Lembaga Akreditasi Mandiri 3. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi baik pada aras Perguruan Tinggi maupun aras Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Untuk meimplementasikan pasal 51-53 UU PT tersebut di atas, maka di tahun 2014 terbitlah beberapa Permendikbud sebagai juklak pasal-pasal ini: 1. Permendikbud no. 87 Tahun 2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi 2. Permendikbud no.85 Tahun 2014 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. 3. Permendikbud no.50 Tahun 2014 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi 4. Permendikbud no.49 Tahun 2014

tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi dan Lampiran (telah dicabut Permenristekdikti no. 44 Tahun 2015) Dengan pengaturan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPM Dikti) di dalam UU Dikti, semua Perguruan Tinggi berkewajiban menjalankan SPM Dikti tersebut dengan modus yang paling sesuai dengan sejarah, visi, misi, mandat, ukuran, budaya organisasi Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Juga harus diperhatikan dan disesuaikan dengan Peraturan Menristek tentang SNPT yang terbaru yaitu Permenristek nomor 44 Tahun 2015 dan Lampiran.[2] Regulasi di atas, mengharuskan setiap Perguruan Tinggi untuk menyesuaikannya, dengan cara harus menyusunun dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi agar terciptanya Perguruan Tinggi Bermutu. Berdasarkan realitas dan diskusi dengan beberapa teman sejawat dari Perguruan Tinggi tentang implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi, ditemukan bahwa sebagian besar Perguruan Tinggi di Indonesia telah memiliki dokumen Sistem Penjaminan Mutu tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa secara konseptual Perguruan Tinggi di Indonesia sudah mampu menyusun dan mendesain Perguruan Tinggi untuk bermutu, sehingga mampu menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkompeten. Karena itu, persoalannya bukan pada tataran konseptual, melainkan pada tataran implementasinya. Budaya malu menjadi solusi untuk

membongkar hambatan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi.

PEMBAHASAN

Hambatan Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Di Perguruan Tinggi

(3)

1. Komitmen Pimpinan Perguruan Tinggi

Pimpinan setiap Perguruan Tinggi memiliki idealisme yang tinggi, yaitu: supaya Perguruan Tinggi yang dipimpimnya itu bermutu, sehingga dapat dipercaya publik dan mampu bersaing dengan berbagai Perguruan Tinggi baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Idealisme itu diwujudkan melalui tersedianya dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tingginya. Berdasarkan realitas, Sistem Penjaminan Mutu Internal kurang berjalan dengan baik, karena

komitmen pimpinan tidak berbanding lurus dengan implementasinya. Sebagaimana yang

disampaikan Ketua Lembaga Jaminan Mutu Universitas, bahwa: Sistem Penjaminan Mutu Internal di Universitas tidak akan berhasil apabila tidak ada komitmen pimpinan untuk menjalankannya. Selain itu, ada juga teman sejawat yang mengatakan bahwa: dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal tidak akan bermanfaat apabila Pimpinan Perguruan Tinggi kurang menjunjung tinggi

melalui berbagai keputusan yang diambilnya, bahkan tidak ingin dikritik dan dievaluasi berdasarkan dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal yang sudah disahkan. Akibatnya, dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal kurang menjadi pedoman dalam seluruh aktivitas di Perguruan Tinggi.

2. Komitmen Civitas Akademika Perguruan Tinggi

Komitmen pimpinan Perguruan Tinggi untuk menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan dapat berlangsung dengan baik apabila komitmen yang tinggi juga dimiliki oleh civitas akademika Perguruan Tinggi. Berdasarkan informasi dari Ketua Jaminan Mutu Universitas, bahwa

Sistem Penjaminan Mutu Internal sulit berhasil, karena dukungan dari civitas akademika

universitas kurang diperlihatkan. Selain itu, informasi dari rekan sejawat bahwa hasil evaluasi dan monitoring dari Lembaga Jaminan Mutu Universitas kurang mendapat respon dari Pimpinan

Universitas, Pimpinan Fakultas, dan Pimpinan Prodi, serta dosen. Berdasarkan informasi tersebut, tampak bahwa komitem civitas akademika universitas kurang melihat pentingnya keberadaan

Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi. Padahal, hal tersebut sangat penting, karena Sistem Penjaminan Mutu Internal sangat berpengaruh pada Sistem Penjaminan Mutu Eksternal. Hal inilah yang membuat sehingga sebagian besar Perguruan Tinggi masih memiliki nilai Akreditasi C dari BAN PT.

Budaya Malu Budaya malu adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena rasa malu adalah kontrol alami manusia agar terhindar dari perbuatan perbuatan yang melanggar hukum, aturan atau norma norma yang berlaku di kehidupan masyarakat. Karena itu menurut Ruth Benedict, budaya malu adalah kemampuan seseorang untuk menunaikan atau menjalankan

kewajibannya dengan baik sesuai dengan norma-norma atau pranata-pranata sosial suatu masyarakat. Selain itu, budaya malu sangat berhubungan dengan kemajuan peradaban suatu kelompok masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kualitas keberadaban kelompok masyarakat tersebut. Jelaslah bahwa Sistem Penjaminan Mutu Internal dapat berlangsung dengan baik dan dapat mengkatkan mutu Perguruan Tinggi, maka budaya malu mestinya menjadi karakter diri setiap Pimpinan dan civitas akademika Perguruan Tinggi. Pimpinan dan sivitas akademik Perguruan Tinggi akan merasa malu apabila tidak menjalankan kewajibannya dengan baik dalam

mengimplementasikan dan menjadi contoh/teladan untuk mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi dengan baik dan benar. Penulis sangat menyakini bahwa apabila budaya malu dimiliki oleh pimpinan dan sivitas akademika Perguruan Tinggi, maka implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi dapat berlangsung secar kontinyu, sehingga berdampak pada terciptanya mutu Perguruan Tinggi. PENUTUP

Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia. Kehadiran Perguruan Tinggi negeri dan swasta

dipandang sebagai salah satu sarana mewujudkan cita-cita dimaksud, sehingga jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia mencapai jumlah sekitar 4000-an. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi menjadi nilai penting bagi setiap Perguruan Tinggi, dengan tujuan untuk menjamin mutu

(4)

terhadap Sistem Penjaminan Mutu Internal masih memiliki hambatan. Hambatannya adalah Komitmen Pimpinan Perguruan Tinggi dan Komitmen Civitas Akademika Perguruan Tinggi.

Menjunjung tinggi Budaya Malu menjadi karakteristik diri untuk membongkar hambatan dimaksud. Pimpinan dan sivitas akademik Perguruan Tinggi akan merasa malu apabila tidak menjalankan kewajibannya dengan baik dalam mengimplementasikan dan menjadi contoh/teladan untuk mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu Internal di Perguruan Tinggi dengan baik dan benar.

[1] Fakultas Teologi, Universitas Kristen Indonesia Maluku, Ketua Program Studi Filsafat Keilahian. Hp. 081366323466. Email. reza_villa@yahoo.com

Referensi

Dokumen terkait

1 Buah CD yang berisi Salinan (soft copy / hasil scan) Dokumen Penawaran Administrasi, Teknis dan Biaya serta Dokumen Kualifikasi Perusahaan yang berisi

Tetapi di dalam hasil penelitian ada beberapa nilai intensitas penerangan yang berbanding lurus dengan skor kelelahan mata tenaga kerja, hal ini dikarenakan kondisi mata

Reksa Dana sebenarnya memiliki konsep yang tidak jauh berbeda dengan prinsip di atas, hanya bedanya adalah orang-orang yang ingin berinvestasi ini (investor) menitipkan dana

Berdasarkan dari kesimpulan di atas bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan antara pemahaman kode etik jurnalistik dengan profesionalisme kerja

Skala likert 1 menyatakan tingkat kepentingan dengan kriteria 1 = sangat tidak setuju (STS) yang berarti Minat Membaca kurang penting untuk tingkat pemahaman akuntansi

Untuk Desa Warialau, strategi pengelolaan yang diterapkan dalam aturan seperti sasi cukup baik, namun ada beberapa tambahan yaitu: (1).Pengayaan stok teripang di habitat alaminya

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada Universitas Negeri

Keuntungan atau kerugian yang timbul dari perubahan nilai wajar diakui dalam penghasilan komprehensif lainnya dan dan diakumulasi di ekuitas sebagai revaluasi investasi