• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sampul Simpul Senyum Senja - Cerpen - Horison Online. Ditulis oleh Aila Nadari Senin, 12 Maret :12 -

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sampul Simpul Senyum Senja - Cerpen - Horison Online. Ditulis oleh Aila Nadari Senin, 12 Maret :12 -"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Saat bintang gemintang berpendar memenuhi angkasa yang muram suara. Dan awan

gemawan pamit seraya mengundurkan diri di batas malam yang memekat. Aku masih terkunci di sini, di gang buntu pada musim basah yang berkabut. Alam membisu, tak ada suara malam yang biasa mengintip dari balik jeruji kelam yang dingin.

Angin diam, mungkin dia demam. Semalam aku menemukan kabar sedang bersedih di bawah pohon rambutan. Dia kesepian. “Angin tak ingin kuajak bermain malam ini,” katanya dengan suara seringan tokek yang mendengkur di atas dahan yang menjuntai anggun. “Kata ibunya, dia sakit.” Memang, semenjak sore yang riuh akan rintik hujan, kulihat angin asyik bermain riak hujan di batas senja. “Sudahlah, biarkan dia istirahat. Kau bisa mengajaknya bermain di lain hari.”

Lalu, kulihat kabar mulai menatap malam yang semakin mendekati ambang kelam, dengan senyum penuh keyakinan kabar berkata pelan, “Ya, kau benar. Semoga angin sudah sembuh esok. Dan aku akan mengajaknya berkeliling kompleks dengan sepeda baruku ini.”

Aku masih sendiri berteman sepi yang memagut saat kulihat kabar mulai mengayuh sepedanya menembus ruang dimensi yang entah apa namanya. Kulihat bintang semakin sumringah malam ini. Sinarnya yang kemilau mampu menembus langit yang mulai basah akan pekat. Mungkin karena awan sedang terlelap dalam selimut hangatnya setelah seharian mengguyur bumi dengan rakusnya.

Dalam bayangan kelam, aku masih berpikir tentang tulisan-tulisan yang harus sesegera mungkin aku kumpulkan. Tulisan–tulisan itu sungguh mengganggu respirasiku. Mengusik dentuman denyut jantungku. Menyekat aliran darahku. Dan yang terparah, tulisan-tulisan itu telah memasang pasak lebar nan panjang dalam setiap melodi napasku.

Malam yang mengelam, aku hanya bisa mengotori satu lembar kertas suci dengan noda-noda hitam berbentuk rapi. Namun, jika tak kumulai dari malam ini, aku tak tahu kapan waktu yang tepat untuk kembali berteman dengan sepi yang mengaum dalam dinginnya malam tanpa suara. Kata tak banyak membantu malam ini, dia lebih suka berdiam di pojok kursi sambil berayun-ayun kecil. Lalu, semuanya absurd, terantuk oleh kantuk yang melenakan.

(2)

***

Sebuah senja di batas hari yang mulai rapi tanpa liatan hitam di tepian panjang cakrawala. Mentari senja kali ini tersenyum simpul kepadaku. Memberi berita apik dengan sampul keemasan. Dalam beritanya, mentari berkata bahwa dirinya akan kembali menemuiku esok hari, di saat tanda baca tak lagi dapat menemukan kata. Aku hanya bisa mengulum dahi yang berkerut. Mencoba menuliskan agenda untuk keesokan hari bersama mentari di penghujung musim basah.

Sesaat setelah aku melambaikan tangan padanya di persimpangan malam, kumulai perjalanan sayu bersama goresan-goresan tinta hitam. Mencoba untuk menyelesaikan tulisan-tulisan yang mulai rapi meski bulan kembali mengenakan handuk tebalnya. Sesaat kemudian kudengar para makhluk langit mulai memainkan genderang dengan dentuman yang mampu memecah

gendang telinga. Upacara yang mereka lakukan benar-benar mempercepat kelam.

Namun, kata ternyata tetap saja tak banyak membantu dan kertas yang lain masih bersih dari dosa. Padahal malam mulai menyapa. Mengucap salam semanis kurma ranum dalam taman surga. Padahal bintang mulai meninggalkan bulan yang baru saja merangkak di langit. Padahal angin baru saja sembuh dari demamnya. Dan kabar masih termangu di bawah pohon rambutan bersama sepeda barunya.

Kata tak kunjung berjawab. Mereka senyap. Tak ada alur yang mengalir di sana. Semesta kembali diam dalam muhashabah cintanya. Dan aku masih sendiri di sini bersama tokek yang semakin pulas di ranjang ayunnya.

***

Saat aku benar-benar yakin jika tanda baca tak dapat menemukan kata, aku menemui mentari di ujung jembatan senja. Ternyata dirinya sudah menungguku di sana meski sendiri. Dengan gaunnya yang menjuntai anggun, dia tampak cantik di senja kali ini. Meski awan berarak di langit dan tak rapi. Meski genderang petir ditabuh berkali-kali, dia tetap cantik dengan ujung bibir yeng terpoles senyum mengindah.

(3)

“Terima kasih, kawan. Kau selalu memujiku.”

“Ah, tidak. Begitulah dirimu. Tak kurang tetapi sering lebih.”

“Aku tahu kau sedang bersedih, kawan. Aku tahu kau sedang kehilangan kata,” mentari lalu berkata-kata.

“Ya, kau benar. Aku tak dapat menemukan kata. Kata yang biasanya kuajak untuk bergumul melawan waktu. Dan aku terlalu bersedih jika mengingat hal itu. Aku merindukan mereka, aku merindukan kata-kata. Entah bagaimana aku bisa hidup tanpa mereka, kata sudah seperti udara bagiku,” ujarku sampai terengah saat mengeluarkan kata yang tersendat.

“Jangan bersedih, kau hanya terperangkap dalam panggung yang kau ciptakan sendiri.”

“Bagaimana aku tak bersedih jika panggung yang aku buat hanya menyengsarakanku seperti ini?” kataku menceracau tak karuan.

“Jangan bersedih. Pikirkan, betapa banyak jalan keluar yang datang setelah rasa putus asa dan betapa banyak kegembiraan datang setelah kesusahan,” suaranya yang halus kembali berdesir di dalam rumah siputku.

“Tapi aku tetap bersedih jika kata benar-benar tak bisa aku temukan.”

(4)

“Ya, kau benar. Aku hanya cemas manakala kata benar-benar tak mau menemuiku lagi untuk menyelesaikan tulisan-tulisan itu. Pesanku padamu, suruhlah kata pulang jika kau temukan dia, aku teramat rindu untuk kembali berbincang dan menyeduh kopi bersamanya.”

Aku hanya bisa melihatnya mengangguk mantap saat dirinya berpamitan di tepian hari yang semakin mendekati poros menghitam jelaga. Lambaian tangannya sempat aku balas meski wajahnya yang teduh tak dapat aku saksikan di penghujung hari yang menawan. Aku hanya bisa berharap, kata mau pulang dan menemaniku menyelesaikan tulisan.

Saat senja benar-benar naik kelas menjadi malam yang gulita, aku terduduk sambil menekuk lutut di depan tulisan yang terdiam menunggu kata, bersamaku. Aku tahu, tulisan-tulisan itu pasti menggerutuiku, menceemoohku dengan kata-kata yang tak dapat kupahami maknanya. Aku yakin mereka sedang berebut kata untuk menggunjingku. “Sudahlah.”

Aku masih menunggu waktu yang kian beranjak menua. Berharap kata pulang dan menyapaku meski sekarang sudah kelewat batas malam. Pintu depan tak kukunci, biar dia bisa masuk sesuka hati. Dan benar saja, sejurus kemudian kata menyapaku di  ambang pintu dengan senyum yang mengindah. Langsung kusalami kata dan mengajaknya duduk di samping tulisan-tulisan yang sebenarnya hampir selesai. Kusodorkan kopi yang asapnya masih mengepul di bibir cangkir favoritnya. Berdoa agar kata mau membantuku menyelesaikan tulisanku ini.

Di batas malam yang kian menjelaga, kami berdua hingar dalam tulisan penuh makna.

***

Dua kali senja setelah pertemuanku dengan kata yang menghilang di akhir musim basah. Selama itu pula mentari tak kelihatan di batas hari yang syarat dengan riak riuh air. Aku mulai merindukannya, sama seperti saat aku merindukan kata. Aku hanya ingin menyampaikan berita bahwa tulisanku kini telah usai. Tulisanku sudah penuh dengan kata.

(5)

melihatnya terpesona dengan dandananku bersama kata yang aku genggam dalam tulisan-tulisan ini.

Lama aku terduduk bersama kata di ujung batu menghitam jelaga. Saat tersadar angin mulai memainkan kidungnya tentang cinta, saat itulah tersadar diri bahwa senja benar-benar sempurna hari ini. Sesempurna kata yang telah aku pahat dalam kertas yang telah penuh dengan coretan-coretan makna. Tak sabar rasanya ingin bersua dengan matahari yang telah menyuburkan kata dalam tulisan-tulisan ini.

Masihku terduduk bersama kata yang mulai basah dengan tanda baca. Di ujung batu

menghitam ini, kurasakan cerita yang begitu hangat tentang semangat mentari di awal hari dan kasihnya di senja seperti ini.

Angin, dirinya masih saja menyanyikan kidung tentang cinta. Bersama dedaunan yang

bergesek lembut. Dengan suasana yang kian menghangat kuku. Syair yang angin dendangkan sangat syarat akan riuhnya hari. Angin tampak bersemangat setelah beberapa hari terantuk sakit yang membuatnya lesu.

Hingga kulihat kabar tengah mengayuh sepeda barunya di tepian telaga. Bersama semangat yang direngkuhnya serta. Dia tak jadi berkeliling kompleks dengan angin sore ini. Mungkinkah mereka ingin bermain di atas batu menghitam di teian telaga? Dan lihatlah, kabar ternyata membawa sesuatu!

“Mentari, akhirnya kau datang. Telah lama aku menunggumu di batas hari yang mulai menggigil.”

“Maaf, aku terlambat. Tadi aku harus membantu petani mengeringkan padi. Kasihan mereka, sudah tiga hari padi mereka masih tetap basah.”

(6)

“Apa ini?”

“Mentari, ini tulisanku. Persembahanku untukmu yang telah menemaniku di setiap ujung senja yang mengelam. Aku harap, kau mau menerima kata-kata yang telah aku bingkai halus dalam kertas yang tak lagi bersih,” kataku pada mentari yang mengindah.

“Kata, terima kasih telah menemaniku. Kini kita sama-sama telah terbebas dari deadline ujung musim basah yang menawan. Tulisan-tulisan itu sudah aku serahkan pada mentari untuk dia baca. Selamat tinggal, kata. Kita sudah merdeka,” ucapku pada kata yang mulai menangis saat malam mulai menyapa.

Dalam haru tangisnya yang mulai jatuh kecil-kecil, mentari meninggalkanku di sini, di gerbang malam yang meredup.

Bintaro, Oktober 2011

Referensi

Dokumen terkait

Teknik analisis yang digunakan didalam penelitian ini adalah analisis regresi linear berganda, yang dapat digunakan untuk mengukur seberapa besar pengaruh suatu

Dengan penelitian ini diharapkan akan memberikan gambaran kebutuhan berprestasi seorang dosen akuntansi dipengaruhi oleh tiga teori kebutuhan profesionalisme yang disampaikan

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berujudl “STUDI AWAL KARAKTERISTIK

SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang. dan

Pemberian kombinasi pupuk hayati dengan pupuk organik cair memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua parameter yang diamati (persentase bobot pucuk peko, rasio

Kendala produksi yang dihadapi oleh petani adalah adanya konflik lahan. Konflik lahan juga seringkali terjadi antara masyarakat lokal setempat dengan perusahaan

Berdasarkan hal yang dipaparkan diatas, maka akan dilakukan penelitian tentang pembuatan sabun dan penentuan karakteristik sabun terbaik dari limbah CPO dan

Dengan demikian poster keanekaragaman fitoplankton di Danau Biru Singkawang layak digunakan sebagai media pembelajaran pada sub materi keanekaragaman hayati di kelas X