• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Gaharu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Gaharu"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

27

TINJAUAN PUSTAKA Gaharu

Gaharu berasal dari bahasa Sangsekerta disebut “aguru” yang artinya “tenggelam” atau bahasa Melayu yang artinya “harum” (Sumarna, 2007). Dalam

perdagangan internasional dikenal dengan nama ”agarwood, eaglewood, aloeswood” (Gunn et al., 2003), yaitu sebutan untuk hasil hutan non kayu yang berupa damar wangi (aromatic resin) dari genus Aquilaria dan genus lain pada famili Thymelaeaceae, sedangkan gubal gaharu adalah substansi aromatik berupa gumpalan kayu berwarna coklat muda, coklat kehitaman sampai hitam yang terbentuk pada pohon gaharu akibat infeksi mikroorganisme penyebab penyakit.

Family Thymelaceae ini terdiri dari Gonystyloideae, Aquilariodeae, Thymelaeiodeae, Gilgiodaphniodeae. Beberapa genus anggota Thymeleaceae penghasil gaharu adalah Aetoxylon sp, Aquilaria spp., Enkleia sp, Gonystilus sp dan Wilkstromeia sp (Hou, 1960). Diantara genus pohon tersebut, Aquilaria spp. diketahui sebagai penghasil gubal gaharu yang terbaik, demikian juga 2 jenis Gyrinops spp., yaitu G. versteegii dan G. ledermanii (Rahayu & Sitomorang, 2004).

Telah diketahui ada 24 spesies Aquilaria spp. tersebar di hutan tropis Asia mulai dari Banglades, India, Pakistan, Myanmar, Laos, Thailand, Singapura, Kamboja, Cina Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam spesies diantaranya yaitu Aquilaria beccariana, A. cumingiana, A. filaria, G. versteegii, A. malaccensis, A. microcarpa dan A. hirta ditemukan di wilayah Indonesia Asia (Hou, 1960; Cites, 2004), sedangkan 7 spesies Gyrinops spp., 6 diantaranya terdapat di Indonesia timur dan satu spesies terdapat di Srilangka, 20 spesies Gonystilus tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Serawak, Sabah, Philipina, Indonesia, Kepulauan Salomon dan Kepulauan Nikobar (Parman dan Mulyaningsih, 1996).

Pohon penghasil gaharu Gyrinops spp. memiliki distribusi yang cukup luas pada ras geografi. G. moluccana ditemukan di Maluku dan Halmahera, G. Versteegii ditemukan di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tengara Barat dan Propinsi Papua, sedangkan G. ladermanii, G. salicifolia, G. audate dan G. podocarpus ditemukan di Propinsi Papua dan Papua New Guinea. Di Pulau Papua sendiri distribusi populasi G. ladermanii lebih banyak ditemukan di Papua New Guinea, sedangkan G. versteegii populasi terbanyak di propinsi Papua Indonesia (Hou, 1960) (Gambar 1).

(2)

28

Gambar 2. Distribusi pohon penghasil gaharu Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. di Papua, Indonesia dan dunia.

Proses Pembentukan Gubal Gaharu

Gubal gaharu sering disebut dengan istilah “gaharu” adalah substansi aromatik berupa gumpalan berwarna coklat muda, coklat kehitaman sampai hitam (Hou, 1960). Proses terbentuknya gaharu pada pohon penghasil gaharu diduga sebagai akibat proses patogenesis yang diawali dengan rangsangan luka pada batang pohon, cabang atau ranting dan pengaruh fisik lainnya. Menurut Goodman et al. (1986) gubal gaharu diduga terkait dengan mekanisme ketahanan inang terhadap rangkaian proses yang terjadi pada patogenis tumbuhan berupa metabolit sekunder dari golongan senyawa aromatik. Metabolit beraroma harum ini umumnya dari golongan sesquiterpenoid dapat terbentuk pada pohon gaharu akibat adanya luka atau induksi dari mokroorganisme yang menginfeksinya atau interaksi faktor biotik dan abiotik.

Patogenesis tumbuhan adalah pertarungan antara inang dengan pathogen yang kompatibel dimana menurut Agrios (1997) keberhasilan proses infeksi oleh suatu pathogen sehingga dapat menginduksi gaharu dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor : 1). Inang yang rentan, yaitu jenis pohon gaharu; 2) Patogen yang virulen, artinya organisme pathogen yang potensial menyebabkan penyakit pada pohon inang gaharu; 3) Lingkungan yang mendukung dan 4) Peranan manusia dalam memodifikasi lingkungan, patogen dan pohon inang.

(3)

29

Seperti layaknya flora lain yang dapat mempertahankan diri, pohon gaharupun akan mempertahankan diri dengan cara memperbaiki luka yang ada dan menyembuhkan jaringan yang sakit atau rusak dengan memproduksi resin atau menangkal cendawan. Proses ke arah tersebut merupakan upaya mempertahankan diri sehingga akan menyebabkan terjadinya gubal gaharu yang mengandung damar wangi (Soehartono, 2001). Gubal gaharu sebenarnya adalah resin pohon yang tidak dieksudasikan keluar melainkan terdeposit dalam jaringan kayu. Resin yang terdeposit ini mengakibatkan kayu yang seratnya lepas dan berwarna putih berubah menjadi kompak dan hitam serta wangi. Resin ini dari golongan sesquiterpen yang mudah menguap (Ishihara et al., 1991) dan merupakan senyawa fitoaleksin, yaitu senyawa yang dibentuk oleh tumbuhan sebagai respon terhadap gangguan misalnya infeksi mikroorganisme (Kunoh, 1990).

Gambar 3. Empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya gubal gaharu (Agrios, 1997)

Umumnya di alam pohon akan menghasilkan gubal gaharu setelah berumur lebih dari 20 tahun, karena pada umur ini diameter batang pohon sudah cukup besar dan struktur batangpun sudah cukup permanen dan baik untuk produksi gubal gaharu. Menurut Giano (1986) dalam Zinch and Compton (2001), pada umur ini hanya 10 persen dari batang tanaman atau pohon yang dapat menghasilkan gaharu, sedangkan menurut Sumarna (2007), gaharu potensial yang ditanam sudah dapat diinokulasi mikroba untuk pembentukan gubal pada umur 5 tahun atau pada saat telah terbentuk organ reproduktif (berbunga dan berbuah).

MANUSIA

(pohon gaharu)

INANG

MANUSIA

(4)

30 Gaharu Unggul

Gaharu unggul adalah pohon gaharu yang terbukti di alam memiliki gubal gaharu yang kemudian akan diperbanyak sebagai bibit unggul (clone) untuk kepentingan budidaya (Sitorus, 2006). Kegiatan ini meliputi seleksi, baik seleksi in planta (pada pohon) dan seleksi in vitro di laboratorium. Seleksi in planta pada pohon gaharu di alam telah terbukti menghasilkan gubal gaharu yang dapat digunakan untuk keperluan breeding dan perbanyakan bibit unggul secara in vitro, stek atau cangkok.

Hal ini penting karena berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan oleh PUSLITBANG Kehutanan dan SEAMEO BIOTROP di hutan alam pada beberapa daerah penghasil gaharu di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua menunjukan bahwa tidak semua pohon penghasil gaharu di hutan alam dapat menginduksi gaharu. Pada umumnya dari pohon-pohon gaharu dewasa berumur 25 – 50 tahun di hutan-hutan alam hanya 10 % saja yang dapat memproduksi gubal gaharu (Isnaini, 2003).

Sementara itu, jumlah ekspor gaharu Indonesia pada tahun 1985 sekitar 1487 ton, namun pada tahun 1995 ekspor gaharu Indonesia kurang menjadi 300 ton sehingga CITES telah memasukan A. malaccensis ke dalam daftar appendix II (Barden, 2000) akibatnya kuota ekspor gaharu dibatasi 250 ton/tahun. Namun demikian sejak tahun 2000 Indonesia hanya mampu memasok gaharu 15 % dari kuota CITES.

Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam mengakibatkan Aquilaria spp. dan Gyrinops spp dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tahun 2004 di Bangkok (CITES, 2004). Kekuatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia, menyebabkan Departemen Kehutanan Indonesia sejak tahun 2005 menurunkan kuota ekspor gaharu menjadi hanya 125 ton/tahun.

Perbanyakan Pohon Penghasil Gaharu

Bibit gaharu untuk kepentingan budidaya dapat diperoleh dari semai di alam, perkecambahan biji, stek, cangkokan dan kultur jaringan (Sumarna, 2007). Kendala utama yang dihadapi dalam upaya pengembangan gaharu melalui upaya budidaya di Indonesia adalah produktifitas benih di alam rendah. Produktifitas benih yang rendah menyebabkan kesulitan memperoleh anakan pohon gaharu dalam jumlah banyak di alam padahal untuk tujuan budidaya yang luas sangat diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah cukup dan tersedia tepat waktu, oleh karena itu model perkembangbiakan vegetatif melalui stek pucuk dan kultur jaringan merupakan alternative yang baik untuk perbanyakan gaharu unggul.

(5)

31

Kendala lain yang umumnya terdapat hampir disebagian besar daerah di Indonesia dan Papua adalah tidak semua pohon gaharu menghasilkan buah setiap tahun, belum adanya kebun bibit unggul dan kebun benih (Sitomorang, 2000). Rendahnya daya berbunga dan produktifitas berbuah menyebabkan masalah regenerasi secara generatif, sementara itu pembiakan secara vegetatif dengan menggunakan stek dan cangkok membutuhkan bahan induk yang banyak. Kultur jaringan merupakan salah satu teknik alternatif perbanyakan gaharu secara masal dan cepat.

Manfaat dan Nilai Ekonomi Gaharu

Gaharu telah dimanfaatkan oleh manusia menjadi komoditi perdagangan sekitar 800 tahun yang lalu karena memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Pohon gaharu memiliki nilai ekonomi karena produk kayunya, gubal gaharu yang mengandung resin wangi, kemendangan, serpih/ ampas gaharu dan serbuk gaharu. Minyak gaharu merupakan produk gaharu yang paling mahal di Amerika, Eropa, Timur Tengah, India, Tibet dan China.

Gaharu memiliki berbagai ragam manfaat, namun pada dasarnya gaharu dapat dikelompokan ke dalam 4 manfaat besar, yaitu :

1. Manfaat dibidang industri parfum dan kosmetik, seperti : gas parfum dan minyak gaharu, sabun, sampo dan bedak serta pengharum ruangan (Hayne, 1987; Barden et al., 2000; Boruah & Singh, 2000).

2. Manfaat dibidang kesehatan dan obat-obatan, seperti : anti asmatik, anti mikrobia, stimulant kerja saraf dan pencernaan, liver, hepatitis, penghilang rasa sakit, kanker, paru-paru, rematik, cacar, malaria, sakit perut, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin serta perangsang birahi (Hayne, 1987; Barden et al., 2000; Boruah & Singh, 2000).

3. Manfaat di bidang agama dan kepercayaan, seperti : upacara-upacara religius pada umat Hindu, Budha dan Islam, pengharum ruangan sembayang, abu dan batang kemenyan dibakar ketika melakukan ritual kepercayaan, benda-benda rohani seperti rosario dan tasbih (Barden et al., 2000).

4. Manfaat lain : kayu gaharu kualitas kemedangan untuk perabot rumah tangga seperti meja, kursi, rak buku, hiasan dinding, ukiran serta kulit kayu untuk pembuatan pakaian adat, noken dan cawat pada sebagian masyarakat di Papua (Sumarna, 2007).

Harga gubal gaharu bervariasi dari Rp 5.000.000 - 15.000.000,-/kg tergantung dari kualtitas, bentuk dan corak, warna dan aroma. Gaharu kemedangan bervariasi dari Rp

(6)

32

50.000 – 500.000,-/kg ; bubuk gaharu atau ampas gaharu yang diperoleh dari sisa pembersihan gubal gaharu bervariasi dari Rp 10.000,- sampai Rp 50.000,-/kg. Bervariasinya harga juga ditentukan berdasarkan rantai perdagangan dan negara pemesan (Sumarna, 2007). Menurut Mashur (2011) harga gaharu di Indonesia berkisar Rp 100.000-150.000.000 per kg tergantung kualitasnya. Sementara itu harga gaharu super di China dapat mencapai Rp 400 juta per kilogram dan 300 juta per kilogram di Timur Tengah. Total ekspor gaharu Indonesia dalam lima tahun terakhir berkisar 170-573 ton/tahun dengan perkiraan perolehan devisa negara pada tahun 2006 sebesar 26.086.350 USD meningkat menjadi 85. 987.500 USD pada tahun 2010 (Zulkifli, 2011).

Mikoriza

Mikoriza berasal dari kata Myces artinya cendawan dan Rhiza artinya akar (Sieverding, 1991). Brundrett et. al (2004) menyarankan definisi baru mikoriza sebagai suatu asosiasi simbiotik yang esensial bagi kedua partner, antara suatu cendawan (terspesialisasi untuk hidup dalam tanah dan tumbuhan) dan akar (atau organ yang mengadakan kontak-substrat lainnya) dari suatu tumbuhan hidup, yang terutama bertanggungjawab untuk transfer hara. Mikoriza terjadi dalam suatu organ tumbuhan yang terspesialisasi dimana hubungan kontak yang dekat berasal dari perkembangan cendawan-tumbuhan yang tersinkronisasi.

Menurut Sylvia (2004) mikoriza merujuk pada suatu asosiasi atau simbiosis antara tumbuhan dan cendawan yang mengkoloni korteks akar selama periode pertumbuhan aktif. Simbiosis ini dicirikan oleh pergerakan hara dua arah (bi-directional movement) yaitu karbon mengalir dari tumbuhan ke cendawan dan hara inorganik dari cendawan ke tumbuhan dalam suatu linkage antara akar dan tanah yang mengindikasikan adanya peran kritis bagi tanaman terutama pada kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan yang optimal.

Mikoriza memberikan manfaat berupa bahan materi dan jasa. Materi yang diberikan yaitu unsur hara, sedangkan jasa yang diberikan yaitu perlindungan terhadap patogen, perlindungan terhadap kekeringan, perlindungan dari logam berat dan senyawa-senyawa radio nuklir serta dalam membantu pembentukkan struktur tanah (Pfleger and Linderman, 1996).

Langkah awal dalam pengembangan cendawan mikoriza adalah melakukan seleksi untuk mendapatkan isolat yang infektif yaitu mampu menembus dan menyebar ke dalam akar dan efektif yaitu mampu mempertinggi pertumbuhan atau toleransi tanaman terhadap

(7)

33

tekanan lingkungan. Hal ini disebabkan karena individu isolat FMA secara genetik sangat bervariasi dalam sifatnya sehingga perlu screening isolat untuk keefektifan dengan mengombinasi inang dan media tumbuh yang kompatibel dengan sistem produksi pembibitan. Sumber isolat FMA tersebar seluruh kondisi tanah yang bervegetasi. Pengambilan tanah-akar di bawah tegakan tanaman/pohon (daerah rhizosfer) yang diduga terkoloni oleh FMA merupakan cara yang sering dilakukan untuk mendapatkan inokulum FMA. Dalam suatu campuran tanah-akar ini belum dapat diketahui secara pasti baik jenis, jumlah, potensi kualitas maupun pengaruhnya terhadap tanaman, sehingga perlu identifikasi, pemurnian, dan uji efektifitasnya. Selanjut menurutnya untuk membedakan antara spesifiksitas (specificity) yaitu kemampuan bawaan (innate ability) untuk mengkoloni, keinfektifan (infectiveness) yaitu jumlah kolonisasi, dan keefektifan (effectiveness) yaitu respon tumbuhan terhadap kolonsiasi. Dengan demikian penilaian haruslah didasarkan atas faktor-faktor ini (Sylvia, 2004).

Menurut Brundrett et al. (2004), mikoriza harus merupakan asosiasi mutualistik “balanced”, dimana cendawan dan tumbuhan mengubah bahan pokok yang diperlukan untuk pertumbuhan dan daya hidupnya. Selanjutnya Brundrett (2004) mengusulkan skema klasifikasi hirarkis simbiosis mikoriza sebagaimana pada Gambar 3.

Asosiasi mutualistik menempati kuadran saling menguntungkan (++), dan berbeda dengan kuadran relatif menguntungkan (+) dan berbahaya (-). Pada kuadran atas (++)

BERMANFAAT BAGI CENDAWAN BERMANFAAT BAGI TUMBUHAN BERBAHAYA BAGI TUMBUHAN BERBAHAYA BAGI CENDAWAN + + + E n d o p h y ti s me Fakultatif obligat C en d awa n An tag o n is + E k sp lo it ati f B alan ce d Antagonisme tumbuhan Parasitisme Mikoriza

Gambar 4. Skema hirarki yang terdiri dari tipe-tipe mikoriza dan kategori interaksi tumbuhan dengan cendawan lainnya (Brundrett et al., 2004).

(8)

34

merupakan ketergantungan tanaman yang meningkat, dimulai dari mikoriza fakultatif dan tumbuhan non-mikoriza dengan titik kulminasinya pada tumbuhan berasosiasi mikoriza obligat, sedangkan garis kedua searah sumbu vertikal mewakili sifat berbahaya atau menguntungkan terhadap cendawan. Parasitik dan asosiasi antagonistik menempati dua kuadran lainnya dengan tumbuhan-cendawan.

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sering disebut juga endomikoriza, ada juga yang menggunakan istilah Vesicular-Arbuskula Mikoriza (V-AM). Istilah FMA digunakan untuk membedakan tipe mikoriza ini dari ektomikoriza, karena disini biasanya tidak ada sarung (sheath) miselium cendawan di sekitar akar seperti yang terdapat pada sekeliling akar ektomikoriza. Fungi Mikoriza Arbuskula merupakan cendawan yang penyebarannya sangat luas di dunia mulai dari daerah padang pasir, temperit, tropika dan dapat berasosiasi lebih dari 90% tanaman yang ada di bumi. VAM telah diketahui di dalam akar tanaman lebih dari 100 tahun yang lalu, tetapi struktur reproduktifnya baru diketahui 30 tahun terakhir. Cendawan VA mikoriza telah berhasil diekstraksi dan ditumbuhkan pada tanaman hidup di pot kultur (Gardeman, 1963). Diversitas FMA tidak mengikuti keanekaragaman tanaman namun keanekaragaman spesies tanaman mungkin diatur oleh tipe FMA. Alasan mengapa FMA dapat meningkatkan penyerapan hara dalam tanah (Abbott & Robson, 1992), karena hifa dari FMA dapat menjangkau dan mengambil hara dari dalam tanah dan selanjutnya mensuplai hara ke tanaman melalui akarnya, meningkatkan penyerapan hara dan konsentrasi hara pada permukaan penyerapan, merubah secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman. Dengan demikian menyebabkan terjadinya peningkatan penyerapan unsur hara, kondisi ini banyak terjadi pada tanaman yang mempunyai akar yang kasar, tersebar tipis dan sedikit rambut akarnya. Kapasitas pengambilan hara dapat ditingkatkan jika terjadi kolonisasi mikoriza pada akar karena akar yang dikolonisasi diperpanjang, ukuran percabangan serta diameter akar diperbesar dan luas permukaan absorpsi akan diperluas. Hormon pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan gibberelin bagi tanaman dapat juga meningkat. Akar sebagai penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama karena dengan meningkatnya auksin, maka proses penuaan akar menjadi lambat (Karagiannidis et al., 1995).

Resistensi terhadap kekeringan lebih baik pada tanaman yang bermikoriza daripada yang tidak bermikoriza. Tanaman bermikoriza akan cepat kembali pulih setelah periode

(9)

35

kekeringan berakhir karena hifa FMA masih mampu menyerap air pada pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah tidak mampu. Hifa dapat mengambil air relatif lebih banyak karena penyebarannya di dalam tanah sangat luas.

Menurut Daniels dan Menge (1981) dan Abbott & Robson (1992), kemampuan meningkatkan penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman berbeda antara spesies dan strain FMA, setiap spesies FMA mempunyai innate effectiveness atau kemampuan spesifik. Keefektivan diartikan sebagai kemampuan FMA dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang kurang menguntungkan. Beberapa faktor yang berhubungan dengan keefektivan dari suatu spesies FMA, yaitu FMA mampu untuk membentuk hifa yang ekstensif dan penyebaran hifa yang baik di dalam tanah, FMA mampu untuk membentuk infeksi yang ekstensif pada seluruh sistem perakaran yang berkembang dari suatu tanaman, FMA mempunyai hifa yang mampu menyerap fosfor dari larutan tanah.

Manfaat Mikoriza

Manfaat mikoriza di alam ini sudah tidak dapat disangkal lagi karena telah banyak ditulis para pakar. Menurut Brundrett et al. (1996), manfaat dari mikoriza dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu manfaat bagi tanaman, manfaat bagi ekosistem dan manfaat bagi manusia

a. Manfaat mikoriza bagi tanaman

Meningkatkan pasokan unsur hara tanaman dengan memperbesar volume tanah yang dapat dikelolah oleh akar tanaman, meningkatkan pasokan hara dengan jalan menyerap bentuk-bentuk hara yang secara normal tidak tersedia bagi tanaman, beberapa jenis cendawan ektomikoriza dan ericoid memiliki kapasitas untuk membongkar senyawa-senyawa fenolik yang ada dalam tanah (Smith and Read, 1997), senyawa-senyawa fenolik diyakini dapat mengganggu berlangsungnya serapan hara oleh tanaman, kolonisasi akar oleh ektomikoriza dan FMA dapat memberikan perlindungan terhadap serangan cendawan parasitik dan nematoda memungkinkan terjadinya perpindahan hara dari tanaman yang sudah mati ke tanaman yang masih hidup.

b. Manfaat mikoriza bagi ekosistem

Hifa-hifa yang ada di dalam tanah berperan penting dalam pendauran hara dengan cara membantu mencegah kehilangan hara dari sistem, khususnya ketika akar tanaman sedang tidak aktif, hifa merupakan saluran yang digunakan untuk memindahkan karbon dari akar tanaman ke jazad renik lainnya yang terlibat dalam proses daur hara. Dengan kata lain

(10)

36

bekerjasama dengan anggota lain dari rantai pangan dekomposisi tanah, cendawan mikoriza dapat menyumbangkan simpanan karbon dalam tanah dengan jalan mengubah kualitas dan kuantitas bahan organik tanah (hifa mikoriza berperan penting dalam memperbaiki struktur tanah (Grifftiths et. al., 1992), FMA juga dapat bersinergis dengan mikroba potensial lainnya, seperti bakteri penambat N bebas dan bakteri pelarut fosfat (Barea et al. 1992). Serta sinergis dengan jasad – jasad renik selulotik seperti Trichoderma sp. Berdasarkan kemampuan tersebut, maka FMA dapat berfungsi untuk meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran tanaman.

c. Manfaat mikoriza bagi umat manusia

Cendawan ektomikoriza secara ekonomis dan nutrisi merupakan sumber pangan yang penting artinya bagi umat manusia. Tubuh Buah dari fungi ektomikorhiza Scleroderma sinnamariense yang bersimbiosis dengan tanaman melinjo dapat dijadikan sebagai bahan pangan. Jamur ektomikoriza juga telah digunakan sebagai obat-obatan dan pewarna alami. Cendawan juga memiliki nilai keindahan/estetika dan merupakan bagian penting dalam budaya, tradisi dan cara menghargai alam oleh umat manusia (Mansur, 2010). Keragaman cendawan merupakan bio-indikator kualitas lingkungan, cendawan yang telah beradaptasi dengan kondisi tanah lokal diperlukan untuk pertanian, hortikultura dan kehutanan.

Mikoriza dan Gaharu G. versteegii

Sejauh ini kajian mengenai keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula pada G. versteegii asal Papua baru dilaporkan oleh Worabai (2009) yang telah berhasil mengidentifikasikan 3 jenis spora indigenous yakni Glomus sp., Acaulospora sp., dan Scutellospora sp. dengan persen kolonisasi akar tertinggi 16,84% dan terendah adalah 8,77%. Sementara itu, uji pemanfaatan FMA untuk memacu pertumbuhan tanaman penghasil gaharu ini belum pernah dilakukan.

Pemanfaatan FMA pada gaharu oleh Sumarna, 2007 melaporkan bahwa aplikasi mikorhiza ternyata menghasilkan bibit tanaman gaharu lebih cepat mencapai kondisi siap tanam dalam kisaran waktu 2–3 bulan sejak proses perkecambahan benih. Selain itu bibit yang diperoleh relatif lebih sehat, tahan gangguan penyakit dan hama akar dibanding tanpa perlakuan mikorhiza. Bibit bermikorhiza memiliki kemampuan hidup di lapangan jauh lebih tinggi dibandingkan bibit tak bermikorhiza. Hal ini didukung hasil penelitian Karyaningsih (2009), dimana pemberian FMA jenis G. margarita mampu membentuk

(11)

37

kolonisasi, sporalisasi dan berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan semai gaharu A. crassna.

Sampai saat ini aplikasi FMA untuk pertumbuhan plantling gaharu Papua G versteghii belum pernah dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan uji pemanfaatan FMA untuk memacu dan meningkatkan pertumbuhan bibit gaharu ini.

Bio-Charcoal

Bio-charcoal adalah arang yang dibuat dari material biologis atau bahan organik apapun yang diolah melalui proses pirolisis (pembakaran dengan suplai oksigen yang minimal). Bio-charcoal telah digunakan untuk kegiatan pertanian dalam rangka meningkatkan produktifitas lahan dalam budidaya pertanian yang berkelanjutan sejak suku Indian Maya menggunakan teknik tebang, cincang dan bakar (Steiner et al., 2004). Baru-baru ini, telah diteliti oleh banyak peneliti bahwa bio-charcoal mampu menurunkan emisi gas rumah kaca dari tanah dan dapat meningkatkan produksi padi (IRRI), jagung (University of Georgia di Atlanta), Singkong (Terra Pretta, Brazil), karena bio-charcoal dapat berfungsi sebagai manajer tanah dan pembenah tanah (Steiner, 2007).

Fungsi dari penambahan bio-charcoal tersebut di dalam tanah adalah untuk meningkatkan kesuburan tanah (pembenah tanah), meningkatkan aktifitas mikroba tanah dan menurunkan emisi karbon ke udara. Lehman (2007) telah menunjukkan hasil penelitiannya bahwa bio-charcoal dapat digunakan untuk meningkatkan struktur dan kesuburan tanah yang pada gilirannya meningkatkan produksi biomassa.

Peranan bio-charcoal sebagai soil conditioner meliputi perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi. Pengaruh bio-charcoal terhadap sifat fisik tanah antara lain meningkatkan stabilitas struktur dan peningkatan kandungan air tanah, peningkatan porositas dan aerase tanah, menjadikan media lebih porous serta meningkatkan kapasitas luasan permukaan. Peranan pada sifat kimia tanah akibat penambahan bio-charcoal ke dalam tanah yaitu peningkatan pH tanah, Kapasitas Tukar Kation, Kejenuhan Basa dan penurunan ion Al+ dan H+. Adapun pengaruh bio-charcoal terhadap aktifitas biologi tanah antara lain sebagai aktifator mikoriza dan rhizobium. Pemberian arang sekam terhadap bakteri penambat nitrogen dan cendawan mikoriza mampu meningkatkan jumlah bintil akar pada tanaman leugum, meningkatkan jumlah spora dan tingkat kolonisasi Glomus etunicatum (Ogawa, 1994; Glaser at al., 2002 ; Braida et al., 2003 diacu Ahmad, 2006).

Di Indonesia teknologi bio-charcoal juga telah digunakan pada system perladangan berpindah, namun teknik tersebut hanya menghasilkan 2% arang karena dibakar dengan

(12)

38

suplai oksigen yang berlebihan (tempat terbuka). Pemanfaatan bio-charcoal dibidang kehutanan telah dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan Indonesia pada tanamaan Acacia mangium, Shorea leprosulla dan Pinus merkusii berumur 2,5-3 tahun menunjukan pengaruh sangat nyata terhadap indikator pertumbuhan (tinggi, diameter, biomasa dan akar tanaman) (Siregar, 2010). Sementara itu hasil uji coba pemanfaatan bio-charcoal untuk produksi FMA menggunakan inang Shorgum bicolour menunjukan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah spora (Supriyanto, 2010).

Lignit (Batubara Muda)

Lignit disebut juga batubara muda atau batubara cokelat, tidak ekonomis digunakan sebagai bahan bakar. Lignit memiliki kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah. Dengan adanya masalah tersebut, apabila terdapat lapisan batubara lignit dalam penambangan batubara, maka penambang hanya mengambil lapisan yang berkualitas tinggi, sedangkan lignit akan disingkirkan atau ditimbun kembali di lokasi tambang. Batubara dengan mutu yang rendah, seperti lignit dan sub-bitumen biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh, berwarna suram seperti tanah dan memiliki kelembaban tinggi dengan demikian energinya rendah.

Lignit (batu bara muda) mengandung zat-zat humat (asam humat) sebagai unsur organik utama yang banyak terdapat dalam air alami, bahan-bahan yang tahan degradasi yang dihasilkan selama dekomposisi dari tumbuhan yang terjadi sebagai endapan dalam tanah, sedimen rawa. Asam humat adalah salah satu senyawa yang terkandung dalam humat substance yang merupakan hasil dekomposisi bahan organik, utamanya bahan nabati yang terdapat dalam batu bara muda, tanah gambut, kompos atau humus (Senn dan Kigman, 1973).

Asam humat merupakan hasil akhir proses dekomposisi bahan organik, berwarna hitam, kecoklatan, relatif tahan terhadap degradasi serta mengandung muatan negatif yang dapat dipengaruhi pH (Stevenson, 1994). Proses pembentukan batubara muda dapat melalui dekomposisi flora dan fauna yang merupakan bagian dari transformasi biokimia organik sebagai titik awal. Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati, proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti selulosa, protoplasma dan pati. Melalui proses itu terjadi perubahan dari kayu menjadi lignit dan batubara berbitumen. Dalam suasana kekurangan

(13)

39

oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan methan (CH4).

Indonesia termasuk negara dengan sumber tambang batubara terbesar di dunia. Cadangannya diperkirakan 36 ton. Hanya saja 50 – 85 persennya berkualitas rendah. Ini dilihat dari nilai kalori pembakarannya yang rendah, dan kadar sulfur serta airnya yang tergolong tinggi ( Sukandarrumudi, 2006).

Asam humat merupakan komponen organik, yang dapat berasosiasi menjadi ion yang aktif serta bersiaft kolodial dan relatif stabil. Berperan besar dalam memperbaiki kesuburan tanah, baik secara kimia, fisika dan biologi tanah. Memperbaiki strukjtur tanah, meningkatkan kapasitas memegang air dan Kapasits Tukar Kation (KTK) tanah, menurunkan kalarutan unsur beracun seperti Fe dan Al karena muatan negatif dan gugus fungsional karboksil (- COOH) dan hidroksil (-OH).

Pemanfaatan batubara muda sebagai pembenah tanah telah dilakukan oleh Karyanigsih, 2009 dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemanfaatan batubara muda dan Glomus margarita sebagai pembenah tanah dalam media pertumbuhan berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan pertumbuhan semai gaharu A. crassna, kolonisasi dan jumlah spora G. margarita.

Gambar

Gambar 2.  Distribusi pohon penghasil gaharu Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. di Papua,  Indonesia dan dunia
Gambar  4.    Skema  hirarki  yang  terdiri  dari  tipe-tipe  mikoriza  dan  kategori  interaksi  tumbuhan dengan cendawan lainnya (Brundrett et al., 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu daerah di kabupaten pelalawan yang sangat berpotensi dalam hal pengembangan wisata budayanya ialah Kecamatan Teluk Meranti karena merupakan salah satu

Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang kurang baik, pelapukan permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil, atau bahan

Analisis ini digunakan untuk melihat bagaimana preferensi konsumen akan ritel modern dan ritel tradisional, sehingga dapat diprediksi faktor apa saja yang

pengaruh masing-masing kriteria terhadap sub kriteria, dan tingkat pengaruh sub kriteria terhadap alternatif yang diberikan. 3) Dalam penentuan atribut sub kiteria

[r]

Pada dasarnya pupuk hayati berbeda dengan pupuk anorganik, seperti Urea, SP 36, atau MOP sehingga dalam aplikasinya tidak dapat menggantikan seluruh hara yang

Strategi tindak tutur komisif langsung meliputi (a) berniat modus berita 2 tuturan, (b) berjanji modus berita 11 tuturan, (c) menawarkan modus berita 7 tuturan, dan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah pada materi pokok kinematika dengan analisis vektor di kelas XI IPA SMA N