BIPOLARITAS, RENUNGAN PASAR, HATI NURANI MANUSIA Bramantio
Prolog
Hati Nurani Manusia. Kali pertama saya membaca judul novel Idrus ini, sejumlah hal meletup‐
letup untuk kemudian sedikit demi sedikit bersengkarut di dalam pikiran saya. Pertanyaan‐
pertanyaan tentang yang akan saya temui di dalam novel ini muncul satu demi satu disertai
dengan jawaban yang tentu saja masih dalam tataran kemungkinan. Betapa pun saya berusaha
mencegah, hal semacam ini senantiasa mengawali pembacaan saya atas baik sastra maupun
hal lain. Dalam kerangka pemikiran Hans Robert Jauss, yang terjadi pada saya adalah
pembentukan cakrawala harapan, asumsi‐asumsi yang muncul prapembacaan. Cakrawala yang
secara sederhana dipahami sebagai garis pertemuan Bumi dan langit yang dalam realitasnya
berada di antara ada dan tiada serta terus‐menerus mengalami pergeseran sesuai posisi
pemandang juga menjadi prinsip cakrawala harapan yang berubah seiring pengalaman
pembacaan. Pengalaman pembacaan saya selama ini membentuk asumsi bahwa novel ini
berdasarkan judulnya setidaknya akan berisi petuah‐petuah, problematik sosial, manusia‐
manusia yang terpuruk, dan mungkin ditambah nuansa religius. Sampul belakang novel ini pun
ternyata menghadirkan hal senada dengan asumsi saya bahwa novel ini “melukiskan kekalutan
jiwa manusia yang terjatuh ke dalam lembah kenistaan: korupsi dan kebobrokan moral;
seorang ayah hendak mencemarkan kehormatan tunangan anaknya, sedangkan anak itu
mencemarkan adik ibu tirinya; manusia seakan‐akan kehilangan hati nuraninya.” Sebuah
deskripsi yang menjerumuskan calon pembaca untuk terlalu dini menarik simpulan. Saya pun
sempat berpikir akan menjumpai kalimat‐kalimat yang tersusun sedemikian rupa seolah taman
yang saking sesaknya dengan aneka bunga, warna, dan aroma justru memuakkan. Hanya saja,
yang saya dapati setelah membaca halaman‐halaman perdana novel ini adalah sebuah jarak
estetik, jarak antara cakrawala harapan dengan karya, yang dapat dikatakan cukup jauh
sehingga mendatangkan gelitik yang mengusik sekaligus menyegarkan.
Jalan Datar Sarat Problematik
Novel ini dibuka dengan “Pasar itu sama saja dengan beratus‐ratus pasar kecil yang lain di
Jakarta: kecil, terletak di tengah‐tengah kompleks rumah‐rumah tinggal dan kotor” (hlm. 5).
Bagian ini diikuti dengan deskripsi pasar dan segala aktivitas di dalamnya sejak pagi hingga pagi
lagi dengan kalimat‐kalimat yang terkesan datar. Kehadiran pasar pada awal cerita sedikit
banyak memunculkan pertanyaan berkaitan dengan relasi pasar dengan cerita secara
pada sebuah rumah tinggal di daerah itu berjalan seorang pemuda melalui suatu gang yang
beratap menuju ke rumah tinggal itu” (hlm. 7). “Di daerah itu” memang mengacu pada pasar,
tetapi kedudukan pasar sebagai pembuka cerita yang tidak sekadar disebut secara sekilas
tetap meninggalkan pertanyaan tanpa jawaban. Setelah pasar yang menjadi semacam
perhentian untuk kelak dibaca kembali, kehadiran secara intens seorang pemuda pada bagian
ini yang kemudian diketahui bernama Pri dengan karakteristik positifnya juga menjadi titik
henti untuk menarik simpulan bahwa dialah tokoh sentral cerita, sang juruselamat bagi tokoh‐
tokoh lain. Tokoh‐tokoh yang tampak layak menjadi kandidat untuk diselamatkan adalah
Solihin, Pian, dan Bey,
“Ayah banyak menyimpan uang sekarang. Uang hasil catut, uang korupsi dan orang tua itu tak mau membagi aku.”
[…]
“Engkau tahu kantor ayah kantor import. Tapi ia terlalu pelit untuk membagi aku. Aku tahu uangnya banyak. Tidak berani ia menyimpannya di bank. Sekarang mentang‐mentang aku bekerja pada Caltex, enak saja ia suruh aku mencuri minyak tanah berkaleng‐kaleng. Kalau dibayarnya boleh jugalah. Harga murah pun aku terima. Tapi ini tidak. Katanya, minyak tanah itu untuk kita pakai sendiri di rumah, bukan untuk dijual” (hlm. 21)
Akan tetapi, fakta tekstual memperlihatkan hal‐hal yang ternyata tidak sesederhana itu. Masih
dengan kalimat‐kalimat yang terkesan datar, novel yang terbagi menjadi enam bab yang
kemudian terbagi lagi ke dalam segmen‐segmen ini dengan lincah menghadirkan cerita yang
meloncat dari satu ruang ke ruang yang lain. Sejalan dengan hal ini, setiap ruang memiliki
tokohnya masing‐masing yang menjadi fokus cerita sekaligus pemandang peristiwa, tampak
pada bagian‐bagian yang menghadirkan peristiwa‐peristiwa yang terjadi dalam kerangka “satu
waktu, berbeda ruang”, di antaranya pada segmen berikut ini, “Rumah sakit itu tidaklah
seperti rumah sakit betul. Ia merupakan rumah tinggal biasa, kepunyaan seorang dokter yang
ternama. Tapi segala‐galanya diatur dengan istimewa, jauh lebih sempurna daripada rumah
sakit besar yang mana pun […] Melihat Solihin di ambang pintu itu sebagai seorang yang
pertama masuk ke kamar itu, Halimah berdiam diri saja, mukanya masam [….] (hlm. 33) dan
“Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi,” kata Pian kepada Bey, waktu mereka tinggal
berdua saja di rumahnya, sedang orang‐orang yang lain pergi ke rumah sakit itu (hlm. 34). Hal
serupa kembali muncul pada peristiwa antara Solihin dan Miharti dalam perjalanan pulang
mereka dari bioskop,
“Paman mungkin telah mengusik Miharti. Miharti lari, paman mengejarnya,” kata Pri dengan rasa jengkel.
Tak berapa lama kemudian dari gang yang gelap itu keluar Solihin. Rambutnya tak karuan, bajunya basah keringat dan ia tersengah‐sengah. Dengan tidak mengacuhkan Pri dan Wati ia terus menuju becaknya, lalu katanya: “Anak gila itu.” Dan disuruhnya becak itu meneruskan perjalanannya.
*
Miharti dapat bersembunyi di belakang pagar sebuah rumah di gang itu. Terdengar bunyi derap kaki Solihin dekat sekali ke tempat persembunyiannya. Bunyi nafas Solihin yang turun naik dengan cepatnya pun dapat terdengar di dalam kesunyian malam itu. Perasaan takut menyelubungi diri Miharti. Sekali‐ sekali perasaan takut itu dapat dikalahkan oleh perasaan bencinya kepada Solihin. “Ya Allah,” katanya dalam hatinya, “sukur aku tak bawa pisau atau senjata seperti itu. Kalau ada, akan kutusuk perut buncitnya itu.” Miharti menggerak‐ gerakkan bibirnya tanda bersukur kepada Tuhan (hlm. 41—42).
Hal ini pun sedikit demi sedikit membentuk pemahaman bahwa novel ini bukanlah novel
dengan satu tokoh sentral, tetapi menempatkan sejumlah tokoh yaitu anggota keluarga Solihin
pada kedudukan setara dengan cara pandangnya masing‐masing. Novel ini pun bukan tentang
siapa menyelamatkan siapa. Kedataran cerita dan kesetaraan tokoh ini secara implisit
tergambar pada, “Seperti orang kelas menengah lainnya di Jakarta, pukul lima sore semua
mereka sudah mandi, memakai pakaian yang bersih dan duduk‐duduk di beranda muka
rumahnya […] Orang luar akan menyangka bahwa keluarga Solihin itu adalah keluarga yang
rukun damai, karena cobalah lihat mereka itu sekarang duduk bersama‐sama di muka
rumahnya (hlm. 30). Meskipun tampak rukun damai, atau dengan kata lain tampak datar,
novel ini sesungguhnya menghadirkan karut‐marut sebuah keluarga pada tataran akut.
Bagaimanapun, hal ini tidak lantas menjadikan cerita kemrungsung, loncatan dari satu segmen
ke segmen berikutnya tetap terjadi dengan irama yang konstan, termasuk ketika mencapai
rencana Pian dan Bey untuk melakukan penculikan (hlm. 35), perdebatan mereka berdua
tentang transparansi dan kepercayaan (hlm. 36), dan peristiwa di dalam bioskop (hlm. 38).
Sosok Pri yang pada awalnya dihadirkan dengan citranya yang serbapositif, pada bagian‐bagian
berikutnya pun tampak sebagai orang yang terjebak di masa lalu dan seolah tidak memiliki visi
dalam hidupnya,
“Sayang Jepang masuk ke negeri ini. Kalau tidak aku tidak akan duduk di sebelah gadis yang begini,” katanya dalam hati. Kemudian diteruskannya pikirannya: “Ya, kalau Jepang tidak datang ke negeri ini, tidak akan ada gadis yang seperti ini, atau jumlahnya akan terbatas sekali.”
Dan dicobanya juga memusatkan perhatiannya. Tapi pikirannya berjalan terus juga. “Dan berapa lagi aku akan dapat mempertahankan kebersihanku? Aku bukannya orang yang suci. Aku bersih sampai sekarang, karena pendidikan yang keras dari orang tuaku, tapi aku bukanlah orang yang dilahirkan sebagai orang yang suci.”
“Ya Allah,” kata Pri kepada dirinya, seakan‐akan hendak minta bantuan dari arah itu. (hlm 39).
Tidak sampai di situ saja, kecenderungan Pri untuk mengikatkan diri pada masa lalu kembali
hadir pada bagian lain cerita,
Dipicingkannya matanya sebentar, kemudian ia merasa nikmat sekali mengenangkan Jakarta lima belas tahun yang lalu. “Itulah yang mengikat aku barangkali kepada Jakarta ini. Bukan Jakarta yang seperti sekarang ini, sibuk dengan kendaraan dan manusia dan hidup bersempit‐sempit dalam sebuah rumah kecil,” katanya dalam hati.
[…]
“Jika Jepang tidak datang ke negeri ini,” kata Pri sambil mendayung sepedanya itu, “Paman Solihin tetap akan menjadi ambtenaar yang terhormat. Gaji cukup, hidup tenteram tak banyak godaan, dan keinginan kaya tidak ada.”
[…]
“Jika Jepang tidak datang ke negeri ini,” katanya lagi, “Aku sudah tujuh tahun jadi dokter sekarang. Orang melarat akan kuobati dengan percuma dan orang‐orang kaya kumakan habis‐habisan (hlm. 53).
Sebaliknya, Solihin yang bahkan menyebut dirinya sendiri sebagai buaya, ternyata memiliki
kutub lain yang bertentangan dengan kutub buayanya,
Suara Solihin kedengaran pula: “Aku tidak begini di waktu muda, Pri. Ada sesuatu sekarang yang hilang dari diriku. Keimanan barangkali.”
Pri mendekati pamannya itu, lalu katanya: “Bukan Paman saja. Semua orang. Keadaan menjadikan kita manusia yang terbalik. Yang biasanya di luar ada di dalam sekarang. Yang biasanya di dalam, ada di luar. Itu karena keadaan semata‐mata, Paman.” Pri berhenti sebentar untuk menunggukan kalau‐kalau ada jawaban datang dari Solihin. Tapi Solihin berdiam diri saja. Dan kata Pri pula: “Kita adalah mangsa dari pancaroba di negeri kita” (hlm. 45).
Pernyataan Pri di sini selain sebagai usaha untuk menghibur pamannya, juga sekaligus
menegaskan bahwa semua orang memiliki dua sisi dan dia benar‐benar tidak bisa melepaskan
diri dari menyalahkan keadaan. Segala perbuatannya seolah‐olah tidak hadir sebagai wujud
kesadarannya sendiri, tetapi sebagai akibat pancaroba negeri sekaligus menempatkan dirinya
sebagai mangsa. Justru Pianlah yang meskipun dihadirkan secara implisit, memiliki kesadaran
akan diri dan perilakunya, yaitu ketika ia terbangun pascamabuk malam sebelumnya,
Pagi‐pagi keesokan harinya Pian terbangun dengan seluruh badannya merasa sakit‐sakit, terutama kepalanya. Dia melihat ke sekelilingnya, dan ia keheranan. Dilihatnya, bahwa ia ada di dalam ruang tamu rumahnya dan mulai ia memaksa pikirannya. Lambat‐lambat kembali ingatannya kepada kejadian kemarin malam.
“Aku tentu mabuk kemarin,” katanya dalam hatinya. Diingatnya kembali, bahwa ia telah mengajarkan kepada Bey bagaimana mencopet dompet dari kantong orang (hlm. 47).
Kesadaran akan diri sekaligus kemampuan mengakui perbuatannya meskipun hanya kepada
dirinya sendiri juga dimiliki Solihin,
“Kalau aku mau, tentu bisa dapat Miharti itu. Tapi aku tidak mau. Aku hanya ingin menggunakan kesempatan yang ada. Kerjaku tidak lain daripada menggunakan kesempatan yang ada.”
[…]
“Dan sebagai orang yang pandai menggunakan kesempatan, aku adalah orang yang pandai hidup,” katanya dalam hati. Tapi sesudah berkata itu, ditariknya hidungnya ke atas, seakan‐akan ia mengejek dirinya sendiri.
[…]
“Tidak perlu orang lain yang mengatakan kepadaku, bahwa semua anakku sudah gagal, lihatlah Pian dan Bey kemarin malam itu.”
[…]
“Aku sendiri juga gagal. Tapi apa dayaku? Dan tidakkah semua orang sekarang ini sudah gagal. Tidak ada orang yang baik lagi. Kalaupun ada, besok lusa mereka akan menjadi orang tidak baik. Dan gagallah mereka. Dan apa artinya aku ini jika dibandingkan dengan orang‐orang besar yang juga sudah gagal?”
[…]
“Siapa yang masih mengharapkan akan dapat bertemu dengan orang‐orang baik sekarang ini?” katanya pula (hlm. 51).
Sejalan dengan cerita yang mengarah ke kutub lain Solihin, Pian pun kembali diperlihatkan
sebagai orang yang tidak sekadar memburu kenikmatan material, tetapi juga mampu
merenungkan dirinya sendiri dan orang lain,
Pian merasa bahwa ia tambah lama tambah panas hatinya dan ia tidak tahu terhadap siapa marahnya itu. Terhadap Solihinkah yang telah membunuh ibu kandungnya itu? Terhadap Prikah yang selalu hendak lari ke masa silam itu dan ngelamun? Ataukah kepada dirinya sendiri?
“Ya Allah,” kata Pian. “Jangan berbicara tentang ibu juga lagi. Aku tidak suka mendengarkannya, kau tahu?”
[…]
“Aku tahu, engkau dari dulu tidak cinta kepada ibu,” kata Bey dengan memberengut.
Pian meloncat. “Apa katamu?” tanyanya dengan marahnya. “Dari siapa pula engkau mendengar itu? Kalau aku terangkan, engkau tidak juga mengerti, bodoh. Jadi buat apa aku menghabis‐habiskan waktu? Kita hidup di waktu sekarang, tak ada gunanya mengingat hal‐hal yang lampau?”
[…]
“Aku juga cinta kepada ibu, Bey,” kata Pian dan otaknya kelihatannya diperasnya. “Tapi tak ada gunanya setiap waktu berkata: Kalau ibu tidak meninggal, dan sebagainya itu. Kalau aku berlaku begitu, aku rasanya tidak dapat hidup samasekali” (hlm. 57—58).
Tidak seperti Pri, Pian menganggap tidak ada gunanya mendekam di dalam sentimentalitas
masa lalu. Berdasarkan uraian ini, seluk‐beluk keluarga Solihin tampak sebagai hal yang saling
menyadari dan merenungkannya. Hal ini secara eksplisit juga dinyatakan oleh novel ini pada
salah satu bagian,
“Sekarang ini begini,” kata Karnaini sambil makan kue, “zaman sekarang ini zaman abnormal. Kita harus menyesuaikan diri dengan panggilan zaman. Kalau tidak kita yang dikatakan orang abnormal.”
“Seperti cerita raja yang normal memerintah rakyat yang abnormal saja,” kata Wiryo. “Akhirnya raja itu dibunuh rakyatnya itu, karena menurut rakyat itu rajanya tidak memerintah dengan baik.” Dan Wiryo tertawa dengan senangnya, sedangkan yang lain ikut tertawa ataupun tersenyum (hlm. 70).
Normalitas dan abnormalitas yang saling dipertukarkan terus‐menerus mengisi cerita, seperti
yang tampak pada rangkaian pembicaraan Pian dan Bey,
“Engkau harus sekolah lagi. Engkau tidak bodoh, Bey.” Bey seperti tidak mengacuhkan kata‐kata Pian itu. Rambutnya yang keriting ditarik‐tariknya.
Kata Pian pula: “Engkau hanya berlagak bodoh, supaya engkau tidak disuruh ayah ke mana‐mana. Supaya tidak diinjak‐injak ayah kalau bawa rapor buruk pulang. Supaya orang tidak mencurahkan perhatian kepadamu. Ya, aku tahu, Bey.
[…]
“Engkau yang selalu mengatakan aku bodoh,” jawab Bey dengan marah. “Sedikit‐sedikit anak bodoh, si bodoh dan kepada pengawal itu juga kaukatakan aku bodoh.” Keningnya dikernyutkan, dan merasa geli hatinya.
“Memang aku sudah salah, Bey,” katanya. “Engkau ingat ayah selalu menamakan aku buaya? Nah, sekarang aku betul‐betul sudah jadi buaya dan engkau aku seret pula berbuat jahat itu (hlm. 79).
“Engkau akan menjadi pelukis, Bey. Dan aku akan buka warung kecil. Di Bandung. Kita keduanya bekerja keras. Kita tidak akan mengacuhkan orang lain. Kita tidak perduli, apakah orang lain itu korupsi, mencuri atau lebih kaya daripada kita. Engkau dan aku hanya tahu bekerja terus saja. Engkau untuk menyempurnakan pendidikanmu sebagai pelukis dan aku cari uang untuk sekedar hidup saja. Dan kita akan jadi orang baik‐baik lagi, Bey, seperti yang diharapkan ibu kita (hlm. 80).
Ada kesadaran yang terus‐menerus bertambah pada diri Pian tentang kehidupannya selama ini
sekaligus keinginannya untuk bersama Bey memperbaiki diri, meskipun menurut Pian untuk
mewujudkan itu mereka harus melakukan satu kejahatan terakhir, yaitu mencuri uang Solihin
dengan memanfaatkan Wati untuk kemudian mereka tinggalkan. Hal senada juga terjadi pada
Wati, “Aku sekarang sudah bukan gadis lagi,” katanya kepada dirinya, “dan tali harapanku
untuk menjadi orang baik ada pada Pian. Kalau Pian membuayai aku pula…” Ia tidak dapat
meneruskan pikirannya, kalau sudah sampai kepada hal tersebut (hlm. 90—91). Solihin pun
semakin tampak sebagai bapak yang tidak sekadar bisa korupsi dan menularkan hal ini kepada
anak‐anaknya, tetapi juga bapak yang mencintai anak‐anaknya,
suka ia melihat Pian itu makan lahap seperti itu, biarpun andaikata ia sendiri tidak kebagian makanan yang enak itu. Tapi segera pula hatinya berkata: “Ah, mana tahu buaya‐buaya itu akan cinta seorang ayah. Mereka hanya melihat aku marah‐ marah saja dan mereka benci kepadaku. Tapi mereka tidak tahu, bahwa aku sebenarnya cinta kepada mereka” (hlm. 83—84).
Pada saat yang tidak berselang jauh, Pian pun menemukan keberanian untuk setidaknya
membuat pernyataan kepada dirinya sendiri dan Pri bahwa dia adalah orangtua yang mau
mengemban tanggung jawab,
“Pian, mengapa engkau tidak terang‐terangan kawin. Tidak ada satu manusia yang dapat melarang engkau.”
Jawab Pian seperti orang yang sudah mengaku kesalahan: “Ia anak tukang warung, Pri.”
“Dan karena itu engkau malu, bukan? Sekarang kita sudah merdeka, Pian. Hilangkanlah kepriyayianmu itu. Sudah tidak pada tempatnya lagi. Dan engkau sudah sebulan lebih tidak memberi dia nafkah.” Agak sakit hati Pri mendengar Pian berkata, isterinya itu anak tukang warung.
“Sorry, Pri. Besok akan kuberi ia uang belanjanya,” kata Pian seperti orang yang betul‐betul menyesali dirinya (hlm. 88).
Lebih lanjut, di tengah‐tengah segala hal material dan duniawi yang menjadi pusat perhatian
keluarga Solihin, tetap terselip ingatan akan Tuhan,
Balik dari pavilyun itu, muka Wati menjadi tenang. Tidak ada kekesalan lagi, tidak ada wajah yang menunggu‐nunggu kedatangan orang yang dikasihi, tidak ada harapan lagi dan tidak ada tujuan lagi. Muka Wati sudah sama dengan muka mayat, tenang dan pucat.
Ia terus ke kamar mandi, mengambil air sembahyang dan sembahyang lohor di dalam kamarnya. Sudah itu ia duduk berdo’a minta ampun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
[…]
“Ya Allah,” katanya […] dikeluarkannya seutas tali […] Ia naik dengan hati‐ hati ke atas kursi itu dan mengikatkan tali itu ke kayu melintang dari pintu itu. Dan dengan hati‐hati juga disarungkannya tali itu ke lehernya dan dengan suatu gerakan kakinya yang kuat ditendangnya kursi tempat ia berdiri itu ke luar kamar itu…. (hlm. 96).
Terlepas dari bunuh diri sebagai dosa yang tidak terampuni, Wati yang di awal hingga
pertengahan cerita tampak sebagai penipu sekaligus kaki‐tangan Pian untuk mencuri uang
Solihin, pada titik nadir keputusasaannya sempat menjalankan sholat sebelum mengakhiri
hidupnya. Hal senada juga terjadi pada Solihin pascakematian Wati serta kepergian Pian dan
Bey, ““Ya Allah,” kata Solihin dalam hatinya, “semua ini adalah kesalahanku sendiri. Aku tidak
pernah mengajar anak‐anakku mempelajari agama, lalu mereka menjadi orang yang tidak
punya pegangan”” (hlm. 102). Pri pun menambahkan, ““Paman,” kata Pri seperti orang putus
asa, “Pian dan juga Bey dan Wati baik sebenarnya, Paman”” (hlm. 103). Pernyataan Pri ini
tokoh lain bahkan manusia secara universal yang senantiasa menjadi arena ketegangan antara
baik dan buruk, dualitas dalam satu raga. Pri pun menginsafi bahwa, seperti halnya yang telah
terlebih dulu dipahami Pian, tidak ada gunanya memerangkap diri di masa lalu yang
bagaimanapun caranya tentu tidak akan dapat diubah,
“Jika Jepang tidak datang ke negeri ini,” kata Pri kepada dirinya. “Ia akan tetap menjadi pegawai Departemen Economische Zaken yang terhormat. Gaji cukup, hidup aman dan tidak dipenuhi oleh berbagai kejahatan. Dan jika Jepang tidak datang ke negeri ini…….” Tapi rupanya Pri sudah bosan dengan mengulang‐ ulang hal‐hal yang serupa itu. Pikirannya berontak dan ia berkata: “Diam. Jika Jepang tidak datang ke negeri ini, tidak akan ada revolusi kemerdekaan dan tidak akan ada kemerdekaan. Apakah artinya penderitaan keluarga jika dibandingkan dengan kebahagiaan seluruh rakyat nanti?” (hlm. 104).
Pri yang pada awalnya tidak berhenti menyalahkan Jepang atas segala hal yang terjadi pada
dirinya sendiri dan keluarga Solihin, pada akhirnya memiliki cara pandang berbeda.
Kedatangan Jepang bukanlah sesuatu yang hanya memiliki satu sisi, yaitu mendatangkan
penderitaan, tetapi sekaligus memiliki sisi lain yang menjadi pemicu revolusi kemerdekaan.
Peristiwa demi peristiwa yang dialami oleh keluarga Solihin hadir dengan cara yang tidak
meledak‐ledak. Problematik mereka harus diakui bukanlah hal yang ringan dan dapat dijalani
dengan mudah, tetapi novel ini menyajikannya sedemikian rupa sehingga tampak sekadar
sebagai pengamat yang tidak terlibat secara emosional. Kematian Wati misalnya, terasa wajar
sekaligus nyata seperti halnya kematian yang datang begitu saja. Penceritaan yang demikian
pada akhirnya menjadikan pembacaan terasa tidak berbeban. Tidak pula muncul antipati
terhadap sisi negatif para tokoh. Segala kekhawatiran saya di awal, termasuk kemungkinan
menjumpai nada‐nada menggurui atau bahkan tersesat di dalam taman bunga yang
memuakkan pun, tidak terjadi. Tidak berhenti sampai di situ, teknik penceritaan yang
dihadirkan novel ini memiliki kontribusi besar dalam membantu melihat dengan lebih cermat
hal‐hal yang tersembunyi di balik cerita keluarga Solihin.
Dua Sisi, Satu Keping
Pada bagian sebelumnya telah tampak bahwa keluarga Solihin adalah orang‐orang yang
memiliki kutub‐kutub ekstrem di dalam diri mereka. Harus diakui, hal yang demikian tentu
dapat dipahami sebagai bentuk kemunafikan mereka sehingga hal‐hal yang tampak positif
pada akhirnya tetaplah negatif sekadar untuk menabiri kebenaran akan diri mereka sendiri.
Akan tetapi, berdasarkan penceritaannya yang menghadirkan kesadaran akan kedirian mereka,
hal‐hal yang tampak positif bukanlah kemunafikan karena mereka tidak melakukannya untuk
berkaitan dengan sisi gelap mereka, senantiasa ada percikan‐percikan keraguan, renungan‐
renungan, bahkan penyesalan yang meskipun tidak menghadirkan kelegaan yang mutlak dan
sebentuk penebusan di akhir tetap dapat dibaca sebagai pernyataan bahwa nurani mereka
tidak sepenuhnya buta, bisu, dan bebal.
Tokoh‐tokoh novel ini ternyata bukanlah satu‐satunya aspek yang memperlihatkan
kedikotomisan. Secara umum, latar cerita juga demikian. Dari enam bab yang terbagi lagi
menjadi tiga puluh empat segmen, cerita bergerak secara bolak‐balik terus‐menerus dari ruang
publik ke ruang privat. Ketika dicermati, dikotomi ruang publik dan ruang privat ini tidak
bersifat seimbang karena ruang privat memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan ruang
publik. Sekitar dua per tiga cerita terjadi di ruang privat seperti rumah dan pavilyun, sedangkan
sisanya terjadi di pasar, rumah sakit, bioskop, warung, jalanan, restoran, dan hotel. Dalam
kaitannya dengan keluarga Solihin, hal ini dapat dibaca sebagai pernyataan bahwa segala
problematik mereka berasal dari ruang‐ruang privat. Kedatangan Jepang, yang menurut Pri
sebagai akar problematik meraka, ketika dikaitkan dengan dominasi ruang privat ini, bukanlah
faktor utama yang menghadirkan hal‐hal negatif di dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi
seperti itu karena faktor internal, bukan eksternal.
Ruang publik dan ruang privat ini pada beberapa bagian dihubungkan sekaligus disatukan oleh
becak. Apabila dibayangkan sebuah ilustrasi yang menghadirkan dua orang yang duduk saling
merapat di atas becak yang sama lalu membicarakan banyak hal berkaitan dengan kehidupan
pribadi mereka, tampak bahwa becak merupakan ruang terbuka sekaligus tertutup bagi orang‐
orang ini, becak memberi semacam rasa aman bagi mereka untuk saling mencurahkan pikiran
dan perasaan seolah mereka berada di rumah sendiri. Hal ini pula yang terjadi di dalam cerita,
pembicaraan dari hati ke hati antara Solihin dan Miharti, antara Pri dan Wati, dan antara Pian
dan Bey terjadi di atas becak dalam perjalanan dari ruang‐ruang publik kembali ke rumah
mereka. Sosok tukang becak pun hadir sebagai pihak di luar keluarga yang meskipun tidak
menyeluruh, mengetahui sejumlah rahasia keluarga Solihin, seperti ketika berhasil menebak
dan memahami jalan pikir Bey selepas mengambil minyak curian dari gudang Caltex serta
ketika menawarkan perempuan kepada Solihin.
Lebih lanjut, seperti halnya kehadiran ruang publik dan ruang privat, kedudukan rumah induk
dan pavilyun yang sama‐sama ruang privat di dalam novel ini memiliki perbedaan. Ketika
ditelusuri kemunculannya, rumah induk memiliki frekuensi lebih tinggi dibandingkan pavilyun.
di pavilyun. Rumah induk menjadi arena utama terjadinya problematik yang dengan caranya
yang beraneka menyatukan sekaligus memisahkan keluarga Solihin, sedangkan pavilyun
memiliki skala yang lebih kecil dan lebih menjadi ruang milik Pri, Pian, dan Bey. Perbandingan
semacam ini kemudian dapat dibaca dalam kaitannya dengan relasi antargenerasi. Pri, Pian,
dan Bey adalah generasi muda yang ditempatkan bukan sebagai pusat yang dipegang oleh
Solihin. Pengaruh Solihin yang demikian besar menjadikan anggota keluarganya terseret
sedemikian rupa dan seolah sedikit demi sedikit menjelma sebagai Solihin. Ada tanggung
jawab tidak terucap yang semestinya menjadi milik Solihin yang gagal beroperasi dengan baik
atas kehidupan dan masa depan anak‐anaknya. Wati yang pada awalnya sebagai bagian dari
rumah induk yang kemudian bisa bergerak bolak‐balik antara rumah induk dan pavilyun pun
tidak lolos dari jerat Solihin melalui permainan yang dilakukan oleh Pian. Dalam kaitannya
dengan relasi antargenerasi, peristiwa Wati bunuh diri dan keguguran yang dialami Halimah
dapat pula dibaca sebagai kematian generasi muda sebagai imbas tidak langsung dari perilaku
generasi tua.
Hal lain yang menarik di dalam novel ini adalah penggunaan dialog dan monolog interior yang
ternyata memiliki perannya masing‐masing. Dialog‐dialog sebagian besar berkaitan dengan
hal‐hal material, sedangkan melalui monolog interior dapat terasa dimensi tokoh‐tokohnya
akan hal‐hal nonmaterial seperti ketidakmampuan melepaskan diri dari belenggu masa lalu,
perasaan bersalah karena menganggap dirinya gagal melawan arus, ingatan akan Tuhan yang
tidak pernah sepenuhnya absen di tengah‐tengah keduniawian serusak apa pun, dan cinta
bapak kepada anak‐anaknya. Ketika hal ini diputar kembali untuk dipertemukan dengan relasi
antara ruang publik dan ruang privat, dapat dipahami bahwa dialog setara dengan ruang
publik dan monolog interior setara dengan ruang privat. Dominasi dialog yang kemudian
dipertentangkan dengan dominasi ruang privat pun kemudian memunculkan sekaligus
memperkuat pemahaman tentang “dua sisi, satu keping” yang juga telah tampak pada
karakteristik tokoh‐tokoh novel ini.
Pasar sebagai Hulu sekaligus Muara
Pada bagian awal tulisan ini, saya memunculkan sebentuk kecurigaan akan kehadiran pasar
sebagai hulu cerita. Seiring dengan pergerakan cerita menuju muaranya, pasar hadir beberapa
kali di bagian hilir meskipun sepintas. Kehadirannya ini tidak sekadar sebagai latar cerita yang
dilewati begitu saja oleh tokoh, tetapi menjadi ruang tersendiri bagi tokoh untuk sejenak
melepaskan diri dari kemelut keluarga dan memperoleh kesenangan. Dalam kerangka berpikir
transaksi, dan hiruk‐pikuk. Pada awalnya pasar terbaca sebagai sebuah metafora keduniawian,
hal‐hal yang material, yang memang tampak mencolok di dalam novel ini melalui cara pandang
dan perilaku tokoh‐tokohnya. Berkaitan dengan hal ini, memang tampak aneh ketika tokoh ini
menjadikan pasar sebagai pelarian atau setidaknya rehat sejenak dari kehidupannya. Senada
dengan becak yang menyediakan ruang bagi tokoh untuk berpikir lebih jernih, pasar seolah
menjadi ruang yang lebih mampu menghadirkan kedamaian dibandingkan rumah sendiri. Jika
dicermati, pasar di novel ini dideskripsikan sebagai ruang yang lengang dalam segala
kesibukannya. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di pasar mengalir dengan tenang, bahkan
ketika mencapai bagian tentang orang‐orang pasar yang kalah oleh keadaan, cerita tidak lantas
menggelombang. Kehadiran pasar di hulu dan hilir cerita pada akhirnya bermuara pada
renungan Pri pascarangkaian peristiwa yang memecah‐belah keluarga Solihin,
Pri dengan berjalan perlahan‐lahan menuju pasar, tapi tidak ada maksudnya untuk makan ataupun mendekati pasar itu. Ia hanya menghabiskan waktu saja menunggukan pamannya selesai mencurahkan kesedihannya. Karena itu diseberanginya jalan raya itu, sehingga ia berjalan di pinggir yang jauh dari pasar itu.
Pri berjalan juga dan diperhatikannya pasar itu dengan seksama, seakan‐ akan pasar itu adalah yang penting sekali bagi pemikirannya. Tiba‐tiba terpikir olehnya:
“Selama aku ketahui, pasar yang seperti ini tidak berubah‐ubahnya dari sejak zaman Belanda, melalui zaman Jepang, melalui revolusi dan sampai sekarang. Lampu‐lampunya tetap lampu karbit juga. Cahaya apinya bergerak‐ gerak dipukul angin malam yang lembut yang memberikan pemandangan misterius kepada pasar itu. Sungguhpun api itu berkelip‐kelip ditiup angin, tapi cukup menerangi pasar itu dengan meriahnya. Dan kelip‐kelip lampu itu menimbulkan perasaan romantik orang‐orang yang ingin mencuri cinta dan itulah sebabnya tempat‐tempat gelap yang tidak kena terang cahaya lampu‐lampu itu penuh dengan manusia: perempuan dan lelaki yang berbisik‐bisik dan sekali‐sekali berteriak senang.”
Pri berjalan juga, mengelakkan sekali bagian‐bagian yang terang dari jalan raya itu.
“Pasar itu lebih kuat dari manusia,” pikir Pri pula. “Pasar ini tidak lekang oleh panas dan lapuk oleh hujan. Dia hidup dari hari ke hari dengan tiada berubah‐ubah dari zaman ke zaman dan baginya tidak ada penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, tidak ada revolusi dan tidak ada kenaikan harga‐harga (hlm. 107).
Bagian “seakan‐akan pasar itu adalah yang penting sekali bagi pemikirannya” menjadi
semacam penegas berkaitan dengan kahadiran pasar di dalam novel ini. Adanya pertanyaan
berkaitan dengan pasar yang berkedudukan sebagai pembuka cerita pun memperoleh
jawaban, begitu pula dengan perilaku tokoh yang menjadikan pasar sebagai semacam
sangtuari. Pasar bukan sekadar ruang publik, tempat pertemuan manusia‐manusia, transaksi,
yang memberi pijakan bagi makhluk‐makhluk lain. Pengetahuan Pri berkaitan dengan stabilitas
pasar memberi makna bagi pasar, yaitu kemerdekaan. Apa pun yang terjadi dan ditimpakan
kepadanya, pasar senantiasa mempertahankan eksistensinya dengan baik. Hal ini pula yang
semakin membuka pemahaman Pri bahwa ia tidak semestinya hidup di masa lalu dan
menyalahkan keadaan. Kehidupan manusia ada di dalam dirinya sendiri.
Epilog
Hati Nurani Manusia karya Idrus menghadirkan problematik sebuah keluarga di tengah masa‐
masa awal kehidupan Indonesia pascakemerdekaan. Novel ini dengan cara bertuturnya yang
datar secara sederhana mendiskusikan aspek kejiwaan manusia‐manusia korup. Korup di sini
pun tidak sekadar berarti ketidakjujuran dalam hal kepemilikan harta, tetapi korup dalam skala
yang lebih luas, yaitu degradasi moral. Mereka pun tidak berwujud sebagai manusia‐manusia
yang rusak secara mutlak, melainkan tetap memiliki keinginan dan peluang untuk melakukan
perubahan.
Berkaitan dengan hal ini, ada salah satu bagian novel yang ketika dibaca lima puluh tahun
pascapenulisannya dalam konteks keindonesiaan, menciptakan seulas senyum yang bisa jadi
berubah menjadi tawa miris atau ketertegunan yang merenggut, “Tiga puluh dua tahun
umurnya sekarang, dan selama itu ia berhasil mempertahankan kebersihan jiwanya, tapi di
dalam gedung bioskop pada hari Sabtu malam itu, jiwa itu sudah terkulai jatuh dan dengan
jiwa itu terkulai pula seluruh kepribadian Pri.” Tiga puluh dua tahun memang mengacu pada
usia Pri, tetapi ketika dikaitkan dengan sejumlah korupsi di dalam novel ini dan kejatuhan
seseorang, hal ini menjadi aspek profetik novel ini atas kejatuhan sebuah rezim. Novel ini tidak
hanya menjadi penanda zamannya, tetapi melampaui beberapa dasawarsa dan tetap dapat
dibaca sebagai hal yang begitu dekat dengan kekinian.
Pada akhirnya, Hati Nurani Manusia merupakan medium yang sedikit‐banyak mengingatkan
pembaca akan hati nurani. Tidak sebatas hati nurani sebagai bagian yang membentuk manusia,
tetapi pada ruang‐ruang yang senantiasa saling berhimpitan, beririsan, bahkan saling
bertarung dalam rangka mewujudkan kemanusiaan. Hati nurani tidak sekadar dimiliki
manusia‐manusia malaikatiah dan tidak dipunyai manusia‐manusia setaniah, tetapi