• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PERHITUNGAN JAWA DALAM PĒTUNG SALAKI RABI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM PERHITUNGAN JAWA DALAM PĒTUNG SALAKI RABI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PERHITUNGAN JAWA DALAM

P

Ē

TUNG SALAKI RABI

Muhammad Imam Ustadi, Prapto Yuwono

Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424

Email: miu_fib_ui@yahoo.co.id

ABSTRAK

Primbon menurut jenisnya ada beberapa macam, di antaranya adalah primbon yang membahas watak seseorang yang terlihat dari sejak manusia lahir dan dilihat dari bentuk raga seseorang, ada pun primbon yang melihat dari segi mimpi dan primbon yang memberikan sugesti lain tentang kehidupan di sekitar kehidupan manusia yang mempercayai nilai mitos di balik filosofi primbon.

Penelitian ini adalah penelitian yang mengembangkan dan menguraikan makna filosofis yang terkandung pada

setiap pengalaman hidup manusia tentang perjodohan pada konsep neptu. Dewasa ini di dalam lingkungan

masyarakat Jawa yang mempercayai nilai-nilai terhadap primbon semata-mata tidak hanya sebagai bahan ilmu pengetahuan untuk dibahas dalam sisi kepercayaan yang dikandung berdasarkan sistem arah, ruang dan waktu. Pada saat ini aspek nilai pada primbon sudah dikenal oleh masyarakat luar Jawa yang artinya bukan berasal dari keturunan Jawa saja namun digunakan pula oleh keturunan yang bukan dari Jawa.

Primbon pada hakekatnya suatu cerminan tentang pola hidup tradisi adat budaya Jawa sejak dahulu. Pada penelitian

ini akan dibahas sistem perhitungan Jawa dalam pétung salaki rabi dan juga waktu atau hari yang tepat dalam

melaksanakan upacara pernikahan, dengan tujuan agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan setelah menikah. Hal ini tidak terlepas dari objek yang hendak diteliti, yaitu dapat dilihat dari tanggal lahir kedua pasangan yang hendak menikah lalu dicocokkan dengan metode-metode yang terdapat di dalam kitab primbon.

Kata kunci : Primbon, neptu, dan sistem perjodohan.

JAVA COMPUTATION SYSTEM IN

PÉTUNG SALAKI RABI

ABSTRACT

Horoscope by type there are several kinds, among which is the horoscope which discusses the character of someone who looks human since birth and in view of one's body shape, there was a notice in terms of horoscope and horoscope dream that gives suggestion about the lives of other human life around who believe in the value of the philosophy behind the myth horoscope.

This research is a developing research and elaborate philosophical meaning contained in every human experience of

matchmaking on the concept Neptu, Today within the Java community who believe in the values of the sheer

horoscope not only as material science to be discussed in the conceived belief system based on those directions, space and time, at this time the value aspect of the horoscope is known by people outside Java, which means that not only comes from the Javanese descent, but is also used by the descendants not of Java.

Horoscope is essentially a reflection of the lifestyle of indigenous traditions since ancient Javanese culture. In this

study will be discussed in a Java computation system petung salaki rabi and also the exact time or day of the

wedding ceremony, in order to prevent something undesirable things after marriage. It is not independent of the object to be studied, which can be seen from the second date of birth and married couples who want to be matched with the methods contained in the book horoscope.

(2)

Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Pengetahuan yang terdapat pada Kitab Primbon Betaljemur Adammakna atau disingkat dengan sebutan KPBA adalah buku primbon yang berisi mengenai ilmu-ilmu Jawa sebanyak 337 bab dengan menggunakan bahasa Jawa krama dan

ngoko. KPBA adalah salah satu bukti warisan dari budaya Jawa sejak jaman dahulu. Unsur-unsur dari kebudayaan Jawa yang paling menonjol adalah sistem klasifikasi simbolik orang Jawa yang terdiri dari bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusasteraan, keyakinan keagamaan, ritus, ilmu gaib dan petangan, serta beberapa pranata dalam organisasi sosialnya.

Untuk dapat memahami klasifikasi simbol budaya Jawa, kita dapat menerapkan metode analisa klasifikasi simbolik yang telah dikembangkan oleh E. Durkheim dan M. Mauss (1903) dengan konsep cara berpikir asosiasi prelogik yang diajukan oleh L. Levy-Bruhl (Koentjaraningrat, 1994: 428). Sistem berpikir Prelogik tersebut adalah dengan menggunakan akal manusia yang menilai mana yang benar dan mana yang tidak benar menurut kenyataan yang diterima oleh akal nilai kebenaran atau nilai kenyataan (Abdulkadir, 1988: 17).

Informasi yang ada di dalam buku KPBA, buku KPBA merupakan buku terbitan Soemodidjojo Mahadewa dengan cetakan pertama KPBA sejak bulan September tahun 1939 di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan setelah itu dicetak kembali serta diedarkan kembali oleh penerbit CV BUANA RAYA di Sala Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Tidak hanya itu menurut informasi yang ada di dalam buku KPBA, perihal sosok dari nama pengarang KPBA tidak diketahui asal sejarahnya. Adapun keterangan informasi yang terdapat di buku KPBA bahwa sosok nama pengarang KPBA adalah seseorang yang berasal dari keturunan Jawa yang

memiliki pengetahuan tinggi atau pengetahuan luas mengenai pemahaman pengetahuan kehidupan manusia Jawa.

Buku KPBA ini asal mulanya

dikumpulkan dan dimiliki oleh Kangjeng Raden Hadipati Danurejo. Beliau adalah salah seorang patih Kangjeng Sultan Hamengkubuwono ke-VI. Beliau berada tinggal di dalam lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di dalam buku KPBA peneliti beranggapan bahwa semua hal yang ada di dalam buku KPBA ini merupakan hal yang patut dilestarikan dan wajib dibahas agar mempermudah pemahaman masyarakat luas terhadap bacaan yang ada pada KPBA ini.

Pada buku KPBA yang membahas perhitungan salaki rabi, peneliti menemukan ada hal yang berbeda dari setiap perhitungan bab pada salaki rabi. Oleh sebab itu sebelum melangkah lebih jauh maka perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai sistem perhitungan salaki rabi, dan ada baiknya pula terlebih dahulu peneliti harus memahami betul fungsi neptu dari hari pasaran Jawa yang disebut dengan panca wara, lalu neptu dari tujuh hari yang disebut dengan sapta wara, dan neptu dari bulan Jawa yang mengadopsi bulan Islam, serta

neptu tahun dari satu windu yaitu delapan tahun. Kemudian selanjutnya peneliti menyusun terlebih dahulu urutan dasar dari sistem perhitungan salaki rabi, sebab neptu berdasarkan perwatakan alam yang berada di dalam diri manusia (Soemodidjojo, 2008: 7).

Perwatakan manusia dapat dilihat berdasarkan kekuatan alam pada hari kelahirannya, hal ini diperkuat sumbernya dari pawukon. Pawukon (watak bayi lahir) adalah perhitungan baik atau buruk pada kehidupan manusia yang berdasarkan perwatakan alam yang ada di sekelilingya (Hadikoesoemo, 1985: 49). Perwatakan

manusia dalam kebudayaan Jawa

(3)

wuku (Hadikoesoemo, 1985: 42). Wuku merupakan kesatuan waktu yang berjumlah 7 hari, sedangkan wuku dikelompokkan 30 kelompok, jadi kalau 30 wuku berarti 210 hari (Hadikosoemo, 1985: 41). Wuku dalam arti bahasa Jawa yaitu wiji yang artinya biji atau benih, sehingga dalam konteks kehidupan manusia dapat disimpulkan kalau manusia itu berasal dari benih yang ada pada lingkungan di sekitarnya (Abimanyu, 1994: 7).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang ada pada latar belakang di atas mengenai peran neptu

sebagai bagian dari pengetahuan perhitungan yang menentukan kualitas hidup pribadi manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya, dan adapun dalam membandingkan sistem perhitungan perjodohan ”pétung salaki rabi” yang menggunakan sistem tiga pilar perhitungan jodoh diantaranya adalah sistem arah; sistem ruang; dan sistem waktu (Ikhsan, 2004: 17) yang menjadi suatu penggolongan sistem keterkaitan antara sistem bab limabelas dengan bab yang lainnya di dalam sebelas bab, maka dapat dirumuskan masalah dari penelitian ini sebagai berikut:

- Mengapa neptu menjadi bagian yang sangat penting pada sistem perhitungan perjodohan ”pétungsalaki rabi”?

- Apa makna simbolik dari tiga golongan pada sistem perhitungan perjodohan yang disebut dengan ”pétungsalaki rabi”?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan keterangan dari rumusan masalah di atas mengenai pandangan hidup orang Jawa terhadap nilai potensi alam makro-kosmos dan mikro-kosmos yang bersatu dan bertujuan menuju kehidupan yang lebih baik maka dapat memberikan arah tujuan penelitian ini pada sistem perhitungan Jawa dalam pétung salaki rabi

pada buku KPBA untuk memberikan

pemahaman secara benar mengenai pengertian dari definisi neptu yang kaitannya dengan sistem perhitungan salaki rabi dalam KPBA. Selanjutnya memaparkan secara logis tiga aspek (aspek ruang, aspek arah, dan aspek waktu) dalam perspektif sistem perhitungan Jawa dan sistem kehidupan masyarakat Jawa yang masih menggunakan kitab primbon, terutama dalam menggunakan buku KPBA.

1.4. Penelitian Terdahulu

Peneliti terdahulu yang membahas kitab primbon Betaljemur Adammakna setelah ditelusuri yaitu oleh Tomi Prahara, S.Hum tahun 2011. Lulusan sarjana strata satu jurusan Sastra Daerah untuk Sastra Jawa yang membahas pengalih aksaraannya saja dalam segi filologi dengan tujuan pengalih aksaraannya dan menceritakan peran Ki Bertaljemur yang memiliki sembilan peran dalam cerita yang terdapat di dalam naskah. Selanjutnya Tesis Wirasmi Abimanyu lulusan program studi Antropologi Jakarta tahun 1994 yang membahas perwatakan manusia dengan landasan Kitab Primbon Betaljemur Adammakna.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diketahui dalam penelitian ini yaitu mengetahui kembali pengetahuan yang berasal dari budaya Jawa dengan jalan menggali serta memahami kembali budaya Jawa yang ada. Terutama dalam unsur pengetahuan perjodohan khususnya dalam ruang lingkup sistem perhitungan jodoh serta aspek-aspek filosofi yang terdapat pada sistem perhitungan

primbon, dengan harapan untuk

mempermudah pembaca dalam memahami sistem perhitungan salaki rabi. Konsep sistem perhitungan salaki rabi dalam buku KPBA ini memang agak sulit untuk dipahami tanpa mengetahui falsafah dari konsep simbolik dari sistem perhitungan jodoh namun dibalik kesulitan tersebut peneliti berharap agar dapat mengatasi

(4)

masalah kesulitan tersebut dan mendapat manfaat yang sesuai dengan usaha perkembangan penelitian ini yang begitu luasnya khasanah ilmu pengetahuan budaya Jawa dalam ilmu kebatinan spritual religiusitas Jawa.

1.6. Batasan Penelitian

Batasan penelitian mengenai sistem perhitungan jodoh dalam buku KPBA ini dibatasi dengan pengetahuan ilmu gaib di dalam primbon yang begitu luas khazanah ilmu pengetahuan terhadap hakekat kehidupan yang dimiliki manusia, karena KPBA ini memiliki 337 bab yang isinya ilmu-ilmu gaib dalam kebudayaan Jawa dan jika dijelaskan secara linear mulai dari manusia lahir ke dunia sampai dengan manusia berakhir masa hidupnya di dunia. Diperlukan adanya pembatasan dalam penelitian ini, bahan penelitian yang diteliti berkaitan dengan sistem perhitungan jodoh yang menggunakan sistem arah, ruang, dan waktu.

Sistem perhitungan jodoh yang dimaksud adalah sistem perhitungan yang menggunakan konsep arah-ruang-waktu. Ilmu perhitungan jodoh yang disebut dengan

pétung salaki rabi adalah jika orang tua yang hendak menikahkan anaknya harus betul-betul mengetahui dan yakin anaknya hendak dinikahkan dengan siapa. Orang tua yang hendak menikahkan anaknya harus mengetahui asal usul dari calon pengantin pria maupun wanita, sehingga hal inilah yang harus menjadi pembatasan dalam penelitian ini.

1.7. Teori dan Metode

Penelitian

Teori yang digunakan teori

Koentjaraningrat yaitu lima sistem religi dan metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan struktural analisis konsep perhitungan yang berdasarkan arah-ruang-waktu dan juga dihubungkan dengan

susunan konsep lima sistem religi. Lambang pada nilai-nilai kehidupan manusia yang berkaitan dengan konsep sistem perhitungan

salaki rabi ini sesuai jika dihubungkan dengan sistem perhitungan yang ada pada KPBA (Kitab Primbon Betaljemur Adammakna). Model operasional yang

digunakan menggunakan konsep

makrokosmos dan mikrokosmos sebagai kesatuan sistem arah-ruang-waktu yang akan menjadi alat dan bahan dalam mengupas satu persatu dari setiap bab sistem perhitungan salaki rabi. Selain itu teori yang digunakan adalah teori Koentjaraningrat yang menggunakan 5 sistem religi Jawa yang meliputi: 1) Emosi keagamaan, 2) Sistem keyakinan, 3) Sistem upacara, 4) Sistem peralatan upacara, dan 5) Umat keagamaan. Dengan landasan teori ini dapat memberikan pemahaman baru dalam melihat struktur pada sistem perhitungan Jawa terhadap pétung salaki rabi

(Koentjaraningrat, 1979: 337). Sistem religi Jawa, gambaran sekaligus skemanya pada teori Koentjaraningrat seperti di bawah ini:

Gambar 1. Landasan teori sistem religi Jawa oleh Koentjaraningrat.

(5)

Keterangan pada gambar 1 adalah gambaran teori yang dapat mendukung penelitian pétung salaki rabi, dan terdiri dari 5 bagian. Bagian pertama yaitu emosi keagamaan, kedua adalah sistem keyakinan, ketiga adalah sistem upacara, keempat adalah sistem ritual, dan kelima adalah umat keagamaan. Emosi keagamaan merupakan suatu sikap yang timbul dari manusia Jawa yang berasal dari kemauan dalam diri manusia Jawa terhadap perhitungan jodoh pada KPBA, lalu dari emosi keagamaan muncul suatu sistem keyakinan untuk melakukan sistem upacara yang didukung oleh sistem ritual dan diselenggarakan oleh masyarakat yang meyakini kekuatan gaib terhadap sistem religi yang terdapat di dalam diri manusia. Itulah sebabnya kelima sistem religi ini menjadi landasan teori dalam penelitian ini, namun yang dapat digali dari kelima sistem religi yang ada pada teori Kontjaraningrat hanya pada sistem keyakinan saja (Koentjaraningrat, 1979: 315).

ANALISIS SISTEM PERHITUNGAN JAWA DALAM PĒTUNG SALAKI RABI

Ditinjau dari judul di atas yaitu “Sistem Perhitungan Jawa Dalam Pétung Salaki Rabi” termasuk bagian dari sistem religi kebudayaan Jawa dalam penelitian ini dapat diyakini bahwa adanya kekuatan spritiual dalam perjodohan yang ada di dalam KPBA. Kekuatan spritiual tersebut terdiri dari tiga aspek yang akan menjadi landasan munculnya neptu, sebab neptu akan menjadi nilai pembanding dalam menentukan kesesuain dari calon sepasang pengantin. Tiga aspek tersebut meliputi aspek ruang; aspek arah; dan aspek waktu.

Sistem perhitungan Jawa dalam pétung salaki rabi digolongkan ke dalam tiga golongan sistem perhitungan, sistem perhitungan tersebut meliputi arah, ruang,

dan waktu. Pertama sistem perhitungan

jodoh yang menggunakan sistem

perhitungan arah maksudnya adalah arah mata angin memiliki pengaruh yang sangat penting dalam penentuan arah kehidupan manusia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya dari sistem waktu sekaligus ruang bahwa neptu dapat dilihat berdasarkan sistem perhitungan arah; ruang; dan waktu, yang dapat dilihat dari mata angin.

Selanjutnya unsur anasir alam dan pewarnaannya, hari, tanggal, bulan, tahun dan windu. Oleh karena itu dari berbagai pembahasan yang ada di dalam KPBA seperti pada pembahasan mengenai nilai kesesuaian dalam suatu hubungan atau jodoh pada sistem perhitungan perjodohan yang disebut dengan pétung salaki rabi

merupakan pengarahan ke sistem perhitungan waktu dalam perjodohan yang kaitannya dengan neptu.

Aspek Waktu Pada Sistem Perjodohan KPBA.

Pada buku R. M. Soenandar

Hadikoesoemo yang berjudul “ Filsafat ke-Jawan Ungkapan lambang ilmu gaib dalam Seni-Budaya peninggalan leluhur jaman purba” menyatakan bahwa : “Neptu dari substruktur waktu pada dasarnya berasal dari peninggalan asli nenek moyang manusia Jawa” (Hadikoesomo, 1985: 57), namun sekedar pengetahuan, bahwa dalam perhitungan kebudayaan Jawa ada 4 jenis

neptu untuk mendukung sistem perhitungan perjodohan, diantaranya yang pertama susunan hari yang berdasarkan urutan yang harus runtun dimulai dari hari Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu, dalam bahasa Jawanya yaitu Ahad, Senén, Selasa, Rebo, Kemis, Jumuah, dan

Setu (jika diurutkan neptunya berdasarkan hari yaitu 5, 4, 3, 7, 8, 6, dan 9).

Kedua adalah susunan hari pasaran dalam budaya Jawa yang berdasarkan penempatan hari yang tepat yaitu Kliwon

(6)

Legi Paing, Pon dan Wage (urutan neptunya yaitu 8, 5, 9, 7, dan 4).

Ketiga yaitu susunan bulan dengan urutan penamaan serta penempatannya juga telah diatur oleh budaya Jawa yang telah mengadopsi bulan Islam yang terdiri dari

Suro, Sapar, Rabingul Awal, Rabingul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkaidah, dan Besar

(urutan neptunya yaitu 7, 2, 3, 5, 6, 1, 2, 4, 5, 7, 1, dan 3).

Keempat adalah susunan windu, dalam 1 windu ada 8 tahun yang terdiri dari Alip, Ehé, Jimawal, Jé, Dal, Bé, Wawu, dan

Jimakhir (urutan neptunya yaitu 1, 5, 3, 7, 4, 2, 6, dan 3). Dari segala keteraturan neptu

yang ada diatas pada konsep waktu merupakan ketentuan yang harus ditaati karena sudah menjadi rumus dasar dalam sistem perhitungan yang digunakan oleh nenek moyang manusia Jawa dari sejak dahulu sampai saat ini. Jadi penggolongan sistem perhitungan jodoh seperti arah-ruang-waktu merupakan atribut yang saling berkesinambungan (Soemodidjojo, 2008: 7).

Oleh sebab itu jika ditelusuri secara mendalam tentang kehidupan manusia, manusia merupakan makhluk yang paling sempurna, sebab ketika manusia lahir di dunia dan mengalami proses pertumbuhan kehidupan di dunia. Sehubungan dengan kelahiran manusia di dunia seperti pada pembahasan sebelumnya “manusia selalu ditemani oleh waktu”. Waktu dapat dikatakan sebagai peraturan yang sudah seharusnya ditaati oleh manusia untuk mengatur hidupnya selama hidup di dunia.

Manusia lahir ditandai dengan adanya waktu; jam berapa manusia itu lahir , hari apa manusia itu lahir, bulan apa manusia itu lahir, tahun apa manusia itu lahir, dan sistem waktu yang lainnya yang berhubungan dengan kehidupan manusia (Hadikoesoemo, 1985: 57-59). Sistem waktu di dalam kebudayaan Jawa, ada yang dinamakan dengan hari pasaran. Hari pasaran dalam

kebudayaan Jawa ada lima jenis; yaitu Kliwon, Legi, Paing, Pon, dan Wage.

Selain itu juga budaya Jawa yang memang memiliki nama bulan yang berasal dari leluhur nenek moyang jaman dahulu, nama bulan tersebut adalah “Kasa, Karo, Katelu/ Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kesanga, Kesepuluh, Apit Kayu, dan Apit Lemah” yang kemudian jika disetarakan dengan nama bulan yang kita kenal saat ini adalah “Kasa adalah Juni, Karo adalah Juli, Katiga adalah Agustus, Kapat adalah September, Kalima adalah Oktober, Kanem adalah November, Kapitu adalah Desember, Kawolu adalah Januari, Kesanga adalah Februari, Kesepuluh adalah Maret, Apit Kayu adalah April, dan Apit lemah adalah Mei.

Adapun pada kebudayaan Jawa dalam sistem perhitungan waktunya terdapat nilai atau disebut dengan neptu. Neptu dalam sistem perhitungan waktu kebudayaan Jawa merupakan suatu nilai sebagai perwakilan dari setiap sistem waktu yang ada di dalam budaya Jawa (Hadikoesoemo, 1985: 60). Tidak hanya hari pasaran saja yang memiliki

neptu, berkaitan dengan sistem waktu, sudah tentu leluhur orang Jawa dalam sistem perjodohan mengalami percampuran kebudayaan dari luar lingkup budaya Jawa, sehingga menambah sistem waktu yang ada.

Seperti bulan Islam “kebudayaan Timur Tengah” yang digunakan sebagai sistem

waktu kebudayaan Jawa dalam

perkembangannya; nama bulan yang digunakan seperti bulan Sura, bulan Sapar, bulan Rabiul Awal, bulan Rabiul Akhir, bulan Jumadil Awal, bulan Jumadil Akhir, bulan Rejeb, bulan Ruwah, bulan Pasa, bulan Sawal, bulan Dulkaidah, dan bulan Besar. Adapun pada nama-nama hari yang digunakan dalam sistem perhitungan waktu budaya Jawa yaitu Ahad, Senén, Selasa, Rebo, Kemis, Jumuah, dan Setu. Selain itu juga dalam sistem waktu budaya Jawa yang masyarakatnya menggunakan 1 windu atau

(7)

8 tahun, tahun-tahunnya seperti tahun Alip, tahun Ehé, tahun Jimawal, tahun , tahun

Dal, tahun , tahun Wawu, dan tahun

Jimakhir (Hadikoesoemo,1985: 68). Percampuran kebudayaan atau yang disebut dengan akulturasi budaya maka dalam sistem perhitungan waktu budaya Jawa diarahkan ke dalam bentuk neptu

(Hadikoesoemo, 1985: 60).

Seperti yang ada di dalam buku Kitab Primbon Betaljemur Adammakna memiliki

neptu pada setiap waktu yang sebelumnya telah disebutkan diatas; yang terdiri dari hari

sapta wara, hari pasaran Jawa atau panca wara, bulan, dan tahun dalam 1 windu. Sistem waktu yang disebutkan merupakan sebagai alat pendukung dalam sistem perhitungan pétung salaki rabi.

Berikut adalah neptu dari masing-masing waktu; Hari Ahad berneptu 5, hari Senén

berneptu 4, hari Selasa berneptu 3, hari Rebo

berneptu 7, hari Kemis berneptu 8, hari

Jumuah berneptu 6, dan hari setu berneptu

9. Pada nama bulan dan neptunya yaitu bulan Sura neptunya 7, bulan Sapar neptunya 2, bulan Rabiul Awal neptunya 3, bulan Rabiul Akhir neptunya 5, bulan

Jumadil Awal neptunya 6, bulan Jumadil Akhir neptunya 1, bulan Rejeb neptunya 2, bulan Ruwah neptunya 4, bulan pasa

neptunya 5, bulan sawal neptunya 7, bulan

Dulkaidah neptunya 1, bulan Besar neptunya 3.

Sedangkan dalam hari pasaran Jawa dan

neptunya yaitu Kliwon neptunya 8, Legi neptunya 5, Paing neptunya 9, Pon neptunya 7, dan Wagé neptunya 4. Adapun neptu pada 1 windu dalam 8 tahun yaitu tahun Alip neptunya 1, tahun Ehé neptunya 5, tahun

Jimawal neptunya 3, tahun Jé neptunya 7, tahun Dal neptunya 4, tahun Bé neptunya 2, tahun Wawu neptunya 6, dan tahun Jimakhir neptunya 3 (Soemodidjojo, 1965: 7)

Adapun informasi mengenai asal muasal neptu berangkat dari Ahad memiliki neptu 5 karena berasal dari nama raksasa yang

namanya matahari, Surya, Radite, Raditya, Raksasa. Raksasa tersebut juga memiliki sifat yang meliputi mara cangkem (ucapannya kasar), mara tangan (memukul), mara suku (menendang), mara bandhem (melempar), mara dadamel (dengan senjata); Senin berneptu 4 karena dari nama tumbuhan atau minuman dari tumbuhan soma yang berwarna dan dalam agama Hindu warna tersebut disebut dengan kasta, yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra;

Selasa berneptu 3 karena berdasarkan perjalanan manusia yaitu purwa, madya,

sasana; Rabu berneptu 7 karena menurut kepercayaan orang Jawa dunia itu terdiri dari 7 lapis. Dalam pewayangan lapis ke 7 disebut dengan saptapratala (sapta itu adalah 7, pratala itu siti atau tanah yang kemudian dijaga oleh ular naga bernama Sang Hyang Antaboga; Kamis berneptu 8 karena ada 8 mata angin di dalam dunia ini yang meliputi Timur, Timur Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat, Barat Laut, Utara , dan Timur Laut;

Jumat berneptu 6 karena ada enam nama bintang yang terkenal dikalangan petani Jawa yaitu Lintang Luku, Lintang Gubugpenceng dan Lanjarngirim, Lintang Pedati suwung, Lintang Kala (kalajengking atau scorpio), Lintang Luwuh (Bintang Tujuh), Lintang Bima Sekti (Pengambaran pada tokoh wayang Bima yang sedang digigit oleh ular laut yang besar dengan maksud untuk mencari air peghidupan); Sabtu berneptu 9 karena di dalam pengertian ini adalah maksud dari kata neptu itu sendiri yang berasal dari kata inep yang berarti tutup dan maksud lain adalah pintu-pintu yang tertutup di dalam tubuh manusia itu berjumlah 9 yang meliputi lubang mata, lubang hidung ada dua, lubang telinga, ada dua lubang mulut, lubang dubur, lubang kemaluan (Abimanyu, 1994: 52-54).

Neptu pada hari pasaran, bulan, dan tahun tidak hanya sebagai alat dan bahan

(8)

dari sistem perhitungan waktu saja namun memiliki filosofi yang mendalam bagi kehidupan manusia. Orang Jawa yang memahami betul konsep pemikiran Jawa sangat berhati-hati dalam menentukan pasangan untuk anaknya karena menurut cara berpikir orang Jawa segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan dalam kehidupan manusia bagi orang Jawa adalah kegiatan yang sakral karena menyangkut hubungannya dengan Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Berkaitan dengan judul skripsi ini yaitu “Sistem Perhitungan Jawa Dalam Pétung Salaki Rabi” membahas sebelas cara sistem perhitungan salaki rabi, yang kemudian dari sebelas sistem perhitungan Jawa dalam perjodohan saya susun ke dalam 3 sistem perhitungan jodoh (sistem perhitungan arah, sistem perhitungan ruang, dan sistem perhitungan waktu) dan menggunakan 5 golongan yang diantaranya adalah yang pertama menggunakan nilai simbolik dari aksara, yang kedua menggunakan nilai simbolik dari hari lahir, yang ketiga menggunakan nilai simbolik dari aksara serta neptu, yang keempat menggunakan sistem perhitungan weton panca wara dan

sapta wara, dan yang kelima menggunakan nilai simbolik dari keseluruhan sistem waktu serta dengan neptunya (hari lahir, hari pasaran budaya Jawa, tanggal, tahun masehi, bulan).

Dari sebelas bab yang saya padatkan menjadi 3 golongan dan 5 sistem perhitungan pétung salaki rabi merupakan salah satu cara yang dapat menghasilkan kemudahan pemahaman serta memberikan pemahaman secara radikal pada sistem perhitungan Jawa dalam pétung salaki rabi

dengan dasar sistem perhitungan yang asalnya berbeda dari setiap bab. Neptu

berdasarkan konsep berpikir manusia berawal dari neptu pada hari sapta wara

yang berjumlah tujuh hari dan dimulai dari hari minggu; senin; selasa; rabu; kamis;

jumat; dan sabtu. Masing-masing hari sapta wara berneptu 5; 4; 3; 7; 8; 6; dan 9, jika dikritisi hari minggu berneptu 5 dikarenakan angka 5 adalah angka yang berada di tengah, skemanya sebagai berikut: Angka 1 sampai angka 9 diibaratkan seperti perjalanan hidup manusia yang dalam ungkapan bahasa Jawanya yaitu sangkan paraning dumadi.

Lalu hari senin berneptu 4 artinya adalah manusia yang tidak berdaya ketika baru lahir di dunia sehingga tidak ada daya kekuatan untuk menjaga dirinya sendiri tanpa bantuan orang disekitar dan memiliki watak udara. Hari Selasa berneptu 3 artinya adalah manusia semakin tidak berdaya untuk menjalani hidup tanpa makhluk hidup lain di sekitarnya karena itulah manusia tidak dapat hidup tanpa makhluk hidup yang lain di sekitarnya disebut dengan makhluk sosial dan memiliki watak tanah. Hari Rabu berneptu 7 artinya ketika manusia sudah mengenal pelajaran hidup dan menjalani kehidupannya di alam dunia dan memiliki watak air dan tanah. Hari Kamis berneptu 8 artinya ketika manusia sudah mulai merasa berat dalam menjalani hidup dan harus membenahi diri dengan arah tujuan hidup manusia di dunia dan memiliki watak udara dan tanah.

Hari Jumat berneptu 6 artinya ketika manusia harus kembali lagi mensucikan diri dari segala perbuatan dosa walaupun disengaja maupun tidak disengaja sehingga dalam hal ini manusia sepatutnya membuka

lembaran baru dalam menjajaki

kehidupannya di dunia dan memiliki watak api serta air. Hari Sabtu berneptu 9 artinya ketika manusia sudah harus mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa selaku sang pencipta di alam jagad raya dengan berbagai macam laku dan memiliki watak yang telah dapat mengendalikan ke empat watan unsur anasir alam.

Filosofi neptu berdasarkan hari pasaran atau panca wara, seperti pada hari Kliwon berneptu 8 artinya kliwon itu adalah hari

(9)

kramat sebab angka 8 yang dimiliki kliwon sebagai perlambang angka yang nilainya tinggi namun tidak terlalu tinggi sebab yang palng tertinggi adalah angka 9 dan memiliki watak tanah dan udara. Lalu hari legi berneptu 5 filosofinya adalah angka penyeimbang atau penyelaras angka yang lainnya sehingga angka 5 dapat dijadikan sebagai poros keseimbangan dan memiliki watak api dan udara. Selanjutnya hari paing berneptu 9 artinya hari pasaran yang memiliki angka yang tertinggi karena paing memiliki watak api yang dapat memberi pengaruh terhadap watak alam yang lai dan sangat dibutuhkan, oleh karena itulah sifat yang sangat dibutuhkan dan memiliki watak yang dapat mengendalikan ke empat unsur anasir alam yaitu api, air, tanah dan udara.

Hari pon berneptu 7 artinya jika dihubungkan dengan air maka dikaitkan dengan 7 mata air dari sumur yang berbeda sebagai peralatan ritual budaya Jawa misalnya pada upacara mitoni dan memiliki watak air dan tanah. Hari wage berneptu 4 artinya tanah itu menurut peneliti ada 4 jenis yaitu lumpur; tanah liat; tanah hitam; dan pasir serta hal ini menjadikan wage berwatak udara sebab neptunya 4. Jenis hari pasaran yang disebut dengan panca wara

memiliki sifat alam. Filosofi neptu pada bulan yang meliputi suro berneptu 7 yang memiliki watak alam air dan tanah. Bulan sapar berneptu 2 sehingga berwatak air.

Bulan rabiul awal berneptu 3 sehingga berwatak tanah. Bulan rabiul akhir berneptu

5 sehingga berwatak udara dan api. Bulan jumadil awal berneptu 6 sehingga berwatak api dan air. Bulan jumadil akhir berneptu 1 sehingga berwatak api. Bulan rejeb berneptu

2 sehingga berwatak air. Bulan ruwah berneptu 4 sehingga berwatak udara. Bulan pasa berneptu 5 sehingga berwatak udara dan api. Bulan sawal berneptu 7 sehingga berwatak air dan tanah. Bulan dulkaidah berneptu 1 berwatak api. Bulan besar berneptu 3 sehingga berwatak tanah.

Adapun neptu dalam tahun pada windu yang meliputi tahun alip berneptu 1 sehingga berwatak api. Tahun ehé berneptu

5 sehingga berwatak udara dan api. Tahun jimawal berneptu 3 sehingga berwatak tanah. Tahun jé berneptu 7 sehingga berwatak air dan tanah. Tahun dal berneptu

4 sehingga berwatak udara. Tahun bé berneptu 2 sehingga berwatak air. Tahun wawu berneptu 6 sehingga berwatak api dan air. Tahun jimakhir berneptu 3 sehingga berwatak tanah. Demikianlah sifat-sifat alam yang terdapat pada neptu dalam sistem waktu yang meliputi wuku atau sapta wara,

panca wara, bulan, dan tahun dalam windu. Aspek Ruang Pada Sistem Perjodohan KPBA.

Pada kebudayaan Jawa kita pernah mendengar ungkapan kata “sedulur papat lima pancer” yang artinya dalam bahasa Indonesia “saudara empat dan satu yang ditengah sehingga berjumlah lima”, pengertian “sedulur papat lima pancer”

adalah bagian dari perlambang manusia yang lahir di dunia dengan maksud untuk menyelaraskan kelahiran empat saudaranya di dunia. Ketika manusia lahir di dunia sudah barang tentu yang berada di dalam kandungan Ibu ikut lahir ke alam dunia, yaitu kakang kawah (membuka jalan keluarnya jabang bayi), adhi ari-ari

(plasenta), getih (darah suatu dari perwakilan watak air), puser (tali plasenta), dan yang kelima adalah diri manusia itu sebagai jiwa, ruh, dan jasad. Namun perlu diketahui bahwa pengertian sedulur papat lima pancer yang telah disebutkan tadi tidak terlepas dari arah kiblat mata angin sebagai alam raya makrokosmos, yang meliputi Selatan, Utara, Timur, dan Barat, sedangkan yang ditengah adalah alam raya manusia yang dikenal dengan sebutan jagad

cilik/kecil yaitu jati diri manusia yang disebut dengan mikrokosmos.

(10)

Berhubungan dengan pengertian unsur anasir alam yang telah disebutkan tadi maka ketika ada akulturasi budaya Jawa yang terpengaruh dengan pola pikir watak alam maka watak alam menghubungkan sedulur papat lima pancer dengan unsur empat anasir alam, yaitu tanah, udara, api, dan air, yang sebagai pusatnya adalah jati diri manusia yang harus ditaklukkan oleh diri manusia itu, sehingga manusia harus menghayati betapa pentingnya empat unsur anasir itu sebagai saudara manusia ketika lahir di dunia.

Tanah dapat dimaksudkan sebagai bahan pembentukkan jasad manusia, sebab dari unsur tanah jasad manusia itu terbentuk; Udara adalah unsur alam yang tidak terlepas dari ruang lingkup kehidupan manusia yang berfungsi sebagai aspek peruangan agar manusia dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain; Api unsur alam yang ada pada diri manusia dan berfungsi sebagai penggerak atau sebagai daya dorongan yang didasari dengan semangat hidup; Air adalah unsur alam yang ada pada diri manusia yang paling terpenting sebab air adalah komponen zat yang ada di dalam diri manusia, sebab tidak hanya sebagai zat cair yang berfungsi sebagai penyeimbang tubuh namun air dapat memberikan kesegaran pada diri manusia tersebut.

Paling terpenting adalah ketika manusia itu dapat mampu membuat keseimbangan empat unsur anasir alam yang ada pada diri manusia, sehingga manusia dapat bertahan hidup di dunia dengan ditemani oleh empat unsur anasir alam yang telah disebutkan. Adapun pengertian Islam terhadap sedulur papat lima pancer yang dengan maksud agar manusia dapat mengendalikan seluruh tipu daya hawa nafsu yang ada pada diri manusia.

Empat nafsu tersebut meliputi Lauamah, Supiah, Amarah dan Mutmainah, adapun dari keempat nafsu tadi tidak terlepas dari diri manusia ketika masih hidup di dunia.

Dalam pengertian hal ini empat nafsu yang mengelilingi dunia atau alam tubuh manusia dapat dideskripsikan bahwa Lauamah adalah nafsu manusia yang berhubungan dengan nafsu manusia untuk makan, minum, berpakaian, bersenggama dan lain-lain; Nafsu Supiah adalah nafsu yang mengarah kepada kebaikan yang mendekati sifat air; Nafsu Amarah adalah nafsu yang menjadi pendorong dan daya yang berada pada sifat api sehingga sebagai pembangkit kemauan untuk menjadi penggerak raga agar mampu menopang keinginan manusia yang selalu berkeinginan yang sifatnya jika dirasakan adalah panas seperti sifat api; Nafsu

Mutmainah adalah nafsu manusia yang selalu ingin memiliki dalam segala bentuk keinginan sebagai dasar nafsu ingin menduduki jabatan yang lebih tinggi, nafsu untuk menjadi lebih baik atau buruk tergantung kemauan yang ada di dalam diri manusia yaitu mendekati sifat dasar udara. Dapat diberi kesimpulan bahwa nafsu-nafsu tersebut harus dirawat dengan sebaik-baiknya agar tidak merusak diri manusia yang posisinya berada di tengah.

Aspek Arah Pada Sistem Perjodohan KPBA.

Ada pun dalam proses sistem perhitungan Jawa dalam pétung salaki rabi

ini juga menggunakan huruf Jawa atau huruf

carakan/ denta wyanjana yang digunakan sebagai alat dan bahan dalam sistem perhitungan Jawa dalam pétung salaki rabi

ini. Menurut mitos yang berasal dari leluhur nenek moyang orang Jawa huruf carakan

atau denta wyanjana. Sejarah mitos huruf Jawa yaitu carakan atau denta wyanjana.

Nama bulan Islam yang telah diadopsi oleh budaya Jawa (Suro, Sapar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal, Dulkaidah, dan Besar). Sistem waktu 8 tahun dalam satuan windu (Alip, Ehé, Jimawal, Jé, Dal, Bé, Wawu, dan Jimakhir)

(11)

yang menjadi alat dalam sistem perhitungan jodoh. Konsep berpikir budaya Jawa seperti

sedulur papat limo pancer, warna unsur anasir alam yang sebagai perlambang watak alam yang ada di dalam diri manusia, dan juga ilmu ghaib yang merupakan kekuatan alam sprtiual manusia dalam tingkatan religiusitas peradaban budaya masyarakat Jawa, sehingga memberikan nuansa indah terhadap nilai religi Jawa.

Kesimpulan

Konsep perhitungan KPBA merupakan ilmu pengetahuan yang sangat luas cakupannya dalam hal pengklasifikasian sistem perhitungan jodoh pada KPBA, klasifikasi tersebut meliputi sistem perhitungan jodoh yang menggunakan aksara Jawa atau huruf carakan atau denta wyanjana; sistem perhitungan jodoh yang menggunakan hari lahir; sistem perhitungan jodoh yang menggunakan aksara beserta dengan neptu akasara Jawa; sistem perhitungan jodoh yang menggunakan weton dari panca wara dan sapta wara; dan

sistem perhitungan jodoh yang

menggunakan sistem waktu (tanggal, hari lahir panca wara, hari lahir sapta wara, bulan, tahun masehi dan tahun dalam windu). Sistem perjodohan yang berkaitan dengan arah yaitu watak manusia berdasarkan kelahiran yang dapat dilihat dari arah mata angin yaitu Utara; Timur; Selatan; dan Barat.

Manusia hidup di dunia tidak terlepas dari sistem waktu sebagai pendamping hidupnya, adapun kehidupan manusia mengalami kehidupan berdimensi dan dapat dikatakan kehidupan dimensi wadag/kasar dengan kehidupan dimensi halus yang biasa disebut orang jawa dengan lelembut. Dimensi-dimensi kehidupan tersebut meliputi empat dimensi. Dimensi pertama dapat digambarkan seperti depan dan belakang, dimensi kedua dapat digambarkan seperti kanan dan kiri, dimensi ketiga dapat digambarkan atas dan bawah, dimensi keempat adalah penggabungan dengan dimensi satu-dimensi dua-dimensi tiga sehingga dari penggabungan dimensi yang disebutkan tadi maka dimensi empat dapat memasuki alam kehidupan lelembut yang masih terikat dengan ruang waktu.

Sistem perjodohan merupakan salah satu ritual kepercayaan budaya Jawa yang dituntut untuk menghormati alam lelembut yang hidup berdampingan dengan manusia. Ritual ini dilakukan untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan “kejadian hal buruk”, sebab penghormatan yang dilakukan oleh manusia terhadap alam halus akan menjadikan penghormatan dari alam lelembut terhadap alam wadag/kasar manusia. Inilah suatu ritual penyelarasan kehidupan dalam budaya Jawa agar kehidupannya tetap harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Muhammad. (1988).

“Ilmu Budaya Dasar”. Jakarta: FAJAR AGUNG.

Abimanyu, W. (1994). “Tesis” Kitab Primbon Betal Jemur Adammakna Dalam Memahami Musim. Jakarta:

PASCA SARJANA PROGRAM

STUDI ANTROPOLOGI

UNIVERSITAS INDONESIA.

Hadikoesoemo, R M Soenandar. (1985). “Filsafat ke-Jawan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba. Jakarta: YUDHAGAMA CORPORATION.

(12)

Ikhsan, M. (2004). “(NID) Nyari Identitas Diri” Mulai Dari Diri Sendiri Sampai Kepada Tuhan.

Bandung: DAR! MIZAN.

Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa; Seri Etnografi Indonesia No 2. Jakarta: BALAI PUSTAKA.

---. (1979). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT RINEKA

CIPTA.

Soemodidjojo, R. (2008). Kitab Primbon Betaljemur Adammakna.

Yogyakarta: CV BUANA RAYA. KAMUS:

Baoesastra Djawa (1939). Oleh W.J.S. Poerwadarminta. Groningen: J.B. Wolters’ Uitgevers-Maatschappij N. V.

Kamus Jawa Kawi Indonesia (2008). Oleh Maharsi. Yogyakarta: PURA

PUSTAKA.

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen (1975). Oleh Ali

Muhammad. Jakarta: PUSTAKA

Gambar

Gambar 1. Landasan teori sistem religi Jawa oleh  Koentjaraningrat.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah apakah pesan ILM tersebut dipahami oleh pemirsa dengan makna yang sama dengan yang

Anak belum mampu melompat mengikuti gerakan kelinci sambil membawa wortel Anak mulai mampu melompat mengikuti gerakan kelinci sambil membawa wortel dengan bantuan

1) Citra input merupakan citra warna, pemprosessan dapat dilakukan dengan memisahkan setiap saluran warna R, G dan B. 2) Dekomposisi wavelet mulai level 1 dan level 2 untuk

Pada tanggal 15 Juli, pengangkut barang impor melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A ayat (2) Undang- Undang, yaitu jumlah barang impor yang dibongkar kurang

Menurut Rahman (2013), hubungan tindakan hemodialisis dengan tingkat kecemasan pasien terletak pada siklus/lama pasien melakukan tindakan hemodialisis, pasien yang

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: Mendapatkan surat izin penelitian dari program studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Unsrat Manado,

tidak akan terlalu dekat dengan 0 atau 1, maka selang kepercayaan untuk p dapat dicari dengan distribusi sampel , yang sama saja dengan distribusi p.a..  Selang kepercayaan