• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekaligus menggiring manusia memasuki era globalisasi ini, agaknya memiliki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekaligus menggiring manusia memasuki era globalisasi ini, agaknya memiliki"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan teknologi yang pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir yang sekaligus menggiring manusia memasuki era globalisasi ini, agaknya memiliki kontribusi yang tidak kecil artinya bagi terjadinya perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Kecanggihan teknologi yang menyertai kehidupan manusia, seperti hadirnya berbagai fasilitas sarana dan prasarana yang nyata, sempurna baik transportasi, telekomunikasi dan informasi ini membanggakan sekaligus perlu diwaspadai.

Selanjutnya dapat dipandang membanggakan karena mengingat hasil olah pikir manusia sampai sejauh ini telah banyak menguak tabir misteri alam ciptaan-Nya, melahirkan sekian banyak alternatif yang esensinya memperkaya wawasan pengetahuan manusia itu sendiri dan menguntungkan manusia, karena semakin mudahnya menjalani mekanisme kegiatan sehari-hari.

Kaum muda-mudi mengadopsi perkembangan teknologi dengan mudahnya sehingga budaya instan terbentuk secara cepat. Arus informasi sangat mudah untuk diakses sehingga pertukaran ilmu pengetahuan tidak mengenal jarak dan waktu. Seseorang akan sangat tertinggal jika tidak beradaptasi dengan laju ilmu pengetahuan dan teknologi dengan baik. Perkembangan teknologi mempermudah kita dalam mengerjakan ataupun menyelesaikan suatu pekerjaan. Pekerjaan yang sulit menjadi mudah dikerjakan karena yang seharusnya melalui beberapa tahap dapat diselesaikan

(2)

dengan hanya satu tahap saja. Hal ini mendorong seseorang untuk lebih mudah memberikan bantuan terhadap orang lain karena biaya atau pengorbanan yang dikeluarkan sedikit. Sesuai pendapat Staub (1958) yang menyatakan bahwa makin besar biaya yang dikeluarkan untuk menolong, maka makin kecil kemungkinan orang akan melakukan perilaku prososial, apabila dengan pengukuhan yang rendah. Sebaliknya bila biaya rendah pengukuhan kuat, orang akan lebih siap menolong.

Seseorang yang mempunyai pengalaman positif dalam memberikan pertolongan, akan menyebabkan orang kembali melakukan perilaku prososial dan pengalaman yang pahit akan cenderung orang akan menghindari perilaku prososial. Orang yang dalam suasana hati yang menggembirakan, akan lebih suka menolong. Sebaliknya orang dalam suasana hati yang sedih, orang cenderung akan menghindarkan diri dalam memberi pertolongan. Proses psikologis ini biasanya sering terjadi dalam pengambilan keputusan seseorang untuk melakukan perilaku prososial atau tidak (Mustofa, 2003).

Secara umum perilaku prososial merupakan perilaku yang bertujuan memberi keuntungan pada penerima bantuan tanpa adanya kompensasi imbal balik yang jelas atas perilaku tersebut. Hal serupa diungkap oleh Baron & Byrne (1994), yang menyatakan bahwa perilaku prososial dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. Bentuk perilaku prososial dapat berupa memberi kemudahan terhadap orang lain seperti memberikan pinjaman uang pada tetangga yang membutuhkan, meminjamkan kendaraan tetangga yang sedang membutuhkan, menyingkirkan pohon yang tumbang di jalan dan lain-lain.

(3)

Di sisi lain perkembangan yang sangat pesat mengakibatkan munculnya pergeseran nilai. Ketersediaan sarana dan prasarana teknologi modern membuat akses terhadap tayangan yang berbau anarkis (kriminalitas), sek bebas dan narkotika sangat mudah didapat, dan menjadi hal yang sudah biasa. Setiap hari tidak henti-hentinya stasiun-stasiun televisi swasta menyuguhkan berita-berita dengan peristiwa mencengangkan. Hal ini menggambarkan bahwa semakin pudarnya perilaku prososial dan berganti ke arah hal-hal yang sifatnya negatif seperti individualistik yang berlebihan, acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar, berorientasi pada uang (matrealistic), munculnya kemalasan dan lain-lain. Perilaku negatif ini juga diungkap Karimasari (Kompas, 2005) dalam “Menelanjangi Alih Teknologi” yang ulasannya sebagai berikut :

“apabila ketergantungan teknologi ini sudah semakin tinggi, maka kreativitas masyarakat dan anak sekolah akan merosot akibatnya kemalasan untuk bersusah payah pun muncul, juga mengembangkan perilaku acuh, pasif, dan penolakan terhadap masalah-masalah yang dihadapi”.

Perilaku acuh dan pasif seperti yang telah diungkap tersebut diatas dapat kita lihat dalam perilaku yang ditunjukkan oleh pelajar asal Bandung. Remaja putri terekam kamera bersikap masa bodoh dan acuh melihat seorang nenek terpeleset di toilet dan meninggalkan dompet nenek yang tertinggal (www.kompas.com.2002). Ketidakpedulian ini merupakan hal yang paling mendasar dalam menggambarkan bahwa perilaku tersebut diatas merupakan sebuah penolakan terhadap masalah-masalah yang dihadapi termasuk di dalamnya perilaku acuh dan pasif.

Keberadaan teknologi dianggap sebagai pedang bermata dua, sebagai pengembang sekaligus penghancur nilai yang dulu diyakini lebih bermoral. Idealnya

(4)

dalam kehidupan bermasyarakat individu diharapkan dapat beradaptasi secara lebih baik dari tata nilai keagamaan serta etika bermasyarakat yang ada, yakni salah satunya dengan melakukan perilaku prososial secara nyata.

Kesadaran untuk berperilaku prososial dapat muncul secara lebih kongkrit dan nyata bila didorong oleh kesadaran untuk melakukan perilaku tersebut secara konsisten. Kesadaran untuk melakukan perilaku secara konsisten berlaku pada setiap individu yang beragama. Setiap orang yang menjaga konsistensi dalam beragama akan mendorong kesadaran berperilaku prososial.

Naluri beragama seseorang dalam beragama atau orientasi keagamaan seseorang dapat memunculkan pandangan hidup dan perilaku-perilaku yang sesuai dengan ajaran agama. Menurut Nurani (Yahman, 1999) bahwa orientasi keagamaan adalah suatu kondisi dinamis dari sistem mental yang terbentuk melalui pengalaman yang diolah dalam kepribadian untuk mengadakan tanggapan yang tepat terhadap konsepsi pandangan hidup dan pengendalian tingkah laku. Orientasi agama umumnya berupa konsepsi pandangan hidup dan pengendalian tingkah laku yang baik, misalnya seperti berbuat baik, berkata jujur, menjunjung kebenaran, dan tolong-menolong antar sesama manusia.

Pengalaman keagamaan memberikan keteguhan pada langkah yang diambil seorang yang taat pada agamanya. Keteguhan pada langkah ini merupakan wujud keyakinan seseorang dalam menjalankan agama secara benar. Pengalaman keagamaan secara personal lebih mementingkan internalisasi nilai-nilai keagamaan yang diperoleh dalam berupaya untuk melaksanakan pada tingkat penghayatan tentang ajaran dan nilai-nilai keagamaan secara lebih mendalam. Perilaku yang

(5)

muncul merupakan representasi dari ajaran agama yang dijalankan secara menyeluruh karena tidak ada agama yang hanya menyuruh pemeluknya dengan setengah-setengah dalam menjalankan ajaran agamanya. Hakekat agama adalah pada amal yang diyakini oleh para pemeluknya, sehingga perilaku prososial tercipta dengan sendirinya jika ajaran agama dipahami secara komprehensif.

Perilaku seseorang dalam menjalankan orientasi keagamaan seringkali mempunyai perilaku yang absurd artinya perilaku nyata yang nampak cenderung memberikan perilaku yang tidak konsisten dengan nilai ataupun keyakinannya. Misalkan, gara-gara ditegur tidak puasa dan merokok di depan umum, puluhan remaja kampung Cikeas dan kampung Gunung Batu, Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Bogor, terlibat tawuran (Tempo, 2003). Salah satu warga kampung Cikeas menceritakan tentang kronologisnya sebagai berikut :

“Pemuda itu maksudnya baik, menegur orang yang tidak berpuasa apalagi merokok di depan umum. Tetapi rupanya remaja tadi tidak terima ditegur. Ia kemudian menghasut teman-temannya dengan menceritakan ke temannya hal yang lain, akhirnya terjadi tawuran,” jelas Dedi.

Tindakan tawuran tersebut diatas sama sekali bukan pencerminan orientasi keagamaan yang diharapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Orientasi keagamaan yang pada dasarnya melekat pada setiap individu sebagai way of live. Tindakan yang ditunjukkan peristiwa diatas menyebabkan tidak jelasnya konsistensi keagamaan seseorang, terkadang agama menjadi pegangan atau norma yang harus dijalankan akan tetapi suatu saat menjadi hilang karena lebih mengedepankan faktor lain seperti perasaan emosi agresi.

(6)

Munculnya perilaku prososial biasanya juga terdapat pada individu yang mempunyai karakteristik kepribadian harga diri yang tinggi, rendahnya kebutuhan akan persetujuan orang lain, tanggung jawab yang tinggi, memiliki kontrol diri yang baik, dan tingkat moral yang seimbang. Harga diri secara spesifik memberikan andil yang besar dalam munculnya perilaku prososial sacara nyata. Perilaku yang dianggap bernilai oleh masyarakat maka dapat meningkatkan harga diri tetapi jika kurang dihargai maka dapat menimbulkan konflik dengan nilai yang dianut dan selanjutnya dapat menurunkan harga diri. Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi mempunyai hubungan interpersonal yang baik dengan individu lain sehingga memudahkan individu dalam memunculkan perilaku prososial.

Penerimaan, penghargaan serta perlakuan yang baik dari lingkungan memberikan dampak positif lahirnya harga diri. Menurut Koentjoro (dalam Primaningrum 1999), menyimpulkan bahwa harga diri merupakan bagian dari konsep yang mengarah pada kebahagiaan diri yang dirancang dan dilakukan individu yang sebagian berasal dari interaksinya dengan lingkungan, penerimaan dan perlakuan orang lain yang ditujukan pada dirinya serta di dalamnya terkandung adanya perasaan menyukai dirinya sendiri. Seperti seseorang yang menempatkan dirinya sebagai seorang tokoh terpandang dalam masyarakat. Dinamika psikolgis yang berkembang mengindikasikan adanya perasaaan menyukai diri sendiri dan penghargaan terhadap dirinya. Penghargaan terhadap diri ini menjadi salah satu prioritas dalam pembentukan perilaku seseorang.

Berkaitan dengan prososial, harga diri menurut Staub (1958) terdapat faktor personal yaitu (Self-gain) keinginan untuk memperoleh penghargaan dan

(7)

menghindari kritik. Artinya dalam proses munculnya perilaku seseorang akan cenderung untuk memperhatikan keinginan-keinginan seperti, penghargaan dan menghindari kritik terhadap dirinya. Sehingga perilaku prososial menjadi prioritas utama perilaku yang muncul.

Fenomena yang berkembang harga diri yang tinggi memberikan dampak yang berbeda dengan apa yang diharapkan. Harga diri menjadi salah satu faktor penghambat munculnya perilaku prososial, hal ini seperti yang dialami oleh siswa kelas 3 SMA di Banjarmasin. Sebut saja Bunga yang tega menolak permintaan teman-temannya untuk meminjami mobil untuk membawa Santi ke RSU gara-gara belum mengembalikan uangnya (www.kompas.com. 2004).

Peristiwa tersebut di atas menunjukkan bahwa harga diri mendorong manusia pada munculnya perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma agama. Secara spesifik pertimbangan yang bersifat pribadi mempunyai peran yang signifikan dalam memunculkan perilaku yang tidak sesuai norma agama, khususnya perilaku prososial.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, timbul permasalahan yakni apakah ada hubungan antara orientasi keagamaan dan harga diri dengan kecenderungan perilaku prososial? Bertitik tolak rumusan permasalahan, penulis mengajukan judul “Hubungan Antara Orientasi Keagamaan dan Harga Diri dengan Perilaku Prososial”.

(8)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan, antara lain ingin mengetahui :

1. Hubungan antara orientasi keagamaan dan harga diri dengan perilaku prososial 2. Hubungan antara orientasi keagamaan dengan perilaku prososial.

3. Hubungan atara harga diri dengan perilaku prososial.

C. Manfaat Penelitian Manfaat yang di harapkan dalam penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan disiplin Ilmu sosial dan perkembangan teori psikologi pada umumnya.

2. Bagi Ilmuan Psikologi, untuk meningkatkan kualitas penelitian lebih lanjut khususnya yang berkaitan dengan perilaku prososial dengan harga diri dan orientasi keagamaan. Ilmuan Psikologi ataupun peneliti lain yang tertarik dengan tema yang terkait dengan variabel yang sedang diteliti diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini secara komprehensif.

3. Bagi subjek penelitian, dapat dijadikan informasi sebagai dasar pengetahuan yang berkaitan dengan perilaku prososial kaitannya dengan orientasi keagamaan dan harga diri.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Zat pengatur tumbuh auksin dan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) memiliki fungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dan memberikan hasil produksi yang lebih

Hasil penelitian adalah sebagai berikut : (1) peran kepala sekolah dalam mengembangkan kultur sekolah, yaitu sebagai kepemimpinan, sebagai inovator, sebagai

Agar kontras dan harmoni dengan lingkungan sekitar tapak, maka konsep warna pada bangunan islamic centre menggunakan warna-warna dominan yang digunakan pada bangunan

- Jika Anda akan menggunakan power listrik dalam jangka waktu yang lama lebih dari 3 jam, Anda bisa memperpanjang usia baterai dengan melepasnya dan menyimpannya dalam

Dalam konteks ini, langkah kerjasama dalam bentuk kemitraan usaha merupakan suatu strategi untuk dapat mengembangkan industri kecil dan secara moril kerjasama

Beberapa karakteristik yang harus dipenuhi suatu material yang digunakan sebagai katoda antara lain material tersebut terdiri dari ion yang mudah melakukan

12 Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara secara langsung kepada Juru Pelindung Pengembangan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Gapura Masjid Wali

Input yang digunakan pada program analisa biaya dalam pengambilan keputusan beli-sewa backhoe adalah untuk database program, perhitungan biaya kepemilikan,