BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jerawat (acnes) merupakan penyakit kulit yang hampir dialami setiap
orang mulai remaja hingga dewasa. Jerawat adalah kondisi abnormal kulit akibat gangguan produksi kelenjar minyak sehingga menyebabkan produksi minyak berlebih. Kondisi ini memicu terjadinya penyumbatan saluran folikel rambut dan pori kulit (Yekti dan Wulandari, 2010). Jika pori-pori kulit tersumbat oleh timbunan lemak yang berlebihan dan bercampur dengan keringat, debu dan kotoran lain, maka akan menyebabkan timbunan lemak dengan bintik hitam diatasnya yang disebut komedo. Jika pada komedo itu terdapat infeksi bakteri, maka terjadilah peradangan yang dikenal dengan jerawat yang ukurannya bervariasi mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar serta berwarna merah, kadang-kadang bernanah serta menimbulkan rasa nyeri (Djajadisastra, Munim dan Dessy 2009).
Menurut Jain (2004) berdasarkan jenis dan tempat tumbuhnya jerawat dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu pertama jerawat ringan dengan cirinya noda putih, noda hitam dan bintik-bintik, kedua jerawat sedang cirinya terdapat lebih banyak bintik-bintik dan bisul pada wajah dan mungkin juga pada dada atau punggung. Dan ketiga jerawat akut cirinya terdapat pada bisul yang besar dan menyakitkan pada wajah, dada dan punggung, bagian-bagian lain bisa terpengaruh, dan jerawat ini bisa mengarah pada bekas luka yang permanen (Jain, 2004).
Bakteri yang umum menginfeksi jerawat adalah Propionibacterium acnes. Propionibacterium acnes adalah bakteri Gram positif anaerob yang
molekul biologis dan enzim yang berperan sebagai agen inflamatori pada jerawat (Jeremy et al., 2003). Bakteri Propionibacterium acnes menghasilkan lipase yang membebaskan asam lemak bebas dari lemak yang ada di kulit sehingga menyebabkan terjadinya jerawat (Brook, Butel dan Morse, 2012). Menurut Webster dan Graber (2008) bakteri Propionibacterium acness dapat menyebabkan jerawat dengan peningkatan
jumlah protein yang dihasilkan tubuh ketika stres.
Pengobatan jerawat di klinik kulit biasanya menggunakan antibiotik yang dapat menghambat inflamasi dan membunuh bakteri, contoh tetrasiklin, klindamisin, doksisiklin dan eritromisin. Namun, obat-obat ini memiliki efek samping dalam penggunaannya sebagai anti jerawat antara lain iritasi dan kulit dapat menjadi lebih sensitif terhadap sinar matahari, sementara penggunaan antibiotika jangka panjang selain dapat menimbulkan resistensi juga dapat menimbulkan kerusakan organ (Djajadisastra, Munim dan Dessy 2009).
Pengobatan infeksi secara tradisional dilakukan dengan tanaman yang mempunyai aktivitas antibakteri dan berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai obat. Hal ini didasari karena sebagian besar tanaman mengandung ratusan senyawa kimia. Senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut merupakan bahan dasar dalam pembuatan obat. Penggunaan tanaman sebagai obat telah dilakukan masyarakat Indonesia dan dunia sejak zaman dahulu sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah kesehatan berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan keterampilan yang diwariskan secara turun temurun sampai pada generasi ini (Wijayakusuma, 2000).
jerawat dengan antibiotik (Djajadisastra, Munim dan Dessy, 2009). Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan zat aktif dari tumbuhan yang mempunyai potensi terhadap antibakteri. Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai antibakteri yaitu tanaman alpukat.
Alpukat adalah buah yang umumnya dapat dimakan dan dikenal sebagai buah yang tumbuh di seluruh daerah tropis (Chistianto, Nurwati dan Istiati, 2012). Alpukat merupakan salah satu tanaman obat yang dikenal berkhasiat sebagai antibakteri karena pada buah dan daun terdapat kandungan seperti saponin, alkaloid, dan flavonoid. Daunnya juga mengandung polifenol dan buahnya mengandung tanin (Permadi, 2006). Pada kulit buah alpukat mengandung alkaloid, flavonoid dan saponin (Ernawati dan Sari, 2015).
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa kandungan flavonoid yang terdapat dalam daun alpukat (Persea americana Mill) mempunyai aktivitas sebagai antiviral, antifungi dan antibakteri (Chistianto, Nurwati dan Istiati, 2012). Menurut penelitian Rifa (2010) ekstrak daun alpukat memiliki aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Menurut Gomez et al., (2008) ekstrak daun alpukat juga memiliki daya hambat pertumbuhan terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis. Ekstrak air biji alpukat mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutan dengan konsentrasi optimum 20% (Chistianto, Nurwati dan Istiati, 2012).
etanol biji alpukat dapat menghambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes pada konsentrasi 25 mg/ml ; 50 mg/ml ; 100 mg/ml ; dan 200 mg/ml dengan zona hambat yang dihasilkan adalah 10,650 ± 0,100 mm ; 11,225 ± 0,340 mm ; 12,625 ± 0,150 mm ; dan 15,725 ± 0,263.
Simplisia direndam dalam pelarut dan dibiarkan selama 24 jam, kemudian dilakukan remaserasi selama 4 kali. Hasil dari maserasi dan remaserasi diuapkan sehingga dapat diperoleh ekstrak kental.
Uji antibakteri menggunakan metode difusi sumuran dan untuk mengetahui senyawa yang berkhasiat sebagai antibakteri dilakukan bioautografi. Uji daya antibakteri pada penelitian ini menggunakan Propionibacterium acnes sebagai bakteri uji dan menggunakan pembanding
klindamisin. Klindamisin termasuk dalam antibiotik berspektrum luas yang dapat menghambat dan membunuh bakteri Gram positif maupun Gram negatif dengan cara mengganggu proses sintesis protein (Tjay dan Rahardja, 2007). Hal ini yang mendasari penggunaan klindamisin sebagai pembanding.
Metode difusi sumuran digunakan karena metode ini sesuai untuk menguji zat antibakteri yang berbentuk suspensi seperti ekstrak. Hasil uji difusi diamati daerah jernih kemudian diukur menggunakan jangka sorong yang dianggap sebagai Daerah Hambat Pertumbuhan (DHP) selanjutnya dilakukan uji bioautografi untuk mendapatkan noda hambatan pertumbuhan yang akan dibandingkan dengan pola KLT untuk mengetahui kandungan senyawa kimia dalam ekstrak aktif Persea americana Mill yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu:
1. Apakah ekstrak etanol 96% kulit buah alpukat memiliki aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan data dan informasi dari ekstrak kulit buah alpukat sebagai antibakteri terhadap Propionibacterium acnes
2. Mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanol kulit buah alpukat yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes pada metode bioautografi
1.4 Hipotesa
1. Ekstrak etanol kulit buah alpukat mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes.
2. Golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanol 96% kulit buah alpukat yang diduga memiliki aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes adalah golongan senyawa alkaloid, flavonoid
dan saponin.
1.5 Manfaat Penelitiaan