• Tidak ada hasil yang ditemukan

Campur Tangan Asing Atas Hukum Agraria P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Campur Tangan Asing Atas Hukum Agraria P"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

CAMPUR TANGAN ASING ATAS HUKUM AGRARIA DI INDONESIA

PADA MASA KOLONIAL

Oleh:

Ryantino Paundra Nagari 12/335129/SA/16605

Pertanian adalah sumber penghidupan yang penting bagi rakyat Indonesia. Dalam hukum adat di Indonesia banyak peraturan-peraturan mengenai agraria. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ada pengaruh-pengaruh asing atas hukum adat yang mengatur tentang agraria. Perbedaan persepsi dan kepentingan mengenai kepemilikan tanah antara penguasa (pemerintah) dan rakyat (petani), kelihatannya mewarnai dan memberikan suatu corak khas bagi lembaran sejarah Indonesia khususnya sektor agraria.

Clifford Geertz membagi pandangan mengenai pemilikan tanah menjadi dua bagian. Wilayah Jawa dan Madura yang disebutnya sebagai “Indonesia dalam”, beranggapan bahwa tanah adalah hak milik dan alat produksi, dan demi tanah setiap orang bersedia mempertaruhnya nyawa untuk memper-tahankan tanah tersebut. Di sisi lain, beliau istilahkan dengan “Indonesia luar” (di luar Jawa dan Madura) yakni kolonial beranggapan bahwa kepemilikan tanah tidak jelas dan ditentukan oleh jenis tanaman tertentu. Dalam pengertian bahwa tanah adalah milik umum, sehingga siapa yang mengolah (menanami) itulah pemiliknya.1

Perbedaan persepsi mengenai kepemilikan tanah inilah yang di kelak kemudian hari menjadi penyebab munculnya berbagai aksi protes, seperti aksi protes berupa pemberontakan Ratu Adil, Perang Diponegoro, Pemberontakan Petani Banten, sampai kepada aksi protes dengan organisasi modern seperti pemogokan di Keresidenan Madiun, Keresidenan Yogyakarta, Keresidenan Pasuruan, dan lain-lain.

Sebelum kedatangan bangsa asing semua tanah adalah milik raja, dalam nagaragung misalnya, raja-raja mengoper tanah-tanah persekutuan ketangan sendiri. Juga terjadi tanah pertanian diberikan kepada sanak saudara raja ata pegawai-pegawai raja. Raja di Jawa memiliki bawahan yang disebut lungguh (apanage). Seorang pemegang lungguh bekerja dengan pembantunya yang disebut bekel. Seringkali seorang pemegang lungguh lebih kejam daripada rajanya. Mereka menganggap dan dianggap mempunyai hak terhadap tanah. Di

(2)

daerah vorstenlanden pemegang lungguh dianggap sebagai pemilik tanah, penyewa sebagai pemakai tanah, dan petani sebagai penggarap tanah.

Ketika VOC2 berkuasa di Indonesia mereka tidak mempunyai sistem yang mengatur tentang

hal-hal yang menyangkut agraria. Baru pada tahun 1811 ketika Indonesia berada dalam kekuasaan Inggris, Raffles membentuk suatu panitia Mackenzie untuk penyelidikan statistik.3

Berdasarkan penyelidikan itu Raffles mengetahui bahwa semua tanah adalah kepunyaan raja yang menyewakan tanah kepada para kepala desa dan kemudian kepala desa menyewakan lagi kepada para petani. Berdasarkan hal tersebut Raffles menerapkan sistem landrente. Peter Boomgard menyatakan bahwa: Kita perlu membedakan antara landrente sebagai suatu pajak bumi atau lebihtepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode colonial, dan andrente sebagai suatu sistem (Belanda: Landrente Stelsel), yang berlaku antara tahun 1813 sampai 1830.4

Dalam usahanya untuk melaksanakan sistem sewa tanah ini Raffles berpegang pada tiga azas, yaitu: Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam. Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya tanpa perantara bupati-bupati, yang dikerjakan selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas. Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas,yaitu:

1. Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto. 2. Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga darihasil bruto. 3. Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.

Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. sistem sewa tanah ini

2Verenidge Oost-Indische Compagnie, perusahaan dagang Belanda di Hindia Timur.

3Soekanto, Menindjau Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Soeroengan, 1958), hlm. 131.

(3)

pada mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan uang. Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut.

Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Raffles ini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai "Libertie (kebebasan), Egaliie

(persamaan), dan Franternitie (persaudaraan)". Hal tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya. Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur Jenderal Raffles banyak memanfaatkan kolonial (Inggris) sebagai struktur pelaksana sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan kolonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Setelah era Raffles berakhir kemudian Belanda kembali menguasai Indonesia dibawah kepemimpinan Van den Bosch. Di masa ini cultuurstelsel diterapkan.5 Pada masa itu, tanah

di seluruh wilayah kerajaan adalah milik raja. Karena itu, dalam menjalankan pemerintahannya raja akan mengangkat sentana dan narapraja (priyayi) untuk membantunya.6

Imbalan atas tugas yang dibebankan tersebut, yakni mereka akan mem-peroleh lungguh. Pada saat itu belum terdapat kejelasan pada pola pemilikan tanah. Ketentuan luas lungguh masih

5Juga terdapat beberapa ketentuan kerja wajib yang diterapkan pada masa colonial Belanda. Adapun mengenai jenis-jenisnya dapat dibedakan dalam 4 kategori:

A. Kerja wajib umum (heerendiensten) meliputi kerja dalam pekerajaan umum, kepentingan kepala desa dan ber-macam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan warga desa dan lingkungan desa pada umumnya. Lihat; Suhartono,

Apanage dan Bekel. Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830–1920, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm.41.

(4)

didasarkan pada jumlah penduduk.7 Adapun pengelolaan lungguh diserahkan sepenuh-nya

pada para sikep. Seorang sikep disamping mempunyai kewajiban untuk membayar pajak juga harus menjalankan kerja wajib untuk kerajaan dan kepentingan bersama di desanya.8

Dalam perkembangan selanjutnya, memasuki tahun 1870 dalam sejarah kolonial dikenal sebagai “jaman liberal” yang ditandai oleh ditetapkannya Undang-undang Agraria yang berisi larangan mengambil tanah penduduk dan membebaskan para pengusaha asing untuk menyewa tanah di Indonesia. Peraturan ini dimaksudkan sebagai upaya preventif bagi timbulnya kekuasaan merampas hak milik atas tanah secara sewenang-wenang sekaligus merupakan awal lahirnya ide humaniter. Selain itu, ditetapkan pula bahwa tanah yang dibiarkan menganggur tanpa ditanami atau tidak digarap secara konstitusi adalah milik negara.

Ketentuan mengenai pernyataan tanah negara ditetapkan dalam Agrarisch Besluit atau

Domein Verklaring sebagai berikut: “Semua tanah yang tidak dapat dibuktikan oleh seseorang adalah tanah negara berdasarkan pasal 21 ayat 2 IS (Indische Staatsregeling)”. Peraturan ini berlaku untuk daerah gubernemen, sedangkan daerah swapraja berlaku hukum adat. Daerah swapraja yang dimaksudkan adalah Maluku, Sulawesi, dan Sunda Kecil. Status tanah negara dibedakan atas dua macam berdasarkan Domein Verklaring yakni:

1. Tanah negara bebas (vrij staatsdomein) yaitu tanah yang tidak sama sekali dibebani hak seorang menurut hukum Belanda.

2. Tanah negara yang tidak bebas (orvrij staatsdomein) yaitu tanah yang dibebani suatu hak menurut hukum Belanda.

Peraturan mengenai penggunaan tanah juga dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang tercantum melalui Agrarisch Wet (pasal 21) Indische Staatregeling sebagai berikut:

1. Gubernur Jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah.

2. Dalam larangan tersebut tidak termasuk tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dan desa serta untuk mendirikan perusahaan-perusahaan.

7Tjondronegoro, Sediono MP, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa, (Jakarta: Gramedia dan Yayasan Obor Indonesia, 1984), hlm. 5.

(5)

3. Gubernur Jenderal menyewa tanah menurut undang-undang (tidak termasuk tanah penduduk asli yang telah digarap atau tempat ternak.

4. Melalui peraturan tersebut dibuat tanah hak paling lama 75 tahun.

5. Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai penggunaan tanah melanggar hak-hak rakyat.

6. Persewaan tanah rakyat asli diatur dalam undang-undang.

Ditetapkannya Undang-undang Agraria (1870) sebagai tuntutan gerakan liberal, mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Memberikan pengakuan kepada hak pemilik tanah oleh pribumi sebagai “hak milik mutlak” (eigendom), sehingga memungkinkan penjualan dan persewaan.

2. Asas domein yang mendasari undang-undang agraria itu, peng-usaha swasta diberi kesempatan untuk dapat menyewa tanah dalam jangka panjang dan murah. Karena itu, ber-dasarkan perjalanan sejarahnya, berbagai kebijakan yang termaktub dalam undang-undang agraria (1870) pada tataran praktisnya hanya merupakan peraturan untuk melayani kepentingan pengusaha besar.9

Mengenai kondisi pertanahan di Indonesia selama 3/4 abad sebagai berikut:

1. Dari segi pemilikan tanah, dapat digolongkan: tuan tanah (pemilik tanah besar), pemilik tanah sedang, pemilik tanah kecil, dan golongan petani tak bertanah. 2. Dari keadaan itu penggunaan tanahnya didapatkan: petani besar (tuan tanah yang

mengerjakan tanahnya sendiri yang luas atau melepaskan pada orang lain untuk disewa tau membiarkan kosong), pemilik sawah sedang yang menjadi petani sedang, pemilik tanah kecil, petani yang tak punya sawah.10

Kemudian di masa pendudukan Jepang, tanah partikulir tidak ada yang dibeli kembali. Badan khusus segera dibentuk untuk mengatur dan menentukan status tanah peninggalan penjajah Belanda. Kantor yang menangani masalah tanah dinamakan Syiichi Kanri Kosha (Kantor Urusan Tanah Partikulir). Dalam menjalankan fungsinya, kantor ini seolah-olah berfungsi mewakili kekuasaan pemerintah sehingga tampak tanah partikulir dikuasai oleh pemerintah, sedangkan tuan tanah tidak berkuasa lagi.11 Walaupun demikian, dapat dipastikan bahwa

kebijakan penjajah Jepang seperti halnya Belanda bermuara pada upaya menarik keuntungan

9Soekanto, Menindjau Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Soeroengan, 1958), hlm. 135-137.

(6)

sepihak. Hal ini dapat dibandingkan dengan kantor dagang VOC milik Belanda, Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) Tahun 1870 yang dijanjikan akan memperbaiki kondisi ekonomi petani, justru melahirkan keuntungan sepihak.

Meskipun demikian, perubahan mendasar terkait dengan kondisi tanah pertanian kemudian menjadi ciri masa pendudukan Jepang. Banyak di antara tanah subur yang mendapat perawatan intensif pada masa pemerintah kolonial Belanda menjadi rusak. Pada akhir tahun 1943 beberapa kebun digunakan sebagai lahan untuk menanam jenis tanaman padi, jagung, kacang-kacangan, dan jenis tanaman industri yang diperlukan Jepang. Dalam catatan Pelzer juga dikemukakan bahwa: “Selama orang-orang Eropa tetap tinggal diperkebunan-perkebunan itu meskipun mereka sedikit, selalu dapat ditemukan cara-cara untuk memelihara setidak-tidaknya beberapa bidang tanah yang paling terpilih. Tetapi setelah orang-orang terakhir ditawan pada tahun 1943, tanah tembakau itu kembali digunakan untuk penanaman sepanjang tahun, bukan hanya untukpadi, jagung dan tanaman pangan lain melainkan juga untuk serat, kacang-kacangan, jarak dan tanaman-tanaman industri lainnya yang berguna bagi Jepang. Ini tentu saja menghancurkan sistem penggiliran penanaman yang sebelumnya telah dirawat dengan penuh ketelatenan, dan juga menyebabkan kerusakan tanah yang berat pada semua perkebunan terutama perkebunan-perkebunan di tanah rencah dekat pantai”.12

Uraian tersebut menunjukkan bahwa perubahan fundamental yang terjadi di bidang agraria pada masa pendudukan Jepang, yaitu rusaknya beberapa jenis tanah perkebunan yang sebelumnya tergolong subur. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kecenderungan penggunaan jenis tanaman pada lahan tertentu tanpa mereka mempertimbangkan aspek yang berhubungan dengan pemeliharaan kesuburan.

Suatu kenyataan historis yang menarik untuk dicermati, yakni perbedaan mendasar dari kedua penguasa yakni Belanda dan Jepang dalam hal kebijakan di bidang agraria. Dalam pengertian bahwa kondisi agraria dapat berubah secara signifikan, tidak hanya disebabkan oleh sebuah gejala alam atau natural factors. Akan tetapi, peran penguasa dengan jenis kebijakan yang diterapkan dapat menentukan seperti apa kondisi agraria pada lingkungan atau wilayah tertentu.

11Moebyarto, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 50.

(7)

Masalah agraria di Indonesia sesungguhnya tidak bermula sejak masa kolonial, akan tetapi jauh sebelum itu telah banyak persoalan terkait dengan sektor agraris. Tulisan ini menitikberatkan kajian pada masa kolonial dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa kekuasaan politik sangat dominan pengaruhnya terhadap dunia agraris. Meskipun demikian, di balik porak-porandanya sendi kehidupan ekonomi rakyat karena campur tangan asing, di sisi lain justru membawa efek positif. Misalkan kedatangan bangsa asing yang diiringi oleh kehadiran para ahli pertanian, kemudian dianggap sebagai dasar dan cikal bakal lahirnya modernisasi pertanian dan perkebunan di Indonesia

(8)

Boomgard, Peter. Anak jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880. Jakarta: Jambatan, 2004.

Djuliati Surojo. Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: YUI, 2000.

Geertz, Clifford. Involusi Pertanian “Proses Perubahan Ekologi di Indonesia”. Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1983.

Moebyarto. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1992.

Pelzer, Karl J. Toean Keboen dan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1977.

Soekanto. Menindjau Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Soeroengan, 1958.

Suhartono. Apanage dan Bekel. Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830–1920. , 1991.

Tjondronegoro, Sediono MP. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Gramedia dan Yayasan Obor Indonesia, 1984.

Referensi

Dokumen terkait

Selain daripada menjawab soalan secara langsung, pengguna juga boleh menjawab soalan yang telah disediakan secara tidak langsung dengan muatturun (download) fail bagi soalan

Di sisi lain, isu demokratisasi pada saat ini benar- benar mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala peristiwa selalu dikaitkan dengan.. Akan tetapi

Dimensi pertama, penerimaan adanya ABK dalam keluarga (dimensi penerimaan) didefinisikan sebagai lensa yang digunakan sebagai anggota keluarga dengan ABK untuk menerima

Upayatajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski memerlukan cost yang besar.Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistisdan

5.1 Menganalisis data yang berkaitan dengan kegiatan MC dari hasil rapat dengan panitia penyelenggara 5.2 Mencatat hasil analisis untuk. kepentingan kelancaran

Maksud kerjasama ini adalah untuk menggalang kebersamaan dan sinergi dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat, Alreditasi

Kegiatan ekowisata dapat dikembangkan pada kawasan dilindungi seperti taman nasional, taman wisata alam dan hutan lindung dengan prinsip ekowisata yang berkelanjutan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di Desa Sambi Rejo Dusun V Kec.. Jenis penelitian