• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Resiliensi adalah kapasitas individu untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat diri dan tetap melakukan perubahan sehubungan dengan masalah atau ujian yang dialami, setiap individu memiliki kapasitas untuk menjadi resilien. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau bertahan ditengah lingkungan dengan tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, hal tersebut menunjukkan adanya kemampuan tertentu dalam diri individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade & Frederikson, 2004, hlm. 4). Penelitian yang dilakukan oleh Reivich di Universitas Pennsylvania selama kurang lebih dari 15 tahun menemukan bahwa resiliensi memegang peranan yang penting dalam kehidupan, karena resiliensi merupakan faktor esensial bagi kesuksesan dan kebahagiaan (Reivich and Shatte,2002, hlm. 11). Pengembangan resiliensi merupakan salah satu cara membantu remaja terhindar dari resiko-resiko ekstrim yang dialami oleh remaja. Dalam penelitiannya, Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan pentingnya resiliensi untuk mengatasi hambatan-hambatan pada masa kecil seperti keluarga yang berantakan, kehilangan orang tua, kemiskinan, diabaikan secara emosional ataupun siksaan fisik.

Sesuai dengan yang diutarakan Hurlock (1980, hlm. 193) masa remaja dianggap sebagai priode badai dan tekanan, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi akibat dari perubahan hormonal. Itu artinya masa remaja itu perlu didampingi oleh orang yang tepat dalam perkembangan hormon, fisik dan psikisnya, dalam menghadapi hal yang amat sederhana hingga hal yang rumit yang dapat mempengaruhi semangat dan motivasinya untuk berprestasi dan berkarya, apalagi jika remaja dihadapkan pada kondisi yang tidak menyenangkan bagi dirinya (adversif). Berbagai kendala atau peristiwa kemalangan yang terjadi pada remaja disebut adversitas (Linley & Joseph, 2004, hlm. 5). Ada individu yang mampu bertahan dan pulih secara efektif

(2)

namun ada pula individu yang gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Permasalahan yang berkaitan dengan resiliensi ini banyak terjadi dikalangan pelajar atau remaja, berbagai permasalahan yang timbul di usia remaja sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Konflik pada diri remaja yang diakibatkan oleh tidak siapnya remaja dalam menghadapi harapan akan kenyataan yang terjadi pada dirinya dan lingkungannya menjadi salah satu penyebab permasalahan.

Thoresen and Eagleston (Roberson, 1985, hlm. 5) menyatakan bahwa anak atau remaja yang menghadapi seperangkat tuntutan tanpa kemampuan yang memadai akan meresponnya dengan cara yang berbahaya atau maladaptif. Dalam area kognitif, ketidakseimbangan antara tuntutan dengan kemampuan ini dapat mengakibatkan perasaan rendah diri dan selalu merasa gagal. Hurlock (1980, hlm. 213) mengungkapkan sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Pada masa remaja, siswa berpotensi untuk mengalami masalah-masalah emosional dan berperilaku dalam bentuk yang beragam. Siswa mungkin menjadi suka menentang atau mungkin menunjukkan (a) kemurungan, (b) marah, (c) sensitif, (d) agresif, (e) ambivalensi, (f) kesulitan konsentrasi, (g) kurang berpartisipasi, (h) meningkat dalam hal melakukan aktivitas beresiko, atau (i) kelelahan. Perilaku-perilaku yang dapat mengarah pada berbagai bentuk dalam adegan sekolah (Stanley, 2006, hlm. 40).

Siswa-siswa yang masuk dalam kategori remaja merupakan suatu usia yang rentan karena pada usia ini remaja berada pada masa transisi, mereka membutuhkan dukungan dan bimbingan dari orang-orang sekitarnya, dan mereka juga membutuhkan model dalam pengembangan dirinya. Menurut Santrock (2003, hlm. 17) remaja masa kini menghadapi tuntutan dan harapan, demikian juga bahaya dan godaan, yang tampaknya lebih banyak dan kompleks ketimbang yang dihadapi remaja generasi yang lalu.

Schoon (2006, hlm. 5) mengungkapakan bahwa adversitas dapat membawa remaja pada resiko, remaja beresiko (at-risk adolesecnce) biasanya menjadi remaja yang rentan (vulnerable adolesence) dan remaja yang demikian

(3)

memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjadi remaja bermasalah (troubled adolesence). Adversitas ini dapat menjadi pemicu utama timbulnya konflik dan masalah psikologis bagi remaja. Adversitas berupa musibah, keadaan tidak sesuai harapan atau sulit, pengalaman buruk, kejadian tidak menyenangkan, serta stressor yang dianggap berat dan dapat menyebabkan trauma.

Beberapa kasus yang terjadi pada remaja abkibat dari masalah yang di alami oleh remaja itu sendiri yang disebabkan lemahnya resiliensi diri remaja yang berujung kepada obat-obatan dan alkohol, Kevin 2010 (legalinfo.com) sesuai laporan terbaru yang diterbitkan oleh berbagai sumber, ada sejumlah besar anak-anak yang berjuang setiap hari dengan tekanan teman sebaya dan berakhir bereksperimen dengan obat-obatan dan alkohol dan membuat pilihan yang merusak mereka.

Atikel Remaja dan Narkoba. 20 Oktober 2014 (dalam situs Bnn.go.id). Tahun 2013, Badan Narkotika Nasional menyimpulkan bahwa sebanyak 50 jiwa dari 4,55 juta penduduk Indonesia meninggal karena narkoba. Hal ini terjadi karena peredaran narkoba di Indonesia makin luas dan tak terkendali dan pemerintah Indonesia belum mampu menumpang gembong narkoba sampai akarnya. Pencandu narkoba itu pada umumnya berusia antara 11 sampai 24 tahun. Artinya usia tersebut ialah usia produktif atau usia pelajar. Narkoba juga salah satu ujung dari pelarian siswa dalam menghadapi tekanan dan masalah dalam hidupnya, hal ini tentu di akibatkan oleh lemahnya resiliensi diri remaja tersebut.

Deputi pencegahan. 2013. (dalam Bnn.go.id.) salah satu faktor yang menyebabkan seorang remaja terlibat penyalahgunakan narkoba adalah stress. Anak-anak bisa mengalami depresi jika mendapatkan tekanan yang bertubi-tubi. Terkadang orangtua tidak mempedulikan keinginan melakukan apa yang disukai seorang anak. Apalagi jika orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaan dan urusan pribadinya. Situasi inilah yang membuat anak lari menggunakan narkoba untuk mencari ketenangan sesaat. Zaleski (Wilks, 2008, hlm. 107) menemukan bahwa jumlah peristiwa dalam kehidupan yang penuh stres megalami peningkatan pada saat seseorang berstatus sebagai pelajar.

(4)

Berdasarkan hasil penelitian Karina (2014) menjelaskan bahwa di kota Malang pada remaja pada usia 12-22 tahun yang berada pada kondisi orang tuanya bercerai, memiliki tingkat resiliensi yang cenderung rendah sebanyak (30,56 %) dari jumlah total subjek sebanyak 72 orang. Tingkat resiliensi seorang remaja adalah bersifat fluktuatif, artinya tingkat resiliensi seseoranng dapat dikategorikan tinggi maupun dikategorikan rendah tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya yakni antara lain faktor protektif (protective factor) dan faktor resiko (risk factor). Perceraian orang tua merupakan salah satu yang termasuk dalam faktor resiko, perceraian ini dapat secara langsung mampu memperbesar tingginya potensi resiko bagi individu dan meningkatkan kemungkinan perilaku negatif pada diri seorang remaja.

Penelitian yang dilakukan oleh Castro (2011) terhadap 937 orang siswa di texas selatan yang mengikuti program berbasis kecerdasan emosional keseluruhan siswa termasuk dalam kategori remaja beresiko dan 34% diantarannya berasal dari keluarga dengan status ekonomi yang rendah, hasil pretes menunjukan bahwa 25% remaja menunjukan resiliensi pada kategori

under-average, 57% diantaranya berada pada kategori average, dan sisanya sebanyak 18% berada pada kategori above-average.

Berdasarkan analisis data yang telah dikumpulkan dari hasil penyebaran instrumen terhadap sampel penelitian maka diperoleh gambaran mengenai profil resiliensi diri siswa kelas X MAN Kinali Pasaman Barat. Hasil penelitian diklasifikasikan dalam dua kategori resiliensi, yaitu resiliensi diri yang lemah dan resiliensi diri yang kuat. Hasil pre test menunjukkan bahwa pada umumnya gambaran konsep diri siswa cenderung kuat, hal ini dapat dilihat dari distribusi frekuensi seluruh siswa kelas X, terdapat 93 siswa (75%) yang memiliki resiliensi diri yang kuat, dan 30 siswa (24%) memiliki resiliensi diri yang lemah. Namun bukan berarti siswa yang memiliki resiliensi yang kuat dapat dikatakan akan selalu memiliki resiliensi yang kuat, ada kemungkinan ketika mereka mengalami tekanan masalah akan menjadi kategori resiliensi yang lemah.

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan, maka kemampuan bertahan dan bangkit tersebut perlu dikembangkan yang disebut sebagai

(5)

resiliensi atau daya lentur. Daya lentur (resilience) merupakan kapasitas manusiawi yang dimiliki seseorang dan berguna untuk menghadapi, memperkuat diri atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan (traumatik) menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi (Juke, 2003, hlm. 63). Tanpa adanya resiliensi tidak akan ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas, tidak ada insight (Desmita, 2013, hlm. 227). Kemampuan individu dalam kesiapannya menghadapi tantangan hidup yang serba tak pasti dan daya saing yang ia miliki salah satunya ditentukan dengan kemampuan individu dalam menghadapi permasalahan yang dihadapinya.

B. Identifikasi Dan Rumusan Masalah

Sebagian siswa atau remaja memiliki masa lalu yang kurang menguntungkan bagi perkembangan mereka. Bahkan setiap individu pernah mengalami berbagai peristiwa yang kurang menyenangkan tetapi tidak dapat dihindarkan. Setiap individu pernah mengalami kegagalan dan masa-masa yang penuh dengan kesulitan. Masa lalu memang tidak dapat diubah, tetapi pengaruh negatif masa lalu dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Untuk tujuan tersebut resiliensi individu perlu dikembangkan. Pengembangan resiliensi sangat bermanfaat sebagai bekal dalam menghadapi situasisituasi sulit yang tidak dapat dihindarkan.

Beberapa dari hasil studi penelitian mengenai resiliensi mangatakan bahwa beberapa individu tetap baik-baik saja meskipun telah mengalami situasi yang sarat adversitas dan beresiko, sementara beberapa individu lainnya gagal beradaptasi dan terperosok dalam adversitas atau resiko yang lebih berat lagi (Schoon, 2006, hlm. 9). Sedangkan hasil penelitian lain mengungapkan bahwa rendahnya tingkat resiliensi dalam diri individu akan menimbulkan kerentanan terhadap resiko dari adversitas. Masten 1994 (dalam Davis, 1999, hlm. 1) melakukan penelitian longitudinal dan cross sectional. Topik yang diteliti adalah tingkat resiliensi anak dikaitkan dengan berbagai permasalahan keluarga disfungsi seperti orangtua dengan gangguan jiwa, kesulitan finansial, ibu remaja, penyakit kronis, kriminalitas, penelantaran dan penganiayaan. Setelah 20 tahun masa penelitian diperoleh hasil yang mengindikasikan bahwa

(6)

anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsi, atau yang mengalami penelantaran dan penganiayaan cenderung memiliki resiliensi diri yang rendah dan tumbuh menjadi orang dewasa yang rentan, dikarenakan dalam perkembangannya lebih banyak peristiwa yang memicu stress dan kurang mampu mengatasi tekanan yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut.

Liquanti (1992, hlm. 2) menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dimana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perubahan dalam lingkungan. Mereka juga senantiasa terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan akademik, depresi, stres berkepanjangan, perilaku menyimpang dan gangguan mental. Artinnya resiliensi merupakan potensi yang sudah dimiliki oleh setiap individu yang perlu dijaga dan dikembangkan.

Dalam mengembangkan resiliensi remaja untuk siap menghadapi tekan dan pemasalahan tersebut memerlukan sebuah upaya bantuan. Sebagai bagian integral dalam pendidikan, bimbingan dan konseling memegang peranan penting dalam membantu siswa mengatasi berbagai permasalahan pribadi yang dapat menghambat perkembangan siswa. Salah layanan yang dapat digunakan dalam bimbingan dan konseling adalah bimbingan kelompok. Dalam beberapa penelitian bimbingan kelompok terbukti dapat membantu mengoptimalkan dan meningkatkan atau pengembangkan potensi siswa, seperti yang sudah dilakukan oleh Aini, L. K, & Nursalim, M (2012) bahwa bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama mampu meningkatkan kemampuan interaksi siswa dilingkungan sekolah dari hasil penelitain dapat dijelaskan nilai p=0,01 < α= 0,05, maka Ho ditolak dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh posotif penggunaan bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama terhadap peningkatan kemampuan interaksi sosial pada siswa kelas VII SMP.

Aswida. W. dkk. (2012) juga menggunakan bimbingan kelompok untuk mengurangi kecemasan berkomunikasi siswa. Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan pembahasannya maka dapat ditarik kesimpulan: 1) tingkat kecemasan berkomunikasi siswa sebelum diberikan layanan bimbingan kelompok berada pada kategori tinggi. 2) tingkat kecemasan berkomunikasi siswa setelah diberikan layanan bimbingan kelompok berada pada kategori

(7)

rendah. 3) terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan berkomunikasi siswa sebelum dan setelah diberikan layanan bimbingan kelompok, dimana tingkat kecemasan berkomunikasi siswa mengalami penurunan dari tingkat kecemasan berkomunikasi kategori tinggi menjadi rendah. mengacu kepada penjelasan diatas dengan menggunakan dinamika kelompok dapat membantu siswa untuk mengembangkan potesi yang ada pada siswa, termasuk kemampuan dalam bertahan menghadapi masalah kehidupan (resiliensi). Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Rusmana (2009, hlm. 13) bimbingan kelompok adalah sebagai “suatu proses pemberian bantuan kepada individu melalui suasana kelompok yang memungkinkan setiap anggota untuk belajar berpartisipasi aktif dan berbagi pengalaman dalam upaya pengembangan wawasan, sikap dan atau keterampilan yang diperlukan dalam upaya mencegah timbulnya masalah atau dalam upaya pengembangan pribadi”. Dari beberapa peneliti yang sudah menggunakan bimbingan kelompok untuk membantu siswa mengembangkan potensi yang dimilikinya, maka dari itu saya dalam penelitian ini juga akan menggunakan bimbingan kelompok untuk membantu siswa meningkatkan potensi resiliensi diri dengan menggunakan salah satu teknik yang ada dalam bimbingan kelompok yaitu teknik group exercise.

Berdasarkan identifikasi masalah, rendahnya resiliensi anak bangsa bukanlah suatu hal yang layak dibiarkan, remaja perlu diajari bagaimana mengembangkan resiliensi dalam diri mereka, agar mereka memiliki bekal kemampuan untuk bangkit dan bertahan dalam situasi yang sarat perubahan dan tekanan seperti yang sedang terjadi di era globalisasi saat ini. Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah perlu dikembangkan resiliensi diri bagi remaja yang memiliki resiliensi yang lemah. Berdasarkan rumusan masalah, maka pertanyaan penelitan dalam tesis ini adalah:

1. Apakah efektif bimbingan kelompok dengan menggunakan teknik group exercise dalam pengembangan resiliensi diri siswa.

(8)

C. Tujuan Penelian

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah upaya meningkatkan resiliensi diri remaja melalui bimbingan kelompok dengan menggunakan teknik group exercise.

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Memperoleh gambaran mengenai efektivitas bimbingan kelompok dengan menggunakan teknik group exercise dalam meningkatkan resiliensi remaja.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi para praktisi dalam meningkatkan resiliensi diri siswa di sekolah. Secara spesifik, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan masukan bagi:

a. Guru Bimbingan dan Konseling

Untuk membantu meningkatkan resiliensi diri siswa melalui implementasi layanan bimbingan kelompok.

b. Siswa

Diharapkan dapat memiliki resiliensi diri yang tinggi dalam menjalankan perannya sebagai siswa di sekolah, sehingga dapat menghadapi dan menyelesaikan tuntutan kehidupan dengan penuh makna positif dan sikap yang positif.

c. Peneliti selanjutnya

Untuk memperdalam kajian dan memberikan referensi mengenai resiliensi diri siswa dari berbagai variabel yang mempengaruhinya.

E. Struktur Penulisan Tesis

Skripsi ini terdiri atas lima bab yang diuraikan sebagai berikut. Bab satu pendahuluan membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah dan rumusan masalah, tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur penulisan skripsi. Bab dua ini akan di paparkan konsep dasar resiliensi yang meliputi defenisi, karakteristik resiliensi siswa,

(9)

faktor-faktor yang mempengaruhi resliensi siswa, sumber rsiliensi, upaya-upaya dalam meningkatkan resiliensi. Dilajudkan dengan penjelasan konsep bimbingan kelompok dengan menggunakan teknik exercise sebagai upaya meningkatkan resiliensi diri remaja, yang mencakup defenisi bimbingan kelompok, manfaat bimbingan kelompok, teknik exercise dalam bimbingan kelompok sebagai upaya meningkatkan resiliensi diri remaja, jenis-jensi group

exesrcise dalam meningkatkan resiliensi remaja dan proses teknik exercise. Bab tiga membahas metode penelitian yang melitputi, disain penelitian, metode penelitian, defenisi opersional, teknik pengumpulan data dan analisis data. Bab emapat hasil penelitian, pembahasan dan analisis. Bab lima terdiri atas kesimpulan dan rekomendasi.

Referensi

Dokumen terkait

Studi lain yang dilakukan di salah satu rumah sakit terhadap pasien rawat inap dengan kasus hipertensi dan diabetes, didapatkan data bahwa lebih dari separuh pasien

Namun penelitian yang dilaku- kan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini peneliti mene- rapkan model Cooperative Integrated Reading And Composition pada

AC Central adalah sistem pendinginan ruangan yang dikontrol dari satu titik atau tempat dan di distribusikan secara terpusat ke seluruh isi gedung dengan kapasitas yang sesuai

Jamaah Jamaah Mushollah Al Furqon menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Politeknik Negeri Malang yang telah memberikan bantuan satu set perangkat

Berdasarkan hasil penelitian, simpulan yang dapat diambil bahwa ‘starfungs’ mampu mempengaruhi keberadaan Escherichia coli, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi

Menurut hasil penelitian di PT PDP, dan dari hasil pengolahan data, dapat disimpulkan yaitu: (1) GKM berpengaruh terhadap kinerja karyawan; (2) GKM berpengaruh terhadap kepuasan

Pesaing untuk sandal hotel yang terbuat dari kain sudah banyak, namun pemilik akan memanfaatkan anyaman daun kering dan akan menggunakan diferensiasi dengan menggunakan

3.1 Proses perumusan konsep didasari dengan latar belakang kota Surakarta yang dijadikan pusat dari pengembangan pariwisata Solo Raya karena memiliki potensi