• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-DIN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-DIN SKRIPSI"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI

DALAM KITAB

AL-ADAB FI AL-DIN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh :

FAIQOTUL HIMMAH NIM: 111-13-035

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(2)
(3)

ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI

DALAM KITAB

AL-ADAB FI AL-DIN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh :

FAIQOTUL HIMMAH NIM: 111-13-035

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

PERSEMBAHAN

Yang paling utama dari segalanya, rasa syukur kepada Allah SWT. Atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan nikmat yang luar biasa sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Karya sederhana ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang tercinta dan tersayang kepada:

1. Kedua orangtua-ku, Bapak M. Abdullah Faqih dan Ibu Muazzatul Karimah yang tiada henti mendoakanku, memberikan semangat, nasehat, dan kasih sayang serta banyak pengorbanan yang tak tergantikan sehingga aku mampu menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan gelar sarjana.

2. Adikku Laila Nadhifah, Mbah Siti Khoiriyah tercinta, dan keluarga Bulek Ana Mustafiah yang turut selalu mendoakanku, memberiku semangat sehingga aku dapat menyelesaikan pendidikanku. Semoga Allah senantiasa memberikan perlindungan serta Ridho dimanapun mereka berada Aamiin .

3. Abah KH.Mahfudz Ridwan, Lc. (Alm), Ibu Hj. Nafisah, Gus Muhammad Hanif, M.Hum. dan Bu Rosyidah, Lc. yang senantiasa memberikan petuah dan doanya sehingga aku dapat menemukan makna kehidupan yang nyata di Pondok Pesantren tercinta Edi Mancoro. 4. Keluargaku Para Dewan Asatidz Pondok Pesantren Edi Mancoro yang

(9)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikut setianya.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Institut Agama Islam

Negeri Salatiga.

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. 3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama

Islam.

4. Bapak Drs. Badwan, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dalam memempuh studi di IAIN Salatiga. 5. Dr. M. Ghufron, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan

ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis skripsi ini.

(10)

7. Keluarga besar Pondok Pesantren Edi Mancoro, terutama Romo K.H Mahfudz Ridwan Lc (Alm) dan Kyai Gus Muhamad Hanif, M.Hum. yang selalu mendoakan santrinya untuk meraih keberhasilan dalam menuntut ilmu, baik dalam keadaan apapun maupun dimanapun..

8. Karyawan Perpustakaan IAIN Salatiga yang telah menyediakan fasilitasnya.

9. Bapak dan Ibu serta saudara-saudaraku di rumah yang telah mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dan penyusunan skripsi dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.

10.Guru-guruku yang hebat dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi yang saya hormati dalam memberikan ilmu dan membimbing dengan penuh kesabaran.

11.Mas Muhamad Farid yang selalu menguatkan, memberikan motivasi, dan selalu mendampingiku sehingga mendapatkan gelar sarjana.

12.Sahabat- sahabatku tercinta Siti Sirril Inayah, Nur Kholifah, Qisthi Faradina, Zainab, Khoiriyatun Kholidiyah, Arfias Wirda Muftihah, Tri Puji

Lestari, Zulfa Adzkia, Dian Apriyani, Mar’atus Sholikhah, Ngatini,

Bastiatul Muawwanah, Wahyu Anggun yang telah menemani hari- hariku dan selalu memberikan dukungan penuh dalam mencapai gelar S.Pd. 13.Dek Anida, Dek Ajeng, Dek Dewi, Dek Anisa, Dek Dinda, Dek Husna, Dek

Sri, Mas Munif, Fa’un Niam yang turut memberikan dukungan penuh dan

membantu menyelesaikan skripsiku.

14.Keluarga Besar Yaa Bismillah (Youth Assosiation Of Bidikmisi

Limardhotillah) IAIN Salatiga, Bidikmisi angkatan 2013 saudara

(11)
(12)

ABSTRAK

Himmah, Faiqotul. 2017. Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din. Skripsi. Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan (FTIK). Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. M. Ghufron, M. Ag.

Kata Kunci : Adab, Guru dan Murid, Kitab al-Adab Fi al-Din, al-Ghazali

Dalam kehidupan nyata saat ini, dalam dunia pendidikan kasus asusila banyak terjadi diakibatkan karena tidak diindahkannya adab sopan santun antara guru dan murid sesuai dengan ajaran agama. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui adab guru dan murid dalam kitab Adab Fi Din karya Imam al-Ghazali. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana adab guru dan murid Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab al-Adab Fi al-Din?, (2) Bagaimana relevansi adab guru dan murid dalam Kitab al-Adab Fi al-Din dikaitkan dengan dengan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini?

Metode penelitian yang digunakan yaitu literature (kepustakaan). Data primer dan sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan dengan alat pengumpul data berupa metode dokumentasi. Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis. Adapun analisisnya dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa a) adab guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din adalah bahwasanya guru hendaknya tawadhu’, tidak bersikap sombong, menjadi sosok suri tauladan, tidak berperilaku buruk, dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual muridnya, menjauhkan murid dari perilaku buruk dan mendidik dengan penuh kasih sayang. Adapun diantara

kewajiban murid adalah tawadhu’, menerima pendapat guru dan tidak

(13)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... vi

MOTTO ... vii A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Fokus Masalah...5 A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali ...19

1. Lahir ...19

2. Masa Muda ...21

3. Masa Dewasa...24

4. Wafat...28

B. Sistematika Kitab al-Adab Fi al-Din ...29

C. Karya-Karya Imam Al-Ghazali ...31

BAB III ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-DIN A.Pengertian Adab Guru dan Murid ...45

1. Pengertian Adab ...45

2. Pengertian Guru...45

3. Pengertian Murid ...47

B.Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din ...48

1. Adab Ahli Ilmu...48

2. Adab Murid dengan Guru ...50

(14)

4. Adab Membaca Al-Qur’an ...53

5. Adab Mendidik Anak Kecil...54

6. Adab Ahli Hadits...56

7. Adab Belajar Hadits ...58

8. Adab Menulis ...60

9. Adab Ceramah ...61

10. Adab Mendengar ...62

BAB IV ANALISIS ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA PENDIDIKAN SAAT INI A.Analisis Adab Guru dan Murid dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din...64

1. Adab Guru ...64

a. Adab Ahli Ilmu ...65

b. Adab Mengajar Al-Qur’an ...68

c. Adab Mendidik Anak Kecil ...70

d. Adab Ahli Hadits ...72

e. Adab Ceramah ...76

2. Adab Murid ...78

a. Adab Murid dengan Guru ...78

b. Adab Membaca Al-Qur’an ...79

c. Adab Belajar Hadits ...80

d. Adab Menulis ...83

e. Adab Mendengar ...85

B.Relevansi Adab Guru dan Murid dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din dengan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan saat ini ...86

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...92

B. Saran ...94

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dilahirkan Allah Swt dengan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik disertai dengan fitrah Allah Swt, yaitu berupa pikiran dan perasaan dengan berbagai kecakapan dan ketrampilan yang dapat berkembang sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Sesuai dengan firman Allah Swt :

ْلَخِل َليِدْبَ تَلا اَهْ يَلَع َساَّنلا َرَطَف يِتَّلا ِهللا َتَرْطِف اًفيِنَح ِنيِ دلِل َكَهْجَو ْمِقَأَف

ُنيِ دلا َكِلَذ ِهللا ِق

َنوُمَلْعَ يَلا ِساَّنلا َرَ ثْكَأ َّنِكَلَو ُمِ يَقْلا

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah,

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang

lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Ar-Ruum: 30)

(16)

Banyak tokoh Islam yang memiliki kepedulian dan menyumbangkan pemikirannya tentang aktivitas belajar dan pembelajaran, di antaranya adalah imam al-Ghazali. Tokoh ini banyak mewarnai pendidikan masyarakat Islam Indonesia, terutama pendidikan di kalangan pesantren.

Imam al-Ghazali merupakan pemikir Islam yang terkemuka. Kitab-kitab karangan beliau telah tersebar di seluruh penjuru dan banyak juga yang telah menggunakan atas apa yang telah diijtihadkan beliau. Salah satu kitab karangan beliau yang fenomenal adalah kitab Ihya Ulumuddin. Selain itu, kitab karangan beliau yang merupakan kelanjutan dari kitab Ihya’ Ulumuddin adalah Kitab al-Adab Fi al-Din. Kitab ini membahas tentang

aturan-aturan mendekati Allah Swt guna merengkuh cinta-Nya.

Kitab al-Adab Fi al-Din berisi tentang penjelasan mengenai adab atau budi pekerti dalam menjalani kehidupan sehari-hari guna mendekatkan diri kepada Allah Swt dan mendapatkan Ridho-Nya. Salah satu adab yang tercantum dalam kitab al-Adab Fi al-Din adalah adab seorang guru dan murid yang sangat berpengaruh dalam menanamkan nilai moral pada perilaku anak didik (murid) maupun guru khususnya dan pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya.

(17)

hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi dalam peristiwa belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan antara guru dengan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan nilai dari diri siswa yang sedang belajar (Usman, 1991: 1).

Salah satu di antara keseluruhan ciri-ciri guru yang professional adalah adanya unsur moral dan etika yang harus dimiliki guru. Bahwasanya seorang guru harus memiliki pemahaman, penghayatan dan penampilan yang menjadikan dirinya sebagai teladan dan panutan bagi para siswanya. Dalam konteks akhlak masa depan, visi pendidikan yang diberikan kepada anak didik diharuskan untuk menyiapkan atau merencanakan perbaikan akhlak yang telah mulai rapuh di masa sekarang.

Karena dalam kehidupan nyata saat ini, seringkali interaksi guru dan murid yang kurang mendukung tercapainya tujuan pendidikan saat ini disebabkan karena telah ditinggalkannya nilai-nilai etik spiritual yang didasarkan pada agama dan diganti dengan nilai-nilai materialistik dalam melakukan interaksi dunia pendidikan tersebut sehingga tidak menghiraukan pendidikan kesusilaan atau adab.

(18)

sebagainya. Di antara contoh yang menunjukkan betapa buruknya hubungan guru dan murid yang terjadi di sekitar kita di antaranya adalah hanya karena tidak membersihkan ruang kelas, seorang guru bidang Ilmu Pengetahuan di Sekolah Menengah Pertama, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara melukai siswa tersebut dengan melempar kursi mengenai kepala siswa. Karena perbuatan guru tersebut, siswa mengalami luka robek di kepala (Liputan6.com, Patroli Labuhanbatu Utara. 21/7/2017 14:43). Kemudian, kasus murid dengan guru terjadi di SMP Negeri 2 Pasangkayu, Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Seorang siswa kelas 3 diamankan aparat kepolisian setelah dilaporkan pihak sekolah karena memukul gurunya menggunakan batang kayu sepanjang 50 cm secara tiba-tiba (Liputan6.com, Mamuju Utara. 08/082017 01:01).

Berdasarkan kondisi riil yang terjadi di lapangan seperti yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan kajian mendalam tentang adab interaksi antara guru dan murid di sekolah untuk menunjang keberhasilan proses pendidikan, dan menghindari hal-hal yang tidak dinginkan. Dengan demikian, maka penulis mengkaji ulang pemikiran al-Ghazali dalam Kitab al-Adab Fi al-Din mengenai adab yaitu tata cara atau sopan santun interaksi

(19)

menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan (Nata, 2013: 32).

Oleh karena itu, penulis akan berusaha melakukan penelitian guna memberikan pencerahan kepada dunia pendidikan, dengan judul “ADAB

GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM

KITAB AL-ADAB FI AL-DIN

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab al-Adab Fi al-Din?

2. Bagaimana Relevansi Adab Guru dan Murid dalam Kitab Adab Fi al-Din dikaitkan dengan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan di

Indonesia saat ini?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai adab guru dan murid perpektif Imam Ghazali dalam kitab al-Adab Fi al-Din. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah:

(20)

2. Menemukan relevansi Adab Guru dan Murid dalam Kitab al-Adab Fi al-Din dikaitkan dengan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan

di Indonesia saat ini.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang jelas bagi pembaca. Terdapat 2 manfaaat yakni manfaat teoretis dan manfaat praksis.

1. Manfaat Teoretis

Dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan tentang studi analisis tentang Adab Guru dan Murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din serta aplikasinya dalam pendidikan Islam.

2. Manfaat Praksis a. Bagi peneliti :

Untuk meningkatkan pengetahuan tentang pendidikan khususnya dalam beradab yang baik bagi seorang guru dan murid. b. Bagi masyarakat dan insan pendidikan :

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah wacana pendidikan Islam khususnya yang berkaitan dalam membangun karakter anak bangsa.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

(21)

istilah studi pustaka yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan pengumpulan pustaka, membaca, dan mencatat serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2004: 3).

2. Sumber Data

Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan yang dikategorikan sebagai berikut :

a. Sumber Data Primer

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur.

Adapun referensi yang menjadi sumber data primer yaitu data yang diambil dari sumber utamanya, yaitu dari Kitab al-Adab Fi al-Din karya Imam al-Ghazali .

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah buku-buku atau tulisan-tulisan lainnya yang mempunyai pembahasan yang erat hubungannya dengan sumber primer. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku atau karya ilmiah lain yang isinya dapat melengkapi data penelitian yang penulis teliti misalnya perspektif Islam tentang pola hubungan guru-murid (Studi Pemikiran Tasawuf

al-Ghazali) karya Abuddin Nata (PT. RajaGrafindo Persada:

(22)

Wal Muta’aliim (pendidikan akhlak untuk pelajar dan pengajar)

karya KH. Hasyim Asy’ari diterjemahkan oleh M. Ishom Hadziq (Pustaka Tebuireng: Jawa Timur) dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data pustaka yaitu membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian dari berbagai buku dan karya ilmiah yang mendukung penelitian skripsi ini dengan mengutamakan data primer. Adapun data pendukung tersebut merupakan kajian dari pemikiran Imam al-Ghazali tentang sejarah pendidikannya dan juga konsep pemikirannya tentang pendidikan khususnya mengenai adab seorang guru dan murid.

4. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan adalah analisis isi (content

analysis), dengan menguraikan dan menganalisis serta

memberikan pemahaman atas teks-teks yang dideskripsikan.

Metode content analysis digunakan untuk memperoleh keterangan dari sisi komunikasi, yang disampaikan dalam bentuk lambang yang terdokumentasi atau didokumentasikan, baik dalam bentuk artikel, jurnal, buku, maupun karya-karya Imam al-Ghazali (Tobroni, 2001: 71).

(23)

ilmiah, maka dasar penafsiran dalam metode analisis ini memberikan perhatian pada isi pesan. Oleh karena itulah, metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi. Peneliti menekankan bagaimana memaknakan isi komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam peristiwa komunikasi (Ratna, 2007:49).

Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji isi Kitab

al-Adab Fi al-Din yang mengandung penjelasan mengenai adab

seorang guru dan murid dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Langkah deskriptif, yaitu menguraikan teks-teks dalam Kitab al-Adab Fi al-Din yang berhubungan dengan adab seorang guru dan murid.

b. Langkah interpretasi, yaitu menjelaskan teks-teks dalam Kitab al-Adab Fi al-Din yang berhubungan dengan adab seorang guru dan murid.

(24)

d. Langkah mengambil kesimpulan, yaitu mengambil kesimpulan dari Kitab al-Adab Fi al-Din yang berhubungan dengan adab seorang guru dan murid.

F. Telaah Kepustakaan

Untuk mencapai hasil penelitian ilmiah diharapkan data-data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini dan menghindari tumpang tindih dari pembahasan penelitian. Dalam kajian pustaka yang telah dilakukan, penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang temanya hampir sama dan dari pengarang yang sama dengan judul penelitian ini, yaitu tokoh

“Imam al-Ghazali”. Diantara hasil penelitian terdahulu adalah sebagai berikut :

1) Skripsi Paryono, Jurusan Tarbiyah, Program Studi Agama Islam (PAI), Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Salatiga, 2014, yang

mengangkat tema pendidikan akhlak dengan judul “Konsep Pendidikan

Akhlak Imam al-Ghazali (Studi analisis kitab Ihya’ Ulumuddin)” (Paryono, 2014). Kesimpulan dari skripsi konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ihya’ Ulumuddin antara lain: Pengajaran Keteladanan dan

Kognifistik, Mengolaborasi Behavioristik dengan pendekatan

Humanistik serta relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam dalam

(25)

seorang guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din. Jadi, baik secara tema, judul serta fokus pembahasan sangat berbeda.

2) Skripsi Putik Nur Rohmawati, Jurusan Tarbiyah, Program Studi Agama Islam (PAI), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, 2017, yang

mengangkat tema pendidikan akhlak dengan judul “Konsep Pendidikan

Akhlak dalam Kitab Ayyuhal Al-Walad Karya Imam al-Ghazali ” (Putik Nur Rahmawati, 2017). Kesimpulan dari skripsi konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuhal Al-Walad antara lain: konsep pendidikan anak berpangkal pada empat hal, yaitu pertama, pendidikan bertujuan untuk menghilangkan sifat-sifat atau akhlak buruk. Kedua, syarat agar seorang Syaikh dapat menjadi wakil Rasulullah SAW, Ia haruslah seorang yang alim. Ketiga, inti ilmu adalah pengetahuan yang membuat seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Keempat, metode yang digunakan al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Al-Walad adalah dengan metode keteladanan, metode cerita atau kisah dan metode pembiasaan. Adapun perbedaan skripsi Putik Nur Rohmawati yang fokus penelitiannya adalah konsep pendidikan akhlak, sedangkan fokus penelitian saya adalah adab atau sopan santun seorang guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din.

3) Buku yang ditulis oleh H. Abuddin Nata, M. A. yang berjudul

“Menurut Islamtentang Pola Hubungan Guru-Murid”. Dalam buku

(26)

hubungan yang harmonis dengan meneliti pemikiran pendidikan Imam al-Ghazali dilihat dari kacamata sufistik (tasawuf). Skripsi penulis memiliki kesamaan dengan buku ini, yaitu sama-sama membahas mengenai hubungan guru dan murid. Akan tetapi, perbedaan skripsi penulis terletak pada pembahasan yang difokuskan pada adab mengenai guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din.

4) Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ghozali jurusan Pendidikan Agama Islam fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan

judul “Etika Guru dan murid Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab

Ihya’ Ulumuddin”. Dari skripsi ini dapat disimpulkan bahwa ada tiga dimensi yang tersirat dalam Etika guru dan murid sebagaimana yang dirumuskan al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, yaitu adanya tujuan yang jelas ke arah ukhrawi dengan berniat ibadah kepada Allah Swt, adanya nilai-nilai yang khas yakni nilai religiusitas, adanya upaya optimalisasi relasi antara guru dan murid.

Sedangkan penelitian yang saya lakukan walau sama-sama mengenai pola hubungan guru dan murid, namun saya memfokuskan pada adab seorang guru dan murid yang terdapat dalam Kitab al-Adab Fi al-Din.

Berdasarkan beberapa karya yang diilustrasikan di atas, maka

penelitian ini akan memfokuskan kajian terhadap “ADAB GURU DAN

(27)

ini belum ada kajian yang secara khusus mengkaji topik yang akan penulis angkat, terlebih penelitian pada kitab al-Adab Fi al-Din.

G. Penegasan Istilah

Agar tidak menimbulkan kesalahan pemahaman terhadap pokok masalah yang dimaksud maka sebelumnya penulis menguraikan tentang

batasan pengertian yang dimaksud dalam judul “ADAB GURU DAN

MURID MENURUT AL-GHAZALI DALAM KITAB ADAB FI AL-DIN “ adalah sebagai berikut :

1. Adab Guru

Adab guru terdiri dari dua kata yakni adab dan guru. Menurut bahasa, Adab memiliki arti kesopanan, kehalusan, dan kebaikan budi pekerti, akhlak (KBBI, 1976: 5). M. Sastra Praja menjelaskan bahwa, adab yaitu tata cara hidup, penghalusan atau kemuliaan kebudayaan manusia. Sedangkan menurut istilah, adab adalah suatu ibarat tentang pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala sifat yang salah (Rajasa, 2003: 309).

(28)

jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia itu sendiri ( Rahmaniyah, 2010: 59).

Sedangkan Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Moral sering didahului kata kesadaran, sehingga menurut Ahmad Charris Zubair mengatakan bahwa kesadaran moral merupakan faktor penting untuk memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, dan perbuatannya selalu sesuai dengan norma yang berlaku. Moral Menurut Istilah adalah suatu istilah digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar atau buruk (Nata, 2013: 78- 79).

Adab, etika dan moral sama-sama mengacu kepada ajaran tentang perbuatan, tingkah laku, dan merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk menakar martabat dan harkat kemanusiaannya serta merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang dengan membutuhkan pengembangan berupa pendidikan, pembiasaan dan keteladanan secara terus-menerus.

(29)

Dengan demikian, adab merupakan pedoman untuk membimbing orang agar berjalan dengan baik juga berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.

Sedangkan guru merupakan orang yang melakukan tugas mengajar. Dalam istilah lain guru bisa disebut juga dengan pendidik sesuai dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat (2) menyebutkan pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi ( Kudrat, 2009 : 25).

Jadi, adab guru adalah suatu aturan mengenai sopan santun yang didasarkan atas aturan agama Islam, yang digunakan seorang guru dalam menjalankan tanggungjawab kedua setelah orangtua dalam hal merngajar, mendidik, membimbing dan mengarahkan anak didik agar menjadi individu yang berkualitas untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

2. Adab Murid

(30)

Sedangkan murid bisa juga disebut dengan peserta didik. Murid adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan (Djamarah, 2000 : 51). Murid dalam UU Sisdiknas 2003 pasal 1 peserta didik atau murid didefinisikan sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu (Yasin, 2008 : 95).

Jadi, adab murid adalah suatu aturan mengenai sopan santun yang didasarkan atas aturan agama Islam dan telah berlaku umum dalam masyarakat yang dijadikan pedoman seorang murid dalam kegiatan mengembangkan potensi diri yang dimilikinya baik dari segi fisik maupun psikologis.

3. Imam Al-Ghazali

Nama lengkapnya Imam al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam besar Abu Hamid al- Ghazali Hujjatul- Islam. Lahir pada tahun 450 H di Atthusyi dan wafat tahun 505 H, dalam usia 55 tahun. (Syakur, 2008 : 33). Beliau adalah seorang kutub tasawuf, pejuang spiritual dan tokoh pendidikan serta tokoh dakwah kepada Allah Swt (al-Qardhawi,t.t : 9).

4. Kitab Al-Adab Fi Al-Din

(31)

Kitab ini dikarang oleh Imam al-Ghazali, beliau dilahirkan di Atthusyi pada tahun 450 H. Kitab yang berisi sebanyak 54 halaman dan berisi sebanyak 11 bab ini sangat ringkas dan mudah dipelajari. Kitab ini sangat dibutuhkan dalam penyempurnaan akhlak manusia untuk mencapai ketinggian sebagai hamba-Nya khususnya bagi guru dan murid yaitu dengan mengetahui dan mengamalkan penjelasan mengenai adab dalam dalam kitab ini.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi ini dengan mudah, maka penulis memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling berkaitanyaitu sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN. Dalam bab ini meliputi: Latar Belakang, Fokus Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian, Telaah Kepustakaan, Penegasan Istilah, Sistematika Penulisan.

BAB II : BIOGRAFI NASKAH. Bab ini menjelaskan tentang riwayat hidup Imam al-Ghazali , yang meliputi: kelahiran, masa muda, masa dewasa, latar belakang pendidikan, karyanya, dan gambaran umum kitab al-Adab Fi al-Din. BAB III : ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-

(32)

ini berisi tentang adab guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din karya Imam al-Ghazali .

BAB IV : ANALISIS ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL- GHAZALI DAN RELEVANSINYA TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN SEKARANG INI. BAB V : PENUTUP. Dalam bab ini memuat kesimpulan penulis dari

(33)

BAB II

BIOGRAFI NASKAH

A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali

1. Lahir

Nama lengkap al-Ghazali adalah Muhamad bin Muhamad bin Muhamad bin Ahmad Atthusyi. Kunyahnya adalah Abu Hamid, Laqobnya adalah Hujjatul Islam. Lahir pada tahun 450 H. Atthusy adalah tanah kelahirannya, merupakan kota di tanah Khurasan daerah yang masih dalam kekuasaan Negara Baghdad ibu kota Iraq, berjarak 10 Parsakh dari kota Naisabur (Syakur, 2008: 33).

Imam al-Ghazali lahir dari keluarga yang cukup sederhana, bahkan bisa dikatakan miskin. Ayah Imam al-Ghazali bernama Muhamad adalah orang sholeh yang selalu menjaga hati dan tangannya dari kemaksiatan, pekerjaannya penenun kain Woll dan menjualnya di toko miliknya yang berada di kota Atthusyi. Ayah al-Ghazali juga memiliki kecenderungan hidup sufistik, ia adalah seorang tipe pecinta ilmu, sehingga di samping menekuni pekerjaannya, selesai berdagang ayahnya seringkali mengunjungi majlis- majlis pengajian dan mendengarkan sesuatu yang diajarkan oleh ulama ahli Fiqih dan ahli nasihat serta berusaha mengamati dan mengamalkan perilaku para Ulama tersebut (Ghafur, 2006: 26).

(34)

Ulama Fuqoha atau Ulama Ahli Petuah, yang mana mereka mau mengajarkan urusan- urusan Agama kepada umat manusia, dan sebagai penunjuk jalan terbaik dunia akhirat. Allah mendengarkan

do’anya dan memberi karunia kepadanya dua orang putra yaitu, Abu

Hamid al-Ghazali dan adiknya bernama Imam Amad al-Ghazali (Syakur. 2008: 33).

Dengan kesadaran bahwa pendidikan memerlukan biaya, sedang Ia miskin, sementara cita-citanya harus dipenuhi, maka menjelang wafatnya, Ia menitipkan al-Ghazali dan adiknya, Ahmad, kepada sahabat dekatnya, seorang sufi agar harta yang ditinggalkannya kelak digunakan untuk biaya pendidikan anaknya tersebut. Ayah al-Ghazali sendiri meninggal ketika al-Ghazali diduga berusia enam tahun. Jelas Ia tidak sempat menyaksikan

‘bintang’ al-Ghazali . Hal ini berbeda dengan Ibunya (Ghafur. 2006: 26-27).

(35)

memenuhi kebutuhan hidup keduanya kecuali makanan pagi dan pakaian untuk belajar di Madrasah tersebut (Syakur, 2008: 34).

Sang sufi melaksanakan wasiat orang tua kedua anak yatim itu dengan baik, keduanya ditinggalkan dalam keadaan fakir dan tidak memiliki harta yang dapat menunjang kebutuhan hidupnya. Kemudian sang sufi mengirim Al-Ghazali dan Ahmad ke Madrasah Nizamiyah Tus yang bisa memberi jaminan biaya pendidikan. Di

Madrasah tersebut Ia belajar Fiqh Syafi’i dan teologi Asy’ariyah di

samping belajar Nahwu-Sharaf pada Ahmad Ibnu Muhammad ar-Razkani at-Tus. Pada waktu itu, usia al-Ghazali masih relatif kecil, yaitu sekitar umur 10 tahun. Namun, sejak itulah terlihat ketinggian derajat keduanya dan al-Ghazali memperlihatkan semangatnya yang menggelora untuk mencari dan mendalami ilmu hingga ke jenjang yang lebih tinggi (Ghafur, 2006: 28).

2. Masa Muda

(36)

Dalam perjalanan kembali ke kampung halaman, al-Ghazali

mengalami peristiwa perampokan di jalan. Imam As’ad al-Maihani

berkata: “Aku mendengar Imam al-Ghazali berkata: Kami dirampok di tengah perjalanan dan mereka mengambil semua barang yang kami bawa kemudian mereka berlalu meninggalkan kami, mereka aku ikuti terus dari belakang, kemudian pimpinan mereka menoleh

kepadaku sambil berkata: Kembalilah kalau kamu tak ingin mati !“

(37)

Selama tiga tahun di kampung halamannya Atthusyi, Ia belajar sendiri meskipun pada saat- saat tertentu Ia juga belajar tasawuf pada Yusuf an-Nassaj (w.487 H). Tokoh inilah yang kelak juga berpengaruh pada diri al-Ghazali sehingga mengambil dan memutuskan jalan sufi (Ghafur, 2006: 29).

Setelah kurang lebih tiga tahun berada di tempat kelahirannya, dalam usia yang ke 20-an, al-Ghazali bersama kelompok pemuda lainnya melanjutkan studi ke Naisapur, masih wilayah Khurasan, ibu kota Turki Saljuk, salah satu daerah terpenting sebagai pusat pemikiran pada dunia Islam ketika itu setelah Baghdad, untuk berguru pada maha guru di tempat tersebut al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain. Disinilah al-Ghazali diperkenalkan dengan berbagai cabang ilmu yang berkembang ketika itu, seperti teologi, Fiqih, logika, filsafat, metode berdiskusi dan lain-lain, sehingga Ia dengan bakat kecerdasan dan ketekunannya mampu menguasai ilmu-ilmu tersebut sampai paham apa yang diungkapkan oleh masing-masing ahli ilmu itu dan bagaimana menolak klaim-klaimnya (Ghafur, 2006: 30).

3. Masa Dewasa

(38)

majlis ta’lim miliknya yang menjadi tempat berkumpulnya para

ulama. Di majelis inilah al-Ghazali berdebat dengan para tokoh Ulama dan menundukkan lawan-lawan bicaranya, ucapannya yang mampu mengalahkan mereka (Syakur, 2008: 36).

Al-Ghazali dalam mengikuti majelis Perdana Menteri Nidzam al-Muluk sangat diterima dengan penghormatan luar biasa, mengingat derajat intelektualnya di mata Perdana Menteri cukup tinggi, dan pandangan-pandangannya yang bagus. Sementara Nidzam al-Muluk sendiri merupakan seorang Perdana Menteri yang sangat menghargai dan memberikan penghormatan yang proposional kepada para Ulama dan orang-orang yang layak dihormati hingga nama Imam al-Ghazali mencuat masyhur. Akhirnya, Nidzam al-Muluk menugaskan al-Ghazali untuk pergi ke Baghdad dalam rangka mengajar di Akademi Nidzamiyah. Seluruh siswa dan para Ulama di sana sangat terkagum-kagum atas penjelasan dan pandangan-pandangannya. Sejak saat itu Ia menjadi Imam penduduk Irak, setelah melewati karir keimanannya di Khurasan (al-Qardhawi, t.t.:187-188).

(39)

tentang bathiniyah. Al-Ghazali dengan tuntas membaca karya-karya filsafat dan aliran-alirannya serta tentang ta’limiyah sehingga lahir beberapa karya mengenai tema tersebut yang bukan hanya bercorak deskriptif tapi juga argumentative. Semua ilmu yang telah dipelajarinya tidak ada yang memuaskan kegelisahan intelektual dan spiritualnya. Menurutnya, tinggal satu jalan yang belum dilaluinya secara serius-intensif dan praktis (pengalaman langsung), yaitu tasawuf. Maka ia membaca beberapa literature tasawuf, melalui tulisan para sufi seperti al-Muhasibi (w. 243 H/ 637 M), al-Junaid (w. 298 H/854 M), as-Shibli (w. 334 H/495 M), al-Bustami (w. 262 H/875 M) dan lain-lain. Dari studinya tersebut ia berkesimpulan bahwa yang penting bagi mereka adalah pengalaman dengan dzauq dan suluk (dan ini belum dicapai al-Ghazali secara maksimal). Sehingga al-Ghazali memastikan bahwa satu-satunya harapan mencapai kepastian dan kenikmatan dalam kehidupan nanti terletak pada jalan kaum sufi (Ghafur, 20006: 34).

(40)

Ketika Imam al-Ghozali menampakkan keinginannya untuk pergi ke Makkah melakukan ibadah haji di Baitullah al-Harom,

beliau berangkat pada bulan Dzulqo’dah tahun 488 H dan meminta

adiknya yang bernama Ahmad untuk menggantikannya dalam urusan mengajar. Setelah dari Makkah beliau pergi ke Damaskus di Syam pada tahun 489 H, tetapi niatnya ke Syam ini tidak Ia tampakkan takut diketahui Kholifah dan teman-temannya, kalau Ia punya azzam untuk bermukim di Syam (Syakur, 2008: 37).

Pilihan al-Ghazali untuk ke Syam dikarenakan keberadaan seorang guru sufi di Damaskus bernama Abu Al-Fath Nasr ibn Ibrahim al-Magdisi an-Nabulisi (w. 490 H/1097 M) yang juga

merupakan sarjana terkemuka madzhab Syafi’i di Syiria. Tujuan

sebenarnya adalah ingin mencurahkan secara penuh pada jalan sufi. Al-Ghazali tinggal selama dua tahun di tempat itu, dan selama itu pula Ia melakukan uzlah, khalwat, riyadhah, dan mujahadah, sebagaimana ajaran tasawuf yang diperolehnya. Perilakunya itu didedikasikan untuk menjernihkan bathin agar mudah berdzikir kepada Allah Swt (Ghafur, 20006: 37- 38).

Sewaktu di Syam, Imam al-Ghazali hanya beribadah di menara masjid dengan mengunci diri di dalamnya, tidak ada kegiatan kecuali hanya uzlah dan menyepi dari banyak orang dan riyadhoh serta mujahadah dengan tujuan membersihkan nafsu dan

(41)

berdzikir kepada Allah Swt. Dari Syam kemudian ke Baitil Maqdis dan kadang ke goa-goa untuk bertapa dan mengunci diri di dalamnya. Beliau berkelana keluar dari tanah Iraq hanya membawa perbekalan sekedar kecukupan dan makanan kekuatan untuk mengganjal perut seorang anak kecil (Syakur, 2008:38). Ketika di Baitul Maqdis, al-Ghazali mengarang kitab al-Ihya’, sekaligus melakukan jihad terhadap nafsu, merubah akhlaknya selama ini, memperbaiki dan menjernihkan kehidupannya (al-Qardhawi, t.t.:188).

Kemudian setelah lama melalang buana, tergerak di dalam hati al-Ghazali untuk melakukan haji dan ziaroh ke makam Rasulullah agar mendapatkan barokah kota Makkah dan Madinah (Syakur, 2008: 38). Sebelum kembali ke Yerussalam dari ibadah haji, kerinduannya yang mendalam terahadap keluarganya tidak terbendung sehingga untuk sementara ia pulang ke Baghdad. Akan tetapi, karena melebarnya perang Salib, al-Ghazali meninggalkan kota tersebut menuju Mesir hingga sampai Maroko (Ghafur, 2006:38).

(42)

adalah cara hidup yang terbaik dan paling tepat dari sisi etika dan budi pekertinya (Ghafur, 2006: 39).

4. Wafat

Setelah selesai melakukan safari spriritual, al-Ghazali menjumpai realitas masyarakat yang mengalami dekadensi moral dan krisis iman. Faktor inilah yang menariknya kembali ke kancah penyebaran ilmu dan melepas baju uzlahnya. Dorongan dari dalam dengan nuansa baru dengan tanpa mengingkari janjinya dan ajakan dari penguasa Saljuk yang baru, Fakhr Mulk, putra dari Nizam al-Mulk, al-Ghazali mengajar kembali di madrasah tersebut selama tiga tahun. Pada periode itulah ia menulis salah satu karyanya dalam

bentuk otobiografi, di samping karya-karya lain (Ghafur. 2006: 39-40).

(43)

Ibnu Asakir mengatakan, “al-Ghazali r.a, pulang ke Rahmatullah, pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. ia dimakamkan di Dzahir, ibu Kota Thabran. Allah SWT telah memberi keistimewaan pada pribadinya dengan berbagai karamah di akhirat, sebagaimana Allah SWT memberikan anugerah keistimewaan dengan diterimanya ilmu Ghazali di dunia. Ibnu al-Jauzi dalam al-Muntadzim mengisahkan, menjelang wafatnya,

sebagian para muridnya meminta, “Berwasiatlah kepadaku wahai guruku”, maka, Al-Ghazali menjawab, “Hendaknya Anda tetap

ikhlas”. Kata-kata ituterus terucap, hingga wafat menjemputnya (al-Qardhawi, t.t.:199).

B. Sistematika Kitab Al-Adab Fi Al-Din

(44)

Kitab al-Adab Fi al-Din ini adalah karangan Imam Abu Khamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali yang diterbitkan satu edisi dengan kumpulan Risalah al-Ghazali (majmu’ul rasa’il) yang terbit di Kairo tahun 1328H/ 1910M, dari halaman 63- 94 (al-Qardhawi, t.t.: 190).

Kitab al-Adab Fi al-Din ditulis kembali oleh Pustaka Al Falah, Ploso Jawa Timur sehingga menjadi kitab yang menjadi bahan ajar santri Pondok Pesantren Poloso Kediri Jawa Timur. Kitab al-Adab Fi al-Din selain juga kitab al-Qowaid al-Asyrah dan Kimiya al-Sa’adah ini sejatinya merupakan kelanjutan dari kitab al-Munqidz Min a- Dhalaal dan Ihya’ Ulumuddin karya dari Imam al-Ghazali khususnya yang membahas mengenai dunia tarekat.

Kitab al-Adab Fi al-Din dimulai dengan basmallah yang menjadi pembukaan dari bagian pertama yaitu muqaddimah dan sebuah pengantar yang menjelaskan sedikit mengenai isi kitab ini.

Secara garis besar penulisan kitab al-Adab Fi al-Din terbagi menjadi beberapa bab yaitu:

BAB I : Adab Muslim. BAB II : Ajar Mengajar. BAB III: Adab dalam Sholat. BAB IV: Adab Puasa-Haji. BAB V: Adab Sehari-hari. BAB VI: Adab Sedekah.

(45)

4. Adab penerima hadiah 5. Adab orang kaya 6. Adab fakir miskin BAB VII: Adab jual beli.

BAB VIII: Adab pinang meminang. BAB IX: Adab suami istri.

BAB X: Adab hubungan dengan kerabat dan masyarakat. BAB XI: Adab jihad.

C. Karya- karya Imam Al-Ghazali

Karena luasnya pengetahuan al-Ghazali, maka sangat sulit sekali untuk menentukan bidang dan spesialisasi apa yang digelutinya. Adapun mata pelajaran yang pernah Imam al-Ghazali pelajari adalah bidang teologi, hukum Islam, falsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya di kemudian hari (Nata, 1997: 159).

(46)

ulama termasuk beliau, adalah merupakan karomah terbesar bagi siapa yang memilikinya. (Syakur, 2008: 46)

Abdurrahman Badawi mengikutsertakan jumlah dan nama-nama kitab Imam Al-Ghazali dalam bukunya, Muallifatul Ghazali, sebanyak 487 judul. Diantara karya-karya itu sebagai berikut :

1. Ihya’ Ulumuddin. Kitab ini diterbitkan ribuan kali, diantaranya diterbitkan di Bulaq tahun 1269, 1279, 1282, 1289 H. Terbit pula di Istanbul tahun 1321 H, di Teheran 1293 H dan diterbitkan Darul Qalam Beirut tanpa tahun.

2. Al-Adab Fi al-Din. Diterbitkan satu edisi dengan kumpulan Risalah Al-Ghazali (majmu’ul rasa’il) yang terbit di Kairo tahun 1328H/ 1910M, dari halaman 63- 94.

3. Kitabul Arba’in Fi Ushuluddin. Terbit di Kairo, tahun 1328 H/ 1910 M, dan diterbitkan oleh al-Maktabah at-Tijariyah Kairo, tanpa tahun. Edisi Indonesia berjudul Teosofia Al-Qur’an, terjemahan Mohammad Luqman Hakiem dan Hosen Arjaz Jamad, diterbitkan penerbit Risalah Gusti, Surabaya, 1996. 4. Asasul Qiyas. Al-Ghazali menyebutnya dalam al-Musthashfa,

Juz I/38, Juz II/238 dan Juz III/325, terbitan Mesir tahun 1324 H/ 1907 M. Tentang kitab ini, juga disebutkan oleh Muhammad Ibnu Hasan al-Husaini al-Wasithy, dalam ath-Thabaqatul Aliyah

(47)

ada di Darul Kutub al-Mishriyah, No.7 dan ada pula di tempat Abdurrahman Badawi, hlm 61.

5. Al-Istiaj. Pernah disebut oleh al-Ghazali dalam kitabnya, Ad-Durratul Fakhirah, hlm 57 dari terbitan kami (Darul Fikr). Adapula yang masih manuskrip Ashfiyah, No. 18 (Tasawuf Arab).

6. Asraru Mu’amalatud-Din. Disebut oleh as-Subky dalam Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, Juz IV, hlm. 116, disebut pula oleh Muhammad Ibnu Hasan dalam Ath-Thabaqqatul

Aliyah Fi Manaqibisy Syafi’iyah, lalu al-Ghazali juga menyebutnya dalam kitab Minhajul ‘Abidin, hlm. 32, serta Abdurrahman Badawi, hlm. 68.

7. Al-Iqtishad fil I’tiqad. Diterbitkan oleh Musthafa Al-Qabbany, Kairo, tahun 1320 H. Adapula pada Hamisy (kitab pinggir) di kitab al-Insanul Kamil, karya al-Jailany atau al-Jily, terbitan Kairo 1328 H. dan satu edisi kumpulan bersama kitab al-Munqidz, al-Madhnun, dan Tarbiyatul Aulad, terbitan Bombay,

tanpa tahun, dan diterjemahkan ke dalam bahasan Spanyol. As-Subky dalam Thabaqat-nya (IV/116) juga menyebutnya, begitu pula Az-Zubaidy dalam al-Ithaf, Juz I/ 41, dan disebut juga dalam ath-Thabaqatul Aliyah.

(48)

Muhammad Ali Athiyah al-Katby, serta tahun 1351 H, diterbitkan Idaratul Muniriyah, diterjemahkan pula ke dalam Spanyol.

9. Al-Imla’ ‘ala Musykilil Ihya’. Diterbitkan di Fes tahun 1302, dicetak juga dalam Hamisy kitab Ithafus Sadatil Muttaqin, karya az-Zubaidy, dan menjadi Hamisy dari sejumlah terbitan

al-Ihya’.

10.Ayyuhal Walad. Terbit dalam satu kumpulan di Kairo, 1328 H.Tahun 1343 H tercantum dalam risalah-risalah Al-Ghazali yang berjudul al-Jawahirul Ghawali min Rasaili Hujjatul Islam al-Ghazaly. Di Istambul juga terbit pada tahun 1305 H, dan di Qazan tahun 1905 M, dengan terjemah bahasa Turki, oleh Muhammad Rasyid. Diterjemahkan pula ke dalam bahasa Jerman oleh Hammer Y. di Wina tahun 1837 M. lantas Tufik Shabagh menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dalam publikasi edisi khusus UNESCO tahun 1951 M, dengan judul Traite Disciple.

11.Albabul Muntahal Fi Ilmil Jadal. Karya ini disebut oleh Ibnu Khalakan, iii/354, dan as-Subky, IV/116 dengan judul: Albabul Muntahal fi Ilmil Jadal. Juga disebut oleh az-Zubaidy dalam Ithafu Sadatil Muttaqin dengan judul Albabul Muntahal fi Jadal,

(49)

12.Bidayatul Hidayah. Berbagai penerbit menerbitkannya, termasuk diantaranya terbitan Bulaq tahun 1287 H, Kairo, 1277 H dan 1303 H. Dalam terbitan yang disertai catatan-catatan Muhammad an-Nawawi al-Jary, terbit di Kairo tahun 1308 H, Bulaq 1309 H, Lucknow 1893 H, Kairo 1306, 1326 H, terbut di Mabady 1326 H, Kairo 1353 H. Maktabatul Qur’an menerbitkannya tahun 1985 M, editor Muhammad Usma al-Khasyat. Kitab ini juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan Jerman.

13.Al-Basith fil Furu’. Diantaranya berbentuk manuskrip dalam Diwan Hindy tahun 1766 M dan Iskorial Cet.1, 1125 H, al-Fatih di Istanbul No. 1500, di Sulaimaniyah No. 629, di College Ali No. 327, Dimyath Umumiyah No. 44. Yang disebut pertama, keempat, kelima dan keenam ada di Perpustakaan Dzahiriyyah No. 174: 176- Fiqh Syafi’I, adapula di Darul Kutub al-Mishriyah No. 27- Fiqh Syafi’I, namun kurang halamannya. Dan pada No. 223- Fiqh Syafi’i.

(50)

15.At-Ta’wilaat. Disebut oleh Brockleman, I/747, No. 21. Diantaranya masih berupa manuskrip di Perpustakaan Aya Sofia Istambul, dalam satu kumpulan manuskrip, No. 2246.

16.At-Tabbarul Masbuk fi Nashaihi Muluk. Bahasa asli kitab ini Persia, dengan judul “Nashihatul Muluk”, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ali Bin Mubarak bin Mauhub, untuk Atabik Alb Qatlaj di Mosul (wafat 595 H). kemudian diterbitkan di Kairo tahun 1277 H. dan diterbitkan sebagai Hamisy kitabnya ath-Tharthusyi, Sirajul Muluk, di Kairo tahun 1306 dan tahun 1319 H.

17.Tahsinul Maakhidz. Mengenai ilmu polemik. Disebut oleh

as-Subky, IV/130, serta dalam “Muallifatul Ghazali” oleh Abdurrahman Badawi, hlm. 10.

18.Talbis Iblis. Disebut oleh as-Subky, IV/116, Thasy Kubra dalam

:”Miftahus Sa’adah”, II/208, Haji Khalifah juga menyebutkan,

namun dengan judul “Tadlis Iblis”, II/254.

19.At- Ta’liqat fi Furu’il Madzhab. Disebut oleh as-Subky, IV/103, dan Abdurrahman Badawi, hlm.1.

(51)

Qadhi Ibrahim Bombay, cetakan Hijr, tahun 1283 H, dari halaman 3 hingga 24. Diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh A.I. Runge, Kiel, tahun 1938. Kemudian diikhtisarkan ke dalam bahasa Spanyol oleh Asim Palacios, dalam El Justo Medio en la Creenzia, Maid, tahun 1929.

21.Tafsirul Qur’anil Adzim. Disebut oleh Az-Zubaidy dalam Ithafu Saadatil Muttaqin, I/34, dan Abdurrahman Badawi, hlm. 53.

22.Tahafutul Falasifah. Diterbitkan di Kairo, tahun 1302 H, 1320 H, 1321 H dan tahun 1955 M. di Boombay diterbitkan tahun 1304 H. diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh C. Calonymus, dan dipublikasikan tahun 527 M. dengan judul Destretio Philosophiac. Naskah tersebut diterbitkan dua kali oleh al-Bunduqiya tahun 1527 M dan tahun 1562 M. terjemahan naskah tersebut ditranskip dari terjemahan bahasa Yahudi. Sementara terjemah ke bahasa Latin, dari bahasa Arab oleh Augustinonivo, dan ia memberi penjelasan atas naskah tersebut, terbut tahun 1497. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa

Perancis oleh Baron Carra de Voux, dalam majalah “Muzion”

yang terbit di Loupan tahun 1899.

23.Tahdzibul Ushul. Diterjemahkan oleh Muhammad ibnul Hasan

(52)

24.Jawabul Ghazaly ‘an Da’wati Mu’ayyidil Muluk lahu li

Mu’awadati at-Tais bin-Nidzamiyah fi Baghdad. Disebut oleh

Daulatsyah dalam at-Tadzkirah, terbitan Edward J. Brown, Leiden tahun 1901, hlm. 99, dan Abdurrahman Badawi, hlm. 30.

25.Al-Jawahir al-Lali’y fi Mutsallatsil Ghazaly. Manuskrip di Darul Kutub al-Mishriyah (No. 55- Huruf).

26.Jawahirul Qur’an wa Duraruh. Terbit di Mekkah tahun 1302 H, di Bombay India tahun 1311 H, di Kairo tahun 1320 H oleh Farj al-Kurdy, dan tahun 1352 H oleh Mathba’ah at-Tijariyah. Edisi Indonesia diterbitkan Risalah Gusti Surabaya, tahun 1995, dengan judul “Jawahirul Qur’an :Permata ayat- ayat suci”, terjemahan Muhammad Luqman Hakiem.

27.Hujjatul Haq. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-Muqidz, terbitan Damaskus tahun 1934, hlm. 118, serta disebut oleh pengarang Ath-Thabaqatul Aliyah. As-Subqy juga menyebut dalam Thabaqat-nya, VI/116, al-Ghazali dalam Jawahirul Qur’an, terbitan Kairo tahun 1933, hlm. 21, serta Abdurrahman Badawi, hlm. 62.

28.Haqiqatul Qur’an. Disebut oleh Ghazali dalam al-Mushtasyfa, I/67. Juga Abdurrahman Badawi, hlm. 62.

(53)

I/754. Naskah berbentuk manuskrip juga ditemukan di Bani

Jami’, 865, dan di Berlin, No. 4859, Spies BAD 21.

30.Al Hikmah fi Makhluqatillah ‘Azza wa jalla. Tercantum dalam

edisi Majmu’atul Rasailil Imam al-Ghazali , Darul Fikr, Bairut, 1996.

31.Khulasatul Mukhtasar wa Niqauhul Mukhtasar. As-Subky

menyebutkan, thabaqat, IV/116, sebuah kitab yang merupakan ikhtisar al-Muzammi dan al-Ghazali sendiri menunjukkan pada kitabnya, al-Ihya’ Ulumuddin, Juz I/ 35, juga dalam “Jawahirul

Qur’an: hlm. 22. Ia berkomentar bahwa kitab Khulasoh tersebut adalah kitab paling kecil diantara karya-karyanya di bidang Fiqh. Adapun pula naskah Ilustratif di akademi manuskrip, No. 174- Fiqh. Asy- syafi’i, yang diperoleh dari naskah Sulaimaniyah, No. 442 dalam 100 paper.

32.Ad-Durjul Marqum bil-Jadawil. Disebut dalam al-Muqidz, terbitan Damaskus tahun 1934, hlm. 118. Mengarang

ath-Thabaqatul Aliyah menyebutnya dengan judul “Al-Jadwalul Marqum, dan Abdurrahman Badawi. hlm. 41.

33.Ad-Durratul Faqirah fi Khasyfi ‘Ulumil Akhirah. Termaktub dalam edisi dalam edisi Majmu’ul Rasail, terbitan Darul Fikr Bairut, 1996, hlm. 509.

34.Ar-Risalatul wa’dziyah.Dinamakan pula dengan “al-Wadziyah”

(54)

-Ghazali , al-Jawahirul Ghawali min Rasailil -Ghazali, Kairo, 1343 H, hlm. 153-9. Dipublikasikan oleh Muhyiddin Sabir al-Khurdi.

35.Dzat Aakhirat. Disebut dalam bukunya Abdurrahman Badawi, hlm. 48, dan diantaranya berbentuk manuskrip di Leiden, No. 2148.

36.Tsiirul ‘Alamiin Wa Kasyifu MaAa Fid-Darain. Diterbitkan di Bombay, 1314 H, Kairo tahun 1343 H. dan 1327 H, terbit pula di Teheran tanpa tahun. Sedangkan Darul Fikr Bairut

menerbitkan dalam Majmu’ul Rasailil Imam al-Ghazali, hlm. 449.

37.Syifaul Ghalil fil Qiyas wat-Ta’lil. Disebut oleh as-Subky, IV/116, Haji Khalifah, IV/54, Abdurrahman Badawi, hlm. 12, dan berupa manuskrip di Darul Kutub al-Mishriyah, No. 154- Ushul Fiqh, di al-Azhariyah, No. (107) 4183- Ushul Fiqh, dalam 181 paper, di Ambruziyana, No. 78 (119 VII).

38.Qawashimul Bathiniyah. Al-Ghazali menyebutnya dalam

Jawahirul Qur’an, hlm. 26, dan Abdurrahman Badawi, hlm. 24.

(55)

40.Kimiya’ as-Sa’adah. Terbit dalam teks Persia di Calcutta tanpa tahun, dan diterbitkan oleh Hijr di Lucknow tahun 1279 H. dan di Bombay tahun 1883 M.

Teks Persia diterjemahkan ke bahasa Turki oleh Musthafa al-Wany. Wafat tahun 1591 M, dan belum sempat dicetak. Adapula manuskripnya di Aya Sofia, No. 1719, 1720, 526. Dan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris dari bahasa Turki oleh H.A. Homes, dengan judul Alcemy of

Happiness, by Mohammed al-Chazzali, the Mohammedan

Philoshope-Albany, New York, 1873.

Sedangkan teks Arab, disebutkan oleh az-Zubaidy dalam al-Ithaf, 1/42, dimana ia menemukannya di sebelah teks Persia

berukuran besar, ada teks Arab yang berukuran kecil dalam 4 kuras (bendel). Teks Arab ini masuk dalam kumpulan Risalah al-Ghazali, yang diterbitkan oleh Musthafa Kurdy, Kairo, tahun 1328 dan 1343 H.

Teks Arab, diterjemahkan pula ke bahasa Turki oleh Musthafa al-Wany, diterbitkan di Istambul tahun 1260. Diterjemahkan pula ke dalam bahasa Urdu di Lucknow tahun 1313 H dan ke dalam bahasa Inggris serta Jerman.

(56)

42.Mihakkun Nadzar fil Fiqh. Disebut oleh al-Ghazali dalam

al-Iqtishad fil I’tiqad, Penerbit al-Mahmudiyah, Kairo (tanpa tahun), hlm. 11, Abdurrahman Badawi, hlm. 6. Ada juga manuskripnya di Darul Kutub al-Mishriyah, Nomor (Majami’-

M. 227) dan Majami’ dibaca – 967.

43.Al-Mustashfa fi Ilmil Ushul. Diterbitkan di Bulaq tahun 1322, dalam dua juz. Pada Hamisynya ada kitab, Faqatihur Rahmawt karya al-Anshary. Diterbitkan juga oleh at-Tiraiyah tahun 1937 dalam dua juz, namun satu jilid.

44.Al-Mustadzhir fir-Radd ‘alal Bathiniyah. Disebut oleh as-Subky, IV/116, dengan judul Al-Mustadzhir fir-Radd ‘alal

Bathiniyah. Al-Ghazali juga menyebutkannya dalam

al-Munqidz, hlm. 118. Ibnu Immad, IV/13. Asim Palacios

menerjemahkan potongan dari kitab tersebut. Abdurrahman Badawi, juga menyebutkan pada hlm. 22.

45.Al-Munqidz minadh-Dhalal. Dicetak di Istambul, tahun 1286 H, dan 1303 H, lantas di Kairo tahun 1309 H, serta pada Hamisy al-Insanul Kamil. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis sampai tiga kali, ke dalam bahasa Inggris dua kali, ke bahasa Turki dan Belanda.

(57)

47.Al-Wasith. Disebut oleh Ibnu Khalikan, III/354, as-Subky,IV/116, Ibnul Immad, IV/12. Ada manuskrip di Pustaka Dimyath, Nomor (Umumiyah: 43- 124/31), dan di Darul Kutub al-Mishriyah, No. 206- Fiqh Syafi’I dalam 4 jilid. Di Pustaka adz-Dzahiriyah, No. 127: 129, 124: 126- Fiqh Syafi’i.

Buku ini diberi syarah oleh Utsman bin Abdurrahman Ibnush Shalah. Syarahnya berjudul Syarhu Syaklil Wasith. Syarah ini ada yang berbentuk manuskrip di Darul Kutub al-Mishriyah dan yang lain di Dimyath, No. 43 (133/4).

Al-Baidhawi meringkas karya tersebut, dan memberi judul dengan al-Ghayatul Qushwa, dan naskahnya ada di Darul Kutub al-Mishriyah, dan Dimyath, No. 48 (312)- Umumiyah. 48.Raudhatuth Thalibin wa Umdatus-Salikin. Ditebitkan oleh Darul

Fikr Beirut dalam edisi Majmu’at Rasailil Imam al-Ghazaly, tahun 1996, hlm. 92. Dalam edisi Indonesia diterjemahkan oleh Mohammed Luqman Hakiem, dengan judul Raudhah: Taman Jiwa Kaum Sufi, diterbitkan Risalah Gusti Surabaya, 1995.

(58)

BAB III

ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM

KITAB AL-ADAB FI AL-DIN

A. Pengertian Adab Guru dan Murid

1. Pengertian Adab

Istilah adab tidak bisa lepas dari dunia pendidikan. Menurut Yasin (2008: 20), Kata ta’dib berasal dari kata aduba–ya’dubu, yang berarti melatih atau mendisiplinkan diri. Atau juga berasal dari kata addaba–yuaddibu–ta’diiban, yang berarti mendisiplinkan atau menanamkan sopan santun.

Kata adab dapat disimpulkan sebagai upaya membimbing, memandu, mengarahkan, membiasakan dan mempraktikkan sopan santun (adab) kepada seseorang agar bertingkah laku yang baik dan disiplin.

2. Pengertian Guru

Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Kata teacher yang berarti pengajar. Selain itu, terdapat dua tutor yang berarti guru pribadi yang mengajar di rumah, mengajar ekstra, memberi les tambahan pelajaran, educator, pendidik, ahli didik, lecturer, pemberi kuliah, penceramah. Istilah yang mengacu kepada

(59)

Demikian juga dalam litetatur pendidikan Islam, seorang guru akrab disebut dengan ustadz, yang diartikan ‘pengajar’ khusus bidang pengetahuan agama Islam (Nata, 2001: 41- 42).

Posisi guru dalam dunia pengajaran sangat urgen. Bisa dikatakan, guru adalah faktor penentu keberhasilan proses pembelajaran yang berkualitas. Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup tanggungjawab, wibawa, mandiri, dan disiplin (Putra, 2016: 26).

Menurut Yasin (2008: 89), dengan menyimpulkan dari berbagai pendapat para ahli pendidikan dalam Islam, telah merumuskan bahwa sifat- sifat yang harus melekat pada seorang pendidik itu dapat disimpulkan sebagai berikut; 1). memiliki sifat kasih dan sayang terhadap peserta didik; 2). lemah lembut; 3). rendah hati; 4). menghormati ilmu yang bukan bidangnya; 5). adil ; 6). menyenangi ijtihad; 7). konsekuen; dan 8). sederhana (Tafsir, 1994: 84).

Jadi, dalam perannya, guru tidak hanya tahu tentang materi yang akan diajarkan. Akan tetapi, seorang guru harus memiliki kepribadian yang kuat, yang menjadikannya sebagai panutan bagi para siswanya.

(60)

3. Pengertian Murid

Kata murid berasal dari bahasa Arab ‘arada, Yuridu iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer), dan menjadi salah satu sifat Allah Swt yang berarti Maha Menghendaki. Pengertian seperti ini dapat dimengerti karena seorang murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia dunia dan akhirat dengan jalan yang sungguh- sungguh (Nata, 2001: 49).

Menurut Yasin (2008: 100-101), istilah peserta didik atau murid dimaknai sebagai orang (anak) yang sedang mengikuti proses kegiatan pendidikan atau proses belajar- mengajar untuk menumbuh-kembangkan potensinya, maka dalam literatur bahasa Arab yang sering digunakan oleh para tokoh pendidikan dalam Islam, antara lain; 1). Mutarabby, mengandung makna peserta didik yang sedang dijadikan sebagai sasaran untuk dididik dalam arti diciptakan, diatur, diurus, diperbaiki melalui kegiatan pendidikan yang dilakukan secara bersama- sama dengan murabby (pendidik); 2). Muta’allim, mengandung makna sebagai orang yang sedang belajar menerima atau mempelajari ilmu dari seorang mu’allim melalui proses kegiatan belajar-mengajar; 3).

Muta’addib, adalah orang yang sedang belajar meniru, mencontoh sikap dan perilaku yang sopan dan santun dari seorang mu’addib, sehingga terbangun dalam dirinya tersebut sebagai orang yang berperadaban; 4).

(61)

intelektualnya melalui proses pembelajaran sehingga memiliki kecerdasan intelektual dan ketrampilan; 5). Muriid, adalah orang yang sedang berusaha belajar untuk mendalami ilmu agama dari seorang mursyid melalui kegiatan pendidikan, sehingga memiliki pengetahuan,

pemahaman dan penghayatan spiritual yang mendalam terhadap nilai-nilai keagamaan, memiliki ketaatan dalam menjalankan ibadah, serta berakhlak mulia.

Pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa murid yaitu setiap orang yang memerlukan ilmu pengetahuan dan membutuhkan bimbingan, pelatihan dari seorang pendidik untuk mengembangkan potensi diri (fitrah) melalui proses pendidikan dan pembelajaran, sehingga tercapai tujuan yang optimal.

B. Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab

Al-Adab Fi Al-Din

1. Adab Ahli Ilmu (al-‘Aliim)

(62)

Imam Al-Ghazali juga menjelaskan dalam kitab Adab Fi

al-Seorang ahli ilmu hendaknya senantiasa belajar atau mendalami ilmu serta mengamalkannya. Selain itu, menjaga kewibawaan dan menjauhkan diri dan meninggalkan dari berbagai hal yang menjerumuskan kepada sikap takabbur termasuk kewajiban seorang ahli ilmu. Ahli ilmu tentu harus memiliki sifat asih terhadap anak didik, berperilaku bijak terhadap orang yang acuh tak acuh, berperilaku baik terhadap orang yang memiliki potensi dibawah standar (balid), meninggalkan sifat sombong tidak memberitahu ketika ditanya murid, membantu menyelesaikan masalah murid dan mendengarkan keluhan anak didik (al-Ghazali, t.t:4-5).

(63)

Seorang pendidik hendaknya mendengarkan permasalahan serta membantu mencari jalan keluar dari permasalahan yang dialami anak didiknya. Dan jangan sombong dengan mengatakan tidak tahu jika ditanya oleh anak didik.

2. Adab Murid dengan Guru

Imam al-Ghazali menyebut murid dengan sebutan kata muta’allim. Secara kodrati, anak memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki anak yang hidup di dunia ini (Yasin, 2008:102). Di samping itu dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 78, dijelaskan :

َصْبَلْْاَو َعْمَّسلا ُمُكَل َلَعَجَو اًئْ يَش َنوُمَلْعَ تَلا ْمُكِتاَهَّمُأ ِنوُطُب نِ م مُكَجَرْخَأ ُهللاَو

ََ َدِئْفَلْْاَو َرا

َعَل

َنوُرُكْشَت ْمُكَّل

“Dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan

tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,

penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (Q.S an-Nahl:78)ُ)ُYunus, 1973:391).

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan status manusia sebagaimana mestinya adalah melalui proses pendidikan. Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang dinginkan, maka peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya.

(64)

bertemu dengan guru, murid hendaklah membiasakan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu kepada gurunya.

ُّلِقَي َو ِم َلََّسلاِب ُهُؤَدْبَ ي

Murid mengucapkan salam terlebih dahulu kepada gurunya, tidak banyak berbicara, bersikap rendah hati ketika berdiri di hadapan guru dan tidak mengadu domba perilaku temannya kepada gurunya. Ketika proses pembelajaran berlangsung, murid tidak boleh bertanya kepadanya temannya, berbicara dengan tutur kata yang baik kepada gurunya, tidak bersikap buruk apabila berbeda pendapat dengan guru dan tidak menarik pakaian yang dikenakan gurunya. Apabila bertanya sesuatu kepada guru, janganlah bertanya ketika di jalan dan ketika bertanya janganlah dengan sikap yang malas (al-Ghazali, t.t.:5).

Di dalam kegiatan belajar-mengajar seorang murid harus bersungguh-sungguh dan meninggalkan kegiatan yang tidak bermanfaat. Pada waktu guru memberikan pelajaran hendaknya seorang murid memperhatikan dengan saksama, tidak boleh bergurau atau berbicara dengan teman lainnya.

(65)

Apabila berbicara dengan guru hendaknya berbicara dengan tutur kata yang baik serta tidak boleh menarik pakaian yang dikenakan gurunya. Ketika ingin menanyakan sesuatu hal, jangan bertanya kepada guru ketika sedang berada di jalan, melainkan menemui guru dengan mendatangi majlis keberadannya. Dan apabila guru sedang melakukan suatu hal, murid hendaknya menunggu sampai guru selesai dalam pekerjaannya.

3. Adab Mengajar Al-Qur’an

ىَلِإ ءاَغصلإاَو ِةمحرلا ُراظتْنِا َو ِمْهَفلا ُتاَصنإو ِرْمَلْا ُُاَمِتْسِاَو ِةَيْشَخلا َةسلج ُسِلْجَي

“Duduklah dalam keadaan takut, mendengarkan perintah ayat,

memahami, mengharap rahmat dari Allah, mendengarkan ayat yang serupa, isyarat waqof, memberi pengertian di awal membaca, menjelaskan hamzah, mengajarkan bilangan ayat, maupun dalam makharijul huruf. Mengambil manfaat intisari Al Qur’an, berperilaku asih kepada pemula, mengabsen siswa yang tidak hadir, memotivasi pelajar yang hadir, meninggalkan mengobrol. Menuntun dalam hal yang membutuhkan tuntunan seperti ketika sholat sendiri atau

berjama’ah” (al-Ghazali , t.t.:6).

(66)

kepada muridnya di awal membaca al-Qur’an, menjelaskan tanda waqof, menjelaskan macam-macam hamzah serta makhrijul hurufnya.

Guru mengaji hendaknya memberikan kasih sayang kepada muridnya, terlebih untuk para pemula. Memberikan perhatian kepada anak didik berupa menanyakan kabar muridnya, mengabsen yang tidak hadir dan memberikan motivasi murid akan menumbuhkan semangat belajar anak didik. Guru hendaknya menjauhkan diri dari perilaku mengobrol, dan hendaknya memberikan tuntunan yang bermanfaat bagi muridnya khususnya menjelaskan tatacara sholat sendiri maupun

berjama’ah.

4. Adab Membaca Al-Qur’an

Adab membaca al-Qur’an adalah tatakrama yang harus dilakukan seorang murid dalam mengaji atau belajar al-Qur’an. Dalam membaca al-Qur’an, murid hendaknya duduk dengan sikap rendah hati menundukkan kepala serta mengumpulkan kefahaman. Sebelum membaca al-Qur’an hendaknya meminta izin kepada guru atau niat beribadah kepada Allah Swt dengan mengawali dengan bacaan

ta’awudz, basmallah dan berdo’a setelah selesai membaca al-Qur’an Selaras dengan yang disampaikan al-Ghazali dalam kitab al-Adab Fi al-Din:

ِتْسِْلإاَو ِسأرلا ُضْفَخَو ِمْهَفلا ُعْمَج و َ ِعُضاَوَ تلا َةسلج ِهْيَدَي َنْيَ ب ُسِلْجَي

ْئ

َِ َءاَرِقْلا َلْبَ ق ُناَذ

(67)

Duduk dalam sikap rendah diri, mengumpulkan kefahaman, menundukkan kepala, meminta izin sebelum membaca kemudian

membaca ta’awudz, membaca basmallah, dan berdo’a setelah membaca Al Qur’an” (al-Ghazali, t.t.:6). “

5. Adab Mendidik Anak Kecil

(68)

Sebagaimana tugas kedua orangtua dalam memberikan contoh perilaku yang baik kepada anaknya, pendidik juga memiliki tugas memelihara, mengatur, memperbaiki suatu potensi yang dimiliki anak didik agar tumbuh dan berkembang menjadi dewasa atau sempurna. Al-Ghazali menyebutkan bahwa dalam mendidik anak kecil, seorang pendidik hendaknya selalu memberikan contoh perilaku yang baik, agar mampu menjadi teladan bagi anak didiknya. Karena, anak didik terutama anak kecil cenderung akan memperhatikan, mendengarkan dan akan meniru segala sikap gurunya.

Dalam menghadapi anak kecil, pendidik hendaklah menjaga sikap kewibawaannya sehingga dapat disenangi anak-anak. Apabila memberikan hukuman kepada anak didik, hendaklah tidak dengan memukul. Meskipun hukuman yang diberikan kepada anak didik adalah berupa pencegahan dan peringatan guru demi perbaikan diri anak didik hendaknya diutarakan dengan tutur kata yang baik. Dengan perlakuan yang sopan dan lemah lembut, murid akan lebih berani untuk meminta maaf.

Referensi

Dokumen terkait

Alur Mediasi dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016, Kehadiran Para Pihak Berperkara.Apabila dua pihak yang berperkara hadir, atau apabila parapihak berperkara lebih dari satu dan

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik5. Jadwal Ujian KKL PeriodeNovember 2014

Umumnya karya tersebut merupakan reproduksi ulama sebelumnya, baik bersifat pembuktiandan editing (tah}qi>q), perbandingan (muqa>ranah), maupun pengembangan.. Usaha

Berdasarkan analisis outer model, dapat diketahui indikator yang paling berpengaruh untuk persepsi dengan skor 25,282 adalah “Variasi dari pembelian online” dengan

Berdasarkan hasil pengujian kekuatan tarik kulit ikan nila samak pada Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa kulit ikan nila samak dengan menggunakan enzim papain sebagai bating agent

Dalam konteks ini penglibatan individu dalam sesuatu isu kesihatan diandaikan mempunyai hubungan yang signifikan dengan proses pendedahan kepada maklumat kesihatan, usaha

(3) Gaya kepemimpi- nan yang paling dominan yang dimiliki kepala sekolah SD, SMP, dan SMA Negeri di Kota Ma- lang adalah: (a) secara keseluruhan jawaban yang paling banyak

LKS eksperimen merupakan suatu media pembelajaran yang tersusun secara kronologis yang berisi prosedur kerja, hasil pengamatan, soal- soal yang berkaitan dengan kegiatan praktikum