• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Sastra adalah penggunaan bahasa yang khas, yang hanya dapat dipahami dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa yang digunakan cenderung khusus dan berbeda dengan bahasa sehari-hari. Pengolahan maupun permainan dari bahasa inilah kemudian muncul gagasan dan menghasilkan sebuah karya sastra. Karya sastra merupakan wacana khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia (Sudjiman, 1993: 7). Oleh sebab itu dari gagasan yang telah terbentuk melalui bahasa dalam karya sastra akan memberikan sebuah keindahan atau estetika. Seorang pengarang karya sastra tentunya memiliki cara berbeda-beda dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya untuk menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya.

Wujud dari estetika yang dihasilkan dari sebuah karya sastra dapat timbul karena adanya suatu ketegangan dari diri pembaca dengan karya sastra yang dibacanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Jan Mukarovsky yang menjelaskan bahwa nilai estetik adalah sesuatu yang lahir dari tegangan antar pembaca dan karya sastra, tergantung pada aktifitas selaku pemberi arti. Oleh karena itu nilai estetika adalah proses terus menerus, bukan perolehan yang tetap, sesekali

▸ Baca selengkapnya: bahasa sabu dan artinya

(2)

diperoleh tetap dimiliki (Teeuw, 1984: 350). Berdasarkan penjelasan dari Jan Mukarovsky dapat dikatakan bahwa estetik dari sebuah karya sastra akan timbul jika pembaca selalu membacanya berulang ulang secara berkala, karena pembacaan yang berulang ini nantinya setiap detik akan mampu menemukan wujud keindahan tersebut.

Lebih lanjut lagi tegangan yang ditimbulkan dari sebuah karya sastra yakni tegangan yang ditimbulkan oleh pemakaian bahasa dalam karya sastra itu sendiri. Tegangan tersebut merupakan bagian yang hakiki dari penikmatan estetik dalam sastra. Tegangan itu dapat terjadi karena bermacam-macam keistimewaan. Adapun contoh dari pernyataan ini ialah seperti pemakaian kata-kata aneh, kolot, asing, kata majemuk yang baru, atau bisa juga paradoksial, kata turunan yang tidak biasa lagi dalam bahasa sehari-hari (arkaisme) bahkan belum pernah dipakai sama sekali (neologisme), belum pernah dipakai walaupun sesuai dengan potensi sistem bahasa, uraian kata yang aneh, menyimpang, dst (Teeuw, 1984: 363).

Wujud karya sastra yang paling menonjol dari penggunaan bahasa sehingga menimbulkan estetika yaitu puisi. Di dalam puisi selain mempunyai pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang maupun menggambarkan suatu keadaan, tetapi dalam puisi juga disusun menggunakan bahasa yang khas maupun penempatan antar kata yang disusun sedemikian rupa dengan penyepadanan bunyi. Pada ranah kesusasteraan Jawa salah satu hasil karya sastra yang menyerupai puisi dapat diamati dalam salah satu unsur pembentuk kedramatikan wayang yakni suluk pedalangan atau sering disebut sulukan.

(3)

Di dalam seni pertunjukkan wayang sebagai pelaku utamanya adalah dalang. Oleh sebab itu sastra dalam seni pertunjukkan ini sering disebut sastra pedalangan (Supriyadi, dkk, 2008: 92). Kandungan sastra dalam seni pedalangan memiliki cakupan sangat luas dan tersebar dalam unsur pakeliran, salah satunya terdapat dalam suluk. Pada hakekatnya suluk pedalangan merupakan sebuah sajak-sajak (cakepan) yang terangkai dalam bait dengan penggunaan bahasa puitis, penuh ungkapan, mirip seperti puisi. Perbedaan yang mendasar dengan puisi, suluk pedalangan bukan hanya diucapkan saja, akan tetapi dilagukan pula dengan diiringi beberapa alat musik gamelan seperti gendèr, seruling, dan gong.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan jika suluk pedalangan termasuk jenis wacana monolog yang dituturkan untuk satu orang dan merupakan jenis sastra imajinatif, karena berbentuk puisi tembang. Sastra yang berada di dalam suluk pedalangan sebagian besar berasal dari Kakawin Bharatayuddha karya Empu Sédah dan Empu Panuluh jaman pemerintahan raja Jayabaya di kerajaan Panjalu (Kediri) tahun 1157 (Soeroso dalam Supriyadi,dkk, 2008: 94). Selain berbentuk kakawin, suluk pedalangan juga berbentuk tembang gedhé maupun tembang macapat. Secara menyeluruh hampir semua kosakata yang berada dalam diksi suluk pedalangan terangkai dengan menunjukkan keistimewaan karena sebagian besar menggunakan bahasa Jawa Kuna maupun bahasa Kawi. Hal inilah yang membuat keindahan dari suluk pedalangan.

Pemilihan diksi dari suluk pedalangan mempunyai peranan penting dalam membentuk efek suasana pakeliran yang dikehendaki maupun menghidupkan penceritaan dari sosok tokoh yang ditampilkan dalam adegan. Merujuk dari latar

(4)

belakang ini melalui pengkajian stilistika akan membantu menganalisis dan memberikan gambaran secara lengkap bagaimana nilai keindahan dari suluk pedalangan. Oleh sebab itu penelitian ini akan menitikkanberatkan pada hal tersebut.

Pembahasan mengenai suluk pedalangan dalam penelitian ini akan mengambil obyek suluk pedalangan yang disajikan oleh dalang muda asal Pelem Sèwu Panggungharjo Séwon Bantul Yogyakarta. Alasan yang melatarbelakangi pemilihan topik ini, karena materi suluk pedalangan merupakan sebuah karya sastra yang begitu indah dengan penggunaan bahasa Jawa Kuna. Hal ini sangat penting untuk diteliti lebih mendetail mengingat pada penelitian sebelumnya yang mengangkat suluk pedalangan dari aspek kebahasaannya, sejauh yang peneliti ketahui belum ada. Bukti yang menguatkan pernyataan ini dapat diamati dalam tinjauan pustaka.

Oleh sebab itu penelitian ini akan menganalisis suluk pedalangan Ki Seno Nugroho yang selanjutnya disingkat SPKSN, dari segi kebahasaannya yaitu penggunaan gaya bahasa maupun pilihan kata (diksi) dan aspek bunyi. Di samping itu, secara umum masyarakat ketika melihat pertunjukkan wayang mereka tidak paham mengenai maksud dan arti dari kata yang tertuang dalam suluk pedalangan. Atas dasar inilah peneliti mencoba memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang arti kata dari syair suluk pedalangan melalui pendekatan stilistika sastra (penggunaan gaya bahasa). Walaupun hanya sebatas pada penggunaan gaya bahasa, namun hal tersebut dapat membantu masyarakat memahami arti kata-kata yang terkandung dalam suluk pedalangan.

(5)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, permasalahan yang akan dipecahkan dan dikaji dalam penelitian dengan topik tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penggunaan gaya bahasa sesuai dengan stilistika Jawa pada suluk pedalangan Ki Seno Nugroho dalam lakon Séta Gugur, sehingga dikatakan menimbulkan nilai keindahan?

2. Bagaimana penggunaan diksi sesuai dengan stilistika Jawa pada suluk pedalangan Ki Seno Nugroho dalam lakon Séta Gugur, sehingga dikatakan menimbulkan nilai keindahan?

3. Apa fungsi dari gaya bahasa dan diksi dalam sulukan Ki Seno Nugroho dalam lakon Séta Gugur?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengkaji suluk pedalangan Ki Seno Nugroho yang bersumber dari pagelaran wayang kulit dalam lakon Séta Gugur. Oleh sebab itu ada beberapa tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis dan mendeskripsikan gaya bahasa suluk pedalangan Ki Seno Nugroho dalam lakon Séta Gugur berdasarkan kajian stilistika sastra Jawa.

(6)

2. Menganalisis dan mendeskripsikan pilihan kata atau diksi suluk pedalangan Ki Seno Nugroho dalam lakon Séta Gugur berdasarkan kajian stilistika sastra Jawa.

3. Menunjukkan dan menjelaskan wujud keindahan dari suluk pedalangan Ki Seno Nugroho dalam lakon Séta Gugur.

4. Melengkapi dan memperkaya penelitian tentang suluk pedalangan dalam bidang sastra.

1.4 Tinjauan Pustaka

Pada dasarnya penelitian sastra Jawa dengan mempermasalahkan penggunaan gaya bahasa yang menggunakan landasan teori kajian stilistika sudah banyak dilakukan. Hanya saja ragam gaya bahasa yang digunakan rata-rata cenderung mengambil dari kesusateraan Indonesia. Padahal dalam ranah kesusasteraan Jawa sendiri juga memiliki ragam gaya bahasa. Di samping itu obyek yang dijadikan kajian melalui studi stilistika dengan fokus penggunaan gaya bahasa dalam suluk pedalangan belum begitu maksimal. Adapun beberapa penelitian serupa yang sebelumnya telah dilakukan dengan mengangkat topik suluk pedalangan sejauh yang peneliti ketahui diantaranya buku tentang suluk pedalangan berjudul Suluk Pedhalangan, karya S. Padmosoekotjo, penerbit Citra Jaya Murti (Jayabaya), Surabaya, tahun 1978.

Buku tersebut menguraikan ucapan suluk pedalangan dalam bahasa Jawa Kuna, kemudian arti kata-kata sulukan tersebut dalam bahasa Jawa sekarang. Marcellinus Padija pernah melalukan penelitian dengan judul Merunut Suluk Pedalangan Wayang Purwa Dalam Kakawin Bharatayuddha: Sebuah Telah

(7)

Reseptif, tahun 1985. Penelitian tersebut meneliti ciri yang dominan dari suluk pedalangan dan menunjukkan sumber dan makna kepada para pemakainya. Pada awalnya digunakan pendekatan struktural untuk membuktikan bahwa suluk pedalangan merupakan unsur pentas wayang. Selain itu, juga digunakan metode resepsi yang menitikberatkan pembaca sebagai objek penelitian.

Basri Priya pada tahun 2002 pernah melakukan penelitian dengan judul Suluk Bharatayuda: Gagasan Kematian, Perang, Dan Abdi Dalam Kerangka Pikir Hermeneutika Paul Ricoeur. Penelitian ini membahas suluk pedalangan dengan pendekatan hermeneutika tentang gagasan peperangan, kematian, maupun abdi. Kasidi pada tahun 2009 dalam disertasinya meneliti suluk pedalangan dengan judul: Estetika Suluk Wayang Gaya Yogyakarta: Relevansinya Bagi Etika Moralitas Bangsa. Penelitian tersebut mengkaji tentang struktur sulukan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta dengan pendekatan estetika. Sebagai narasumber yaitu dalang Ki Timbul Hadi Prayitna yang merupakan ayahandanya sendiri. Disertasi ini dijelaskan informasi tentang berbagai ajaran moral budi pekerti luhur, bahkan agama yang termuat dalam sulukan pedalangan gaya Yogyakarta.

Sudarko dalam jurnal Resital Instutute Seni Indonesia volume 14 no 1 tahun 2013 pernah meneliti suluk pedalangan dengan judul Ragam Sulukan Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Studi Kasus Timbul Hadi Prayitna, Hadi Sugito, Dan Suparman. Pada jurnal tersebut fokus penelitian menjelaskan perbedaan maupun kekhasan sulukan antara tiga dalang kondang asal Yogyakarta yaitu Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadiprayitna, dan Ki Suparman. Sudarko dalam

(8)

jurnal juga menguraikan tentang sumber, jenis, maupun fungsi dari suluk pedalangan gaya Yogyakarta.

1.5 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan sebuah landasan teori tentang stilistika. Sebenarnya teori stilistika telah muncul sejak ratusan tahun yang lalu. Pada mulanya stilistika hanya dipergunakan untuk mengkaji dalam bidang linguistik. Namun seiring perkembangannya, ilmu stilistika dipergunakan pula pada ranah penelitian sastra. Pada zaman modern, stilistik seringkali memperlihatkan persamaan dengan retorika, tetapi tanpa aspek normatifnya; stilistik, ilmu gaya bahasa, juga diberi definisi bermacam-macam, tetapi pada pinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra dan lain-lain atau pula yang menyimpang dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa yang dianggap normal, baku dan lain-lain (Teeuw, 1984: 72). Menurut Abrams (1981: 192-193 via Ratna, 2007: 244-245), stilistika menganalisis ciri-ciri formal seperti a) fonologi, b) sintaksis, c) leksikal, d) retorika (ciri penggunaan bahasa figuratif, citraan).

Sudjiman (1993: 3) menjelaskan bahwa stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi dengan memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertentangkannya dengan wacana non sastra, meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer. Secara singkat stilistika meneliti fungsi puitik

(9)

bahasa. Kajian stilistika hendak mengungkapkan bagaimana caranya kemungkinan itu dimanfaatkan dan bagaimana efeknya.

Stilistika berupaya menunjukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan. Dengan kata lain bagaimana karya sastra berlaku sebagai sarana komunikasi. Pengkajian stilistika yang terpenting adalah mencari ciri yang benar-benar memberikan efek tertentu kepada pembaca (pendengar) tidak sekedar menghitung frekuensi penggunaan sarana-sarana stilistika dalam karya sastra (Sudjiman, 1993 : 7).

Berdasarkan beberapa penjelasan dari para pakar stilistika yang telah dikumpulkan, dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu secara mendasar kajian stilistika merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra melalui studi kebahasaan (linguistik) seperti pilihan kata, gaya bahasa, untuk mencari mencari nilai keistimewaan, keindahan, dan efek yang ditimbulkan dari sebuah karya sastra. Studi tentang stilistika memang sangatlah penting untuk dipelajari baik dalam bidang linguistik maupun dalam bidang ilmu sastra. Stilistika sangat membantu dalam penelitian gaya bahasa untuk pemaknaan karya sastra.

Hal ini dikarenakan makna sebuah karya sastra tidak akan dapat dilepaskan dengan penggunaan gaya bahasa pada karya sastra itu sendiri. Oleh sebab itu pada penelitian ini digunakan kajian stilistika melalui tinjauan gaya bahasa, maupun pemilihan kata atau diksi dalam sebuah suluk pedalangan sajian Ki Seno Nugroho pada lakon Séta Gugur.

(10)

1.6 Metode Penelitian

Pada penelitian digunakan dua macam teknik metode penelitian. Pertama digunakan metode pengumpulan data, sedangkan kedua menggunakan metode analis.

1. Metode Pengumpulan Data

Sumber data yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah suluk pedalangan. Data bersumber dari file audio rekaman wayang kulit dalang Ki Seno Nugroho dengan lakon Séta Gugur. File audio merupakan rekaman pentas wayang kulit Ki Seno Nugroho pada tanggal 14 Mei 2014 di halaman SKH Kedaulatan Rakyat Jl. Marga Utama/Mangkubumi Yogyakarta. Cara dari penulis dalam mengumpulkan data tersebut yaitu dengan merekam pagelaran menggunakan sarana perekam dalam hal ini telepon genggam. Setelah data diperoleh, suluk pedalangan yang terkandung dalam rekaman file audio tersebut kemudian ditranskrip untuk dituangkan dalam tulisan.

2. Metode Analisis Data

Penelitian ini digunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan obyektif. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2004: 53). Sedangkan pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.

(11)

Dalam pendekatan obektif harus dicari dalam karya sastra seperti citra bahasa, stilistika, dan aspek-aspek lain yang berfungsi untuk menimbulkan kualitas estetis (Ratna, 2004: 73-74). Pada penelitian ini terlebih dahulu akan dideskripsikan tentang gambaran isi data suluk pedalangan. Pada tahap selanjutnya dianalisis dengan pencarian ragam gaya bahasa, maupun diksi sesuai stilistika Jawa yang terkandung dalam data suluk pedalangan. Hal ini untuk menunjukkan dan menjelaskan tentang keindahan maupun fungsinya serta dijelaskan aspek bunyi yang terkandung dalam sulukan Ki Seno Nugroho lakon Séta Gugur.

1.7 Sistematika Penyajian

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penyajian.

Bab II Suluk Pedalangan Ki Seno Nugroho Lakon Séta Gugur Tanskrip Dan Terjemahan. Pada bab ini penulis akan memaparkan pengertian tentang suluk pedalangan beserta kegunaannya. Selanjutnya sulukan yang terdapat dalam rekaman file audio lakon Séta Gugur ditranskrip dan dituangkan dalam tulisan. Di akhir bab ini suluk-suluk pedalangan yang telah ditranskrip kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Bab III Analisis Stilistika Sastra Suluk Pedalangan Ki Seno Nugroho Lakon Séta Gugur. Pada bab ini akan diuraikan analisis stilistika yang meliputi penggunaan gaya bahasa, diksi maupun aspek bunyi sesuai ranah kesusasteraan

(12)

Jawa yang digunakan dalam suluk pedalangan Ki Seno Nugroho lakon Séta Gugur.

Bab IV Penutup. Berisi uraian kesimpulan dari hasil penelitian terkait suluk pedalangan Ki Seno Nugroho dalam lakon Séta Gugur dan saran.

Daftar Pustaka. Berisi berbagai sumber pustaka yang digunakan dalam penelitian termasuk sumber audio.

Referensi

Dokumen terkait

Menganalisis pesaing untuk memahami kondisi, strategi, dan gerak langkah pesaing yang bakal kita hadapi dalam pertempuran di pasar adalah hal yang harus diperhatikan ( Dwi

Analisis kebutuhan dilakukan bertujuan untuk menentukan keluaran yang akan dihasilkan dari sistem, masukan yang diperlukan sistem dan lingkup proses yang digunakan untuk mengolah

Objektif CMP adalah untuk memanfaatkan sepenuhnya kecekapan dan keberkesanan sumber yang digunakan bagi memaksimumkan pulangan atas ekuiti dan menyediakan tahap modal yang

Peningkatan welfare cost yang ditunjukkan gambar 1 menujukkan bahwa struktur industri telekomunikasi seluler Indonesia cenderung mengindikasikan market power hypothesis

a.  3,5 jam  b.  4 jam   c.  4,5 jam   d.  5 jam  e. 

Browsing benar-benar diakui oleh pengguna jika dokumen yang ditemukan relevan, berbeda dengan searching mereka mencari informasi dari ingatan tentang informasi tersebut

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pendapatan pada dua tipe pola tanam kedelai yaitu monokultur dan tumpangsari pada lahan kering dari segi

M, perempuan, usia 30 tahun, penduduk Desa Pengkelak Mas, Kecamatan Sakra Barat, Kabupaten Lombok