• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33PUU- IX2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB III Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33PUU- IX2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkama"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

33/PUU-IX/2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi

Charter of

The Association of Southeast Asian Nations

3.1 Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011

terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of The

Association of Southeast Asian Nations

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/ 2011 terkait

dengan pengujian perjanjian internasional menyatakan menolak permohonan

seluruhnya. Hal tersebut tidak berakibat terhadapa kekuatan mengikat perjanjian

internasional dikarenakan tidak ada pengujian norma terhadap perjanjian

internasional tersebut.

Kekuatan mengikat perjanjian internasional tentu tidak lepas dari asas-asas

pelaksanaan dari hukum perjanjian internasional. Asas tersebut diantara lain

adalah asas free consent, asas itikad baik (good faith), asas pacta sunt servanda

selain itu juga terdapat asas lain yang tidak kalah pentingnya yaitu asas pacta

tertiis nec nocent nec prosunt, asas non-retroactive, dan jus cogens.59

Asas free consent muncul ketika negara pihak atau peserta sedang

merundingkan dan menyepakati serta meratifikasi naskah perjanjian.60 Asas ini

merupakan asas kebebasan dari pihak dalam mengajukan aspirasinya maupun

59

I Wayan P., Hukum Perjanjian Internasional : Bagian 2, Mandar Maju, Bandung, 2005, h. 261.

60Ibid.,

(2)

melakukan tindakan dalam pembuatan perjanjian internasional. Jika salah satu

pihak mendapat tekanan dalam proses pembuatan perjanjian internasional, maka

dapat menimbulkan akibat hukum seperti batalnya (void) ataupun tidak sahnya

perjanjian internasional.61

Asas good faith memiliki pengertian bahwa para pihak harus memiliki

itikad baik dari proses awal pembuatan perjanjian internasional hingga proses

entry into force serta pelaksanaan perjanjian internasional. Asas yang selanjutnya

adalah asas pacta sunt servanda, asas ini menekankan pada kewajiban para pihak

untuk menaati isi perjanjian.62 Hal ini ditekankan kembali pada Pasal 26 Konvensi

Wina 1961 yang menyatakan bahwa “Every treaty in force is binding upon the

parties to it, and must be performed by them in a good faith.

Asas yang tidak kalah penting lainnya adalah asas pacta tertiis nec nocent

nec prosunt, yang mengandung makna bahwa suatu perjanjian internasional hanya

memberikan hak dan membebani kewajiban terhadap para pihak yang terikat pada

perjanjian itu. Dengan kata lain pihak ketiga yang tidak terikat dalam perjanjian

ini tidak dibebani kewajiban maupun hak yang disepakati dalam perjanjian

tersebut. Asas yang terakhir adalah asas non-retroactive yang memiliki arti suatu

kaidah hukum tidak berlaku surut. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28

Konvensi Wina 1961 yang menyatakan sebagai berikut: “Unless a different

intention appears from the treaty or is otherwise established, its provision do not

bint a party in relation to any act or fact which took place or any situation which

61

Ibid. 62

(3)

ceased to exist before the date of the entry ito force of the treaty with respect to

the party.” Pasal 28 tersebut dapat diartikan sebagai bahwa perjanjian

internasional tidak dapat berlaku retroaktif, tapi dapat berlaku retroaktif jika

diperuntukkan untuk itu atau tujuan perjanjian internasional tersebut menyatakan

demikian.

Beberapa asas yang telah disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa

perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia dengan negara lain hanya

mengikat para pihak saja. Pembuatan ASEAN Charter yang menjadi para pihak

adalah Indonesia sebagai negara, maka untuk megikat warga negaranya secara

langsung dibutuhkan instrumen lebih lanjut yang memuat norma perjanjian

internasional tersebut untuk mudah diterapkan di masyarakat.

Lalu bagaimana jika amar Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

menerima permohonan untuk menguji undang-undang hasil ratifikasi piagam

ASEAN tersebut? Lalu bagaimana dengan keberlakuan perjanjian internasional

itu sendiri, apakah akan gugur dengan sendirinya atau hanya gugur kewajibannya

bagi Indonesia. Maka dari itu perlu dilihat bagaimana hubungan antara hukum

nasional dengan hukum internasional. Dalam hubungan hukum nasioal dan

hukum internasional terdapat 2 teori yaitu paham dualisme dan paham monisme.

3.1.1 Paham Dualisme

Menurut paham atau teori dualisme, hukum interasional dan

(4)

intrinsik.63 Hukum internasional bersumber kepada kehendak bersama

atau kesepakatan negara-negara sementara hubungan nasional bersumber

pada kehendak negara dan kekuasaan negara. Hukum Internasional

dilandasi prinsip dasar pacta sunt servanda, sedangkan hukum nasional

dilandasi prinsip dasar bahwa peraturan perundnag-undangan harus

ditaati.64 Akibatnya, diperlukan suatu transformasi dari hukum

internasional menjadi hukum nasional berdasarkan peraturan

perundang-undangan agar kaidah dalam hukum internasional tersebut dapat berlaku

dan tunduk pada peraturan perundang-undangan nasional suatu negara.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk

menjelaskan pernyataan di atas:

1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional

dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda,

hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan

hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari

negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional. Jika

sumber hukumnya berbeda maka dapat berakibat pada proses

penerapan nantinya;

63

(5)

2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang

baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada

hukum internasional subjeknya adalah negara. Dalam Perjanjian

internasional, individu bukanlah subjek hukum internasional,

melainkan negara. Seperti yang dibahas pada subbab sebelumnya

mengenai asas pacta sunt servanda, dalam perjanjian internasional

yang ikut membuat perjanjian adalah negara, bukan individu maka

dari itu yang terikat secara langsung oleh perjanjian tersebut adalah

negara.

3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan

hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang

hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak

terdapat dalam hukum internasional. Jika hukum nasional dapat

melakukan yurisdiksinya tanpa perlu kesepakatan antara para pihak

sedangkan untuk mahkamah internasional harus membutuhkan

kesepakatan para pihak untuk setuju dan mengakui yurisdiksi

mahkamah internasional tersebut, baru Mahkamah Internasional

dapat melaksanakan yurisdiksinya kepada sengketa tersebut;

4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum

nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional

bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian

hukum nasional tetap berlaku efektif walaupun bertentangan

(6)

internasional tidaklah intense seperti pengawasan hukum nasional

pada suatu negara, maka dari itu jika hukum nasional suatu negara

tidak selaras dengan hukum nasional, masyarakat internasional

kecil kemungkinannya untuk mengetahui hal tersebut.65

3.1.2 Paham Monisme

Paham monisme menganggap bahwa hukum internasional dan

hukum nasional merupakan satu sistem hukum pada umumnya. Semua

ketentuan hukum merupakan kesatuan sistem yang terdiri dari ketentuan

hukum yang mengikat negara, individu maupun kesatuan bukan negara.66

Hukum nasional dan hukum internasional secara keseluruhan merupakan

dari sistem hukum universal yang mengikat manusia baik secara individual

maupun secara kolektif. Hukum Internasional mengikat individu secara

kolektif sedangkan hukum nasional mengikat individu secara

perorangan.67 Jadi untuk pemberlakuan hukum internasional dalam suatu

negara tidak diperlukan adanya proses transformasi seperti ratifikasi.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, paham monisme melahirkan

perangkat hukum yang mempunyai hubungan hierarkhis.68 Dari situ lahir

dua pendapat yaitu paham monisme dengan primat hukum nasional dan

paham monisme dengan primat hukum internasional. Paham monisme

dengan primat hukum internasional beranggapan bahwa hukum

65

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni : Jakarta, 2003, h. 56-57

(7)

Internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham monisme dengan

primat hukum nasional beranggapan bahwa hukum internasional

merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau

dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum

nasional untuk urusan luar negeri.69

Setelah melihat paham mengenai hubungan hukum nasional dan

hukum internasional pada suatu negara, dapat diambil kesimpulan bahwa

Indonesia menganut paham dualisme. Hal tersebut didukung dengan

adanya Pasal 11 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa :

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dnegan negara lain.

(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dalam membuat perjanjian

internasional membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk

pengesahan perjanjian internasional, sesuai dengan ciri-ciri paham

dualisme yang menyatakan perlu adanya transformasi kaidah hukum

internasional melalui persetujuan organ nasional negara tersebut. Hal ini

juga didukung dengan adanya Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa

69Ibid.,

(8)

Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.” Pasal

tersebut menjelaskan bahwa perjanjian internasional baru dapat disahkan

jika ditransformasikan kepada peraturan perundang-undangan nasional

berupa undang-undang atau keputusan presiden. Setelah diubah dalam

bentuk perundang-undangan nasional, baru kaidah internasional tersebut

mengikat secara nasional.

Prinsip yang dianut Indonesia mengenai hubungan antara hukum

internasional dan hukum nasional menjadi agak kabur karena adanya

Putusan Mahkamah Konstitusi yang dalam konklusinya menyatakan

bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang dalam melakukan pengujian

undang-undang hasil ratifkasi perjanjian internasional. Hal ini

menandakan bahwa di sisi lain Indonesia juga menganut primat hukum

monisme karena materi perjanjian internasional dalam undang-undang

pengesahan tersebut dapat langsung diuji karena dianggap langsung

berlaku dengan undang-undang pengesahan tanpa adanya undang-undang

yang mentrasformasiikan materi perjanjian internasional kedalam hukum

nasional.70

Jika amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011

mengabulkan maka perjanjian internasional tersebut langsung gugur.

Dengan adanya amar yang menyatakan MK berwenang dan mengabulkan

70

(9)

permohonan pemohon semakin memperjelas bahwa Indonesia juga

menganut paham monisme primat hukum nasional yang berakibat bahwa

hukum nasional memiliki kedudukan lebih tinggi dari hukum

internasional. Sehingga hukum internasional dapat dipatahkan atau

digugurkan oleh lembaga nasional suatu negara.

DPR memiliki kewenangan untuk memberi persetujuan atas

rancangan perjanjian internasional dengan kriteria tertentu, hal ini sesuai

dengan Pasal 11 UUD NRI 1945 NRI 1945. Selain memberi persetujuan,

DPR mempunyai kewenangan untuk menolak pengesahan suatu perjanjian

internasional. Sedangkan peran Presiden adalah organ yang dapat

mengajukan pengesahan suatu perjanjian internasional, bahkan Presiden

tidak perlu meminta persetujuan DPR dalam beberapa kriteria perjanjian

internasional. Presiden hanya perlu mengesahkannya dalam bentuk

Keputusan Presiden yang sekarang diganti dengan Peraturan Presiden.

Namun dalam hal ini belum jelas bagaimana kedudukan hasil pengesahan

perjanjian internasional tersebut, untuk Piagam ASEAN tersendiri setelah

diratifikasi belum dapat diterapkan secara langsung karena memiliki

norma yang umum. Maka dari itu diperlukan instrumen lebih lanjut agar

dapat diterapkan dalam masyarakat.

Selanjutnya Harjono yang menegaskan bahwa:71

71

(10)

Perjanjian Internasional tidak hanya melahirkan hak dan kewajiban terhadap warga negara tersendiri tetapi juga mungkin menimbulkan hak dan kewajiban bagi warga negara asing. Agar supaya asas resiprocity dapat terjamin, dengan demikian warga Indonesia maupun pemerintah negara Indonesia juga dijamin hak-hakya oleh negara lain yang ditimbulkan oleh perjanjian internasional, maka dari kajian teoritis dipandang perlu memberikan imunitas terbatas kepada Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden yang berisi perjanjian internasional sebagai objek perngujian materiil Mahkamah Agung.

Seperti yang diungkapkan oleh Harjono, setelah Indonesia

meratifikasi harusnya Indonesia melaksanakan perjanjian internasional

tersebut, karena perjanjian internasional tersebut telah menjadi bagian dari

hukum nasional Indonesia. Agar pelaksanaan asas resiprocity dapat

dijalankan dan hak-hak warga negara Indonesia juga dijamin oleh negara

lain.

Contohnya asas Resiprositas adalah asas resiprositas dalam

pelaksanaan putusan arbitrase. Asas resiprositas (reciprocity)

adalah asas timbal balik antar negara. Asas resiprositas mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3

Konvensi New York Tahun 1958 yang menyatakan “… any state

may on the basis of reciprocity declare that it will apply the conventio to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another contratcting state..”. Sesuai asas ini, maka penerapan pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Asing dalam suatu negara adalah atas permintaan dari negara lain, hanya dapat diterapkan apabila diantara negara-negara yang bersangkutan telah ada hubungan ikatan bilateral maupun multilateral. Negara peserta dapat menolak jika kedua negara tidak

memiliki hubungan bilateral maupun multilateral.72

Jika dikaitkan dengan asas resiprositas dalam pelaksanaan

perjanjian internasional adalah bahwa perjanjian internasional ini menjadi

72

(11)

landasan dari adanya asas resiprositas. Maka dari itu negara-negara harus

melaksanakan kewajibannya seperti yang dicantumkan dalam perjanjian

internasional, jika tidak maka negara lain akan melakukan hal yang sama

atau dapat meminta pertanggung jawaban negara tersebut.

Indonesia diharapkan memiliki asas resiprositas tersebut dan tidak

dengan seenaknya menguji undang-undang hasil ratifikasi perjanjian

internasional dan menyatakan undang-undang tersebut tidak berlaku.

Padahal semenjak dilakukannya entry into force maka saat itulah

Indonesia telah dibebani hak dan kewajiban.

Perlunya imunitas terhadap produk pengesahan perjanjian

internasional dirasa perlu karena seperti yang dibahas dalam bab

sebelumnya bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji

undang-undang hal demikian juga sama dengan Mahkamah Agung tidak dapat

menguji keputusan presiden/peraturan presiden yang merupakan hasil

pengesahan perjanjian internasional. Maka dari itu bentuk pengesahan ini

perlu dilindungi dari proses pengujian dari Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung.

Namun dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

33/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi

berwenang menguji undang-undang tersebut, maka memberikan

keambiguan dalam sistem pengujian perundang-undangan. Kriteria

(12)

membuka peluang masyarakat untuk menguji undang-undang hasil

ratifikasi perjanjian internasional yang lain dan akhirnya hal ini akan

berefek pada tingkat kepercayaan masyarakat internasional bahwa

Indonesia tidak memiliki ketegasan dalam partisipasinya di perjanjian

internasional karena setiap perjanjian internasional yang disahkan dapat

diuji dan diubah oleh Indonesia sendiri. Padahal untuk merubah norma

dalam perjanjian internasional, bukanlah kewenangan lembaga internal

suatu negara. Namun butuh persetujuan negara anggota perjanjian

internasional yang lain,

Salah satu cara untuk mengubah norma adalah melalui amandemen

perjanjian internasional. Amandemen perjanjian internasional diatur dalam

Part IV Article 39-41 Konvensi Wina 1969. Peraturan amandemen suatu

perjanjian internasional hampir sama dengan ketentuan reservasi, hal ini

dijelaskan pada article 39 Konvensi Wina 1969. Contohnya dalam

PIAGAM ASEAN untuk melakukan amandemen menurut Pasal 48 ayat

(3) Piagam ASEAN, “Amandemen Piagam yang telah disepakati secara

konsensus oleh Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN wajib diratifikasi oleh

seluruh Negara-Negara Anggota sesuai dengan Pasal 47.” Disini

dijelaskan bahwa untuk merubah suatu norma dalam perjanjian

internasional membutuhkan kesepakatan secara konsensus di Konferensi

(13)

3.2 Pengujian Keputusan Presiden Hasil Ratifikasi Perjanjian

Internasional

Bentuk hukum Keputusan Presiden yang memuat hasil ratifikasi

pengesahan perjanjian internasional merupakan hasil dari adanya Surat Presiden

2816/HK/1960 terkait pembuatan perjanjian internasional.73 Dalam pembuatan

Keputusan Presiden hasil ratifikasi perjanjian internasional memiliki prosedur

tertentu. Proses ratifikasi dengan keputusan presidenadalah sebagai berikut:

1. Departemen luar negeri mengajukan permohonan ratifikasi perjanjian

internasional dengan keppres kepada secretariat Negara, disertai copy

naskah perjanjian sebanyak 30(tiga puluh) copy plus 1 (satu) yang tekah di –

Certified True Copy.

2. Setelah dipelajari Sekertaris Negara, selanjutnya diteruskan kepada

Presiden melalui tingkatan hierarkinya, yaitu mulai Bagian Ratifikasi kepada

Kepala Biro Hukum, kemudian ke Deputi Eselon 1, diteruskan kepada

s/sesneg (Dulu ada Mensesneg). Setelah itu diberikan kepada presiden ketika

diproses untuk diteruskan kepada presiden disertai dengan RKP (Rancangan

Keppres). Memo-memo beserta ampresnya(amanat presiden) untuk

ditandatangani oleh presiden. Isi dari ampres tersebut ditujukan kepada

ketua DPR, yang memberitahukan bahwa Pemerintah Indonesia telah

mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan keppres, agar

diketahui oleh DPR .

73

(14)

3. Terhadap RKP yang telah ditandatangani oleh presiden dan telah menjadi

keppres , diserahkan kembali ke Bagian Ratifikasi Sekneg melalui hierarki

yang sama seperti sebelumnya dan dituangkan ke dalam Lembaga Negara

oleh Sekneg, untuk kemudian didistribusikan kepada Daftar A dan Daftar B.

Daftar A terdiri dari lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, dan

Daftar B adalah departemen – departemen / instansi terkait. Pendistribusian

ini disertai dengan autentifikasi yang dikeluarkan oleh kepala Biro Hukum.74

Di dalam disertasinya A. Hamid. S, Attamini menyatakan Keputusan

Presiden dapat berisi penetapan dan dapat berisi pengaturan.75 Dalam

hubungannya dengan perjanjian internasional yang dituangkan dalam bentuk

hukum Keputusan Presiden dapat juga berisi sebuah penetapan dan pengaturan.

Untuk dapat membedakannya, materi muatan Keputusan Presiden dapat

dibedakan antara: (1) yang berisi pengaturan yang berasal dari pendelegasian

Peraturan Pemerintah, dan (2) berfungsi pengaturan yang mandiri.76

Untuk dapat membedakan antara keduanya diajukan suatu perhitungan matematis rumus = a-b = x. Dalam formula rumus tersebut a = seluruh materi muatan peraturan perundang-undangan negara yang wewenang pembentukkannya berada dalam kekuasaan Presiden Republik Indonesia, b = materi UU/Perpu, materi muatan Peraturan Pemerintah, serta materi muatan Keputusan Presiden berfungsi pengaturan dari Peraturan Pemerintah, sedangkan x = sisa dari kedua materi muatan peraturan perundang negara yang merupakan lingkup Keputusan Presiden berfungsi

pengaturan yang mandiri.77

74

Implementasi Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia Setelah Berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000, Jurnal Universitas Semarang, Nomor 60 Tahun XV, Januari-Maret 2003, h. 6-7

75

A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggara Negara, Fakultas Pasca Sarjana UI, h. 227

76

Ibid., h.23 77

(15)

Ternyata selain materi muatan sisa yang disebutkan dalam rumus diatas,

terdapat materi muatan lain yang diperintahkan oleh Surat Presiden maupun

dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

yaitu Keputusan Presiden yang memuat hasil ratifikasi perjanjian internasional.

Keputusan Presiden dalam fungsinya sebagai pengaturan mandiri

berdasarkan UUD NRI 1945 secara langsung, maka diperlukan sinkronisasi

dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Terdapat 2 cara sinkronisasi

yaitu dengan dasar tidak bertentangan dengan asas peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi dan yang kedua masih tetap berada dalam lingkungan yang

dibenarkan oleh asas-asas dan norma-norma hukum lain yang berlaku.78 Harjono

menjelaskan lebih lanjut bahwa usaha sinkrinisasi dapat dilakukan dengan dua

cara: (1) preventif, yaitu usaha awal sebelum Keputusan Presiden diterbitkan, (2)

represif, yaitu dilakukan pada pasca penerbitan suatu Keputusan Presiden.79 Usaha

preventif yang dimaksudkan dalam upaya sinkronisasi ini adalah upaya

reservation.80

Usaha represif menimbulkan adanya mekanisme pengujian terhadap

Keputusan Presiden. Pengujian hasil ratifikasi perjanjian internasional tidak hanya

terjadi pada undang-undang saja namun juga dapat terjadi pada bentuk hukum

yang lain yaitu Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden. Jika hal ini

terjadi tentunya haruslah ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk

(16)

menyatakan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,

menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap

undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh

undang-undang”, maka yang berwenang adalah Mahkamah Agung karena kedudukan

hierarkhi Keputusan Presiden (yang sekarang diubah menjadi Peraturan Presiden)

berada dibawah Undang-Undang.

Namun untuk menguji Keputusan Presiden yang bermuatan hasil ratifikasi

perjanjian internasional bukanlah hal yang mudah, karena Mahkamah Agung

memiliki kemampuan pengujian dalam tingkat kasasi dan uji materiil terhadap

undang-undang. Maka dari itu sama halnya dengan undang-undang maka

kedudukan Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden seharusnya diatur

tersendiri. Karena efek perjanjian internasional ini tidak hanya berlaku bagi warga

negara Indonesia saja namun juga berefek pada warga negara asing. Selain itu

juga perlunya perlindungan maupun imunitas terhadap Keputusan Presiden

terhadap uji materiil di Mahkamah Agung.

3.3 Mekanisme Perlindungan Hukum Bagi Rakyat atas Pengesahan Perjanjian Internasional

Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi perlindungan

hukum terhadap rakyatnya. Perlindungan hukum rakyat yang sedang strategis

diperbicarakan adalah adanya mekanisme pengaduan konstitusional

(constitutional complaint).81 CC dikenal sebagai salah satu elemen penting guna

81

(17)

mewujudkan gagasan negara hukum yang demokratis dalam praktik karena ia

dikonsepsikan sebagai bagian dari upaya memberikan perlidungan maksimum

terhadap hak-hak konstitusional warga negara. CC dapat diberikan pengertian

sebagai pegaduan atau gugatan yang diajuka oleh perorangan ke MK terhadap

perbuatan (atau kelalaian) suatu lembaga publik yang mengakibatkan hak-hak

dasar atau hak-hak konstitusional orang yang bersangkutan dirugikan.82 CC dapat

diterima oleh MK, jika semua jalan penyelesaian melalui proses peradilan yang

tersedia bagi persoalan tersebut telah tidak ada lagi (exhausted).

CC dapat berupa permohonan individual maupun sekelompok warga

masyarakat yang mendalilkan dugaan pelanggaran hak konstitusional yang

dialaminya kepada MK.83

Kasus pengujian UU hasil ratifikasi perjanjian internasional ini berujung

pada bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang dalam melakukan pengujian

undang-undang tersebut karena UU tersebut bukanlah UU bentuk legislasi DPR

dengan persetujuan bersama Presiden seperti yang tertuang pada Pasal 20 ayat (2)

UUD NRI 1945 melainkan UU hasil pembentukan dengan negara lain yang

disahkan dengan wewenang yang yang lebih berat dibebankan pada kekuasaan

eksekutif.

Upaya untuk perlindungan masyarakat dalam hal ini hanya ada untuk

upaya preventif yaitu berupa adanya pedoman delegasi yang dibuat oleh DPR dan

departemen terkait sebelum delegasi ikut berunding dalam pembuatan perjanjian

82

Simon Butt, Rachmita Harahap, dkk, Op. Cit, h. 289.

(18)

internasional. Upaya represif belum ada jika suatu saat UU hasil ratifikasi

perjanjian internasional melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia.

Upaya represif tersebut tidak ada karena MK dalam hal ini tidak berwenang dalam

menangani kasus pengujian undang-undang hasil ratifikasi perjanjian

internasional. Seharusnya ada upaya untuk perlindunga hukum bagi masyarakat,

maka dari itu perlunya ada kewenangan constitutional complaint (CC) pada MK

karena dengan itu hak-hak dasar warga negara tetap terlindungi. Adanya

kewenangan CC ini hubungannya dengan pengujian undang-undang hasil

ratifikasi perjanjian internasional adalah jika ada CC maka jika DPR maupun

Presiden lalai dalam pengesahan perjanjian internasional tanpa terlebih dahulu

mengecheck apakah dapat merugikan hak konstitusional masyarakat maka dapat

diajukan ke MK.

Upaya selanjutnya setelah perkara tersebut dapat diajukan ke MK maka

MK dalam amar putusannya dapat membuat lembaga negara tersebut entah DPR

atau Presiden untuk mengajukan amandemen maupun mengundurkan diri atau

penarikan diri dari perjanjian internasional. Jika Mahkamak Konstitusi tetap

berpendirian teguh untuk hanya menjalankan kewenangannya di judicial review

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 2017, Saputro dkk melakukan penelitian tentang alat pemantau TTV manusia secara wireless sensor network menggunakan transceiver nRF24L01 dengan dua

a) Observasi, dengan metode penelitian langsung pada saat PKL/magang waktu itu, penulis melakukan penelitian mengenai penerapan bagi hasil yang diterapkan di BPR

Di dalam bahasa mandailing ada namanya paboru-boruan , paboru- boruan ini dapat diartikan ialah seseorang laki-laki dan perempuan yang disandingkan sebelum akad

Salah satu kegiatan yang dilakukan pada model pengembangan pertanian perdesaan melalui inovasi (m-P3MI) di Desa Sungai Ungar Kecamatan Kundur, Kabupaten Karimun, Prov.Kepri

Basis genetik yang luas perlu tetap dipertahankan bahkan dikembangkan, sebab bukan saja untuk mempertahankan sifat yang telah ada te tapi untuk memperoleh sifat baru yang

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayahnya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Perbandingan Penerapan

Penatalaksanaan omfalokel secara konservatif dilakukan pada kasus omfalokel besar atau terdapat perbedaan yang besar antara volume organ- organ intraabdomen yang

Koefisien korelasi antara variabel daya tarik endorser selebriti (X1) dengan citra merek kartu telepon selular (Y) ……….. Koefisien korelasi antara variabel