• Tidak ada hasil yang ditemukan

Humanisme Eksistensialisme dan Spiritual (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Humanisme Eksistensialisme dan Spiritual (2)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Humanisme dan eksistensialisme adalah bagian dari filsafat-filsafat yang telah ditetapkan dengan baik yang berpengaruh khusus terhadap pekerjaan sosial dan mempengaruhi teori-teori praktik khusus. Spiritualitas adalah suatu aspek terkait humanitas berkenaan dengan keadaan dan kebutuhan manusia untuk mencari arti dan pentingnya kehidupan ini dan yang lebih penting lagi, yakni naik ke atas atau berhubungan dengan Tuhan.

Semua ide ini memiliki relevansi terhadap praktik pekerjaan sosial. Mereka berhubungan dengan pendekatan-pendekatan pekerjaan sosial dalam kelompok-kelompok etnis minoritas dan khususnya kebudayaan-kebudayaan non-Barat yang semakin mempengaruhi pemikiran pekerjaan sosial. Keprihatinan kita dengan pengalaman-pengalaman manusia dan aspek-aspek artistik serta budaya dari hubungan sosial adalah bahwa hal ini terlihat sebagai sesuatu yang radikal, dimana mereka menolak untuk menerima anggapan-anggapan modernis tentang profesionalisasi berdasarkan-bukti; akan tetapi, pendekatannya lebih ke arah refleksif-terapis karena tujuannya yang utama adalah untuk mencapai potensi tertinggi dan pertumbuhan manusia, ketimbang perubahan sosial.

(2)

klien, nilai-nilai yang ada di masyarakat, nilai-nilai profesional pekerjaan sosial, dan hal-hal yang berkaitan dengan proses pertolongan terhadap klien.

1. 2 Rumusan Masalah

Di dalam makalah ini, kami akan membahas beberapa hal berkaitan dengan pandangan-pandangan di atas, kami telah merangkumnya dalam pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, di antaranya:

1. Bagaimanakah sejarah perkembangan pandangan humanisme, eksistensialisme, dan spiritualitas ?

2. Apa isi dari ketiga pandangan tersebut ?

3. Bagaimana hubungan ketiga pandangan tersebut dengan praktik pekerjaan sosial ?

1. 3 Tujuan Penulisan

Berikut adalah tujuan dari dibuatnya makalah ini, yaitu:

1. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Teori Pekerjaan Sosial. 2. Untuk mengetahui dan memahami sejarah perkembangan pandangan

humanisme, eksistensialisme, dan spiritualitas.

3. Untuk mengetahui dan memahami isi dari ketiga pandangan di atas. 4. Untuk mengetahui dan memahami hubungan dari ketiga pandangan

tersebut dengan praktik pekerjaan sosial.

BAB II

(3)

2. 1 Sejarah Perkembangan Pandangan Humanisme, Eksistensialisme, dan Spiritualitas

Arti istilah humanisme dan eksistensialisme bisa ditinjau dari dua sisi, pertama dari sisi historis dan kedua dipandang sebagai aliran-aliran dalam filsafat. Dari sisi yang pertama, humanisme dan eksistensialisme merupakan gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh abad ke-14 Masehi. Gerakan ini boleh dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa. Beberapa tokoh yang sering disebut sebagai pelopor gerakan ini misalnya Dante, Petrarka, Boccaceu, dan Michael Angelo. Dari sisi yang kedua, humanisme dan eksistensialisme sering diartikan sebagai paham dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia menempati posisi yang sangat penting dan sentral dalam kehidupan. Salah satu asumsi yang melandasi pandangan filsafat ini adalah manusia pada prinsipnya merupakan pusat dari realitas, para filsuf humanisme berpegang teguh bahwa manusia pada hakekatnya adalah bukan Viator Mundi

(4)

bertujuan untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan lembaga keagamaan dan membebaskan kungkungan agama yang mengikat. Pada perkembangan selanjutnya, muncullah paham sekulerisme dimana terjadi pemisahan antara agama dan aspek-aspek kehidupan tertentu. Muncul pula paham liberalisme, dimana manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas melakukan apapun selama mereka mampu melakukannya.

Di belahan bumi yang lain, tepatnya di Jazirah Arab, dimana masyarakatnya pada saat itu masih menyandarkan kehidupannya kepada benda-benda yang justru tidak hidup, perbedaan strata sosial yang mencolok antara majikan dan budak serta antara laki-laki dan perempuan, judi dan khamer banyak dilakukan, sehingga kehidupan hanyalah sekadar untuk kesenangan dan manusia direndahkan seperti barang dagangan. Sampai pada akhirnya muncul suatu pandangan baru yang dinamakan Islam. Islam memandang manusia sebagai makhluk yang paling mulia diantara seluruh makhluk karena memiliki akal yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, ketika akalnya tidak digunakan sebagaimana mestinya, maka manusia tidaklah jauh berbeda dengan binatang. Dalam menjalankan kehidupannya, manusia tidaklah bebas tanpa batas, ada aturan-aturan yang harus mereka taati, dimana aturannya berasal dari Tuhan Yang Maha Benar, karena jika aturannya berasal dari manusia maka akan terjadi subjektifitas yang berisiko menimbulkan kekacauan dalam kehidupan. Manusia pun mempunyai kedudukan yang sama sebagai hamba, yang membedakan adalah perbuatan dan tingkah lakunya, apakah sesuai dengan aturan atau justru melanggar aturan-aturan tersebut. Di dalam Islam, kehidupan tidak dapat dipisahkan dengan agama, justru agama harus diimplementasikan pada seluruh aspek kehidupan, mulai dari hubungan dengan Penciptanya (ibadah), dengan dirinya sendiri (akhlak), sampai hubungannya dengan sesama (pendidikan, ekonomi, sosial) pun diatur.

(5)

Humanisme berkaitan dengan kapasitas manusia yang sadar untuk memberikan alasan, membuat pilihan-pilihan, dan bertindak secara bebas yang tidak dipengaruhi oleh dewa-dewa dan agama. Artinya, manusialah yang bertanggung jawab penuh atas semua yang dilakukannya tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Karena pekerjaan sosial merupakan bagian dari sekularisasi kesejahteraan, artinya dalam praktiknya, pekerjaan sosial selalu dipisahkan dari gereja-gereja pada tahun 1800-an. Humanisme berbeda dari being humane, yaitu praktik memperlakukan orang-orang dengan kebaikan karena kita menilai mereka sebagai manusia. Humanisme juga berkaitan dengan demokrasi, dikarenakan isi keyakinannya secara implisit membebaskan manusia untuk menilai dan berpartisipasi satu sama lainnya dalam mengendalikan nasib/takdir mereka. Humanisme memandang kelompok-kelompok sebagai bagian yang mendukung prinsip-prinsip demokratis dan humanis karena mereka memungkinkan partisipasi orang banyak dalam bekerja bersama-sama atas dasar yang sama.

Berdasarkan pandangan yang lain, humanisme tidaklah demikian, manusia tidaklah hidup sacara bebas, ada aturan-aturan tertentu yang harus ditaati. Tidak semua hal bisa dikendalikan oleh manusia, ada hal-hal tertentu dimana tidak ada campur tangan manusia di dalamnya, artinya manusia dipaksa menerima hal tersebut, contohnya bencana, kecelakaan, dsb. Di dalam diri manusia terdapat beberapa hal yang pasti ada dalam dirinya, diantaranya:

a) hajatul ‘udhwiyyah (kebutuhan jasmani), dimana setiap manusia pasti memilikinya, seperti kebutuhan akan makan, minum, tidur, buang hajat, dan sebagainya;

b) ghara’iz (naluri), naluri ini terbagi menjadi tiga, yaitu

gharizatun naw’ (naluri untuk melanjutkan keturunan),

gharizatul baqa’ (naluri untuk mampertahankan diri), dan

(6)

c) akal, yang digunakan sebagai pertimbangan dalam melakukan berbagai hal / perbuatan.

Perwujudan ketiga hal di atas atau pemenuhan ketiganya sangat ditentukan oleh nizham (peraturan) yang diambil oleh manusia itu sendiri. Ada manusia yang mengambil aturannya dari aspek-aspek spiritual, tetapi ada pula manusia yang membuat sendiri aturan-aturan tersebut, sehingga dalam perkembangannya akan muncul yang namanya agama, kemudian muncul paham liberalisme dan sekulerisme.

B. Eksistensialisme

Eksistensialisme berkenaan dengan pemaknaan manusia tentang fakta eksistensi mereka di dalam kehidupan. Hal ini terfokus pada kapasitas setiap orang untuk memperoleh kekuatan pribadi dalam mengontrol kehidupan mereka dan merubah ide-ide yang menentukan bagaimana cara mereka hidup. Pandangan ini juga akan mempengaruhi bagaimana seseorang menghargai dirinya (self-esteem) dan bangkit dari keterpurukan yang menghilangkan kepercayaan orang lain terhadap dirinya, misal seseorang yang masuk lembaga pemasyarakatan karena kasus tertentu.

C. Spiritualitas

(7)

atau menghadapi isu-isu spiritual dalam kehidupan rakyat, misalnya berkaitan dengan perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mitos, dan sebagainya.

Banyak filsafat Timur memiliki hubungan-hubungan dengan spiritualitas dan beberapa dari unsur-unsur humanisme dan eksistensialisme, khususnya Zen Buddhism, Hinduism dan aspek-aspek Islam. Hal ini karena mereka menekankan pada proses dimana manusia mewujudkan kapasitas mereka untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri melalui perkembangan diri spiritual yang diwujudkan melalui terapi-terapi spiritual untuk menyadarkan diri akan pentingnya kehidupan ini.

Di dalam Islam khususnya, para pemeluknya dituntut untuk tidak meninggalkan atau memisahkan antara agama dan kehidupan kesehariannya, walaupun dalam penerapannya tentu ada batasan-batasan toleransi antar sesama. Hal ini tidak lain adalah karena Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, diantaranya:

a. hubungan manusia dengan Penciptanya, berupa aturan-aturan dalam ibadah;

b. hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti aturan-aturan mengenai thoharoh (bersuci), tidur, makan, minum, dsb;

c. hubungan manusia dengan manusia lainnya, berkaitan dengan aturan-aturan dalam masalah ekonomi, sosial, pemerintahan, dan sebagainya.

(8)

D. Hubungan Ketiganya

Ide-ide/pandangan-pandangan di atas secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa manusia sedang berusaha mencoba untuk memahami dunia yang mereka alami. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, pekerja sosial sedang berusaha menolong orang khususnya individu untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam menyelidiki/ menelusuri diri mereka sendiri dan arti-arti pribadi yang mereka lekatkan pada dunia yang mereka rasakan dan yang mempengaruhi diri mereka. Model-model humanis mengemukakan bahwa interpretasi-interpretasi orang tentang diri mereka sendiri sebagai hal yang sah dan berfaedah.

Spiritualitas juga penting untuk dipahami oleh pekerja sosial khususnya mereka yang melakukan praktik di negara-negara non-Barat seperti di Afrika dan negara-negara timur lainnya. Banyak ide dari perspektif-perspektif spiritual pada kebudayaan-kebudayaan negara non-Barat tersebut mulai mempengaruhi pekerjaan sosial Barat. Mereka mulai membangkitkan ide-ide tentang kerjasama dengan orang-orang dalam hal membangun berbagai macam arti-arti terhadap pengalaman-pengalaman mereka dan menciptakan suatu ide baru tentang ‘diri’ mereka. Seperti halnya mereka berusaha untuk menggabungkan realitas diversitas (keanekaragaman) dan ambiguitas (pengartian ganda) tentang cara kita menggambarkan orang-orang, dunia sosial mereka dan peranan dari para pekerja sosial melalui bahasa yang berbeda.

E. Politika humanisme, eksistensialisme dan spiritualitas

(9)

Dalam praktiknya, mereka (manusia) sedang menegaskan kembali pentingnya suatu keyakinan dalam kapasitas humanitas untuk memperbaiki dirinya sendiri, yang seringkali kita lihat sebagai sentral dari pekerjaan sosial. Mereka juga seringkali tidak mau ditangani oleh pekerja sosial, khususnya pekerja sosial dari agensi-agensi negara yang besar karena terlalu teknis, ribet, dan birokratis. Oleh karena itu, perlu suatu hubungan timbal balik dan saling pengertian antara klien dan pekerja sosial dalam proses pertolongannya serta lebih menekankan pada aspek-aspek humanis. Pekerja sosial juga berusaha untuk menetapkan kembali salah satu fokus pekerjaan sosial sebagai suatu refleksi-terapis dalam kerangka khusus profesi pekerjaan sosial. Oleh sebab itu, pandangan humanisme dan eksistensialisme, dalam beberapa hal ada yang berbeda dengan pendekatan socialist-collectivist dan

individualist-reformist, karena memang lebih mengarah pada pendekatan reflexive-therapeutic.

Pandangan humanisme, eksistensialisme, dan spiritualitas dalam pekerjaan sosial ini juga berpengaruh pada harga diri dan pemahaman diri ke arah pemberdayaan. Hal ini sangat penting ketika menangani klien-klien yang mengalami penindasan akibat perbedaan etnis.

Humanisme, eksistensialisme, dan spiritualitas terkadang mendapatkan kritikan publik karena pekerjaan sosial terkesan tidak jelas dalam menangani klien dan idealistik.

F. Diskusi dan Analisis (Penggunaan di Dalam Praktik Pekerjaan Sosial)

Beberapa pengaruh dari ide/pandangan humanisme dan eksistensialisme adalah pandangan-pandangan dari Laing, Bradford, Krill, dan Thompson tentang kesehatan jiwa, dimana terapi terpusat pada klien (lebih terpusat pada orang), sistem pemikiran,

(10)

psikodinamika, namun juga seringkali dianggap sebagai humanis dalam hal pendekatannya, dikarenakan oleh fokusnya pada pemahaman sendiri melalui analisis tentang pola-pola komunikasi dan perilaku seseorang.

Berikut adalah beberapa teknik, prinsip, dan nilai profesi dalam praktik pertolongan pekerjaan sosial yang ada kaitannya dengan ketiga pandangan di atas (humanisme, eksistensialisme, dan spiritualitas), diantaranya:

a) Konseling dan Terapi

Carl Rogers menyatakan bahwa humanisme, eksistensialisme, dan spirituaitas ini berkaitan dengan keterlibatan para pekerja sosial dalam proses konseling dan terapi. Dengan demikian, diharapkan klien-klien akan merasa bahwa para pekerja sosial telah berlaku/ bertindak sebagai berikut:

 Mereka (pekerja sosial) sejati dan kongruen dalam hubungan terapis mereka (yakni apa yang mereka katakan dan perbuat mencerminkan kepribadian dan sikap-sikap nyata mereka dan tidak dibuat-buat untuk mempengaruhi klien-klien).

 Mereka memiliki rasa hormat positif tak bersyarat terhadap klien-klien.

 Mereka berempati dengan pandangan-pandangan klien tentang dunia ini.

Harapan-harapan di atas akan terwujud ketika kita mengedepankan kejujuran dan kesejatian, non-posesif, kehangatan, rasa hormat dan penerimaan serta pengertian dan empati.

Berdasarkan fakta empiris memang benar bahwa pandangan humanisme, eksistensialisme, dan spiritualitas merupakan unsur-unsur yang efektif dalam hubungan-hubungan konseling dan terapis.

b) Prinsip Individualisasi dan Penanganan Kasus per Kasus

(11)

memiliki pengetahuan dan kemampuan yang berbeda ketika akan mengatasi suatu masalah yang menimpanya. Setiap orang haruslah diperlakukan sebagai individu. Rogers mengemukakan bahwa kita (manusia) akan menjalankan ‘kekuasaan pribadi’ yang kita miliki untuk mencapai tujuan dan ini bisa digunakan oleh pekerja sosial sebagai salah satu sumber, yaitu sumber internal untuk membantu klien mengatasi masalahnya. Oleh karena itu, dalam menangani permasalahan klien, pekerja sosial haruslah menyesuaikan dengan diri klien dan permasalahan yang dihadapinya.

Ide humanisme ini juga memberi pengaruh pada dunia psikologi dan terapi humanis pada tahun 1960-an dan 1970-an. Carkhuff dan Berenson (1977) mengemukakan bahwa setidaknya ada lima keadaan yang mencirikan ide humanisme, diantaranya:

a. Kita dapat memahami diri kita sendiri ketika berhubungan dengan orang lain.

b. Kecemasan utama kita dalam hidup ini adalah kehilangan orang lain dan menjadi sendirian.

c. Kita merasa bersalah karena kita tidak dapat mencapai suatu kehidupan yang kreatif.

d. Kita sendiri yang tanggung jawab untuk bertindak atas keputusan-keputusan kita.

e. Terapi bertujuan untuk membantu kita untuk bertindak dan menerima kebebasan dan tanggung jawab dalam berbuat apapun.

c) Meditasi atau Perenungan Diri

Beberapa ahli memasukkan meditasi/ perenungan diri guna menyelidiki potensial diri dan kekurangan diri klien ataupun pekerja sosial itu sendiri serta berupaya meningkatkan kapabilitas para pekerja sosial, khususnya dalam hal berempati dan memahami apa saja yang menjadi kebutuhan-kebutuhan klien.

(12)

England berpendapat bahwa dengan adanya pandangan humanisme dan eksistensialisme ini, kita akan melihat pekerjaan sosial sebagai suatu seni/artistik ketimbang sebagai suatu aplikasi ilmu pengetahuan sosial. Banyak ahli menggunakan seni dan literatur artistik untuk memahami pengertian tentang dunia ini dan membantu dalam proses pertolongan. Contohnya, dalam penanganan klien tunanetra, pekerja sosial bisa menggunakan musik, buku-buku braille, dan sebagainya, yang itu semua adalah hasil seni manusia.

e) Clients Centre (Pertolongan Berpusat pada Klien)

Di dalam konteks yang lain, ketiga pandangan ini bisa dikatakan sebagai suatu cara menghumanisir dan menginterpretasikan klien-klien sebagai para kontributor-kontributor di seluruh dunia terhadap masyarakat.

Laing menyatakan bahwa dengan menggunakan pandangan eksistensialisme kita dapat memahami beberapa penyakit jiwa seperti schizophrenia, dan dia memperlihatkan bahwa kita dapat memahami sakit jiwa psikotis sebagai suatu reaksi seseorang terhadap suatu lingkungan sosial yang mungkin mengalami kerusakan. Dia memberikan nilai penting yang besar terhadap “diri” yang meliputi sistem diri yang salah dan kesadaran diri. Kemudian, dia mengangkat ide-ide tentang teori-teori komunikasi dalam keluarga. Dia mengemukakan bahwa gangguan-gangguan dalam komunikasi-komunikasi keluarga membuat anggota keluarga tertentu terpaksa malaksanakan tuntutan-tuntutan yang bertentangan dengan orang lain dan kehendak dirinya, yang menyebabkan timbulnya reaksi-reaksi tertentu berupa gangguan-gangguan yang didiagnosis sebagai schizophrenia.

f) Spiritualitas

(13)

 Pekerjaan sosial dipraktikkan dalam masyarakat-masyarakat dimana agama dan spiritualitas merupakan bagian-bagian integral di dalam kehidupan mereka.

 Kebutuhan untuk menanggapi kaum-kaum minoritas etnis dan budaya dalam masyarakat-masyarakat Barat.

 Kepentingan politik di dalam komunitas-komunitas keyakinan dan gereja-gereja yang membuat suatu kontribusi yang lebih kuat pada layanan-layanan komunitas, dengan demikian mereka memberikan sumbangsih kepada stabilitas sosial, dan pada beberapa hal, spiritualitas dan agama mencegah beberapa kesulitan sosial agar tidak muncul.

 Kritik tentang kecenderungan-kecenderungan materialisme dan konsumerisme di dalam masyarakat akhir-akhir ini, yakni ingin mendapatkan segala sesuatu bagaimanapun caranya walaupun salah. Oleh karena itu, perlu diseimbangkan dengan nilai-nilai spiritual dan agama.

 Di dalam kehidupan ini, terdapat hal-hal yang tidak dapat terjangkau oleh manusia, artinya manusia tidak dapat mengontrol hal-hal tersebut, hal-hal tersebut sering kita sebut takdir. Oleh karena itu, perlu adanya penjelasan berkaitan dengan takdir tersebut, sehingga manusia bisa menerimanya dan juga bisa membedakan mana yang termasuk takdir mana yang tidak, karena bagi sebagian orang ada yang beranggapan semua yang menimpanya adalah takdir, anggapan ini membuat mereka menerima begitu saja tanpa ada usaha untuk merubahnya jika memang hal itu adalah buruk, misalnya kemiskinan, pengangguran, dsb.

(14)

a. Ide tentang suatu common good, yang bertujuan untuk desentralisasi, solidaritas dan ketersambungan, yang melindungi hak-hak asasi manusia dan melindungi serta mencari pilihan-pilihan bagi orang-orang miskin, tertindas dan kekurangan.

b. Sustainability (kesinambungan), bahwa kita akan bekerja untuk sistem-sistem ekonomi dan sosial yang tidak mengenakan/ membebankan tuntutan-tuntutan atas negara-negara yang miskin sumber atau generasi-generasi yang akan datang.

c. Wisdom (kebijaksanaan), penggabungan pertimbangan-pertimbangan nilai yang telah dipikirkan secara cermat dalam malakukan suatu praktik pertolongan.

d. Spiritualitas holistik, suatu keprihatinan untuk mencari, mengembangkan, memahami dan mengapresiasikan keutuhan dan integritas dalam hidup dan tindakan-tindakan kita.

g) Praktik Pekerjaan Sosial di Afrika

Graham memberikan sebuah contoh tentang ide-ide spiritual non-Barat dalam laporannya tentang pandangan-pandangan dunia terpusat-Afrika, yang didasarkan atas tradisi-tradisi intelektual Afrika klasik dan sejarah masyarakat Afrika yang kental dengan perbudakan dan penjajahan. Pendekatan yang digunakan sehubungan dengan orang-orang Afrika berlaku juga terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas lainnya.

Berikut adalah implementasi ketiga pandangan di atas khususnya di negara-negara Afrika:

 memperbaiki penindasan politik, sosial dan budaya dibawah kolonialisme, imperialisme dan rasisme.

 menganalisis pembatas-pembatas pada masyarakat-masyarakat Afrika melalui filsafat dan cita-cita Afrika tradisional.

(15)

Penekanannya terletak pada upaya mengidentifikasikan, menganalisis dan menyelenggarakan praktik pekerjaan sosial melalui simbol-simbol budaya, ritual-ritual, seni, musik dan literatur, mengenai upaya untuk memperbaiki penghinaan lumrah tentang Afrika dan masyarakatnya. Ini mengidentifikasikan bahwa praktik pekerjaan sosial di Afrika berbeda dengan teori-teori dan praktik-praktik sosial yang lebih luas.

Berikut adalah prinsip-prinsip dari suatu pandangan dunia khususnya di Afrika adalah:

 Semua hal saling terhubung, sebagai contohnya, hubungan antara orang-orang, hewan-hewan dan obyek-obyek inanimate (yang tidak bernyawa).

 Manusia adalah spiritual, yakni tersambung dengan orang-orang lain dan Pencipta mereka.

 Individu-individu tidak dapat dipahami secara terpisah dari identitas kolektifnya, khususnya tentang pohon keluarga (yakni memperhitungkan baik asal-usul ayah maupun ibu). Kehidupan dan pengalaman-pengalaman orang adalah integral dengan sejarah-sejarah dan sambungan-sambungan keluarga dan komunitas mereka, dan komunalitas-komunalitas lebih penting ketimbang individualitas.

 Pikiran, tubuh dan spirit adalah satu, saling-terkait, masing-masing hendaknya sama-sama dikembangkan ke arah maat, suatu pengertian yang seimbang tentang kebenaran, hak, harmoni dan tata tertib.

Maat diekspresikan dalam empat bidang kehidupan:

 mencari keselarasan dan tempat dalam kehidupan kita,

 keadilan sebagai pusat praktik,

(16)

person-hood (kelompok manusia) yang mengkonkritkan tata tertib universal dalam diri kita sendiri.

h) Pekerjaan sosial Gandhi

Gandhi adalah seorang pemimpin India yang merumuskan suatu filsafat perkembangan sosial yang telah mempengaruhi pekerjaan sosial di India, khususnya terhadap kesejahteraan uncountables

(orang-orang dari kasta sosial yang terendah), kaum wanita dan daerah-daerah perdesaan. Kumar meringkaskan pokok-pokok utama dari filsafat Gandhi sebagai berikut:

 bersandar pada pandangan-pandangan humanisme;

 orang-orang saling bergantung maupun mengandalkan diri sendiri;

 spiritual itu penting dalam semua urusan di dunia ini;

 keyakinan dan kemurnian cara-cara dalam mencapai tujuan-tujuan akhir adalah penting;

 totalitas atau ide-ide holistik itu penting, khususnya berkaitan dengan kemerdekaan politik; perkembangan sosial; relevansi-diri dan pendidikan hendaknya berjalan bersama dengan kemerdekaan politik – ide-ide tersebut penting dalam perkembangan sosial; dan

 wewenang hukum formal ditentang, saling-ketergantungan dan reliansi-diri, sebagaimana ditunjukkan oleh point sebelumnya, lebih penting.

Masyarakat idealnya hendaknya mengandung:

Ram rajya: suatu sistem sosial yang berdasarkan moral; baik keadilan maupun keadilan sosial terjalin dalam suatu keadaan demokratis. Kesederhanaan dan perkembangan yang berkesinambungan hendaknya merupakan sasaran dalam suatu keadaan minimal yang bakal berkaitan dengan suatu masyarakat dimana orang-orang terfokus pada tugas-tugas mereka ketimbang pada hak-hak mereka.

(17)

memunculkan keadaan tersebut. Gandhi melihat keadaan tersebut sebagai suatu bentuk kekejaman yang terorganisir dan tersentralisir. Dia mencari suatu keadaan minimal yang dicirikan oleh tanggung jawab pribadi.

Swadeshi: relevansi-diri dalam hubungan-hubungan ekonomi, politik dan sosial. Produksi keperluan-keperluan hidup hendaknya berkaitan erat dengan konsumsi.

Village republics: desentralisasi dan penyerahan kekuasaan terhadap tingkat yang mungkin terendah.

Trusteeship: dalam suatu upaya untuk mengawinkan sosialisme dan kapitalisme, Gandhi mengusulkan suatu sistem regulasi hukum dari sistem ekonomi.

Ide-ide ini penting bagi perkembangan sosial. Kumar memperlihatkan bahwa filsafat-filsafat romantis ini berkaitan dengan nilai-nilai pekerjaan sosial dalam hal memajukan relevansi-diri, saling tolong-menolong dan perkembangan pribadi dan sosial yang mengandalkan kelompok-kelompok lokal/ kecil ketimbang ke arah top-down. Proses dan cara melalui mana aktivitas-aktivitas dilaksanakan dan nilai tinggi yang dilekatkan pada kolaborasi dan penghindaran pemaksaan juga merupakan filsafat-filsafat bersama.

i) Pekerjaan Sosial Kelompok Humanistik - Glassman dan Kates

Kelompok-kelompok mempunyai proses, yang mana disini adalah ‘bantuan yang saling demokratis’ diantara anggota-anggota kelompok, yaitu perubahan-perubahan yang kita inginkan terhadap proses yang akan ditimbulkannya. Laporan tentang pekerjaan kelompok ini berasal dari nilai-nilai demokratis dan humanistik, yang menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggota kelompok memperkaya semua dan melukiskan:

 harga dan kapasitas hubungan banyak orang,

 tanggung jawab terhadap satu sama lainnya dalam kehidupan sosial,

 hak memiliki termasuk bagian didalamnya,

(18)

 hak kebebasan bicara dan mengekspresikan diri,

 hak kebebasan memilih, dan

 hak mempertanyakan dan menantang para professional.

Teori humanistik memungkinkan para anggotanya untuk menggunakan perkembangan kelompok-kelompok secara aktif dalam upaya mengejar perkembangan pribadi mereka.

Tujuan kelompok di sini adalah untuk mengembangkan sistem saling-bantu yang demokratis dan secara serentak membantu anggota-anggota kelompok untuk mengekspresikan dan melaksanakan/ mengaktualisir maksud mereka. Dua fungsi utama ini menggunakan berbagai macam interaksi-interaksi untuk mengembangkan rasa saling bantu yang demokratis dan dalam mengaktualisir maksudnya tidaklah perlu disejajarkan.

j) Thompson: eksistensialisme dan pekerjaan sosial

Thompson memberikan penilaian luas tentang nilai eksistensialis yang dipikirkan terhadap praktik pekerjaan sosial. Karena hal itu terletak di pusat eksistensialisme, maka dia terfokus pada ontology, yaitu kajian keadaan adanya. Ini berarti cara dimana kita memikirkan tentang seperti apa itu manusia. Akan tetapi, dia juga menyelidiki implikasi-implikasi untuk mempraktikkan epitemologi pekerjaan sosial, yakni pandangannya tentang pengetahuan. Pandangannya tentang sifat dasar masyarakat itu adalah sama pentingnya.

Suatu pengertian utamanya adalah ‘being’ (adanya). Adanya dalam diri itu sendiri (being in itself) semata-mata adalah eksistensi.

“Being for itself” adalah eksistensi dimana kita sadar dan oleh sebab itu, dapat berpotensi, sebagai contohnya, dengan cara membuat rencana-rencana dan mengambil keputusan-keputusan tentang bagaimana caranya kita ingin berada.

(19)

tentang bagaimana mereka menginginkan gambaran itu adanya. Ini berbeda dari pandangan dari teori behaviourism atau psikodinamis, yang mengkalim bahwa masa lampau berpengaruh penting terhadap masa kini. Blom membahas kesulitan-kesulitan memahami apa hubungan terapis yang ada dalam perspektif ini.

Eksistensialisme menekankan bahwa adalah interpretasi kita tentang masa lampau yang penting. Oleh sebab itu, cara kita menginterpretasikannya dan bertindak ke arah masa depan memberikan arti bagi kehidupan kita. Sebagai akibatnya, melalui kebebasan pribadi mereka manusia sanggup menciptakan atau mendefinisikan diri mereka sendiri. Kepribadian dan struktur-struktur sosial merupakan produk-produk dari pilihan-pilihan yang dibuat oleh manusia bebas. Akan tetapi, orang lain menerapkan label-label terhadap perilaku kita, dan ini memberi kita sesuatu yang menggantung padanya. Demikianlah, kita mulai menerima batasan-batasan dari pengharapan-pengharapan sosial yang diterapkan pada apa yang kita perbuat dan apa yang ada pada diri kita. Ini adalah salah satu cara dimana kita menanggulangi perasaan bahwa hidup itu

‘absurd’ (tidak masuk akal). Perasaan ini timbul karena para

existentialist memandang bahwa hidup ini kita yang menentukan. Oleh sebab itu, banyak orang sepenuhnya bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan mereka sendiri. Ini merupakan suatu aspek penting dari etika eksistensial. Kita bebas untuk bertindak, tetapi tidak bebas dari tanggung jawab untuk menanggapi lingkungan kita dan tekanan-tekanan terhadap kita. Terkadang, realitas dari hal-hal eksternal berbeda dari rencana awal merubah kondisi-kondisi tersebut. Merealisasikan hal ini dapat memberdayakan tetapi juga mengganggu dan menakutkan.

(20)

menanggapi secara tepat kondisi-kondisi yang ada. Jika kita dapat menerima dan menggunakan kebebasan kita, maka kita dapat melihat ke depan secara optimis terhadap ‘definisi-diri’ atau ‘kreasi-diri’, sebagaimana kita membangkitkan atau menyokong kepribadian kita dan situasi sosial kita yang senantiasa berubah. Dalam kebebasan tersebut ada tanggung jawab untuk menciptakan diri kita sendiri, dan menyadari bahwa kita telah menciptakan hal-hal yang negatif serta hal-hal-hal-hal yang positif dalam kebebasan yang kita miliki.

Akan tetapi, sementara ini mungkin masih berada di tingkat pribadi, kita harus melihat ide-ide yang membatasi kebebasan individual seperti ideologi-ideologi, yakni konsepsi-konsepsi bersama tentang dunia yang mempunyai daya sosial atas nama kepentingan-kepentingan sosial tertentu. Ini memerlukan tindakan di tingkat politik untuk diliberalisasi. Sebaliknya, pembatas-pembatas politik dan sosial mencegah orang agar tidak menggunakan kebebasan pribadi mereka. Ide-ide ini mempunyai hubungan-hubungan dengan materialisme dialektik Marxist. Akan tetapi, terdapat kekuatan-kekuatan tertentu yang seringkali terlihat sebagai pengendali sejarah, yang membatasi kapasitas manusia untuk membuat sejarah secara bebas.

BAB III

PENUTUP

(21)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ketiga pandangan tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap profesi pekerjaan sosial, dimana pekerja sosial dituntut untuk memahami klien sebagai seorang manusia secara utuh yang keberadaannya perlu dihargai, dihormati, dan dilindungi, serta memiliki nilai-nilai spiritual sebagai pedoman hidupnya. Oleh karena itu, dalam menangani klien sebaiknya secara individual dan manusiawi, artinya orang per orang dan kasus per kasus serta mempertimbangkan aspek-aspek klien sebagai seorang manusia, tidak disamaratakan semuanya.

3. 2 Saran

Ketiga pandangan tersebut tentu memiliki kekurangan, yaitu kurangnya kejelasan dan kesulitan membentuk target-target yang jelas dan menyepakati keterangan-keterangan tentang perilaku tersebut. Ini berarti bahwa, walaupun ketiga pandangan ini memiliki daya penjelas yang potensial dalam proses pertolongan bagi klien-klien, tetapi mungkin saja tidak diterima secara luas diantara kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat dimana nilai-nilai pribadi dan kolektifnya berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, perlu adanya hubungan timbal-balik antara klien dan pekerja sosial yang menanganinya, sehingga terbentuk keselarasan dalam penanganan masalah klien tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Allan, Graham. 1983. Informal Networks of Care : Issues Raised by Barclay. London : British Journal of Social Work.

(22)

Brandon, David. 1976. Zen in the Art of Helping. London, Routledge and Kegan Paul Press.

Carkhuff, Robert R and Bernard C. Berenson. 1977. Beyond Counseling and Therapy. New York, Holt, Rinehart and Winston Press.

Iskandar. Arief B. 2012. Materi Dasar Islam, Islam Mulai Akar Hingga Daunnya. Bogor : Al-Azhar Press.

Kode Etik Ikatan Pekerjaan Sosial Profesional Indonesia (IPSPI).

Payne, Malcolm. 1991. Modern Social Work Theory, the 3rd edition. Great Britain : Palgrave Macmillan.

Pincus, Allen & Minahan, Anne. 1970. Social Work Practice – Model and Method. University of Wisconsin, Madison. F. E. Peacock Publishers, Inc.

Siporin, Max. 1970. Introduction to Social Work Practice. New York : Macmillah Publishing Co. Inc. London : Collier Macmillah Publisher.

Referensi

Dokumen terkait

Dari ketiga variabel tersebut yang paling dominan pengaruhnya adalah variabel kompensasi dan hubungan dengan sesama karyawan, sedangkan variabel pengembangan karier

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa dalam pembuatan laporan harus dilakukan secara bertahap, mulai dari pembuatan jurnal harian, kemudian jurnal harian di

Penelitian bertujuan mengkaji pengaruh peningkatan kualitas nutrien ransum dan penambahan herbal campuran mengkudu, pegagan dan kunyit dalam ransum terhadap fertilitas dan

Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa latihan senam gizi seimbang meningkatkan kebugaran dibandingkan dengan kelompok kontrol pada anak sekolah di SD Negeri Kebon

Pada kenyataannya (kebiasaannya), kebanyakan neural system harus diajari (training) terlebih dahulu. Mereka akan mempelajari asosiasi, patterns , dan fungsi yang

Pengguna utama ( primary user ) adalah pemilik sebuah frekuensi tertentu, misalnya pengguna utama A memancarkan sinyal dengan frekuensi f A ke pengguna utama B. Karena

Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar inseminator yang ada adalah pegawai yang bekerja di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Sawahlunto, sehingga pelaksanaan program IB

Penelitian Harimurti (2008) menyebutkan bahwa peningkatan jumlah Obesitas pada anak- anak saat ini karena anak-anak lebih senang mengkonsumsi fast food modern yang