• Tidak ada hasil yang ditemukan

LIBRARY ANXIETY MAHASISWA BARU DI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA : STUDI KUALITATIF DENGAN METODE GROUNDED THEORY Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "LIBRARY ANXIETY MAHASISWA BARU DI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA : STUDI KUALITATIF DENGAN METODE GROUNDED THEORY Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

LIBRARY ANXIETY MAHASISWA BARU DI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA : STUDI KUALITATIF DENGAN METODE

GROUNDED THEORY

Oleh : Diyas Adi Pratama1 Abstract

The anxiety experienced by the new user becomes an obstacle when in the library, the constraint hampers the reader to find information while in the library, and later also affect the perception of the library. New readers when first visited the library Airlangga University tend to experience anxiety because the librarians do not have knowledge about the library, and when in the library pemustaka experience barriers to the components in the library, such as librarians, library support media, comfort while inside libraries and user behavior that will contribute anxiety to the user. This qualitative study tries to reveal how the formation of anxiety experienced by the new pemustaka while in the library of Airlangga University. This study uses grounded research method, which in this research will produce a new concept which is of course useful for the science of Information Science and Library. This study produces a concept where the user experience anxiety because there are 6 factors including librarian factor, affective factor, mechanical factor, comfort factor, knowledge factor and experience factor. Of the six factors are influenced by the distance culture (culture distance) is dialmi by pemustaka when in a new environment (library), and distance cultural culture also influence pemustaka to get out of anxiety with adaptation process. When successful adaptation then that happens pemustaka will have good perception, comfortable and loyal to the library. But when pemustaka fail to adapt it will experience anxiety and will have a bad perception, uncomfortable and do not want to visit the library.

Keywords: library anxiety, library, grounded research, adaptation

Abstrak

Kecemasan yang dialami oleh pemustaka baru menjadi kendala ketika berada di dalam perpustakaan, kendala tersebut menghambat pemustaka mencari informasi ssaat berada di perpustakaan, dan nantinya juga mempengaruhi presepsi pemustaka terhadap perpustakaan. Pemustaka baru disaat pertama kalinya mengunjungi perpustakaan Universitas Airlangga berkecenderungan mengalami kecemasan dikarenakan pemustaka tidak mempunyai pengetahuan mengenai perpustakaan, serta ketika berada di dalam perpustakaan pemustaka mengalami hambatan dengan komponen-komponen yang ada di perpustakaan, seperti pustakawan, media penunjang perpustakaan, kenyamanan saat berada di dalam perpustakaan dan perilaku pemustaka yang nantinya akan menyumbang kecemasan pada pemustaka. Studi kualitatif ini berusaha mengungkap bagaimana terbentuknya kecemasan yang di alami oleh pemustaka baru ketika berada di dalam perpustakaan Universitas Airlangga. Studi ini menggunakan metode grounded research, dimana dalam penelitian ini nantinya akan menghasilkan sebuah konsep baru yang tentunya bermanfaat bagi keilmuan Ilmu Informasi dan Perpustakaan. Studi ini menghasilkan konsep dimana pemustaka mengalami kecemasan karena ada 6 faktor antara lain faktor pustakawan, faktor afektif, faktor mekanik, faktor kenyamanan, faktor pengetahuan dan faktor pengalaman. Dari keenam faktor tersebut di pengaruhi adanya jarak budaya (culture distance) yang dialmi oleh pemustaka ketika berada

1

(2)

di lingkungan baru (perpustakaan), serta jarak budaya pemustaka juga mempengaruhi pemustaka untuk keluar dari kecemasan dengan proses adaptasi. Ketika berhasil melakukan adaptasi maka yang terjadi pemustaka akan mempunyai presepsi baik, nyaman dan loyal terhadap perpustakaan. Tetapi ketika pemustaka gagal beradaptasi maka akan mengalami kecemasan dan akan mempunyai presepsi buruk, tidak nyaman dan tidak mau berkunjung ke perpustakaan.

Kata Kunci : library anxiety, perpustakaan, grounded research, adaptasi

PENDAHULUAN

Studi mengenai library anxiety

untuk saat ini memang telah banyak

dilakukan oleh beberapa ahli dan peneliti

sebelumnya, mayoritas penelitian

dilakukan di kawasan Afrika (Constance

A. Mellon, 1986; Anwar Mumtaz A, 2011;

K.A Abusin et.al, 2011; Zhiqiang Song

et.al.2014; Marisa Alicia McPherson,

2015), dari berbagai penelitian yang sudah

di lakukan oleh para ahli dan peneliti,

kebanyakan hanya berfokus meneliti

faktor-faktor yang mempengaruhi

kecemasan di dalam perpustakaan (library

anxiety) seperti halnya permasalahan

dengan staf perpustakaan, permasalahan

dengan teknologi yang ada di

perpustakaan, tidak mempunyai

pengetahuan mengenai perpustakaan di

dalam perpustakaan. Hingga saat ini

penelitian-penelitian terdahulu hanya

berkutat di lingkup faktor-faktor tersebut

dan masih jarang penelitian mengenai

library anxiety di lakukan secara

mendalam dan juga penelitian mengenai

library anxiety kebanyakan di lakukan di

negera-negara yang sedang berkembang,

tetapi masih belum banyak di lakukan

penelitian library anxiety secara mendalam

di lakukan di kawasan Indonesia.

Pengetahuan Mahasiswa Baru Mengenai Perpustakaan Menentukan Library Anxiety

Library anxiety memang sering

menjangkit pada mahasiswa baru ketika

menghadapi tahun pertamanya di

perguruan tinggi, mahasiswa ketika itu

masih dalam masa transisi antara masa

SMA dengan masa perguruan tinggi akan

cenderung merasa kebingungan ketika

berada di lingkungan yang baru, salah

satunya di perpustakaan. Mahasiswa baru

yang merasa bingung saat pertama kalinya

berkunjung ke perpustakaan di karenakan

mahasiswa baru tidak mempunyai

pengetahuan mengenai perpustakaan

Universitas Airlangga, dimana

ketidaktahuan pemustaka membuat mereka

merasa bingung saat berada di dalam

(3)

sehingga membuat pemustaka baru

mengalami library anxiety. Seperti yang di

katakan Abusin et.al (2011) pemustaka

akan mengalami kecemasan ketika berada

di dalam perpustakaan yang baru dia temui

karena pemustaka belum merasa familiar

dengan isi dari perpustakaan tersebut.

Tidak familiarnya pemustaka dengan apa

yang ada di perpustakaan memang bisa

membuat pemustaka merasa bingung

ketika menggunakannya, biasanya

pemustaka merasa tidak familiar dengan

teknologi yang ada di dalam perpustakaan.

Keterampilan Pemustaka Dalam Menggunakan Teknologi Perpustakaan

Pemustaka yang merasa tidak

familiar dengan teknologi yang ada di

perpustakaan Unair, pemustaka memang

belum pernah menjumpai hal demikian di

perpustakaan-perpustakaan sebelumnya

yang mereka kunjungi. ketidakmampuan

individu tersebut dalam menggunakan

teknologi akan berdampak negatif,

pemustaka ketika dalam kondisi tersebut

akan berkecenderungan mengalami

kecemasan. Seperti yang di kemukakan

oleh Suqiq (2008) bahwa dia menyebutkan

Individu yang kurang terampil dalam

penggunaan teknologi menjadi faktor yang

mempengaruhi individu tersebut

mengalami kecemasan, hal tersebut di

dasari karena lemahnya pengetahuan

mengenai penggunaan teknologi yang ada.

Teknologi masih di rasa asing oleh

beberapa pemustaka tertentu, dimana

mereka merasa asing ketika mereka belum

pernah menggunakannya ataupun belum

pernah menjumpai hal yang demikian.

Teknologi yang di gunakan oleh

perpustakaan Unair memang teknologi

yang bisa dikatakan sudah modern, hampir

semua aspek sudah melibatkan teknologi,

mulai dari masuk ke dalam perpustakaan

hingga mencari buku, itu semua tidak

terlepas dengan yang namanya teknologi.

Salah satu teknologi yang di

gunakan oleh pemustaka di dalam

perpustakaan Unair adalah OPAC, dimana

OPAC jugalah yang menjadi penghambat

pemustaka ketika berada di dalam

perpustkaan. hal ini di dukung oleh temuan

data Marisa Alicia McPherson (2015) data

dimana pemustaka baru sering mengalami

kecemasan di karenakan pemustaka tidak

bisa mengoperasikan mesin pencari

katalog online yang di sediakan di dalam

perpustakaan. Dalam data tersebut di

temukan fakta yang menunjukkan bahwa

memang OPAC menjadi kendala tersendiri

bagi pemustaka, mayoritas pemustaka

yang mengalami masalah dengan OPAC di

karenakan mereka tidak bisa memahami isi

dari informasi yang di sampaikan oleh

OPAC, dan bahkan mereka juga tidak bisa

menggunakan OPAC yang ada di

(4)

menggunakannya sebelumnya. Terlebih

lagi ketika pemustaka tidak mampu

menggunakan OPAC di dalam

perpustakaan, di perparah tidak adanya

bantuan dari pustakawan untuk mengatasi

kebingungan yang di alami oleh

pemustaka, hal tersebut membuat

pemustaka akan lebih merasa bingung dan

nantinya akan mengalami library anxiety.

Data Ziqhian Song (2014) menunjukan

dimana pustakawan yang pasif tanpa

adanya interaksi dengan pemustaka, di

tambah lagi pustakawan yang kurang

ramah sehingga mengakibatkan pemustaka

merasa cemas karena bingung untuk

mencari informasi yang di inginkannya.

Peran Pustakawan Dalam Membantu Pemustaka Keluar dari Library Anxiety

Pustakawan yang bersikap dingin

atau cuek dalam menanggapi pertanyaan

dari pemustaka yang merasa bingung

ketika mencari informasi dan tidak adanya

bantuan dari pustakawan sehingga

menimbulkan rasa cemas, padahal

pemustaka yang baru pergi ke

perpustakaan untuk pertama kali biasanya

belum mengerti betul kondisi dan situasi

yang ada di dalam perpustakaan, dengan

begitu itu pustakawan haruslah sigap dan

tanggap ketika sewaktu-waktu pemustaka

membutuhkan informasi. Tetapi ketika

pemustaka tidak sigap dalam merespon

pemustaka maka yang terjadi pemustaka

akan merasa bingung dan akhirnya nanti

akan mengalami kecemasan. Pustawakan

menjadi peran penting ketika pemustaka

mengalami kebingungan di dalam

perpustakaan, karena pustakwanlah orang

yang tau seluk-beluk dari perpustakaan

tersebut dan juga pustakwanlah yang

mampu memberikan informasi akurat

kepada pemustaka.

Hal tersebut juga terjadi di

perpustakaan Unair, dimana menurut Tri

Susantari (2008) mengenai library anxiety

yang di lakukan di perpustakaan

Universitas Airlangga (Unair) memberikan

informasi bahwasannya penyumbang

kecemasan terbesar ialah pustakawan

dengan hambatan yang sangat besar.

Melihat data tersebut mencerminkan

bahwa memang pustakawan perpustakaan

Unair menjadi hambatan yang serius

ketika pemustaka berada di dalam

perpustakaan saat mengalami kecemasan,

padahal pustakawan bertugas untuk

mengurangi kebingungan yang di alami

oleh pemustaka. Ketika hadirnya

pustakawan tidak memberikan dampak

positif terhadap pemustaka, maka akan

menyebabkan juga pemustaka merasa

tidak nyaman ketika pemustaka berada di

dalam perpustakaan. Ditambah lagi

suasana perpustakaan yang kurang

mendukung dan kurang nyaman akan

(5)

betah berada di dalam perpustakaan,

menurut Song et.al (2014) mengemukakan

bahwa memang suasana dan kondisi yang

di ciptakan perpustakaan akan membuat

pemustaka yang berada di dalamnya

mengalami gejala kurang nyaman dengan

perpustakaan. Suasana perpustakaan yang

bising, kotor, penataan perpustakaan yang

kurang sesuai dan tidak adanya

penyambutan dari staf akan membuat

pemustaka mempunyai respon yang

kurang baik terhadap perpustakaan,

sehingga pemustaka tidak merasa nyaman

ketika pemustaka berada di dalam

perpustakaan.

Dari semua permasalahan di atas,

penulis tertarik melakukan penelitian yang

bertemakan library anxiety dengan

menggunakan metode grounded theory,

dimana dalam hal ini peneliti mengambil

obyek mahasiswa baru yang berkunjung ke

perpustakaan Universitas Airlangga,

karena peneliti menganggap perpustakaan

Universitas Airlangga merupakan

perpustakaan yang cukup bagus dan

modern. Dari hasil penelitian ini di

harapkan mampu memberikan manfaat

bagi perkembangan

perpustakaan-perpustakaan khususnya yang ada di

Indonesia karena dari fenomena di atas

masih banyak permasalahan yang muncul

dan masih banyak kendala yang

menghambat perpustakaan untuk

berkembang sehingga studi ini di lakukan

demi mengurangi hal-hal yang demikian,

serta di harapkan studi ini memberikan

sumbangsih bagi perkembangan studi

mengenai library anxiety, karena

penelitian ini menggunakan metode

grounded theory, yang mana dalam

penelitian ini menghasilkan sebuah teori,

dan teori tersebut dapat di gunakan di

daerah Asia khususnya di Indonesia karena

dalam kawasan ini mempunyai banyak

kesamaan, baik dari segi culture maupun

kondisi kenegaraannya.

KAJIAN TEORITIK Library Anxiety

Library anxiety di kembangkan

oleh Constance Mellon (1986) dengan

library anxiety: a grounded theory and its

development. Dalam teorinya

mengemukakan bahwasannya pemustaka

merasa tersesat dan merasa takut untuk

bertanya dan menghampiri staf

perpustakaan, selain itu pemustaka merasa

tidak berdaya ketika berada di dalam

perpustakaan karena tidak mempunyai

pengetahuan mengenai perpustakaan dan

perasaan rendah diri dengan pemustaka

lain karena pengetahuannya mengenai

perpustakaan tidak sama dengan

pemustaka lainnya. Siswa yang merasa

cemas terhadap perpustakaan tidak akan

(6)

mereka butuhkan karena mereka tidak

mengetahui harus memulai darimana,

apakah dari ruang referens atau yang

lainnya. Kecemasan ketika menggunakan

perpustakaan di sebabkan oleh ukuran

perpustakaan yang besar, tidak tahu harus

memulai dan mencari apa yang mereka

inginkan di perpustakaan dan kurangnya

pengetahuan tentang lokasi bahan pustaka

yang di inginkan (Mellon, 1986). Selain

itu Mellon (1986) juga menambahkan

bahwa pemustaka dengan pengetahuan

mengenai perpustakaan yang rendah dapat

membuat pemustaka tersebut merasa

kebingungan saat berada di dalam

perpustakaan, karena pemustaka yang

minim akan pengetahuan mengenai

perpustakaan, pemustaka akan cenderung

mengalami sikap kecemasan seperti

merasa bingung, dan ditambah lagi

pemustaka tersebut tidak mau bertanya

kepada pustakawan saat mengalami

kecemasan karena berbagai macam alasan,

entah itu karena malu, atau merasa kurang

nyaman dengan pustakwannya dan

membiarkan rasa kecemasannya

membelenggu terus-menerus akhirnya

menimbulkan rasa tidak nyaman dan

nantinya akan membuat pemustaka

memiliki presepsi yang buruk terhadap

perpustakaan sehingga pemustaka akan

enggan pergi ke perpustakaan.

Setelah itu di adaptasi dan di

perbaharui oleh Bostick (1992) sehingga

memunculkan lima konstruksi yang

membangun kecemasan yang di alami

pemustaka ketika berada di dalam

perpustakaan. Kelima konstruksi tersebut

antara lain :

1) Barriers with staff (Hambatan

dengan dtaff)

Adanya hambatan dengan

pustakawan atau staf perpustakaan, dimana

berkaitan dengan presepsi pemustaka

mengenai sikap pustakawan yang

mengintimidasi mereka dengan terlihat

sibuk untuk hanya sekedar membantu

pemustaka dan pustakawan sering

menunjukkan ketidakramahan mereka saat

membantu pemustaka. Pustakawan

merupakan aspek penting dalam

menentukan pandangan pemustaka

terhadap perpustakaan dalam

memunculkan kesan positif maupun

negatif. Pemustaka yang mempunyai kesan

yang negatif terhadap perpustakaan akan

cenderung menghindari pustkawan dan

bahkan enggan untuk mberkunjung ke

perpustakaan. Dan jika sebaliknya yang

terjadi, saat pemustaka mempunyai kesan

yang positif maka pemustaka akan sering

untuk meminta bantuan pustakawan dan

(7)

2) Affective barriers (hambatan

afektif)

Adanya hambatan afektif, perasaan

pemustaka yang merasa dirinya kurang

terampil dalam menggunakan

perpustakaan secara efektif. Kurangnya

kemampuan yang dirasakan oleh

pemustaka dapat di ketahui ketika mereka

menyadarinya sendiri atau

membandingkannya dengan kemampuan

mahasiswa yang lain yang juga

menggunakan perpustakaan,

ketidakmampuan mereka (pemustaka) saat

melakukan pencarian informasi dan

ketergantungan terhadap teman

menimbulkan keengganan pemustaka

untuk berkunjung ke perpustakaan.

Mereka juga bingung saat berkunjung ke

perpustakaan sendirian, karena mereka

bingung pertanyaan seperti apa yang harus

di lakukan saat di perpustakaan jika tidak

tahu bagaiamana cara mengoperasionalkan

dan bagaiamana melakukannya juga dapat

menjadi kecemasan tersendiri pada diri

pemustaka.

3) Comfort with the library

(kenyamanan dengan

perpustakaan)

Adanya kenyamanan saat berada di

dalam perpustakaan, kondisi ini

merupakan respon dari pemustaka

terhadap susasana yang ada di

perpustakaan, ketika pemustaka tidak

merasa di sambut dengan baik oleh

perpustakaan dan merasa terancam, maka

pemustaka akan cenderung untuk

menghindari datang ke perpustakaan.

Berbagai gejala yang di keluhkan oleh

permustaka mulai dari peraturan yang ada

di perpustakaan, tata letak koleksi dan tata

ruang yang membingungkan dan perasaan

tidak nyaman saat berada di dalam

perpustakaan, serta penyediaan fasilitas

yang di rasa kurang untuk mendukung

kegiatan membaca dan berdiskusi di

perpustakaan, dengan begitu pemustaka

merasa tidak nyaman, ketidaknyamanan

tersebut dapat memicu terjadinya

kecemasan pada pemustaka.

4) Knowledge of the library

(pengetahuan tentang

perpustakaan)

Minimnya pengetahuan mengenai

perpustakaan oleh pemustaka membuat

perasaan cemas muncul kapan saja, hal ini

terjadi karena melihat dari seberapa besar

perasaan familiar yang dimiliki oleh

pemustaka saat datang ke perpustakaan,

psemakin tidak familiar dengan

perpustakaan, pemustaka akan merasa

semakin frustasi atau gelisah saat berada di

dalam perpustakaan, termasuk didalamnya

kemampuan mengenali layanan-layanan

(8)

5) Mechanical barriers (hambatan

mekanis)

Penghalang mekanik, dimana

penghalang atau hambatan mekanik ini

berkaitan dengan media penunjang yang di

miliki perpustakaan, termasuk dengan

komputer atau mesin pembantu yang ada

di perpustakaan, hal tersebut seberapa

efektifkah jika di gunakan di dalam

perpustakaan untuk membantu pemustaka

menemukan informasi. Bostick (1992)

juga mengemukakan bagaimana saat

pemustaka mengalami kecemasan saat

berada di dalam perpustakaan dengan terus

menerus nantinya akan berkecenderungan

pemustaka tersebut akan mempunyai

presepsi negatif terhadap perpustakaan.

Kebingungan yang di alami pemustaka,

khususnya pemustaka yang baru pertama

kalinya berkunjung ke perpustakaan,

kecenderungan mengalami kecemasan saat

berada di perpustakaan di alami karena

sikap pustakawannya yang kurang

informatif terhadap pemustaka yang

membutuhkan informasi mengenai

perpustakaan tersebut, sehingga informasi

yang di berikan kurang akurat dan

membuat pemustaka merasa bingung dan

akhirnya mengalami kecemasan.

METODOLOGI PENELITIAN

Karena dalam penelitian ini

memerlukan data yang rinci dan

mendalam, di rasa penelitian ini cocok

menggunakan pendekatan kualitatif.

Karena dalam penelitin kualitatif

merupakan penelitian yang di tujukan

untuk mencapai pemahaman yang

mendalam mengenai berbagai peristiwa

khusus bukan hanya sekedar

mendsekripsikan sampel dari sebuah

populasi, selain itu penelitian kualitatif

mempunyai tujuan menyajikan penjelasan

secara tersirat mengenai struktur, tatanan

dan pola yang terdapat dalam suatu

kelompok partisipan serta mampu

menghasilkan data dari kelompok latar

sosial (Denzin and Lincoln, 1994).

Cresswell (1998) juga mengemukakan

bahwasannya penelitian kualitatif

merupakan dimana proses penelitian

ilmiah yang bertujuan untuk memahami

masalah manusia dalam konteks social

dengan menampilkan gambaran secara

menyeluruh dan menyajikan laporan

secara terperinci dari sumber intervensi

serta tidak adanya intervensi dalam proses

pengambilan data dari peneliti.

Metode penelitian ini adalah

grounded theory. Metode grounded theory

pertama kali disusun oleh dua orang

sosiolog yaitu Barney Glaser dan Anselm

Strauss (1967). Mereka berdua

memberikan sumbangsih yang penting

dalam lahirnya grounded theory, pada

(9)

perkembangan metode penelitian yang

terkesan memaksakan teori besar (Grand

Theory) yang sudah ada untuk memaknai

sebuah hasil penelitian. Padahal pada masa

itu teori besar tersebut hanya merupakan

hasil pemikiran semata yang belum teruji

secara empiris. Oleh karena itu mereka

bertujuan untuk membuat dan mendesain

metode penelitian yang berfungsi untuk

menciptakan dan menghasilkan teori yang

berdasarkan data (grounded).

Untuk dapat mengembangkan teori,

hanya melakukan observasi saja tidak

cukup, menurut Anselm Strauss dan Juliet

Corbin (2003) mengemukakan ada 4 tahap

dalam mengolah suatu data menjadi

sebuah teori. Yang pertama ialah open

coding, dimana dalam tahapan ini akan di

lakukan pembentukan kategori-kategori

awal, yang mana akan di lakukan proses

dimensionalisasi, yakni memperlihatkan

kemungkinan-kemungkinan yang akan

terjadi dalam penelitian. Tahap kedua ialah

axial coding, dalam tahapan ini

kategori-kategori yang sudah mulai mucul dalam

open coding harus di lakukan reduksi data,

kemudian kategori-kategori itu di

hubungkan dengan

subkategori-subkategori yang ada sehingga

memunculkan komponen atau fenomena

utama. Dalam tahap ini tidak berhenti di

reduksi data melainkan di perlukan

perluasan kategori dengan cara

mengeksplorasi kategori atau kondisi yang

mempengaruhi fenomena. Di dalam

eksplorasi kategori juga terdapat

pengidentifikasian tindakan atau interaksi

yang berasal dari fenomena utama. Tahap

ketiga ialah selective coding, dalam

tahapan ini kategori akan di pusatkan dan

di pilih berdasarkan kategori yang paling

signifikan serta mengkaitkan dengan

kategori-kategori lain, memvalidasi

kaitan-kaitan itu dan melengkapi kategori yang

masih di rasa kurang. Pada tahapan ini

proporsi bersyarat (hipotesis) sudah bisa di

sajikan, baik dalam bentuk naratif ataupun

gambar visual. Akhir dari tahapan ini

menjadi tahapan keempat dimana teori

sudah terbentuk dan sudah di kembangkan.

ANALISIS DATA

Hubungan Pustakawan Dengan Pemustaka Pemantik Munculnya Library Anxiety

Dari data keseluruhan

memunculkan sebuah konsep yaitu konsep

pustakawan, dimana di dalam konsep ini

pemustaka mengalami kecemasan ketika

berada di dalam perpustakaan di sebabkan

oleh respon yang di berikan pustakawan ke

pemustaka sangatlah buruk, ketika

pemustaka membutuhkan bantuan

terhadap pustakawan karena merasa

bingung dengan apa yang ada di

(10)

melainkan tindakan yang kurang

mengenakanlah yang di dapati oleh

pemustaka. Selain itu adanya hubungan

interaksi yang terjadi antara pustakawan

dengan pemustaka yang buruk, dimana

tidak adanya interaksi yang baik antara

pemustaka dengan pustakawan juga

mengakibatkan pemustaka mengalami

kecemasan ketika berada di dalam

perpustakaan.

Afektif Pemustaka Menyumbang Kecemasan di Dalam Perpustakaan

Dari data-data yang muncul dapat

di golongkan kesebuah konsep yang

dinamakan konsep afeksi, dimana dalam

konsep afeksi ini merupakan tindakan atau

perilaku pemustaka ketika berada di dalam

perpustakaan dan emosional pemustaka

saat berada di dalam perpustakaan.

Perilaku yang di tunjukan pemustaka saat

baru pertama kali berkunjung ke

perpustakaan, pemustaka menunjukan

perilaku-perilaku yang membuat

pemustaka merasa bingung sendiri ketika

berada di dalam perpustakaan. Kemudian

perilaku pemustaka ketika mendapat

sebuah informasi dari pustakawan dan

ketika sudah mendapat informasi dari

pustakawan, pemustaka tidak merasa puas

dengan apa yang sudah di berikan

pustakawan sehingga membuat pemustaka

mengeksplore sendiri informasi yang

pemustaka butuhkan. Selain itu juga

pemustaka merasa kurang terampil ketika

berhadapan dengan peralatan dan fasilitas

yang ada did perpustakaan, hal ini

membuat pemustaka merasa kurang

percaya diri dengan kemampuan yang

mereka miliki dan membuat mereka

semakin mengalami kecemasan.

Perasaam Nyaman di Dalam Perpustakaan

Kenyamanan merupakan konsep

yang muncul dari data-data yang sudah di

abstraksi sebelumnya, kenyamanan

memang menjadi faktor yang penting

ketika pemustaka berada di dalam

perpustakaan. Dimana ketika pemustaka

merasa tidak nyaman dengan kondisi yang

ada di perpustakaan maka akan membuat

pemustaka merasa tidak betah

berlama-lama berada di dalam perpustakaan.

Banyak faktor yang mempengaruhi

pemustaka merasa tidak nyaman dengan

perpustakaan, antara lain: fasilitas yang

dimiliki perpustakaan, dimana ketika

fasilitas yang ada di dalam perpustakaan

mengalami masalah,seperti wi-fi yang

tidak bisa digunakan sehingga

menghambat pemustaka untuk

menemukan informasi. Bermasalah dengan

kondisi ruangan yang ada di dalam

perpustakaan, dimana kondisi ruangan

yang tidak nyaman untuk membaca, kotor,

berbau tidak sedap dan yang lainnya.

(11)

perpustakaan yang kurang menguntungkan

pemustaka, dimana salah satu contohnya di

perpustakaan Unair yang mempunyai tata

letak ruang baca dan bahan koleksi yang

berada di lantai tiga, sehingga membuat

pemustaka untuk mencari bahan pustaka

yang dia butuhkan harus ke lantai tiga

untuk membacanya. Kemudian pemustaka

tidak merasa nyaman dengan kehadiran

pustakawan, dimana kehadiran pustakawan

dianggap sebagai hal yang kurang nyaman

karena sebelumnya pemustaka memiliki

trauma terhadap pustakawan. Dan yang

terakhir permasalahan dengan peraturan

yang di berlakukan di perpustakaan,

dimana peraturan seperti dilarang

membawa makanan dirasa mengganggu

pemustaka untuk berlama-lama di dalam

perpustakaan. Dari kesemua faktor

tersebut memang membuat pemustaka

merasa tidak nyaman ketika berada di

dalam perpustakaan dan membuat

pemustaka tidak mau berlama-lama di

dalam perpustakaan.

Permasalahan Pemustaka Dengan Mekanik Perpustakaan

Dari data yang muncul sebuah

konsep yang bernama technology skill,

dimana dalam konsep ini memang

pemustaka mengalami library anxiety

ketika pemustaka berhadapan dengan

media penunjang operasional yang ada di

dalam perpustakaan. Pemustaka yang

merasa asing dengan media yang ada di

perpustakaan dan tidak bisa

menggunakannya akan berkecenderungan

mengalami kebingungan karena memang

tidak mempunyai kemampuan untuk

menggunakannya. Hal tersebut terjadi

karena memang ketika berada di dalam

perpustakaan pemustaka dihadapkan

dengan salah satu media penunjang

(OPAC) mengalami permasalahan, antara

lain pemustaka tidak bisa

menggunakannya sehingga tidak mampu

menemukan informasi yang pemustaka

inginkan, selain itu ketidakcocokan antara

informasi yang dimaksud dengan

informasi yang di tampilkan di OPAC

membuat pemustaka merasa bingung

ketika menggunakannya. Ada hambatan

lain yaitu pemustaka dengan komputer

yang ada di perpustakaan, dimana

pemustaka tidak mampu menggunakan

komputer yang di sediakan oleh

perpustakaan dan membuat pemustaka

mengalami library anxiety.

Pengalaman dan Pengetahuan Mahasiswa Baru Saat Berada di Dalam Perpustakaan

Sekian banyak data yang di dapat

oleh peneliti, memunculkan dua konsep

yaitu kognisi dan pengalaman, dimana

konsep kognisi berasal dari pemustaka

yang tidak mempunyai pengetahuan yang

(12)

dalam perpustakaan Unair, nantinya akan

kesulitan untuk mencari informasi,

dikarenakan pemustaka tidak mengetahui

bagaimana alur yang ada di dalam

perpustakaan dan bahkan tidak mengetahui

bagaimana cara menggunakannya. Dimana

nantinya ketika pemustaka mengalami

kesulitan yang mendalam maka akan

berkecenderungan akan mengakibatkan

pemustaka untuk mengalami library

anxiety. Dan konsep yang kedua ialah

konsep pengalaman, dimana pengalaman

pemustaka dalam mengunjungi dan

menggunakan perpustakaan sangat

berpengaruh nantinya ketika pemustaka

berada di dalam perpustakaan baru.

Pengalaman pemustaka ketika berada di

bangku sekolah mengenai perpustakaan

sekolah, ketika pemustaka memiliki

pengalaman buruk dengan perpustakaan

sekolah maka nantinya akan menjadi

trauma tersendiri dari pemustaka ketika

berada di perpustakaan perguruan tinggi.

Dan juga ketika pemustaka berada di

dalam perpustakaan perguruan tinggi dan

merasa belum pernah menemui media atau

fasilitas yang ada di perpustakaan sekolah

maka pemustaka akan berkecenderungan

mengalami kesulitan untuk

menggunakannya dan nantinya akan

menyebabkan pemustaka mengalami

library anxiety.

Adanya Culture Distance Yang di Alami Oleh Mahasiswa Baru

Dari data-data yang di peroleh

disimpulkan menjadi sebuah konsep

dimana konsep culture distance menjadi

pengaruh penting terjadinya library

anxiety kepada pemutaka. Ketika

pemustaka mempunyai budaya

menggunakan perpustakaan yang biasanya

menggunakan perpustakaan dengan

langsung mengambil buku di rak dan

mengembalikannya sendiri, kemudian di

lingkungan baru menemukan budaya

menggunakan perpustakaan dengan

terlebih dahulu harus melewati beberapa

tahapan untuk mampu menemukan

informasi yang ada di perpustakaan. Hal

tersebut menunjukkan adanya perbedaan,

perbedaan tersebut dinamakan jarak

budaya, yang mana jarak budaya yang

terjadi semakin jauh atau melebar, maka

akan semakin banyak perbedaan yang

dialami oleh pemustaka, hal ini

mengakibatkan pemustaka mengalami

yang namanya library anxiety. Tetapi jarak

ketika jarak budaya yang terjadi semakin

menipis atau mengecil maka perbedaan

yang di alami oleh pemustaka akan

semakin sedikit, hal tersebut akan

mengakibatkan pemustaka cenderung

untuk tidak mengalami library anxiety dan

(13)

Adaptasi Untuk Keluar dari Library Anxiety

Dapat dikatakan bahwa adaptasi

merupakan sebuah proses atau usaha dari

individu untuk keluar dari library anxiety

yang melanda mereka, proses ini bisa

dilakukan dengan berbagai usaha, bisa dari

faktor internal dimana muncul karena

memang individu mempunyai knowledge

yang lebih sehingga mampu beradaptasi

dan keluar dari library anxiety, terus

karena adanya jarak budaya yang tipis

sehingga membuat pemustaka merasa

tidak asing dengan perpustakaan Unair dan

mampu dengan baik beradaptasi.

Sedangkan dari faktor eksternal dimana

informan mendapat bantuan dari

pustakawan untuk keluar dari library

anxiety, pelayanan yang di berikan

pustakawan kepada informan, seperti

informasi yang penting dan keramahan

yang di tunjukkan oleh pustakwan

membuat informan bisa keluar dari library

anxiety yang menjangkit mereka. Dan ada

faktor eksternal lain yaitu dari pengunjung

lainnya, dimana informan mendapatkan

informasi dari pengunjung yang lain untuk

menemukan apa yang informan mau di

dalam perpustakaan, walaupun faktor ini

terkadang memberikan informasi yang

kurang valid tetapi bisa membuat informan

keluar dari kecemasan yang melanda.

Kedua faktor internal dengan faktor

eksternal tersebut yang di temukan dari

informan untuk keluar dari kecemasan

dengan beradaptasi. Setelah beradaptasi

dengan baik perpustakaanpun mendapat

respon yang baik oleh informan, dimana

informan merasa nyaman dengan

perpustakaan Unair, informan juga akan

senang ketika berkunjung ke perpustakaan

atau bisa dikatakan loyal dengan

perpustakaan, dan informan mempunyai

persepsi baik kepada perpustakaan.

Tetapi ada juga yang tidak bisa

keluar dari library anxiety karena mereka

tidak bisa beradaptasi dengan baik, ada

dua faktor yang membuat mereka tidak

bisa beradaptasi dengan baik, dimana ada

faktor pertama adalah faktor internal yang

melanda, seperti informan merasa kurang

perccaya diri untuk bertanya ke

pustakawan karena informan merasa

canggung dengan pustakawan, kemudian

ada pengaruh dari knowledge yang dimiliki

informan mengenai perpustakaan yang

rendah sehingga informan melakukan

tindakan yang membuat dirinya semakin

merasa cemas, dan faktor kedua adalah

faktor eksternal yaitu antara lain, dengan

pustakawan dimana ketika informan ingin

mendapatkan informasi yang valid kepada

pustakawan, pustawan tidak ada di tempat

dan menghilang sehingga informan

kebingungan untuk mencari informmasi

(14)

ketika berinteraksi dengan informan

membuat informan sulit untuk beradaptasi.

Kedua faktor internal dan eksternal

tersebut yang membuat informan kesulitan

untuk beradaptasi dengan perpustakaan

Unair. Dan selain itu akan berdampak

kepada informan, seperti yang di jelaskan

oleh beberapa informan mereka tidak mau

lagi pergi ke perpustakaan, menganggap

perpustakaan Unair tidak mempunyai buku

yang lengkap serta tidak mempunyai

manajemen yang baik, dan selain itu akan

membuat informan kurang nyaman dengan

perpustakaan serta tidak mau lagi

mengunjungi perpustakaan Unair.

Penggabungan Konsep-konsep Library Anxiety pada Mahasiswa Baru di Perpustakaan Universitas Airlangga Surabaya

Setelah proses selective code sudah

selesei dan menemui beberapa konsep

yang di munculkan, tahap keempat ialah

proses penggabungan konsep-konsep

tersebut menjadi grand konsep atau bisa di

sebut sebagai teori, dimana teori ini

merupakan hasil dari data-data yang sudah

di abstraksi dan sudah melalui proses

selective code, sehingga data yang sudah

di dapat mampu di jadikan sebagai

konstruksi untuk membangun sebuah teori

mengenai library anxiety.

KESIMPULAN

Penelitian ini dilakukan untuk

membentuk teori baru dari hasil penelitian

yang sudah di lakukan dengan tema

Library Anxiety. Dimana setelah melewati

dari berbagai proses mulai dari open

coding, axial coding, selective coding,

hingga pembentukan teori. Maka dapat di

simpulkan sebagai berikut :

1. Library anxiety yang menjangkit

mahasiswa baru terbentuk karena

adanya enam faktor, dimana

keenam faktor tersebut merupakan

faktor yang sering muncul ketika

pemustaka berkunjung untuk

pertama kalinya ke perpustakaan

Universitas Airlangga. Faktor

pertama disebabkan oleh

(15)

pustakawan menjadi penyebab

pemustaka mengalami kecemasan.

Faktor kedua disebabkan oleh

afeksi dari pemustaka, dimana

perilaku dan emosional pemustaka

berperan mengakibatkan

pemustaka mengalami library

anxiety. Faktor ketiga ialah faktor

kenyamanan, dimana pemustaka

yang merasa tidak nyaman dengan

kondisi perpustakaan

mengakibatkan pemustaka enggan

untuk berlama-lama di dalam

perpustakaan. Faktor keempat

penyebabnya ialah teknologi skill,

dimana kemampuan pemustaka

dalam menggunakan media

penunjang perpustakaan berperan

menjadikan pemustaka mengalami

library anxiety ketika pemustaka

tidak bisa menggunkan media

tersebut. Faktor kelima ialah faktor

kognisi, dimana pengetahuan yang

dangkal membuat pemustaka

merasa kebingungan di dalam

perpustakaan, ketika kebingungan

terus melanda maka pemustaka

akan mengalami library anxiety.

Faktor keena ialah faktor

pengalaman, dimana pengalaman

pemustaka yang buruk atau kurang

baik ketika berada di dala

perpustakaan nantinya juga akan

mempengaruhi pemustaka

mengalami library anxiety

2. Permasalahan ketika pemustaka

mengalami library anxiety di dalam

perpustakaan Universitas

Airlangga, adanya culture distance

yang menyebabkan pemustaka

terjangkit dari keenam faktor

tersebut. Dimana dalam hal ini

pemustaka baru yang baru pertama

kali berkunjung ke perpustakaan

Universitas Airlangga yang

berkecenderungan mengalami

culture distance disebabkan oleh

adanya adanya jarak yang terlalu

jauh antara budaya lama dengan

budaya baru, hal ini menjadikan

adanya perbedaan yang terlalu

belang dan mengakibatkan

pemustaka mengalami

kebingungan ketika berada di

dalam perpustakaan dan ketika di

biarkan terus menerus akan

mengakibatkan pemustaka

terjangkit library anxiety.

3. Ketika pemustaka mengalami

culture distance maka yang harus

dilakukan ialah dengan melakukan

proses adaptasi, dimana proses

adaptasi ada dua faktor, yang mana

kedua faktor tersebut harus saling

berkesinambungan membantu

pemustaka keluar dari kebingungan

(16)

sukses unuk beradaptasi dengan

lingkungan dan budaya barunya

maka pemustaka akan mampu

menggunkan perpustakaan dengan

baik dan nantinya akan berdampak

pada presepsi baik terhadap

perpustakaan, pemustaka merasa

nyaman ketika di dalam

perpustakaan dan akan loyal

terhadap perpustakaan. Tetapi

ketika pemustaka tidak mampu

beradaptasi atau gagal untuk

beradaptasi dengan lingkungan

atau budaya baru yang ada di

perpustakaan Unair maka akan

berdampak negatif, dimana

pemustaka akan mempunyai

presepsi buruk terhadap

perpustakaan, pemustaka akan

tidak merasa nyaman ketika berada

di dalam perpustakaan dan

pemustaka tidak mau berkunjung

ke perpustakaan Unair.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Mumtaz A. 2011. AQAK : A

library anxiety scale for

undergraduate students. Journal of

Librarianship and Information Science

44

Bostick, S.L. 1992. The development and

validation of the library anxiety scale.

PhD. dissertation. ProQuest

Dissertations and Theses database

Creswell, J.W. 2008. Educational

Research, Planning, Conducting and

Evaluating Quantirarive and

Qualitative Research.3rded. New

Jersey : Pearson

Denzin, and Lincoln. 1994. Hand Book of

Qualitative Research. New York :

Sage Production.

K.A Abusin et.al. 2011. Sudanese library

anxiety constructs. Journal. Journal of

Information Development 27

McPherson, Marisa Alicia. 2015. Library

anxiety among university students: A

survey. Journal of International

Federation of Library Associations

and Institutions.Vol. 41.

Mellon, C.A. 1986. Library Anxiety: A

Grounded Theory and Its

Development. College and Research

Iibraries.

Song, Zhiqiang et.al.2014. Library Anxiety

Among Chinese Students: Modification

and Application of LAS in the Context

of Chinese Academic Libraries.

Journal of Academic

Librarianship.Vol. 40.

Strauss, Anselm. & Juliet Corbin. 2003.

Dasar-dasar Penelitian Kualitatif:

Tatalangkah dan Teknik-teknik

Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Susantari, Tri dan Nove E. Variant Anna.

2008. Pengaruh Kecemasan Di

(17)

Terhadap Efektifitas Pemanfaatan

Perpustakaan Oleh Mahasiswa Di

Perpustakaan Pusat Universitas

Airlangga. Journal.Surabaya :

Referensi

Dokumen terkait

Namun sebagai teori sastra yang berkaitan dengan penafsiran sebagai telaah untuk memahami karya sastra, penafsiran tidak harus diarahkan pada fenomena makna ganda simbol tetapi

“Kecerdasan Spiritual” dis imbolkan sebagai Teratai diri yang menggabungkan tiga kecerdasan dasar manusia (rasional, emosional, dan spiritual ), tiga pemikiran (

Berdasarkan informasi diatas, indikasikan tingkat resiko kecurangan yang Bapak / Ibu / Saudara miliki atas klien dengan memberikan tanda (√) pada salah satu alternatif jawaban

Based on the research result, it showed that herringbone technique was effective for teaching reading recount text at the eight grade students in one of Junior

This research was designed to investigate the students’ perceptions toward teacher’s written feedback on their writing at the Eighth Grade of SMP Muhammadiyah Ajibarang

The use of clue words game in English language learning especially in teaching writing skill has special contribution in making the students active and the class more

Peneliti memutuskan untuk meneliti tingkat risiko kebangkrutan yang bisa saja dialami oleh perusahaan – perusahaan pada sektor pertambangan batubara dikarenakan ada

Seluruh unit UMKM yang telah bersedia untuk berpartisipasi dalam proses survey dan pengumpulan data sehingga proses penyusunan ini dapat terselesaikan dengan