DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
KEYNOTE SPEECH
BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG
DAFTAR ISI
I. KEBIJAKAN SUBSEKTOR MINERAL DAN BATUBARA ……….………. 2
II. PERAN SUBSEKTOR MINERAL DAN BATUBARA... 3
III. ISU STRATEGIS ………... 4
IV. PENINGKATAN NILAI TAMBAH …………... 6
V. PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERTAMBANGAN MINERBA………... 11
I. KEBIJAKAN SUB SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA
Terbitnya UU No 4/2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara memberikan arah baru
terhadap kebijakan pertambangan mineral dan
batubara ke-depan, termasuk: pengaturan DMO,
produksi minerba, nilai tambah produk pertambangan,
berwawasan lingkungan, good mining practice
dll.
ESDM UNTUK
KESEJAHTERAAN
RAKYAT
II. PERAN SUBSEKTOR MINERAL DAN BATUBARA
PRO JOB (Lapangan Kerja) PRO GROWTH (Pertumbuhan) CSR PRO POOR (Pemerataan) GOOD MINING PRACTICE REKLAMASI DAN PASCATAMBANG PRO ENVIRONTMENT (Lingkungan) KETENAGAKERJAAN LOCAL CONTENT PENERIMAAN NEGARA INVESTASI NILAI TAMBAH NERACA PERDAGANGAN (PRODUKSI, EKSP OR DAN DOMESTIK)
Peningkatan Nilai Tambah
Keterbatasan
Pengawas
Degradasi Lingkungan
Peningkatan Jumlah Pelaku Usaha
Peningkatan Lahan Terganggu
Peningkatan Produksi
III. ISU STRATEGIS
ISU STRATEGIS
PENGELOLAAN
PERTAMBANGAN
Pengolahan dan Pemurnian Mineral Dalam Negeri
Permen
ESDM
No
7/2012
6
Feb
2012
UU No 4/2009 12 Jan 2009Inventarisasi data sumber
daya, cadangan, produksi, penjual an, pengolahan dan pemurnian
Feb 2010 – Jan 2012
PP
No
23/2010
1 Feb 2010
Kewajiban
pengolahan
dan
pemurnian
mineral
:
12
Januari
2014
Rekonsiliasi
Nasional
IUP
3
‐
6 Mei
2011
PP 52/2011(Fasilitas Pajak)
22 Des 2011
− Kepastian pasokan − Pengembangan industr hilir/manufaktur − Nilai tambahIV. PENINGKATAN NILAI TAMBAH
Permen
ESDM
No
11/2012
1. Sebagai dasar penetapan Wilayah Pertambangan.
2. Bahan koordinasi dengan instansi lain dalam penentuan tata ruang
sehingga dapat mengetahui tumpang tindih antara daerah, tumpang
tindih antar sektor, dan tumpang tindih antar pemegang IUP.
3. Optimalisasi
penerimaan
negara
bukan
pajak
(iuran
tetap, royalti, penjualan hasil tambang) dari IUP.
4. Peluang untuk peningkatan nilai tambah mineral dan batubara.
5. Mengetahui produksi nasional mineral dan batubara
6. Dasar penentuan pemenuhan kebutuhan domestik (DMO)
7. Peningkatan kontribusi usaha jasa pertambangan nasional
8. Peningkatan kebutuhan sumber daya manusia
9. Pengelolaan lingkungan
IV.1. SASARAN/TUJUAN
Status IUP (Pengumuman I,II,III, dan IV) Per 14 Juni 2012
JUMLAH IUP
IUP C&C
IUP NON C&C
10.361
4.496
5.865
IUP
MINERAL
BATUBARA
JUMLAH
2.688
1.808
TOTAL
4.496
Rincian IUP C & C Per 31 Mei 2012
Rincian IUP
Non C & C
Per 14 Juni 2012
IUP
MINERAL
BATUBARA
JUMLAH
4.015
1.850
TOTAL
5.865
IV.2 PROGRES REKONSILIASI IUP
.
Permasalahan :
• Terjadi ekspor besar‐besaran bijih nikel pada tahun 2011 (33 juta ton), dimana meningkat
8 kali dibanding saat penerbitan UU No 4 Tahun 2009 (UU Minerba) sehingga tidak mendorong tumbuhnya industri Nikel/Stainless Steel dalam negeri.
Dampak Ekonomis:
• Tumbuhnya industri pengolahan bijih nikel di dalam negeri dengan kebutuhan bijih nikel dalam negeri sebanyak 18 juta ton/tahun dapat dipenuhi.
Kebijakan yang Diperlukan :
• Penyesuaian dengan peraturanperundang‐undangan
• Penerapan DMO untuk memenuhi
kebutuhan industri nikel/stainless steel dalam negeri.
Unsur jarang : tanah jarang (Scandium, Lantanum, Yttrium) Nilai tambah bijih ke logam: 19 X Kondisi saat ini (sesuai data Kemendag, yang membayar
pajak dan PNBP) 0 5 10 15 20 25 30 35 2008 2009 2010 2011
Naik
8 kali lipat
Ekspor Bijih Nikel (Juta Ton)
IV.3 PENINGKATAN NILAI TAMBAH
Permasalahan :
Terjadi ekspor besar‐besaran bijih besi pada tahun 2011 (13 juta ton), dimana meningkat 7 kali dibanding saat penerbitan UU No 4 Tahun 2009 sehingga cadangan bjih besi akan habis dalam waktu 9 tahun. Kondisi ini tidak mendorong tumbuhnya industri besi baja dalam negeri.
Dampak Ekonomis:
Tumbuhnya industri bahan baku baja (sponge/pig iron) berkapasitas 9,5 juta ton/tahun, dengan perkiraan investasi USD 1 miliar.
Kebijakan yang Diperlukan :
• Penyesuaian dengan peraturanperundang‐undangan
• Penerapan DMO untuk memenuhi
kebutuhan industri besi baja dalam
negeri. Unsur jarang : Vanadium, Titan ium Nilai tambah bijih ke logam: 4 X 0 2 4 6 8 10 12 14 2008 2009 2010 2011
Naik 7 kali lipat
Kondisi saat ini (sesuai data Kemendag, yang membayar
pajak dan PNBP)
IV.3.2 Bijih Besi
Ekspor Bijih Besi (Juta Ton)
Permasalahan :
• Terjadi peningkatan ekspor bijih tembaga pada tahun 2011 (14 ribu ton), dimana meningkat 11 kali dibanding saat penerbitan UU No 4 Tahun 2009
• Kemampuan industri pengolahan tembaga dalam negeri (copper cathode) saat ini hanya mengolah 30% dari total produksi konsentrat.
• ±0,01% konsentrat mengandung logam mulia yang selama ini diolah di luar negeri.
Dampak Ekonomis:
• Tumbuhnya industri pengolahan copper concentrate menjadi copper cathode dalam
negeri dengan kapasitas 425 ribu ton/tahun
dengan perkiraan investasi USD 1,4 Miliar.
• Meningkatkan daya saing industri hilir tembaga seperti industri kabel, PCB, dan komponen elektronik lainnya.
Kebijakan yang Diperlukan :
• Penyesuaian dengan peraturanperundang‐undangan
• Penerapan DMO untuk memenuhi
kebutuhan industri dalam negeri. Unsur jarang :
Platina, Paladium, Seleni um, Telurium 0 2 4 6 8 10 12 14 16 2008 2009 2010 2011
Naik 11 kali
lipat
Kondisi saat ini (sesuai data Kemendag, yang membayar
pajak dan PNBP)
IV. 3.3 Bijih Tembaga
Ekspor Bijih Tembaga (Ribu Ton)
Permasalahan :
• Terjadi ekspor besar‐besaran bijih bauksit pada tahun 2011 (40 juta ton) dimana meningkat 5 kali dibanding saat penerbitan UU No 4 Tahun 2009, sehingga cadangan akan habis dalam waktu singkat (4 tahun)
sehingga tidak mendorong tumbuhnya industri Alumina dalam negeri.
Dampak Ekonomis:
• Tumbuhnya industri pengolahan bauksit menjadi alumina DN dengan kapasitas 7 juta ton/tahun, dengan perkiraan investasi USD 8,4 miliar
• Kebutuhan alumina untuk PT. INALUM sebanyak 500 ribu ton/tahun dapat dipenuhi dari DN.
Kebijakan yang Diperlukan :
• Penyesuaian dengan peraturanperundang‐undangan
• Penerapan DMO untuk memenuhi kebutuhan industri alumina dalam negeri
Unsur jarang : Titanium, Tantalum, ta
nah jarang
(Scandium, Lantanum, Yttr ium) Nilai tambah bijih ke logam: 30 X 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 2008 2009 2010 2011
Naik 5 kali
lipat
Kondisi saat ini (sesuai data Kemendag, yang membayar
pajak dan PNBP)
IV.3.4 Bijih Bauksit
Ekspor Bijih Bauksit (Juta Ton)
Mineral
Logam
Batuan
Mineral
Bukan
Logam
Pengolahan
Pengolahan
Pemurnian
IV.3.5 PENGOLAHAN PEMURNIAN
IUP
OP
Sendiri
Kerja Sama
IUP/IUPK OP lainIUP
OP
khusus
pengolahan dan
pemurnian
Jual bijih/
konsentrat
Kegiatan
Pengolahan dan
Pemurnian
Membangun sarana dan prasaranaIV.3.6 PENGUSAHAAN PENGOLAHAN PEMURNIAN
IV.3.7 REKAP DOKUMEN RENCANA PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN (UPDATE 31 MEI 2012)
1. PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN
TELAH BEROPERASI
: 7 PERUSAHAAN
2. PENGAJUAN PEMBANGUNAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN
SEBELUM
PERMEN ESDM NO 7 TAHUN 2012 : 24 PERUSAHAAN
3. PENGAJUAN PEMBANGUNAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN
SETELAH
PERMEN ESDM NO 7 TAHUN 2012 : 126 PERUSAHAAN
TOTAL :
157 PERUSAHAAN
IV.3 PENINGKATAN NILAI TAMBAH
State Revenue Local Expenditure Community Development Regional Development Sustainable Development Indonesia : 2000–5000 mm Brazil : 1000 mm Chili : 0,77 mm Australia : 600 mm
Indonesia terdiri dari 17.504 pulau
kecil, dengan 5 pulau utama
V.1 KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERTAMBANGAN DI INDONESIA
V.2 DAMPAK LINGKUNGAN AKIBAT PERTAMBANGAN
y
Kondisi alam Indonesia dengan keterdapatan bahan galian yang dangkal
mengakibatkan sebagian besar kegiatan pertambangan dilakukan dengan metode
tambang terbuka dimana pada kegiatannya memerlukan aktivitas penggalian yang
berakibat pada terjadinya perubahan bentang.
y
Perubahan bentang alam pada area dengan curah hujan yang tinggi berpotensi
menurunkan fungsi lingkungan yang ditunjukkan dengan adanya:
1.
Erosi dan sedimentasi,
2.
Air asam tambang,
3.
Penurunan kualitas air permukaan dan air tanah
4.
Penurunan produktivitas lahan.
y
Selain berpotensi menurunkan fungsi lingkungan, kegiatan penambangan juga dengan
terpaksa akan menggali dan memindahkan material yang tidak berharga dari
penambangan dan sisa hasil pengolahan (tailing) yang berpotensi menimbulkan
perusakan, pencemaran lingkungan dan kebencanaan
y
Kegiatan pembukaan lahan di area hutan hujan tropis berpotensi merusak ekosistem
sebagai tempat hidupnya berjuta aneka ragam hayati.
Reklamasi & Revegetasi
Pemeliharaan
Sarana
Penunjang
Pemantauan
Kewajiban
Pengelolaan
Lingkungan
Pertambangan
Minerba
Pengelolaan Batuan Penutup
Pembibitan
Pengendalian Erosi &
Sedimentasi
V.3 KEWAJIBAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERTAMBANGAN MINERBA
V.4 PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN
V. PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERTAMBANGAN
Reklamasi & Revegatasi
Penataan Lahan & kendali erosi Top Soil Spreading
V.5 KETERBATASAN INSPEKTUR TAMBANG
Daerah
Jumlah Inspektur Tambang
Pusat
31
Sumatera
Selatan
9
Sumatera
Barat
8
Kep.
Bangka
Belitung
5
Jambi
2
Bengkulu
5
Kalimantan
Timur
22
Kaimantan
Tengah
1
Total
83
Status IUP (Pengumuman I,II,III, dan IV) Per 14 Juni 2012
JUMLAH IUP
IUP C&C
IUP NON C&C
10.361
4.496
5.865
VI. PENUTUP
y
Kekayaan alam Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya adalah aset dan
sumber kehidupan bangsa;
y
Butuh upaya pengelolaan lingkungan sedini mungkin melalui perencanaan dan
pelaksanaan yang tepat sehingga dapat mengurangi dampak negatif dari
kegiatan pertambangan;
y
Kebijakan dan Peraturan perlu dilaksanakan oleh semua pihak, baik
pemerintah daerah, pemerintah pusat, serta pelaku industri tambang untuk
mewujudkan perlindungan lingkungan pada kegiatan pertambangan.
y
Prinsip pencegahan adalah prinsip utama dari pelaksanaan Good Mining
Practice melalui pendekatan perlindungan lingkungan dalam setiap aktivitas
pertambangan;
y
Reklamasi merupakan upaya pemulihan fungsi lahan agar sesuai dengan
peruntukkannya sebagai upaya dari penanggulangan dampak negatif terhadap
lingkungan
y