• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM RESOLUSI KONFL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM RESOLUSI KONFL"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM RESOLUSI KONFLIK DI ACEH BERDASARKAN ISLAM DAN GENDER

Konsepsi Keadilan menurut Islam

Sebagai agama tauhid (mengesakan Tuhan) islam diturunkan oleh Zat Yang Maha Adil. Oleh karena itu, keadilan merupakan salah satu ajaran islam yang paling

mendasar. Prinsip mengenai keadilan kemudian banyak dinyatakan dalam ayat-ayat suci Al-Quran. Diantaranya adalah:

1. Prinsip keadilan dalam kehidupan berkeluarga (QS. An-Nahl:90) 2. Prinsip keadilan dalam memutuskan perkara (QS. An-Nisa:58) 3. Prinsip keadilan tanpa rasa dendam (QS. Al-Maidah: 8)

4. Prinsip keadilan memelihara anak-anak yatim dan mengelola harta mereka

Keadilan yang diajarkan oleh agama selalu memuat prinsip membela yang benar, melindungi yang tertindas, serta menghindarkan kezaliman dan kesewenang-wenangan. Kehadiran agama islam merupakan suatu kabar gembira bagi kaum perempuan, karena dalam islam, kaum perempuan dimanusiakan seperti layaknya manusia laki-laki, yang mana sebelum ada islam, bayi perempuan yang lahir tidak diperkenankan untuk hidup.

Dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan, keadilan meniscayakan tidak adanya diskriminasi, tidak adanya kecondongan ke arah jenis kelamin tertentu dan pengabaian jeniskelamin yang lain. Keadilan juga memberikan bobot yang sepadan antara hak dan kewajiban di antara laki-laki dan perempuan. Keadilan tidak meletakkan perempuan pada pihak yang lebih rendah dan berada di bawah dominasi dan kekuatan laki-laki. Pada saat yang sama, keadilan juga tidak memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk berbuat seperti penguasa yang mempunyai hak penuh atas diri

perempuan. Keadilan memang tidak menafikkan perbedaan diantara keduanya, namun keadilan sama sekali tidak menghendaki perbedaan itu dijadikan sebagai alasan untuk membeda-bedakan.

(2)

semasa belum menikah dengan nabi, beliau mandiri dalam berbisnis. Islam kemudian menempatkan perempuan pada kedudukan yang tidak dapat lagi dipandang sebelah mata, terbukti Nabi pada saat menyebarkan agama islam selalu mendengar dan mempertimbangkan berbgaia ekspresi pandangan dan pikiran perempuan.bahwa kata-kata perempuan memiliki bobot bahkan menyangkut masalah-msalah yang

mengandung makna spiritual dan sosial. Menerima kesaksian perempuan atas ucapan dan perbuatan Nabi sama artinya dengan menerima otoritas mereka dalam berbagai masalah yang dimaksudkan mempunyai hubungan yang bersifat preskriptif dan mengatur dengan adat istiadat dan hukum.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad secara pasti adalah tokoh pembaruan sistem sosial yang ide-idenya sesuai dengan pesan Tuhan yakni menciptakan kehidupan sosialyang egaliter termasuk relasi antara laki-laki dan perempuan. Kenyataan bahwa perempuan di berbagai wilayah Islam dalam perkembangannya menunjukkan adanya kemunduran adalah lebih karena pengaruh kebudayaan yang feodalistik dan bukan kehendak islam.

Prinsip Adil Gender dalam Ayat-ayat Al-Quran

No. Prinsip Ayat

1. Persamaan penciptaan asal-usul manusia QS.An-nisa ayat 1 2. Kesetaraan gender kecuali karena kualitas

takwanya

QS.Al-hujurat ayat 13

3. Persamaan beban dan tanggungjawab untuk mewujudkan kehidupan yang baikdengan melakukan kerja-kerja positif

QS.An-Nahl ayat 97

4. Kemitraan yang setara QS.At-Taubah ayat 71 5. Persamaan penghargaan di depan Allah QS. Al-Ahzab ayat 35 6. Saling menjadi pelindung QS. Al-Baqarah ayat 187 7. Independensi ekonomi perempuan QS. An-Nisa ayat 21 8. Prinsip “kerelaan” dalam relasi suami QS. Al-Baqarah ayat 232 9. Prinsip berbuat/memperlakukan dengan baik QS. An-Nisa ayat 19 10. Kerelaan dan musyawarah dalam keluarga QS.Al-Baqarah ayat 233 11. Perwujudan perdamaian dan cinta kasih dalam

keluarga

QS. Ar-Rum ayat 21

Memahami Penafsiran Al-quran tentang Kedudukan Perempuan

(3)

disampaikan kepada umat manusia melalui rangkaian yang terpercaya dan tertulis dalam mushhaf. Kenyataan sejarah al-quran penting untuk diketahui karena dengan memahami sejarah diturunkannya ayat-ayat al-quran,umat muslim dapat memahami bahwa kitab suci ini tengah berdialog secara dinamis dan interaktif dengan akal dan budaya bangsa arab pada saat itu dalam konteks sosial-budaya yang berbeda. Salah satu hal yang menarik dari al-quran adalah bahwa ia hadir tidak dalam kerangka

meruntuhkan seluruh total atas bangunan tradisi,adat istiadat dan budaya masyarakat waktu itu. teks-teks al-quran hadir untuk melakukan transformasi terhadap kebudayaan masyarakat Arab pada saat itu tanpa merusak total dan revolusioner menuju

terwujudnya konstruksi sosial baru yang lebih baik.

Memahami makna alquran atau menafsirkan al-quran tidak dapat ditafsirkan secara harfiah dan tekstual. Hal tersebutlah yang kemudian memicu adanya pertentangan dan perselisihan antar umat manusia karena adanya perbedaan tafsir dan pandangan dalam memaknai bunyi ayat-ayat dari quran. Kekeliriuan dalam memahami teks-teks al-quran sesungguhnya dapat dihindari ketika orang melihatnya dalam konteks masing-masing, baik konteks linguistik, konteksketika ayat diturunkan maupun konteks sosial kultural yang nelingkupinya. Ibrahim at-Taimi menurut Abu Ubaidah pernah

mengatakan:

“Suatu hari UmarBin Khattab merenung seorang diri sambil bertanyaa kepada dirinya sendiri: Bagaimana umat bersislisih pendapat padahal Nabinya satu, kiblatnya juga satu?. Hal tersebut kemudian ditanyakan pada Ibnu Abbas yang kemudian dijawabnya: Hai Umar, kepada kita al-quran

dirirnkan,kemudian kita membacanya dan kita mengetahui dalam hal apaia diturunkan. Kelak sesudah kita umat membaca al-quran, tetapi mereka tidak mengetahui dalam hal apa ayat-ayat tersebut diturunkan. Apabila mereka menyampaikan pendapat (menafsirkan) mereka akan berbeda pendapat. Jika mereka berselisih mereka bisa saling membunuh...”

Informasi yang diterima dari al-quran menyebutkan bahwa kondisi umum perempuan dalam masyarakat Arab sampai pada masa Al-quran dirutunkan adalah kondisi yang tidak menguntungkan, bahkan sangat buruk. Perempuan bukan hanya dipandang sebagai makhluk yang rendah,tetapi juga dihargai sebagai barang, bisa diwarisi dan diperlakukan layaknya budak (QS.An-Nisa:19). Mereka juga tidak

(4)

menjelaskan bahwa kepemimpinan atau kekuasaan domestik apalagi publik berada di tangan laki-laki.

Mengapa demikian?

Al-quran menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena laki-laki memiliki

kelebihan setingkat lebih tinggi dibanding perempuan dan karena fungsi ekonomi ada di tangan laki-laki. Yang menarik adalah teks tersebut kemudian tidak menjelaskan secara eksplisit tentang kelebihan laki-laki atas perempuan. Jika menafsirkan ayat tersebut secara literalistik tanpa mengaitkannya dengan ayat lain, keterangan lain dan tanpa memperhatiakn konteks sosialnya, akan mudah sekali menyimpulkan bahwa laki-laki menurut Tuhan ditakdirkan menjadi pemimpin, penguasa, pengendali atau pendidik perempuan. Sedangkan perempuan diposisikan sebagai yang dipimpin, dikuasai, dikendalikan dan dididik. Jika tafsir secara literalistik dijadikan sebagai dasar hukumyang tetap dan bersifat normatif bukan bersifat fungsionalmaka sebenarnya tafsir tersebut bertentangan dengan ayat-ayat kesetaraan dan kesederajatan manusia.

Kembali lagi kepada QS. An-nisa ayat 34 bhawa maksud dari kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam realitas sosial ketika saat itu didukung oleh dua alasan yakni keunggulan dan tanggungjawab ekonomi. Al-quran tidak menyebutkan kriteria keunggulan laki-laki atas perempuan,tetapi para ahli tafsir klasik dan modern

menyatakan bahwa keunggulan akal intelektual laki-laki sebagai suatu kodrat yang melekat secara tetap. Para tafsir tersebut mengambil dasar legitimisany dari sumber-sumber lain misalnya saja mengenai sejarah mitologi kejatuuhan Adam dan Hawa dari surga.

(5)

perempuan yang memilikikenunggulan baik intelektual dan kemampuan ekonomi juga pernah ada,sebut saja contohnya adalah Siti Khadijah dan Siti Aisyah.

Lebih lanjut lagi,QS.An-Nisa ayat 34 mengungkapkan bahwa al-quran dalam ayat ini tengah mencoba untuk berdialog dan mengapreisasi realitas sosial. Hal tersebut dapat diketahui dalam latar belakang diturunkannya ayat ini yakni:

Seorang perempuan datang kepada Nabi untuk mengadukan perbuatan suaminya yang telah memukulnya. Nabi menyarankan untuk melakukan pembalasan yang

setimpal,tetapi kemudian ayat al-quran turun dan Nabi mengatakan “ Aku menghendaki sesuatu, tetapi Allah menghendaki yang lain”. Riwayat tersbut menggambarkan bagaimana sesungguhnya Nabi Muhammad ingin sekali prinsip kesetaraan segera diimplementasikan pada saat itu, namun Tuhan memiliki kebijakan lain. Pembalasan tersebut belum saatnya dilakukan karena jika dilihat secara utuh akan tampak bahwa kebijakan Tuhan adalah ingin agar penerapan prinsip kesetaraan dilakukan secara bertahap dan tidak seketika. Tindakan secara bertahaptersebut adalah

pertama-tamamenasehati, jika tidak berhasil maka membiarkannya tidak diaguli dan jika tidak berhasil lagi baru kemudian boleh memukulnya. Pemukulan pun tidak diperkenankan dilakukan dengan keras-keras atau bahkan sampai melukai.

Dengan penjelasan di atas terlihat dengan jelas bahwa al-quran sama sekali tidak menghendaki kekerasan terhadap perempuan apapun bentuknya dan tindakan atas hal tersebut harus dihapuskan.

Perempuan Aceh dalam Resolusi Konflik

(6)

pemahaman tekstual terhadap teksteks suci, mengabaikan pemahaman kontekstualnya yang lebih mengedepankan prinsip egaliter dan akomodatif terhadap nilai-nilai

kemanusiaan. Agama bukan hanya sekedar tumpukan teks, melainkan seperangkat pedoman ilahiah yang diturunkan demi kebahagiaan dan kemaslahatan seluruh manusia: perempuan dan laki-laki.

Jika dikaitkan dengan kondisi yang terjadi di Aceh pasca konflik,ternyata peranan perempuan tidak dapat dapat dipandang sebelah mata. Dalam resolusi konflikAceh, kaum perempuan di Aceh juga memiliki andil serta cetak biru yang juga tidak kalah mengagumkan jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Peran aktif perempuan bukanlah sesuatu yang asing dalam sejarah masayarakat Muslim di Aceh. Sejarah kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Aceh mencatat adanya penguasa baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam misalnya mencatat kepemimpinan empat sultanah secara berturut-turut yang memimpin Aceh, dimulai dari Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, putri dari Sultan Iskandar Muda sampai Sultanah Inayat Syah.

Pada masa konflik di Aceh, kelompok yang paling aman untuk bisa masuk ke wilayah konflik dan menolong korban adalah perempuan atau kelompok perempuan. Ketika eskalasi konflik Aceh meningkat, beberapa lembaga atau organisasi perempuan yang sudah mulai tumbuh saat itu sudah mulai melakukan upaya-upaya kemanusiaan di lapangan. Kalau mau dianalisa lebih jauh karena persoalan konflik inilah, maka

kekuatan sosial dan politik kelompok-kelompok perempuan terkonsolidasi dalam sebuah gerakan. Dalam konteks yang lebih luas lagi, beberapa tokoh perempuan Aceh juga memperjuangkan penyelesaian konflik Aceh lewat penyampaian fakta-fakta pelanggaran HAM di Aceh ke level nasional bahkan internasional. Tahun 2000, salah seorang tokoh perempuan Aceh seperti Suraiya Kamaruzzaman bersama dengan beberapa tokoh lainnya berbicara di beberapa negara di Eropa dan lembaga

internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyampaikan kepada dunia apa yang sesungguhnya terjadi di Aceh guna mencari jalan bagi penyelesaian konflik Aceh. Misi diplomasi seperti ini relatif berhasil menggugah perhatian dunia yang kemudian memberikan perhatian dan memediasi persoalan konflik yang terjadi di Aceh.

(7)

referendum di masa pemerintahan B.J. Habibie pasca mundurnya Suharto 1998 yang berakhir dengan kemerdekaan dan pemisahan Timor Timur dari Republik Indonesia. Ide dan inspirasi yang sama akhirnya juga melanda Aceh. Semangat penyelesaian konflik Aceh akhirnya bagi sebagian kalangan bermuara kepada pilihan “referendum” atau “merdeka”. Namun, kaum perempuan Aceh tetap menyuarakan adanyapedamaian, bukan referendum yang dimunculkan dalam konggres perempuan Aceh pada bulan February 2000 yang dikenal dengan Duek Pakat Inong Aceh (DPIA)

Duek Pakat Inong Aceh (DPIA)

Salah satu pekerjaan kelompok perempuan Aceh yang terkeordinir dan dalam jumlah besar dalam rangka mengajukan ide penyelesaian konflik secara damai adalah lewat kegiatan Duek Pakat Inong Aceh semacam konggres perempuan Aceh yang melibatkan perempuan dari seluruh Aceh dalam jumlah yang cukup besar; lebih dari 400 orang. Konggres ini berlangsung ketika secara umum mainstream pemikiran dan pendapat yang sedang berkembang di masayarakat Aceh pada tahun 2000 mengerucut pada opsi ‘merdeka’ atau ‘referendum’.

Meskipun peranan DPIA tidak banyak diketahui dalam rentang penyelsaian konflik di Aceh, terdapat beberapa hal yang kemudian harus digarisbawahi yaitu, Pertama bahwa persepsi perempuan adalah korban, tidak selalu benar. Dalam kondisi tertentu seperti yang terjadi di Aceh peran mereka sebagai agen perdamaian atau keterlibatan mereka dalam penyelesaian konflik jelas terlihat. Kedua; prinsip yang diusung dalam advokasi kelompok perempuan di Aceh dalam penyelesaian konflik adalah dengan mengedepan “damai” ketimbang terjebak dalam opsi “referendum” atau ‘merdeka”. Islam sendiri dari segi bahasa berarti damai dan agama yang menganjurkan untuk perdamaian, dan nilai-nilai anti kekerasan. Nilai ini pula yang lebih dikedepankan dalam perjuangan mereka untuk penyelesaian konflik Aceh.

Kesimpulan

Dari penjelasan mengenai sejarah islam, islam dan gender serta peran perempuan dalam resolusi konflik di Aceh, dapat diketahui bahwa Pertama, meski proses perdamaian dan resolusi konflik yang dilakukan di Aceh tidak secara khusus

(8)

realitanya pendekatan dan metode yang dipakai adalah cara-cara yang ada referensinya dalam sejarah Islam. Kedua, konflik dan resolusi konflik di Aceh juga menunjukkan bahwa perempuan atau kelompok perempuan yang selama ini sering diasosiasikan sebagai korban dalam konteks konflik dan perang, ternyata bisa menjadi kelompok yang aktif sebagai agen perdamaian, terutama ketika kondisi megharuskan dan situasi mendukung peran mereka untuk lebih aktif. Walaupun ketika dalam ruang perundingan formal, peran dan kontribusi mereka tidak begitu diperhatikan dan diangkat. Namun nilai-nilai yang diusung oleh kelompok perempuan di Aceh setidaknya seperti terlihat dalam rekomendasi Duek Pakat Inong Aceh(DPIA) adalah “damai”; sebuah prinsip yang sangat dominan dalam ajaran Islam.

Source :

Eka Srimulyani, 2012, Islam, Perempuan, dan Resolusi Konflik di Aceh,

Referensi

Dokumen terkait

Kendala yang dihadapi oleh seorang Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Malang dalam Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Kurangnya profesionalisme

Pembobotan ditentukan dengan mengamati perbedaan spesifikasi cpu dan memori pada kedua server, hasil data utilisasi cpu dan memori sebelum implementasi mekanisme load balancing

Bab kedua, merupakan bab yang akan membahas rumusan masalah pertama tentang karakteristik perjanjian pada metode pemasaran Multi Level Marketing (MLM) yang diaplikasikan

non fisiknya seperti suara, animasi, video, gambar dll, namun yang terpenting disini bukanlah media pembelajarannya tetapi pesan yang akan dibawa oleh media

Alasan penulis memilih mahasiswa baru karena menurut Menurut (Taylor, R. S.1968) ada 4 lapisan atau tingkatan yang dilalui oleh pikiran manusia sebelum sebuah kebutuhan benar

Kegiatan lomba karya tulis ilmiah ini diselenggarakan sebagai bagian dari serangkaian kegiatan Pekan Ilmiah Fisika (PIF) XXVIII Tingkat Nasional 2017 Hima Fisika

Parameter yang diamati adalah kadar air, kadar abu, kadar kalsium dan rendemen pada tepung cangkang telur, dan karakteristik fisik (warna, viskositas dan

Penggugat dan tergugat dalam putusan ini juga disamping melakukan perkawinan menurut upacara Gereja Katolik di Paling (Sanggau Ledoo) pada tanggal 18 April