• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teologi Pembebasan di Amerika Latin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teologi Pembebasan di Amerika Latin"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ERMAWATI-1170750020

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam dekade terakhir ini banyak orang membicarakan Teologi Pembebasan, bukan saja di Amerika Latin tempat asal teologia ini, tetapi juga di Asia dan Afrika. Walaupun Teologi Pembebasan timbul di mana- mana, namun yang secara “vokal” dan sistematis berbicara tentang Teologi Pembebasan adalah yang berasal dari Amerika Latin.1 Teologi adalah suatu ilmu yang

membahas hakikat dan hubungan antara Tuhan dan maupun mahluk lainnya. Istilah pembebasan, muncul sebagai istilah khas Amerika Latin baru. Istilah tersebut merupakan istilah yang dibakukan sebagai reaksi terhadap pembangunan di Amerika Latin dan negara lainnya. Pembangunan telah membawa misi sistem ekonomi, politik, liberal kapitalis. Sistem liberal kapitalis justru menimbulkan jurang yang semakin dalam antara yang miskin dan kaya. Negara miskin semakin tergantung pada negara kaya, dalam hal hutang dan hubungan dagang internasional. Desa semakin menjadi pinggiran dan tergantung pada kota. Buruh semakin menggantungkan nasibnya pada majikan yang memerasnya. Situasi tersebut disadari oleh para teolog Amerika latin untuk menggali lebih dalam arti pembebasan. Teologi pembebasan di Amerika Latin merupakan sebuah entitas gerakan sekaligus juga doktrin.

Secara konsepsional maupun gerakan atau aksinya, teologi pembebasan ini tumbuh dan berkembang serta populer khususnya di negara-negara Amerika Latin pada dasawarsa 70-an. Gerakan atau aksi dari teologi pembebasan lahir dari masyarakat yang dalam keadaan miskin atau negara-negara yang tertindas oleh kekuatan dan kekuasaan materialistis serta ekonomis seperti misalnya dalam sistem kapitalisme, sistem developmentalism, sistem liberalisasi ekonomi (globalisasi) dan lainnya. Dengan kata lain, konsepsi tersebut lahir dari refleksi kritis atas gagalnya sistem-sistem tadi dalam mewujudkan kehidupan yang humanis bagi umat manusia di muka bumi ini.2 Oleh karena itu menurut Gutierrez, sebagai seorang yang mula-mula

1A. A. Yewangoe, “Implikasi Teologi Pembebasan Amerika Latin Terhadap Misiologi” dalam Mengupayakan Misi dalam Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual (ed. John Campbell-Nelson, et al.; Jakarta: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia, 1995) 69.

(2)

mempopulerkan dan menganjurkan menerapkan teolgi pembebasan, realitas kemiskinan di Amerika Latin identik dengan kematian.3 Dengan demikian, realitas yang terjadi bukan hanya

sekedar menyangkut masalah sosial tetapi juga masalah iman, yakni situasi yang bertentangan dengan nilai-nilai fundamental injili: kasih, keadilan, kebenaran, kedamaian. Hal yang terjadi di Amerika Latin adalah situasi yang bertentangan dengan kerajaan kehidupan (Kerajaan Allah) yang diproklamasikan Tuhan.4

Para teolog berusaha memberikan arti secara utuh dan integral terhadap istilah pembebasan antara lain adalah: Gustavo Gutierrez (1973) dan Leonardo Boff (1974). Gutierrez mengartikan sebagai pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial dan politik, pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalagi terciptanya manusia baru dan ditingkatkan solidaritas antar manusia, pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia. Sedangkan Boff menggagas pembebasan sebagai proses menuju kemerdekaan. Wujudnya berupa pembebasan dari segala sistem yang menindak ke dalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan manusia untuk menentukan tujuan-tujuan hidup, politk, ekonomi dan kulturalnya.5 Mereka berharap

gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Gerakan teologi pembebasan ini melibatkan sektor-sektor penting gereja (para romo, pengamal tarekat atau ordo-ordo, para uskup), gerakan keagamaan orang awam, keterlibatan pastoral yang merakyat serta kelompok-kelompok basis masyarakat gereja yang menghimpun diri menentang sebab-sebab penghisapan dan penindasan, atas dasar nalar moral dan kerohanian yang diilhami oleh budaya keagamaan mereka. Dorongan moral dan keagamaan inilah yang merupakan faktor hakiki yang menggerakkan semangat ribuan aktifis dalam serikat-serikat buruh, kerukunan-kerukunan tetangga, dan front-front kerakyatan untuk melawan penindasan dan kemiskinan.

Yogyakarta, 2004, hlm. 189-191.

3 Gustavo Gutierrez, We Drink from our own Wells, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1984) hal. 9. 4 Fr. Wahono Nitiprawiro, Teologi pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 84.

(3)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses terjadinya gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin?

2. Bagaimana teologi pembebasan ini mempengaruhi masyarakat di Amerika Latin dan pencapaian nya?

1.3 Kerangka Teori

A. Teori Sosial Kritik

Teori Sosial Kritis, (2003) Ben Agger menyatakan bahwa tidak seharusnya melalaikan konsep yang telah diajarkan oleh agama mengenai dasar pemahaman tentang pembangunan (kosmos) yang tetap memegang etika transcendental-religius di samping moral kesusilaan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Untuk merealisasikan keinginan terwujudnya negara modern (maju) yang akan mendatangkan kehidupan yang lebih sejahtera lahir maupun batin, maka mengaplikasikan ajaran agama adalah sebuah keharusan yang tak dapat diganggu gugat, di samping harus mampu melahirkan manusia-manusia yang bercirikan dengan wataknya masing-masing.6 Pada dasarnya manusia selalu membutuhkan bantuan dan uluran tangan orang

lain. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, mereka senantiasa mengadakan interasksi sosial, sehingga akan terwujud sebuah hubungan timbal balik, interaksi ini suatu ketika akan menimbulkan benturan-benturan yang tidak menutup kemungkinan justru menjadi konflik. Teori sosial kritik mempunyai tugas membawa praktek pembebasan. Ada dua hal yang harus dilakukan oleh teoritisi kritik, yakni:

1. Teori sosial harus mampu menjelaskan tentang bagaimana kondisi serta sistem sosial yang ada telah menciptakan pemahaman dan kesadaran “palsu” mmengenai realitas sosial yang harus diterima masyarakat demi melanggengkan status quo. Teori sosial kritik berkewajiban agar masyarakat memiliki kesadaran kritis terhadap realitas sosial yang sedang dihadapi.

2. Teori sosial harus memfasilitasi munculnya visi alternatif tentang relasi sosial yang bebas dari segala bentuk penindasan, eksploitasi dan ketidakadilan. Hal ini berarti ilmu sosial juga berdimensi praksis.

(4)

Kedua tugas tersebut sesungguhnya tidak meletakkan masyarakat sebagai obyek, melainkan harus ditempatkan sebagai subyek teori maupun sejarah bagi perubahan masyarakat itu sendiri. Pandangan Teori Kritik yang meletakkan masyarakat sebagai subyek perubahan sosial dan pembangunan telah memberi pengaruh pada pandangan yang meletakkan masyarakat sebagai subyek pendidikan, serta penelitian sosial. Atas dasar prinsip tersebut telah lahir berbagai metodologi “partisipatori” dalam berbagai aspek, seperti pengembangan masyarakat model partisipatif, yakni suatu proses kombinasi pendidikan, penelitian dan aksi sosial yang meletakkan masyarakat sebagai subyeknya.

B. Teori Gerakan Sosial Keagamaan

Menurut Durkheim, karakteristik paling dasar dari setiap kepercayaan agama adalah yang terletak pada konsep tentang “Yang Sakral”. Di dalam masyarakat beragama manapun, dunia dibagi menjadi dua bagian terpisah, “dunia yang sakral” dan “dunia yang profane atau duniawi”, bukan apa yang selama ini dikenal dengan natural dan supernatural. Hal-hal yang sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam kondisi normal dia tidak tersentuh dan selalu dihormati. Sebaliknya, hal-hal yang profan adalah bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Dan konsentrasi utama agama terletak pada Yang Sakral. Durkheim mengatakan bahwa agama adalah satu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan Yang Sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang.Perilaku-perilaku tersebut kemudian disatukan ke dalam satu komunitas moral, tempat masyarakat memberikan kesetiaannya. Menurutnya, Yang Sakral tersebut memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Sedangkan Yang Profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar, hanya merefleksikan keseharian tiap individu, baik itu menyangkut aktivitas pribadi, atau pun kebiasaan yang selalu dilakukan setiap individu dan keluarga. Dikaitkan dengan keagamaan maka gerakan sosial keagamaan berarti adalah hasil perilaku kolektif yang dilakukan oleh sejumlah orang dengan mengatasnamakan nilai dan ajaran keagamaan yang bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap adanya rangsangan yang berkaitan dengan kesadaran keagamaan.7

(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Proses Terjadinya Gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin

Sejak Colombus menemukan beberapa pulau di Karibia, Kolumbia, pada abad ke- 15, sejarah kolonialisme mulai terpahat di benua Amerika Latin.8 Negara-negara Eropa, terutama

Spanyol berdatangan ke benua ini dan menjajah rakyat Amerika Latin. Mereka menguasai daerah yang membentang dari Meksiko di utara sampai Argentina di selatan, dari Brasilia di timur sampai Meksiko di barat. Kekayaan alam yang terdapat di wilayah ini, terutama emas, dieksploitasi dan dijarah oleh Spanyol. Orang-orang Amerindian (penduduk asli (Indian) Amerika Latin) tidak hanya kehilangan tanah dan kekayaan alam tapi juga juga martabat pribadi sebagai manusia yang bebas. Mereka dijadikan tenaga kerja paksa dan murah, diperlakukan sebagi budak dan dibunuh secara kejam kalau melakukan perlawanan. Maka realitas kemiskinan Amerika Latin dewasa ini tidak muncul dengan tiba-tiba tetapi sesungguhnya mempunyai asal usul historis berabad-abad lampau dengan dimulainya penjajahan oleh Spanyol.

Pada abad ke-19, banyak wilayah di Amerika Latin berhasil memperoleh kemerdekaan mereka dari kolonialisme politik dan berdiri menjadi negara-negara baru, tetapi muncul kolonialisme ekonomi Barat berupa kapitalisme yang melanjutkan eksploitasi di Amerika Latin. Namun ternyata sistem kapitalisme ini tidak membawa kemakmuran bagi rakyat seperti yang telah dijanjikan, tetapi sebaliknya mengakibatkan kemiskinan. Wajah kemiskinan yang tragis tersebut tampak secara konkret dalam diri orang-orang miskin, yakni manusia-manusia yang hidup tanpa kelayakan manusiawi baik dalam aspek fisik seperti lapar, sakit, tidak memiliki tempat tinggal maupun dalam aspek psikis seperti hilangnya kebebasan pribadi untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan. Dengan kejadian ini, muncullah istilah Teologi Pembebasan yang berusaha memperbaiki keadaan sosial dengan menggunakan cara teologis. Konsep-konsep di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan pergerakan teologi ini tidak terjadi begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebab yang menjadi akar munculnya Teologi Pembebasan. Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah Spanyol, Bartolome de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu gigih dan mengesankan sehingga

(6)

para pelopor Teologi Pembebasan belakangan memandangnya sebagai “Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin.”Las Casas memiliki pengaruh yang amat mendalam terhadap Gutierrez dan amat mewarnai pandangan- pandangan teologisnya.9

Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius serta sekuler pada pertengahan abad ke-20, seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika Utara yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam gagasan teologinya, Metz telah meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak menjadi metode bagi Teologi Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis sebagai titik tolak refleksi teologis.10

Ketiga, dihasilkannya dokumen Gaudium et Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang menekankan pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap “mereka yang miskin dan yang dirundung penderitaan.” Kemudian muncul apa yang disebut sebagai konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin (1968), yang inti perumusannya berbunyi: “Demi panggilannya, Amerika Latin akan melaksanakan kebebasannya apapun pengorbanan yang diberikan. Pada tahun 1962, Paus Yohanes XXIII disebut Konsili Vatikan Kedua (Vatikan II) untuk mencoba untuk menyesuaikan pesan Kristen ke dunia modern,11 serta memikirkan kembali sifat Gereja, dunia dan hubungan antara keduanya.12 Selama

konferensi, gereja merumuskan kembali perannya; gereja sekarang harus dilihat sebagai "Umat Allah" - sebuah komunitas orang-orang dengan hadiah yang berbeda tetapi semua berbagi kesetaraan umum, kemanusiaan, dan takdir di mata Tuhan.13 Vatikan II menyerukan gereja untuk

terlibat dengan perjuangan kaum miskin; jika gereja mengadopsi peran yang rendah hati, miskin dapat mencapai lebih efektif.14Konferensi menolak gagasan bahwa gereja harus menyesuaikan

diri dengan elit yang kuat dan menegaskan pentingnya dunia yang lebih adil .Meskipun uskup Amerika Latin tidak tokoh menonjol dalam perdebatan Vatikan II, itu adalah pengalaman belajar bagi mereka.Ketika para uskup pulang ke Amerika Latin, banyak mengambil melihat lebih dekat pada tatanan sosial yang menindas di berbagai negara Amerika Latin dan melanjutkan peran gereja.

9Gustavo Gutierrez, dikutip oleh Grenz, 20th Century 211; bdk. Wardaya, Spiritualitas 106, dan Yewangoe, “Implikasi” 70-71.

10 Grenz, 20th Century 211; Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter A. Elwell; Grand Rapids: Baker, 1985) 635.

11 Arthur F. McGovern, Teologi Pembebasan dan Its Critics (Maryknoll: Orbis Books, 1989), 5

12 Christian Smith, Munculnya Teologi Pembebasan (Chicago: The University of Chicago Press, 1991), 94 13Ibid. 96.

(7)

Pada akhir musim panas tahun 1968, Amerika Latin Konferensi Waligereja (CELAM) bertemu di Medellín, Kolombia, dengan tujuan penerapan konsep Vatikan II ke Amerika Latin. Hasilnya adalah sebuah dokumen yang pada akhirnya akan menjadi dasar untuk teologi pembebasan dan memberikan otoritas gereja untuk terlibat dalam perubahan sosial. Gustavo Gutiérrez, seorang teolog pembebasan terkemuka, mendesak gereja untuk mulai berbicara tentang pembebasan bukan pembangunan dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh Amerika Latin. Ketika konferensi dimulai, itu adalah istirahat dari tradisi karena para uskup yang diterapkan gereja untuk masyarakat daripada masyarakat ke gereja.Dalam semua dokumen dan diskusi, situasi dinilai dan kemudian refleksi teologis dibentuk.Akhirnya, komitmen pastoral untuk memecahkan masalah, seperti penciptaan Komunitas Basis Gerejani Base, dibuat.

Selama konferensi, para uskup menyerukan umat Katolik untuk mengecam kekerasan dilembagakan, memberlakukan perubahan sosial, dan melaksanakan "kesadaran penggalangan" penginjilan.15Para uskup mengkritik imperialisme internasional dan ketidaksetaraan antara

kelas-kelas sosial dan menyerukan komitmen kepada orang miskin.Para uskup menegaskan bahwa kekerasan itu salah, tapi kadang-kadang diperlukan ketika berjuang melawan kekerasan dilembagakan, seperti kekerasan melalui pemerintah.Gereja Katolik membuat dokumen Medellín dokumen resmi Gereja.Meskipun teologi pembebasan tumbuh dari ide-ide yang diakui secara resmi, dokumen Medellín bukan dokumen teologi pembebasan.Hal itu, bagaimanapun, meletakkan dasar, dan sejak itu teologi pembebasan telah berkembang pesat dalam gereja Katolik Amerika Latin.

Keempat, situasi konkret di Amerika Latin. Negara-negara di Amerika Latin telah menjadi korban kolonialisme, imperialisme dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan ekonomis negara-negara Amerika Latin kepada Amerika Serikat (khususnya), yang pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan keresahan-keresahan sosial.

a. Munculnya Teologi Pembebasan di Brazil

(8)

Gereja di Brasil selalu menjadi salah satu yang paling progresif dan teologis adalah contoh terbaik dari Komunitas Basis Gerejani Base. Karena kekurangan parah imam, pada tahun 1954, 372 berbaring katekis dilatih untuk memberikan massa menggunakan sudah ditahbiskan Ekaristi.16Pada tahun 1960, 475 CEBs dibentuk di pantai timur laut Brasil.Tidak

ada angka resmi dari CEBs di Brasil saat ini, namun perkiraan umum adalah bahwa tujuh puluh ribu ada, melibatkan empat juta orang. Di Brazil, gereja telah mengambil peran yang terdesentralisasi dan partisipatif yang melepaskan diri dari sifat hirarki gereja. Pembentukan CEBs disediakan partisipasi gereja dan pengaruh dalam masyarakat sipil yang lemah, bahkan selama pemerintahan militer teknokratis 1964-1985.Bahkan, banyak orang Katolik melihat CEBs mendefinisikan gereja di Brazil karena orang-orang sekarang dapat berhubungan dengan lembaga.

Setelah kudeta 1964, pemerintah militer menindas gerakan rakyat dan kekuatan oposisi, termasuk gereja.Menanggapi penindasan ini, gereja menjadi lebih progresif dan CEBs menjadi pusat gereja,17bahkan ada di antara kelas menengah-atas.The CEBs memperkenalkan

ide-ide baru dan metode sosial demokrasi yang menyebabkan keterlibatan aktif banyak peserta dalam gerakan rakyat Brazil yang bekerja untuk perubahan sosial yang progresif.Contoh perubahan sosial yang progresif diprakarsai oleh CEBs di Nova Iguacu. Sebuah program kesehatan mulai sana untuk mencoba untuk mengatur penduduk dalam rangka untuk memperbaiki kekurangan gizi, selokan terbuka, dan bahaya kesehatan lainnya. Program yang ditawarkan oleh keuskupan wilayah dan empat dokter sekuler yang pergi langsung kepada orang miskin.

Populasi membahas semua masalah yang mereka hadapi, bukan hanya masalah kesehatan; secara bersamaan orang-orang mulai mengorganisir CEBs untuk memenuhi kebutuhan tersebut.Upaya-upaya konkrit menekankan kebutuhan penduduk lokal daripada diskusi teoritis.Itu teologi pembebasan dalam praksis.Kursus kesehatan lingkungan menyebar ke lainnya CEBs di Nova Iguacu dan segera menjadi sebuah gerakan massa, meskipun masih berkaitan dengan kebutuhan penduduk setempat. Fokus ini mulai berubah pada tahun 1978, ketika kepemimpinan gerakan menjadi lebih tertarik dalam politik lokal dan nasional dan mulai bekerja untuk perubahan progresif yang akan datang dari pemerintah nasional. Banyak 16Thomas C. Bruneau, "Brasil: Gereja Katolik dan Komunitas Kristen Basic" Agama dan Konflik Politik di Amerika Latin ed. Daniel H. Levine (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1986), 108

(9)

sejarawan melihat CEBs Brasil sebagai memiliki memainkan peran penting dalam transisi dari pemerintahan militer ke politik demokrasi dengan menjadi terlibat seperti CEBs dari Nova Iguacu.18

b. Munculnya Teologi Pembebasan di Nicaragua

Peran gereja dalam revolusi Nikaragua 1970 bisa dipungkiri. Setelah Medellín, CEBs didirikan di seluruh Nikaragua dan mendorong aktivisme sosial di kalangan pemuda.Pada tahun 1970, para ulama baru dan pemuda aktivis mulai memprotes Somoza, yang lama diktator, melalui aksi mogok makan dan pawai.Protes keras ini memicu kepentingan FSLN (Sandinist Front Pembebasan Nasional), dan FSLN dan imam melakukan kontak.Ini pekerjaan akar rumput meletakkan dasar untuk kolaborasi gereja dalam revolusi. Pendeta lokal datang ke dalam konflik langsung dengan kedua rezim dan hirarki gereja dengan menolak untuk mendukung Somoza setelah gempa bumi pada tahun 1972 membawa korupsi rezim Somoza terhadap cahaya.CEBs didirikan mengalami korupsi dan kekerasan ini secara langsung.19Dukungan untuk FSLN tumbuh sangat seluruh CEBs dan pada tahun 1977,

beberapa imam terkemuka mengumumkan bahwa mereka bergabung dengan FSLN dan kelompok oposisi lainnya.The CEBs terbukti efektif sebagai kelompok politik akar rumput dalam revolusi dan pada bulan Juli 1979, FSLN menang atas Somoza.

Sebuah situasi yang sedikit berbeda terjadi di El Salvador.Selama awal 1970-an, gereja diciptakan CEBs di seluruh negeri. Antara menengah ke akhir 1970-an, lima belas imam, semuanya bekerja di daerah pedesaan dengan orang miskin, dibunuh oleh regu kematian Salvador bertentangan dengan upaya CEB mereka.20 Karena semakin banyak imam dan

awam ditangkap, dipukuli, dan dibunuh karena pekerjaan progresif mereka, sulit untuk tidak mengaitkan situasi dengan "kekerasan institusional" dikutip pada konferensi Medellín. Pada tahun 1977, tahun yang sama di mana partai pemerintah memenangkan pemilihan melalui penipuan besar-besaran, Oscar Romero, seorang imam konservatif, ditunjuk Uskup Agung El Salvador. Represi meningkat ke tingkat baru. Pada tanggal 28 Februari 100 orang tewas dalam serangan pada Misa terbuka dan beberapa imam lainnya kemudian dibunuh. Pamflet yang beredar yang berbunyi "Jadilah Patriot, Membunuh seorang Imam".

18 John R. Pottenger, Teori Politik Teologi Pembebasan (New york: State University of New York Press, 1989), 141 19 Michael Dodson, "Nikaragua: Perjuangan untuk Gereja" Agama dan Konflik Politik di Amerika Latin, ed. Daniel H, Levine (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1986), 83

(10)

Uskup Agung Romero mulai memberikan khotbah dan menulis surat yang menganalisis pertanyaan kekerasan dan non-kekerasan. Ia mencontohkan enam jenis kekerasan: kekerasan dilembagakan, kekerasan negara terhadap pembangkang, kekerasan ekstrim kanan dalam pertahanan dari tatanan sosial yang tidak adil, kekerasan teroris, kekerasan insureksional terhadap tirani berkepanjangan, dan terakhir, kekerasan yang sah untuk membela diri. Romero memberikan persetujuan bersyarat untuk revolusi, namun memperingatkan bahaya berarti tidak etis mengakhiri otoritarianisme. Ia dikutip mengatakan, "Kapitalisme sebenarnya apa yang paling adil dan kristiani tentang masyarakat di mana kita hidup". Meskipun pemerintah digulingkan pada tahun 1979 dan junta baru menjanjikan reformasi, penindasan terus; Romero berbicara menentang rezim baru dan memohon dengan militer untuk menghentikan penindasan dan pembunuhan.Keesokan harinya,saat memberikan Misa, dia dibunuh dengan darah dingin. Selama pemakamannya minggu berikutnya, dua bom meledak, dan menembak pecah membunuh dua puluh enam orang.

Pada bulan Juni 1980, Dewan Nasional Gereja Rakyat didirikan untuk menghubungkan sejumlah CEBs dedikasi pembebasan rakyat Salvador.Sebagai perang sipil berdarah terjadi, gereja mengadopsi sikap resmi netral, pendukung hak asasi manusia di kedua sisi.Pada Maret 1982, demokrasi parsial telah dipulihkan dan beberapa regu pembunuh kanan bersayap diadili atas kejahatan mereka.Meskipun gereja resmi memegang posisi netral selama perang, oligarki dan militer terkait organisasi populer dengan gereja karena banyak CEBs dimasukkan ke dalam organisasi populer dan, kemudian, ke dalam gerakan gerilya.21

2.2 Pengaruh Teologi Pembebasan Bagi Masyarakat Amerika Latin

Sejak akhir 1950-an, gereja telah membuat beberapa perubahan drastis di Amerika Latin dan penciptaan teologi pembebasan telah menjadi salah satu yang penting.Pada sebuah benua di mana sangat miskin sangat melebihi jumlah orang kaya, teologi pembebasan telah bertemu dengan tinjauan yang beragam.Gereja telah datang untuk membela kaum miskin dan karena ini, banyak orang melihat teologi pembebasan dan CEBs sebagai kekuatan hidup baru dalam gereja yang menghubungkan orang-orang dengan agama serta masyarakat mereka.CEBs, perwujudan utama dari teologi pembebasan, telah membantu meningkatkan kesadaran masyarakat miskin, baik agama maupun social. Melalui CEBs, gereja telah mampu mempromosikan refleksi tentang

(11)

Alkitab dan memberikan rasa martabat kepada orang miskin. Akar rumput organisasi yang menciptakan CEBs telah memungkinkan para peserta untuk memperjuangkan perubahan sosial yang progresif, seperti dalam reformasi kesehatan Nova Iguacu, dan hak-hak mereka sebagai manusia di beberapa negara, seperti Nikaragua dan El Salvador. Namun, sebagian besar CEBs tidak politis, tetapi ada masyarakat hanya sebagai spiritual.

Meskipun pengaruh positif, elit kaya dari Amerika Latin dan Gereja Katolik resmi melihat teologi pembebasan dan ide-ide progresif sebagai mengancam status quo.Bahkan, sikap resmi Gereja Katolik melawan teologi pembebasan. Kritik terbesar dari teologi pembebasan adalah bahwa ia cenderung untuk mengurangi iman dengan politik.22Gutiérrez menanggapi kritik ini

dengan memberikan "politik" dua makna yang berbeda - upaya umat manusia untuk menemukan potensi mereka, dan mencari kekuasaan.Gutiérrez berpendapat bahwa teologi pembebasan bukan untuk kekuasaan, melainkan untuk membantu upaya manusia untuk menemukan kapasitas mereka.23Uskup Agung Romero menyatakan bahwa gerakan rakyat dan gereja yang erat terkait

dengan carayang positif, tapi keduanya tidak harus menyatu menjadi satu.24Kritik kedua dari

gereja Katolik utama adalah penggunaan Marxisme untuk menganalisis sejarah dan kemudian merancang solusi.Banyak yang berpendapat bahwa pendekatan ini menciptakan praksis revolusioner dan sementara mengklaim untuk membebaskan orang miskin, benar-benar membuat lebih banyak kekerasan dan penindasan.25 Sekali lagi, para teolog pembebasan berpendapat

bahwa mereka tidak selalu menganjurkan sistem ekonomi yang didasarkan pada Marxisme, melainkan sebuah sistem yang unik Amerika Latin.Kapitalisme jelas belum bekerja di benua mereka karena beberapa alasan, termasuk ketergantungan pada negara-negara Dunia Pertama, dan eksploitasi dan rezim politik yang tidak stabil.Oleh karena itu, perlu untuk menciptakan sebuah sistem yang tidak.

Menilai dampak sebenarnya dari teologi pembebasan di Amerika Latin sangat sulit karena, pertama dan terutama, itu adalah teologi, bukan gerakan; itu harus disesuaikan dengan situasi yang dihadapi. Karena adaptasi yang diperlukan ini, tidak ada contoh murni teologi pembebasan praksis; teologi pembebasan dalam prakteknya berbeda dari satu negara ke negara - kadang-kadang bahkan dari CEB ke CEB. Oposisi dari beberapa pemerintah dan pejabat gereja yang teolog pembebasan hadapi ketika mencoba untuk menempatkan teori mereka ke dalam praktek 22 McGoven, 16

23Ibid. 100

(12)

juga membuat lebih sulit untuk menilai dampaknya. Sangat sedikit penelitian yang benar telah dilakukan untuk mempelajari teologi pembebasan sebagai sebuah gerakan, dan sebagai hasilnya, data untuk studi kasus sangat terbatas. Seperti dalam kasus kebanyakan studi ilmu sosial, data yang dikumpulkan dapat digunakan untuk mendukung teologi pembebasan atau untuk membantah hal itu. Selain itu, banyak dari para ulama yang menganalisis data dari studi kasus sedikit yang melakukannya dari Amerika kapitalistik itu sudut pandang. Teologi pembebasan, dengan kepedulian terhadap kaum miskin dan koneksi dengan Marxisme, yang paling sering tidak duduk dengan baik dengan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat.Mereka yang menganalisis teologi pembebasan praksis dari sudut pandang yang sering kehilangan pengaruh positif yang telah di Amerika Latin.

Teologi pembebasan harus diizinkan untuk tumbuh sebagai teologi sebagai situasi dalam perubahan Amerika Latin. Teologi pembebasan telah berubah sejak awal; telah menjadi kurang radikal dan lebih pragmatis. Ini telah menerima bahwa organisasi, bukan revolusi, adalah cara terbaik untuk memerangi penindasan. Tapi, menggunakan Alkitab sebagai dasar, ia masih melihat dunia yang ditandai dengan konflik lebih dari dengan kompromi, dengan ketidaksetaraan lebih dari oleh kesetaraan, dan oleh penindasan oleh lebih dari pembebasan.26 Mungkin kritik

teologi pembebasan perlu mengingat konteks sejarah dari mana para teolog berbicara.Amerika Latin jauh dari demokrasi yang Amerika Serikat pengalaman. Gereja Katolik, juga, harus menyadari bahwa mayoritas umat Katolik di dunia berada di Amerika Latin, yang sebagian besar miskin. Teologi pembebasan mampu menghubungkan gereja kepada masyarakat serta memberikan harapan untuk masa depan.

(13)

BAB III KESIMPULAN

Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain Teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi Pembebasan yang dilakukan di Amerika Latin telah menunjukkan keberhasilan dalam memperjuangkan hak keadilan bagi masyarakat kecil. Pertarungan antar negara, istitusi agama dengan elit agama di luar institusi, dan rakyat yang tertindas menyatu mendapat kemenangan dan meruntuhkan rezim yang kuat. Keprihatinan sosial, telah membawa para teolog pembebasan pada satu kesimpulan, Amerika Latin telah menjadi korban bangkitnya kolonialisme, imperialisme global, dan perusahaan-perusahaan multinasional (MNC). Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Paham ini hampir terdapat pada semua agama di dunia. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Tanpa diragukan lagi, jelaslah bahwa Teologi Pembebasan telah menjadi bentuk teologi yang paling berpengaruh dan paling kontroversial di Amerika Latin pada akhir abad ke-20. Gagasan ini berarti sedang menunjukkan pada proses gerakan yang membawa kebenaran teologis untuk mendukung adanya partisipasi manusia dalam merumuskan kebenaran berkaitan dengan perjuangan kelas di Amerika Latin menuju masyarakat dengan kesadaran baru dan tentu saja mnasyarakat sosialis baru.

Referensi

Dokumen terkait

Tak lupa Teman-Teman seperjuangan Diploma III Perpustakaan FISIP Universitas Sebelas Maret angkatan 2014 yang selalu mendukung penulis dan banyak membantu

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil jadi arashi shibori motif horizontal stripes ditinjau dari hasil motif, hasil pewarnaan dan pengaruh jarak lilitan benang

If, for example, we shot our background in side lighting with a wide- angle lens and then shot the model in front of a blue screen with a long focal length lens with lighting

berbanding lurus dengan debit aliran dan berbanding terbalik dengan jumlah kotak yang dipasang, yaitu semakin besar debit aliran yang mengalir maka semakin besar

Dalam penelitian ini ditemukan korelasi yang signifikan antara promosi kepangkatan terhadap Motivasi kerja Guru SMP di Kecamatan Petang dengan rhitung = 35.009 dengan

22 Hasil klasifikasi data tinggi gelombang 2012 Dari gambar diatas dapat dilihat adanya perubahan warna dari kuning, hijau, biru hingga biru tua. Perubahan warna tersebut

Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak konsumen yang mengonsumsi buah lokal, baik itu karena jenisnya lebih banyak maupun selera konsumen yang lebih menyukai rasa

Bagaimanakah pengaruh brand awareness (kesadaran merek), dan brand perceived quality (kesan kualitas merek) terhadap keputusan pembelian produk herbal Ayurveda pada