• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1Makanan

Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses didalam tubuh, perkembangbiakan dan menghasilkan energi untuk kepentingan berbagai kegiatan dalam kehidupannya (Effendi 2012).

Menurput Chandra 2007 berdasarkan definisi dari WHO, makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Air tidak termasuk dalam makanan karena merupakan elemen yang vital bagi kehidupan manusia. 2.1.1 Fungsi makanan

Menurut Notoatmojo (dalam Mulia, 2005), ada empat fungsi pokok makanan bagi manusia, yakni:

1. Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/ perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak.

2. Memperoleh energi guna melakukan aktivitas sehari-hari

3. Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh yang lain

4. Berperan di dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit.

Agar makanan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, kualitas makanan harus diperhatikan.Kualitas tersebut mencakup ketersediaan zat-zat (gizi) yang

(2)

dibutuhkan dalam makanan dan pencegahan terjadinya kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan (Mulia, 2005). 2.1.2 Sanitasi Makanan

Menurut Mulia 2005 Sanitasi makanan yang buruk disebabkan 3 faktor yaitu:

1. Faktor fisik, terkait dengan kondisi ruangan yang tidak mendukung pengamanan makanan seperti sirkulasi udara yang kurang baik, temperatur ruangan yang panas dan lembab, dan sebaginya.

2. Faktor kimia, karena adanya zat-zat kimia yang digunakan untuk mempertahankan kesegaran bahan makanan, obat-obat penyemprot hama, penggunaan wadah bekas obat-obat pertanian untuk kemasan makanan dan lain-lain.

3. Faktor mikrobiologi, karena adanya kontaminasi oleh bakteri, virus, jamur dan parasit.

2.1.3 Kontaminasi makanan

Menurut Chandra 2007 kontaminasi makanan dapat terjadi akibat agent penyakit yang menyebabkan infeksi atau akibat proses pembusukan. Pembusukan dapat terjadi secara alami akibat enzim-enzim yang ada dalam makanan itu sendiri, misalnya pembusukan pada durian dan sayur. Makanan yang busuk adalah makanan yang sudah mengalami proses sedemikan rupa sehingga tidak dapat dimakan manusia. Untuk dapat menyatakan bahwa suatu makanan memang telah busuk, berikut kriteria makanan yang busuk yakni :

(3)

1. Makanan yang telah mengandung toksin atau bakteri

2. Makanan yang rusak dan jika dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan. Untuk menentukan apakah suatu makanan masih dapat dimakan atau tidak, makanan tersebut harus memenuhi kriteria berikut:

1. Makanan berada dalam tahap kematangan yang dikendalikan.

2. Makanan bebas dari pencemaran sejak tahap produksi sampai tahap penyajian atau tahap penyimpanan makanan yang sudah diolah.

a. Bebas dari perubahan-perubahan fisik, kimia, yang tidak diketahui atau karena kuman pengerat, serangga, parasit, atau karena pengawetan. b. Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang dibawa oleh makanan,

tetapi menampakan keadaan-keadaan kegiatan pembusukan yang dikehendaki, seperti keju, tempe, dan susu.

1.1.4Pengawetan Makanan

Menurut Chandra 2007 usaha pengawetan makanan sudah dilakukan sejak dahulu, yang dimulai dengan cara pengasapan atau pengeringan. Disetiap Negara, cara pengawetan makanan tidak sama karena terjadinya perkembangan teknologi yang menyebabkan perubahan taraf kehidupan penduduk disuatu Negara. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi secara cepat atau lambat, dalam hal ini perubahan lambat yang berlangsung adalah perubahan dalam cara kebiasaan makan. Perkembangan teknologi pada pengawetan makanan bergantung pada faktor cara kebiasaan makan dan daya beli penduduk.

(4)

1.1.5 Gangguan Kesehatan Akibat Makanan

Menurut Slamet (dalam Mulia, 2005), gangguan kesehatan yang dapat terjadi akibat makanan dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu:

1. Keracunan makanan, dapat disebabkan oleh racun asli yang berasal dari tumbuhan atau hewan itu sendiri maupun oleh racun yang ada didalam pangan akibat kontaminasi. Makanan dapat terkontaminasi oleh berbagai racun yang dapat berasal dari tanah, udara, manusia, dan vektor.

2. Penyakit bawaan makanan, pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan secara nyata dari penyakit bawaan air. Yang dimaksud dengan penyakit bawaan makanan adalah penyakit umum yang dapat diderita seorang akibat memakan sesuatu makanan yang terkontaminasi mikroba pathogen, kecuali keracunan. 2.2Sosis

2.2.1Sejarah munculnya sosis

Sosis (dalam bahasa Inggris sausage) berasal dari bahasa Latin salsus yang artinya asin adalah suatu makanan yang terbuat dari daging cincang, lemak hewan dan rempah, serta bahan-bahan lain. Sosis umumnya dibungkus dalam suatu pembungkus yang secara tradisional menggunakan usus hewan, tapi sekarang seringkali menggunakan bahan sintetis, serta diawetkan dengan suatu cara, misalnya dengan pengasapan (Sembiring, 2011).

Pada zaman dahulu, sosis sapi umumnya dibungkus dalam suatu pembungkus yang secara tradisional menggunakan usus hewan, serta diawetkan dengan suatu cara. Saat ini, sosis sapi dapat dibuat dengan menggunakan bahan

(5)

sintetis, serta diawetkan dengan suatu cara, misalnya dengan pengasapan (Sembiring, 2011).

Proses pengasapan berawal dari inovasi seorang tukang daging mempunyai ide menyatukan daging sapi giling, garam dan bumbu – bumbu yang disatukan dalam satu selongsong, kemudian dimasak dengan berbagai cara untuk mendapatkan berbagai macam rasa yang khas. Ternyata cara memasak dengan pengasapan menjadi salah satu metode pengawetan yang populer hingga saat ini. Dengan pengasapan selain daya simpan produk meningkat, warnanya menjadi lebih menarik, serta mendapatkan rasa yang lebih spesifik, bau yang lebih harum atau disukai (Sembiring, 2011).

Komponen utama sosis terdiri dari daging, lemak, dan air. Selain itu, pada sosis juga ditambahkan bahan tambahan seperti garam, fosfat, pengawet (biasanya nitrit/nitrat), pewarna, asam askorbat, isolat protein, dan karbohidrat. Sosis daging sapi dapat mengandung air sampai 60% (Soeparno, dalam sembiring 2011). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995), sosis yang baik harus mengandung protein minimal 13%, lemak maksimal 25% dan karbohidrat maksimal 8% (Sembiring, 2011).

Protein daging berperan dalam peningkatan hancuran daging selama pemasakan sehingga membentuk struktur produk yang kompak (Sembiring 2011).

(6)

2.2.2Definisi sosis

Gambar 2.1 Data Primer tahun 2013

Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang telah di cincang kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan kedalam pembungkus yang berupa usus hewan atau pembungkus buatan, dengan atau tidak dimasak. Menurut SNI 01-3020-1995 sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selongsong sosis (Sriati, 2011).

Sosis merupakan salah satu produk olahan daging yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sosis dibuat dari komponen utama daging sapi, bahan curing (garam dapur, gula, natrium nitrit atau natrium nitrat ), bahan pengisi (filler), bahan pemberi nilai tambah, cairan,bumbu, dan selongsong (casing) (Syafani, 2013)

(7)

2.2.3Emulsi sosis

Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi suatu cairan atau senyawa yang tidak dapat bercampur, yang satu terdispersi pada yang lain. Cairan yang berbentuk globula-globula kecil disebut fase dispersi atau fase diskontinu, dan cairan tempat terdispersinya globula-globula tersebut disebut fase kontinu. Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau menyelimuti semua permukaan partikel yang terdispersi (Soeparno dalam Lianti, 2009).

Sosis merupakan salah satu produk emulsi, dimana pembuatannya menggunakan bahan utama daging yang mengandung protein. Sosis adalah suatu emulsi lemak dalam air. Lemak membentuk fase dispersi dari emulsi, sedangkan air yang mengandung protein dan garam terlarut membentuk fase kontinu. (Essien dalam Lianti, 2009).

2.3Bahan Tambahan Pangan

Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI NO.722/Menkes/Per/IX/88 No.1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2009).

Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran yang ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan

(8)

pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat, dan pengental. (Dinkes Kota Gorontalo 2011)

Menurut Sartono (dalam Tontoiyo 2013) bahan tambahan makanan meliputi antioksidan, antikempal, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap dan pengental, pengawet, pengeras, pewarna (alam dan sintetis), penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, dan sekuestran.

2.3.1Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan

Menurut Cahyadi 2009, tujuan penggunaan bahan makanan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi, dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:

1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa dan membatu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna dan pengeras.

2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah yang sedikt atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa

(9)

ke dalam makanan yang akan dikomsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu pestisida, antibiotic, dan hidrokarbon aromatic polisiklis.

Apabila dilihat dari asalnya, bahan tambahan pangan dapat berasal dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya. Bahan ini juga dapat disintetis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kima maupun sifat metabolismenya, misalnya β-karoten dan asam askorbat. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai kelebihan, yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah tetapi adapula kelemahanya, yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang terjadinya kanker pada hewan atau manusia. Beberapa bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan menurut Permenkes RI NO.722/Menkes/Per/IX/88 dan No. 1168/Menkes/PER/X/1999 sebagai berikut:

1. Natrium tetraborat (Boraks). 2. Formalin (Formaldehyd).

3. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils). 4. Kloramfenikol (Chlorampenicol).

5. Kalium klorat (Pottasium chlorate). 6. Dietilpirokarbonat (Dietylpyrocarbonate). 7. Nitrofuranzon (Nitrofuranzone).

8. P-Phenitilkarbamida

(10)

Menurut Aminah dan Hirmawan (dalam Tontoiyo, 2013), penggunaan bahan tambahan makanan banyak digunakan oleh produsen untuk memberikan daya tarik tersendiri bagi produk pangan. Bahan tambahan makanan seperti pewanget mampu mengawetkan makanan dan buah-buahan sehingga terlihat lebih segar dan menarik mata pembeli. Anak-anak dan orang dewasa sering tertipu oleh tampilan luar dari makanan dan buah tersebut. Hal ini merupakan kelemahan konsumen yang dimanfaatkan oleh produsen. Kelemahan tersebut adalah kebiasaan konsumen yang hanya melihat tampilan ketika membeli. Padahal, membeli satu barang, selain membutuhkan ketelitian, juga diperlukan kecerdasan. Artinya konsumen harus cerdas membeli produk yang aman untuk dikonsumsi sehingga tidak bisa dikelabui dengan mudah oleh produsen.

2.4Bahan Pengawet

Cahyadi, 2009 menyatakan bahwa penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan makanan lainnya karena makanan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda.

Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan olehh mikroba. Akan tetapi, tidak jarang produsen menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Cahyadi, 2009).

(11)

Bahan pengawet yang ditambahkan umumnya sama dengan bahan pengawet pangan yang sebenarnya sudah terdapat dalam bahan pangan, tetapi jumlahnya sangat kecil sehingga kemampuan mengawetkan sangat rendah. Bahan pengawet sangat bervariasi tergantung dari negara yang membuat batasan pengertian tentang bahan pengawet. Meskipun demikian, penggunaan bahn pengawet memiliki tujuan yang sama, yaitu mempertahankan kualitas dan memperpanjang umur simpan bahan pangan (Cahyadi, 2009).

Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya, atau bahan yang dapat memberikan perlindungan olahan pangan dari pembusukan. Menurut peraturan mentri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang bahan tambahan yang mencegah untuk menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Cahyadi, 2009).

Definisi lain bahan pengawet adalah zat (biasanya bahan kimia ), yang digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk misalnya pada produk daging, buah-buahan dan lain-lain. Zat pengawet hendaknya tidak bersifat toksik, tidak mempengaruhi warna, tekstur, dan rasa makanan. (Arisman, 2009).

Menurut Cahyadi 2009, Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut.

1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen.

(12)

3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan.

4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah.

5. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyratan.

6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan. 2.4.1Jenis bahan pengawet

Menurut pakar gizi dari RS Internasional Bintaro, Banten, (dalam Sembiring 2011) secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi tiga.

1. GRAS ( Generally Recognized as Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali. Misalnya garam, gula, lada, dan asam cuka.

2. ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.

3. Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi, alias berbahaya seperti boraks, formalin dan rhodamin B. Formalin, misalnya, bisa menyebabkan kanker paru-paru serta gangguan pada alat pencernaan dan jantung. Sedangkan penggunaan boraks sebagai pengawet makanan dapat menyebabkan gangguan pada otak, hati, dan kulit.

Bahan pengawet yang sering digunakan oleh para produsen makanan adalah sebagai

(13)

1. Natrium Benzoat, yang biasa dikenal dengan pengawet antibasi. Natrium benzoat sering digunakan pada produk-produk hasil olahan, seperti pada roti kering, kick, cincau, ongol ongol, dan jajanan pasar lainnya.

2. Asam sorbat, biasanya digunakan dalam bentuk garam sodium atau potasium. Bahan ini efektif untuk menghambat pertumbuhan kapang dan ragi. Asam sorbat tidak mempengaruhi cita rasa makanan pada tingkat penggunaan 0.3% per berat bahan pada produk makanan seperti keju, roti, sari, buah, dan acar.

Asam benzoat. Bahan ini sering digunakan sebagai pengawet bahan makanan olahan, seperti sari buah dan minuman ringan. Garam sodium dari asam benzoat lebih sering digunakan karena bersifat mudah larut dalam air, dari pada bentuk asamnya. Asam benzoat lebih potensial terhadap ragi dan bakteri, dan paling efektif untuk menghambat pertumbuhan kapang. Penggunaan asam benzoat sering dikombinasikan dengan asam sorbat, dan ditambahkan dalam jumlah sekitar 0.05-0.1% per berat badan.

2.5 Nitrit

2.5.1 Pengertian nitrit

Nitrit adalah senyawa nitrogen yang reaktif. Kalium nitrat dan nitrit serta natrium nitrat dan nitrit telah digunakan dalam daging olahan (curing) selama berabad-abad. Penggunaan bahan ini menjadi semakin luas karena manfaat nitrit dalam pengolahan daging (seperti sosis, korned, dan burger) selain sebagai pembentuk warna dan bahan pengawet antimikroba, juga berfungsi sebagai pemberi aroma dan cita rasa. Curing adalah cara proses daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Natrium nitrit dan atau

(14)

Natrium nitrat dan gula serta bumbu-bumbu. Maksud curing antara lain adalah untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik dan memperpanjang masa simpan produk daging. Produk daging yang diproses dengan curing disebut daging cured (Sembiring, 2011).

Menurut Winarno (dalam Sembiring, 2011), Pada umumnya proses curing terjadi adanya:

1. Reaksi biologis yang dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit dan NO, yang mampu mereduksi ferri menjadi ferro.

2. Terjadinya denaturasi globin oleh panas. Bila daging yang di-curing dipanaskan pada suhu 1500 F atau lebih, maka terjadi proses denaturasi.

3. Hasil akhir curing daging membentuk pigmen nitrosilmioglobin bila tidak dimasak, dan nitrosilhemokromogen bila telah dimasak.

Nitrit mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri, terutama bakteri patogen Clostridium botulinum (Silalahi dalam Sembiring, 2011). Bakteri ini merupakan mikroorganisme patogenik paling berbahaya dan sangat fatal yang dapat mengkontaminasi daging cured. Nitrit menghambat produksi toksin Clostridium botulinum dengan menghambat pertumbuhan dan perkembangan spora. Keracunan makanan yang disebabkan oleh toksin Clostridium botulinum disebut botulisme (Sembiring, 2011).

Nitrit juga merupakan antioksidan yang efektif menghambat pembentukan WOF (Warmed-Over Flavor) yaitu berubahnya warna, aroma dan rasa yang tidak menyenangkan pada produk daging yang telah dimasak. Penambahan nitrit pada konsentrasi 156 mg/kg cukup efektif menghambat pembentukan WOF dan

(15)

menurunkan angka TBA pada produk daging sapi dan ayam. TBA (Thio Barbiturat Acid) adalah senyawa yang dapat bereaksi dengan senyawa aldehid membentuk warna merah yang bisa diukur menggunakan spektrofotometer. Angka TBA adalah angka yang dipakai untuk menentukan adanya ketengikan dari senyawa aldehid yang dihasilkan dari oksidasi minyak atau lemak (Raharjo dalam Sembiring, 2011).

Nitrit dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan, tetapi nitrit hanya efektif jika daging ikan tersebut mempunyai pH di bawah 6,4 mekanisme nitrit sebagai bahan pengawet belum dapat diketahui dengan pasti. Perubahan warna daging secara kimia sangat kompleks (Dinkes Kota Gorontalo, 2011).

Sumber utama nitrit secara umum adalah makanan, terutama sayuran dan air minum. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemakaian pupuk pada sayuran. Jika pupuk urea banyak digunakan akan berdampak pada manusia melalui sayuran, terutama berdaun hijau serta sayuran dari umbi dan air minum. (Silalahi dalam Sembiring 2011).

2.5.2Mekanisme Patofisiologi Keracunan Nitrit pada Makanan

Nitrit adalah senyawa nitrogen dan oksigen (No2 atau nitrogen oksida). Apabila ke dalam tubuh kita masuk nitrit (melalui konsumsi makanan), maka di dalam tubuh akan terbentuk NO. Apabila nitrit yang terkonsumsi jumlahnya banyak, maka NO yang terbentuk juga banyak. NO tersebut adalah dapat bergabung dengan hemoglobin membentuk nitrosohemoglobin.

Keracunan dapat disebabkan oleh beberapa hal di ataranya yaitu faktor bahan kimia, mikroba, toksis dan lain-lain. Dari penyebab tersebut dapat mempengaruhi vaskuler sistemtik sehingga terjadi penurunan fungsi organ-organ dalam tubuh. Biasnya

(16)

akibat dari keracunan menimbulkan mual, muntah, diare, perut kembung, gangguan pernafasan, gangguan sirkulasi darah dan kerusakan hati (sebagai akibat keracunan obat dan bahan kimia).

2.5.3Efek toksik nitrit

Efek toksik nitrit adalah methaemoglobinemia, yaitu hemoglobin yang di dalamnya ion Fe2+ diubah menjadi ion Fe3+ dan kemampuannya mengangkut oksigen telah berkurang. Darah manusia secara normal mengandung methaemoglobin pada konsentrasi tidak melebihi 2% (Muchtadi, 2008). Kandungan methaemoglobin menjadi 30-40% dapat menyebabkan gejala klinis berkaitan dengan kekurangan oksigen dalam darah (hipoxia). Penderita menjadi pucat, kulit menjadi biru (cianosis), sesak nafas, muntah dan shock. (Cahyadi, 2006). Kematian dapat terjadi jika kadarnya mencapai 70% (Silalahi, dalam Sembiring 2011).

Penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan warna daging atau ikan ternyata menimbulkan efek yang membahayakan. Nitrit dapat berikatan dengan amino atau amida dan membentuk turunan nitrosamin yang bersifat toksik. Nitrosamin merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik. Nitrosamin dapat menimbulkan tumor pada bermacam-macam organ, termasuk hati, ginjal, kandung kemih, paru-paru, lambung, saluran pernapasan, pankreas dan lain-lain (Muchtadi, dalam Sembiring).

Senyawa nitrosamin yang dihasilkan dari reaksi nitrit dengan amin sekunder merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik. Amin-amin sekunder yang paling banyak ditemukan didalam daging adalah piperidin, dietil amin, pirolidin dan dimetil amin. Agen nitrosasi yang paling penting dalam

(17)

pembentukan nitrosamin adalah N2O3 yang mudah terbentuk dari nitrit dalam suasana asam. N2O3 bereaksi dengan pasangan elektron bebas yang ada pada amin sekunder membentuk nitrosamin. Kondisi pH yang optimum untuk nitrosasi senyawa amin sekunder berkisar antara 2,5 dan 3,5. Walaupun makanan biasanya lebih tinggi dari pH 3,5, biasanya tingkat keasaman makanan cukup untuk memicu reaksi nitrosasi dengan laju yang lebih lambat dari maksimum. Keasaman lambung mendekati pH 2,5-3,5 sehingga akan menjadi kondisi yang cukup baik untuk reaksi nitrosasi . (Silalahi dalam Sembiring 2011).

Beberapa contoh senyawa nitrosamin adalah nitrosodimetilamin, nitrosodietilamin, nitrosopiperidin,dan nitrosopirolidin. Nirosodimetilamin dapat menimbulkan resiko kanker yang lebih berbahaya daripada nitrosopirolidin. Konsentrasi nitrosodimetilamin sampai 5 ppb di dalam daging dapat bersifat karsinogenik. Menurut Silalahi (2005), nitrosodimetilamin bersifat karsinogenik paling kuat diantara karsinogen kimia (Sembiring, 2011).

Untuk mencegah terbentuknya nitrosamin maka dianjurkan untuk menambahkan zat yang dapat menghambat proses tersebut misalnya asam askorbat (Silalahi, 2005). Di Amerika dianjurkan penambahan asam askorbat sebanyak 550 mg/kg dalam daging olahan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722 tahun 1988, penggunaan nitrit maksimum pada daging olahan dan daging awetan yakni 125 µg/ml dan untuk korned kaleng 50 µg/ml (Badan Standardisasi Nasional, 2001). Batas penggunaan nitrit di negara-negara barat telah diturunkan dari 150 ppm menjadi 50 ppm saja karena telah terbukti adanya kemungkinan terbentuknya

(18)

senyawa nitrosamin. Nitrosamin merupakan sekelompok senyawa kimia yang bersifat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker.

2.5.4Analisis Nitrit

1. Pemeriksaan kualitatif nitrit

Pemeriksaan kualitatif nitrit dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu menggunakan asam sulfanilat dan larutan NEDD, serbuk antipirin, dan serbuk kalium iodida. Larutan yang mengandung nitrit bila ditambahkan beberapa tetes larutan asam sulfanilat dan larutan NEDD, dibiarkan selama beberapa menit akan memberikan hasil warna ungu merah.

Larutan yang mengandung nitrit, dipekatkan diatas penangas air, kemudian pada sisa larutan diteteskan beberapa tetes asam klorida encer dan ditambahkan sedikit serbuk antipirin, kemudian diaduk akan memberikan hasil warna hijau (Roth dalam Sembiring, 2011).

Larutan yang mengandung nitrit, ditambahkan sedikit serbuk kalium iodida lalu diasamkan dengan asam klorida encer, iod akan dibebaskan, yang dapat diidentifikasi dengan pasta kanji memberikan hasil warna biru (Roth dalam sembiring, 2011).

2. Penetapan kadar nitrit

Penetapan kadar nitrit dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain spektrofotometri sinar tampak dan volumetri. Metode spektrofotometri sinar tampak digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif nitrit dengan pereaksi asam sulfanilat dan NEDD yang membentuk warna ungu merah dan dapat diukur dengan panjang gelombang maximum 540 nm. Dengan adanya nitrit maka akan

(19)

menghasilkan senyawa yang berwarna ungu kemerahan yang dapat diukur secara spektrofotometri sinar tampak (Day dan Rohman dalam Sembiring, 2011).

Spektrofotometri adalah pengukuran absorbsi energi cahaya oleh suatu molekul pada suatu panjang gelombang tertentu untuk tujuan analisa kualitatif dan kuantitatif. Bila suatu molekul dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diserap oleh larutan zat berbanding lurus dengan tebal dan kosentrasi larutan dan berbanding terbalik dengan transmitan. (Day dan Rohman dalam Sembiring, 2011).

Pada analisis menggunakan alat spektrofotometri sinar tampak dilakukan pemilihan panjang gelombang dan pembuatan kurva kalibrasi. Panjang gelombang yang digunakan adalah panjang gelombang yang memiliki absorbansi maksimum dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. Kurva kalibrasi menunjukkan hubungan antara absorbansi dan konsentrasi baku sehingga diperoleh persamaan regresi linier. Persamaan regresi ini dipakai untuk menghitung kadar dalam sampel (sembiring, 2011).

Penetapan kadar nitrit dengan metode volumetri dilakukan secara permanganometri dan serimetri. Permanganometri adalah suatu cara titrasi memakai kalium permanganat sebagai pentiter. Serimetri menggunakan serium (IV) sulfat dimana kelebihan serium (IV) sulfat dititrasi dengan amonium besi (II) sulfat dan asam N-fenilantranilat sebagai indikator. Tetapkan volume larutan serium (IV) sulfat standar yang telah bereaksi dengan larutan nitrit, dan dihitung kadar nitrit (Sembiring, 2011).

(20)

2.6Kerangka Berfikir 2.6.1Kerangka Teori

Gambar 2.2 Kerangka Teori Makanan

Sosis

Bahan Tambahan Makanan

BTP yang tidak dilarang BTP yang dilarang

Sumber Zat Pengawet

Zat pengawet alami Zat pengawet alami

Nitirit Formalin Benzoat Berdampak Bagi Kesehatan Masyarakat Sosis Sapi

Pasar Tradisional Pasar modern

Makanan

Sosis

Bahan Tambahan Makanan

BTP yang dilarang BTP yang tidak dilarang

Sumber Zat Pengawet

(21)

Makanan adalah merupakan kebutuhan pokok setiap manusia. makanan yang menjadi sumber penelitian di sini adalah sosis, di mana sosis merupakan bahan tambahan pangan dan sumber zat pengawet yaitu bahan tambahan pangan yang dilarang dan tidak dilarang, kemudian bahan tambahan pangan yang dilarang, bahan tambahan pangan yang tidak dilarang, dan sumber zat pengawet terbagi atas 2 yaitu zat pengawet alami dan zat pengawet buatan, dimana zat pengawet buatan yang diteliti yaitu nitrit sedagkan yang tidak dileti yaitu formalin dan benzot. Ketiga sumber zat pengawet tersebut dapat berdampak bagi kesehatan masyarakat. Sumber zat pengawet terdapat pada sosis sapi yang dijual di pasar Modern dan tidak di jual di pasar Tradisional.

2.6.2Kerangka Konsep

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Pasar Modern Sosis Sapi

Permenkes RI No. 1168/Menkes/

Per/X/1999 Kadar Nitrit dengan

standar maksimum yaitu 125 mg/kg

Pemeriksaan Laboratorium

Gambar

Gambar 2.1 Data Primer tahun 2013
Gambar 2.2 Kerangka Teori Makanan
Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Venkatesh (dalam Devi & Suartana, 2014) menyatakan Persepsi Kemanfaatan adalah tingkat kepercayaan individu bahwa penggunaan teknologi akan meningkatkan kinerja

Gaya hidup berpengaruh terhadap perilaku konsumen. Perilaku konsumen dibagi menjadi dua, yaitu perilaku pembelian dan perilaku konsumsi. Keduanya dipengaruhi oleh gaya hidup dan

Berita Acara Pemberian Penjelasan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari. Dokumen Pengadaan, Apabila dalam Berita Acara Pemberian Penjelasan ini

Apabila dilihat dari hasil khi- kuadratnya, keenam faktor risiko tersebut juga memang menunjukkan hasil bahwa belum ada cukup bukti yang signifikan untuk menunjuk- kan

Sebelum memasukkan perintah transparent proxy pada squid, maka kita harus melakukan perintah iptable agar dapat meredirect port yang ada pada komputer client.. Maksudnya jika

Mulyaningtias (2010) mengemukakan bahwa perangkat penilaian kinerja pada materi pokok meliputi sifat koligatif larutan (kenaikan titik didih larutan dan penurunan

Penggunaan kondisi udara vakum (dibawah tekanan 1 atm) bertujuan untuk menurunkan titik didih dari uap air, sehingga proses pengeringan dapat dilakukan pada suhu