• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Patronase Kepala Daerah dengan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Laju Deforestasi di Kabupaten Langkat Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Patronase Kepala Daerah dengan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Laju Deforestasi di Kabupaten Langkat Tahun"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Research Design MPIP

Pengaruh Patronase Kepala Daerah dengan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Laju Deforestasi di Kabupaten Langkat Tahun 2009-2014

I. Latar Belakang Masalah

Indonesia menempati peringkat ketiga (setelah Brazil dan Republik Kongo) dalam kekayaan hutan hujan tropis.1 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah

luas daratan kawasan hutan di Indonesia mencapai 124 juta ha, diantaranya terdapat hampir 30 juta ha hutan lindung dan 27 juta ha Suaka Alam dan Pelestarian Alam.2

Mengingat Indonesia menyumbang 10 persen kekayaan biodiversitas hutan hujan dari seluruh dunia, pemerintah pada tahun 2009 berjanji akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen secara mandiri dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.3

Akan tetapi, komitmen tersebut dihadang oleh kenyataan tingginya laju deforestasi di Indonesia yang mencapai 680 ribu ha per tahunnya atau ekuivalen dengan ukuran 300 lapangan sepak bola setiap jamnya. Bahkan, antara tahun 2000-2005, berdasarkan laporan organisasi pemerhati lingkungan Greenpeace, Indonesia kehilangan areal tutupan hutan sekitar 1,8 juta ha per tahun yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan laju deforestasi tercepat di dunia berdasarkan catatan rekor dunia Guinnes.4 Adapun penyebab deforestasi beragam, seperti: sistem

perladangan berpindah oleh petani rakyat;5 pengusaha (perkebunan, hutan tanaman

industri dan industri perkayuan); kebijakan transmigrasi dari pemerintah; serta

1 William D. Sunderlin dan Aju Pradnja Resosudarmo, Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia: Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya, CIFOR, Occasional Paper No. 9 (I) Maret 1997. hal. 1

2 Badan Pusat Statistik, Luas Kawasan Hutan Indonesia, berdasarkan survei tahun 2014 (www.bps.go.id )

3 Pada tahun 2015 target penurunan emisi gas rumah kaca oleh pemerintah secara mandiri ditingkatkan menjadi 29 persen oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan karena berbagai pertimbangan.

(http://kabar24.bisnis.com/read/20150831/15/467419/indonesia-naikkan-target-pengurangan-emisi-gas-rumah-kaca) , diakses pada 27 Mei 2016, pukul 14.13 WIB

4 Namun menurut pemerintah, angka laju deforestasi antara 2000-2006 adalah 1,08 juta ha (http://www.dw.com/id/hutan-indonesia-di-guinness-world-records/a-3697037), diakses pada 27 Mei 2016, pukul 14.14 WIB

(2)

konsekuensi logis akibat perkembangan ekonomi (perluasan infrastruktur, instalasi umum, dan dampak perkembangan kawasan hunian).

Salah satu penyebab deforestasi di Indonesia ialah adanya alih fungsi kawasan hutan seiring dengan terbitnya izin konsesi pengelolaan sumber daya alam bagi perusahaan perkebunan. Adapun salah satu jenis usaha perkebunan tersebut ialah kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit berdasarkan data BPS merupakan jenis tanaman perkebunan dengan penggunaan lahan paling luas di Indonesia, yakni mencapai 6,4 juta ha pada awal tahun 2014,6 dan diperkirakan telah mencapai 8 juta

ha pada akhir 2015. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat dari semula hanya 992 ribu ha pada 1995 melonjak menjadi 2,9 juta ha pada 2000, kemudian 3,4 juta ha pada 2005, dan 5,1 juta ha pada 2010.7 Belum pernah terjadi

lonjakan yang sedemikian signifikan seperti ini dalam perkembangan luas lahan perkebunan di Indonesia untuk jenis tanaman apapun dalam sejarah.

Ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia menggeser dominasi perkebunan karet yang sempat menempati posisi teratas sebagai komoditas perkebunan paling besar pada era 1980-an. Berdasarkan data, tidak terdapat laju perluasan lahan yang cukup berarti pada perkebunan karet, dimana pada 1995 luasnya 471 ribu ha, kemudian tahun 2014 meningkat menjadi hanya 543 ribu ha. Luas perkebunan kelapa sawit juga tidak sebanding dengan tanaman perkebunan lainnya seperti cokelat (82 ribu ha), kopi (47 ribu ha), teh (65 ribu ha), dan tebu (209 ribu ha).8 Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan apabila sejak tahun 2014 yang

lalu, Indonesia menjadi negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia, diatas Malaysia, Thailand, dan Kolombia.9

Berdasarkan jumlah produksinya daerah-daerah penghasil minyak kelapa sawit terbesar secara berturut-turut ialah Riau (6,3 juta ton), Sumatera Utara (3,9 juta ton), Kalimantan Tengah (2,9 juta ton), Sumatera Selatan (2,4 juta ton), Kalimantan Barat (1,8 juta ton), serta Jambi (1,7 juta ton).10 Berdasarkan persebarannya, pulau Sumatera

merupakan pulau dengan luas perkebunan kelapa sawit terbesar, diikuti oleh pulau Kalimantan. Adapun pengelola perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia

6 Badan Pusat Statistik, Luas Tanaman Perkebunan Besar Menurut Jenis Tanaman di Indonesia, berdasarkan survei tahun 1995 – 2014

7 Ibid

8 Ibid

9 http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166, diakses pada 28 Mei 2016, pukul 01.25 WIB

(3)

biasanya merupakan perusahaan besar, baik BUMN maupun swasta. Beberapa yang terbesar diantaranya ialah Perkebunan Nusantara (PTPN) IV, Sinar Mas (melalui anak perusahaannya, PT. Golden Agri Resource) milik Eka Tjipta Widjaja, Wilmar Internasional Group milik Matua Sitorus yang berkantor di Singapura, Astra Agro Lestari Tbk, Indofood Agri milik Anthony Salim, serta Asian Agri milik Sukanto Tanoto.

Perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit pada dasarnya hanya dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan memanfaatkan lahan apabila telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari pemerintah.11 Izin Usaha Perkebunan

sejatinya merupakan instrumen pemerintah dalam pengendalian pemanfaatan lahan (termasuk kawasan hutan), dimana pemerintah diharapkan dapat secara hati-hati melakukan penilaian terkait kepantasan dan akuntabilitas perusahaan perkebunan sebelum mereka dapat melakukan kegiatan usahanya. Akan tetapi, pemberian IUP di Indonesia sangatlah terkait erat dengan praktik patronase diantara pengusaha perkebunan dengan kepala daerah setempat.

Praktik patron-klien antara kepala daerah dengan para pengusaha kelapa sawit terjadi dikarenakan bertemunya kepentingan pengusaha yang menginginkan kemudahan dalam memperoleh izin konversi lahan demi ekspansi bisnisnya, dengan kepentingan kepala daerah yang membutuhkan sumber pendanaan bagi kontestasi politik sebagai calon petahana.12 Dalam hal ini, kepala daerah sebagai patron

‘memperjual-belikan’ otoritas yang dimilikinya dalam memberikan izin konversi lahan kepada pengusaha, serta memperoleh dukungan pendanaan sebagai imbalannya. Praktik ini disinyalir menjadi penyebab maraknya ‘obral’ izin perkebunan maupun pertambangan menjelang maupun setelah pemilukada yang berdampak pada meningkatnya deforestasi di suatu daerah.

Praktik patronase antara kepala daerah dengan pengusaha pada tingkat lokal dimungkinkan oleh karena adanya desentralisasi yang telah berlangsung sejak era

11 Permentan No. 98 tahun 2013 memuat 3 jenis izin dalam bidang perkebunan, yakni: Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) untuk perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budidaya perkebunan, Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P) untuk perusahaan perkebunan yang melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan, serta Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budidaya perkebunan dan terintegrasi dengan usaha industri pengolahan hasil perkebunan.

(4)

reformasi. Otonomi daerah yang pada esensinya ialah memberikan kesempatan kepada kepala daerah untuk mengurus sendiri urusan daerahnya melalui otonomi seluas-luasnya ternyata kerap diselewengkan untuk kepentingan politik dan ekonomi elit lokal. Di bawah rezim otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam tidak lagi menjadi monopoli pemerintah pusat. Pemerintah daerah menjadi pengelola sumber daya alam di daerahnya melalui instrumen perizinan termasuk dalam menerbitkan IUP. Berdasarkan Permentan nomor 98 tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, peran Bupati dan Gubernur sangatlah besar dalam proses pemberian izin konversi lahan untuk kegiatan usaha perkebunan.

Kabupaten Langkat, merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang menjadi basis perkebunan kelapa sawit. Hingga tahun 2011 luas wilayah perkebunannya mencapai seperlima dari total wilayah daerahnya. Ekspansi perkebunan kelapa sawit selama satu dekade terakhir demikian cepat, sedangkan daya dukung lahan sangatlah terbatas. Tercatat, luas tanaman kelapa sawit di Kabupaten Langkat mencapai 141 ribu ha, yang terdiri atas 38 ribu ha perkebunan milik swasta nasional, 52 ribu ha milik PTPN II, 7,3 ribu ha milik PTPN IV, serta 41 ribu ha milik rakyat.13 Sedangkan luas wilayah Kabupaten Langkat secara keseluruhan hanyalah

627 ribu ha.14 PTPN II merupakan perusahaan dengan Hak Guna Usaha (HGU)

tertinggi, sedangkan perusahaan swasta nasional dengan HGU tertinggi ialah PT London Sumatera Indonesia Tbk dengan luas 9 ribu ha.

Kabupaten Langkat merupakan daerah yang terdeliniasi seperlima dari total keseluruhan areal Taman Nasional Gunung Leuser15 yang merupakan kawasan

pelestarian alam, serta memiliki kawasan hutan bakau (mangrove) setidaknya di sembilan kecamatan yang berada di pesisir pantai timur. Kedua kawasan hutan tersebut saat ini terancam rusak oleh ekspansi berbagai jenis kegiatan perekonomian,

13 Data berdasarkan survei yang dilakukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten

Langkat tahun 2011 dikutip dari

https://tengkudirkhansyah.wordpress.com/2011/10/24/diprediksi-luas-tanaman-sawit-di-langkat-terus-bertambah/ diakses pada 27 Mei 2016, pukul 15.20 WIB

14 Luas Kabupaten Langkat ini diperoleh dari wikipedia

(https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Langkat) diakses pada 27 Mei 2016, pukul 15.30 WIB. Dimana disebutkan angka 6.272 km2 atau ekuivalen dengan 627.200 ha. Penelitian ini akan secara konsisten menggunakan hektare (ha) sebagai satuan metrik dalam menyebutkan luas wilayah

(5)

termasuk usaha perkebunan kelapa sawit. Misalnya, pada Desember 2015 yang lalu, seluas 432 ha kawasan hutan bakau di kawasan hutan Konservasi Karang Gading dan Langkat Timur, Kecamatan Secanggang yang sedianya dikelola oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Utara beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.16 Beberapa kasus alih fungsi lahan hutan bakau menjadi

perkebunan kelapa sawit yang serupa dalam beberapa tahun belakangan juga ditemui di Pangkalan Susu (500 ha), Gebang (700 ha), Besitang (440 ha), dan Tanjung Pura (520 ha).17 Hingga tahun 2013, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Pusat

Statistik Kabupaten Langkat, luas areal tutupan hutan di Kabupaten Langkat mencapai 327 ribu ha,18 tetapi kemudian berkurang menjadi 283 ribu ha pada tahun

2014. Berkurangnya luas tutupan hutan pada tahun 2014 yang merupakan tahun kontestasi politik lokal di Kabupaten Langkat patut mendapat sorotan tersendiri.

Bupati Kabupaten Langkat, Ngosesa Sitepu yang menjabat pada periode 2009-2014 kembali terpilih dalam pemilu kepala daerah tahun 2009-2014 untuk masa jabatan 2014-2019. Politisi Partai Golkar ini didukung oleh setidaknya 100 perusahaan yang ada di Kabupaten Langkat karena dinilai memberikan jaminan-jaminan keamanan dan kejelasan hukum kepada pengusaha yang menanamkan investasi di daerahnya.19

Salah satu perusahaan yang mendukungnya ialah PT London Sumatera Tbk yang ditandai dengan kehadiran direkturnya, Djufri Basruny dalam acara yang diadakan pada 11 Juni 2012 di Ballroom Rindu Alam Hotel Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok.20 Ngosesa juga dikenal cukup dekat dengan pengusaha lokal asal Medan

yang juga Komisaris PT Anugerah Langkat Makmur, H. Anif (Anif Shah) yang belakangan ikut memberikan modal untuk penggarapan areal perkebunan kelapa sawit seluas 1,245 ha oleh Koperasi Unit Desa Rahmat Tani di Kecamatan Besitang.21

16 http://www.antaranews.com/berita/532771/432-hektare-mangrove-bksda-jadi-perkebunan-sawit, diakses pada 18 April 2016, pukul 22.20 WIB

17 http://news.okezone.com/read/2015/04/06/340/1129662/hutan-bakau-di-langkat-rusak-parah, diakses pada 18 April 2016, pukul 22.30 WIB

18 Kawasan tutupan hutan ini antara lain terdiri atas: kawasan mangrove di pesisir timur, hutan lindung, Taman Nasional Gunung Leuser, Hutan Produksi Terbatas, serta Hutan Produksi. Badan Pusat Statistik, Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Langkat Dirinci Menurut Fungsi Hutan (Ha), berdasarkan suvei 2012-2014

19 http://www.langkatonline.com/berita.php?id=370, diakses pada 18 April, pukul 23.40 WIB

20 Ibid

(6)

Berdasarkan data, dalam rentang tahun antara 2008 hingga 2014 tercatat peningkatan hasil produksi tandan buah segar dari 535 ribu ton menjadi 710 ribu ton.22 Beriringan dengan hal tersebut, terdapat penyusutan kawasan pelestarian alam,

Taman Nasional Gunung Leuser yang pada tahun 2012/2013 luasnya 216 ribu ha, kemudian pada tahun 2014 (tahun diadakannya pemilukada) menjadi 204 ribu ha.23

Penyusutan terutama terjadi di Kecamatan Bahorok, yang pada tahun 2012/2013 seluas 80 ribu ha kemudian pada tahun 2014 menyusut menjadi 75 ribu ha.24 Seperti

diketahui, Kecamatan Bahorok merupakan salah satu daerah terdeliniasi wilayah konservasi Taman Nasional Gunung Leuser yang paling besar di Kabupaten Langkat.

Jika mengikuti logika, peningkatan jumlah produksi kelapa sawit bersifat eksponensial terhadap luas kawasan perkebunan, maka penyusutan hutan di wilayah pelestarian alam Taman Nasional Gunung Leuser Kecamatan Bahorok patut diduga sebagai akibat dari ekspansi perluasan lahan perkebunan kelapa sawit tersebut. Adapun waktu penyusutan kawasan tutupan hutan yang bersamaan dengan tahun diadakannya kontestasi politik lokal, patut diduga memiliki hubungan dengan pemberian izin usaha perkebunan bagi perusahaan tertentu yang memiliki relasi patron-klien dengan bupati petahana. Praktik ini disinyalir merupakan bagian dari ‘obral izin’ konsesi sumber daya alam menjelang pemilukada dengan maksud meraih dukungan finansial dari para pengusaha lokal untuk biaya kampanye politik, meskipun hal ini harus dibuktikan lebih lanjut.

II. Perumusan Masalah

Konversi kawasan hutan menjadi non-hutan merupakan persoalan ekologis yang sangat berkaitan erat dengan kebijakan politik. Selama era desentralisasi, kewenangan kepala daerah kian menentukan dalam proses perizinan konversi lahan, salah satunya ialah usaha perkebunan kelapa sawit. Wilayah perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Langkat hingga tahun 2011 mencapai seperlima dari total luas wilayah daerahnya. Berdasarkan data, laju deforestasi untuk kepentingan ekspansi perkebunan terus meningkat dari tahun ke tahun di wilayah tersebut, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan ekologis terutama apabila perambahan terjadi di kawasan

22 Badan Pusat Statistik, Planted, Production and Productivity of Oil Crops According to the District, berdasarkan survei 2008-2014

23 Log Cit, Badan Pusat Statistik, Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Langkat Dirinci Menurut Fungsi Hutan (Ha), berdasarkan suvei 2012-2014

(7)

hutan bakau yang berada di pesisir pantai timur serta kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, yang merupakan habitat bagi kekayaan biodiversitas hutan tropis dunia.

Praktik patronase oleh kepala daerah sebagai kandidat yang membutuhkan pendanaan dalam kontestasi politik dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit yang membutuhkan kemudahan dalam memperoleh izin perluasan konversi lahan menjadi permasalahan yang hendak ditemukan hubungan kausalitasnya di dalam penelitian ini. Diduga terdapat upaya dari kepala daerah dalam menggunakan kekuasaan mereka (‘rent seizing’) untuk menata ulang birokrasi sedemikian rupa, sehingga ia memperoleh kewenangan/akses secara langsung atas aset negara. Kewenangan ini kemudian dapat ‘diperjual-belikan’ kepada pengusaha yang memiliki kepentingan untuk memperoleh izin perluasan peralihan lahan.

Dengan demikian, pengaruh hubungan patronase antara bupati dan pengusaha perkebunan kelapa sawit diduga menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya laju deforestasi di Kabupaten Langkat. Tujuan esensial adanya sistem perizinan yang menitikberatkan kepada upaya pengendalian/pengarahan, pencegahan bahaya lingkungan, serta melindungi objek-objek tertentu dengan demikian tidak tercapai sehingga menyebabkan kerugian ekologis yang tak ternilai harganya. Persoalan deforestasi menjadi krusial mengingat Indonesia merupakan ‘paru-paru dunia,’ yang hutannya memiliki pengaruh signifikan dalam menyuplai oksigen bagi ekosistem dunia.

III. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang dijabarkan, penelitian ini hendak menjawab pertanyaan: bagaimana pengaruh patronase kepala daerah dengan pengusaha perkebunan sawit terhadap laju deforestasi di Kabupaten Langkat pada tahun 2009-2014?

IV. Hipotesis/Argumen

Robin Burgess, et.al (2011) melakukan penelitian dengan metode kuantitatif dengan mengambil sejumlah daerah di Indonesia sebagai contoh kasus untuk mengkonfirmasi adanya kaitan antara kontestasi politik lokal di daerah dengan peningkatan laju deforestasi (political logging cycle), dimana terjadi peningkatan

(8)

mempertimbangkan perubahan yuridiksi dan kelembagaan birokrasi sejak era desentralisasi di Indonesia, yang memberikan kewenangan kepada pejabat lokal untuk menerbitkan izin peralihan lahan sebagai dasar argumentasinya.25

Hasil temuan dalam penelitian Burgess mengkonfirmasi dugaan adanya praktik patronase, dimana kepentingan kepala daerah untuk mencari sumber pendanaan bagi kontestasi politik di daerahnya kemudian bertemu dengan kepentingan sejumlah pengusaha sehingga menimbulkan hubungan patron-klien. Dengan demikian dapat dijadikan landasan teoretik bagi penelitian ini, untuk menemukan pola hubungan patronase diantara kepala daerah dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Langkat.

Selain itu, peneltian Burgess menggunakan argumen besarnya kewenangan kepala daerah, dalam menentukan proses perizinan peralihan lahan sebagai dasar asumsinya. Adapun metode kuantitatif yang dipergunakan Burgess dalam penelitiannya dapat menjadi model bagi penelitian ini untuk mengkonfirmasi hubungan sebab akibat yang ditimbulkan oleh praktik patronase politk-bisnis di Kabupaten Langkat terhadap laju deforestasi di wilayah tersebut.

Helena Varkkey (2012) melalui penelitian kualitatif-nya menemukan hubungan antara pembakaran hutan gambut di Sumatera dengan praktik patronase yang dipandang umum dalam budaya Asia Tenggara, diantara pengusaha perkebunan sawit asal Malaysia dan Singapura dengan elit politik lokal di Indonesia.26 Penelitian

ini menjelaskan mengapa para pengusaha Malaysia dan Singapura yang mengontrol lebih dari dua-pertiga sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia merasa tidak memiliki kekhawatiran apapun akan konsekuensi hukum yang dapat diterimanya melalui praktik pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan dan lahan gambut meskipun asap yang ditimbulkan karenanya berdampak juga terhadap negara asalnya. Dalam penelitiannya, Varkkey mewawancarai 138 individu yang terkait erat dengan sektor perkebunan minyak kelapa sawit di Indonesia termasuk pejabat pemerintah, jurnalis, perwakilan NGO, mantan staf perkebunan, dan akademisi di Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam proses pengumpulan data.

Berdasarkan penelitian Varkkey diperoleh fakta yang mendukung tema dalam penelitian ini, dimana jaringan patronase yang dibentuk oleh elit politik lokal ternyata

25 Burgess, Robin. et. al. 2011. The Political Economy of Deforestation in The Tropics.

(9)

tidak hanya meliputi pengusaha dalam negeri melainkan juga pengusaha asing. Dengan demikian hubungan patron-klien yang terjadi benar-benar pada tahap yang sangat pragmatis sehingga kepentingan nasional menyangkut struktur sosial-ekonomi, alih-alih kerusakan ekologi berupa meningkatnya laju deforestasi yang disebabkan karena ekspansi kawasan perkebunan, sudah tidak lagi menjadi dasar pertimbangan oleh elit politik lokal di Indonesia. Selama hubungan patron-klien tersebut menguntungkan kedua belah pihak, maka elit politik akan terus menyediakan perlindungan bagi pengusaha perkebunan yang hendak melakukan ekspansi, meskipun melalui kegiatan pembakaran yang dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian materil maupun imateril yang tidak sedikit.

Marcus Mietzner (2011) melakukan penelitian dengan metode kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara, pemberitaan media, dan dokumen resmi pemerintah, untuk menjelaskan praktik pengumpulan dana secara ilegal yang dilakukan oleh para kandidat yang bertarung dalam kontestasi politik lokal di Indonesia pasca Soeharto.27

Hasil temuan Mietzner membuktikan adanya ‘skema cerdik’ yang dilakukan oleh kandidat beserta tim pemenangan kampanyenya dalam mengumpulkan pendanaan dengan memanfaatkan celah yang ada dalam peraturan hukum yang berlaku. Proses tersebut sendiri menyatukan politisi, pengusaha, dan para pemburu rente dalam sebuah hubungan patronase. Meskipun secara kelembagaan hukum dan peradilan di Indonesia telah banyak berubah sejak era reformasi, akan tetapi praktik korupsi, terutama menyangkut patronase elit politik lokal masih sangat tinggi dikarenakan kontestasi politik berbiaya mahal.

Penelitian Mietzner meskipun tidak secara langsung mengaitkan hubungan diantara patronase dengan laju deforestasi, akan tetapi memiliki temuan yang mendukung argumen yang menjadi dasar asumsi dalam penelitian ini. Adanya pola relasi patron-klien yang menghubungkan elit politik lokal dengan pegusaha dibuktikan, dimana kontestasi politik berbiaya mahal menjadi justifikasi untuk melakukan pengumpulan dana secara ilegal.

(10)

otonomi daerah saat ini, sehingga menimbulkan praktik patronase antara kepala daerah dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini juga hendak menguji hubungan kausalitas sebab-akibat relasi patronase tersebut dengan laju deforestasi yang terjadi seiring dengan meningkatnya pemberian izin konversi lahan di daerah tersebut.

V. Teori dan Definisi Konsep

a. Teori Patronase

Patronase (patronage) merupakan konsep yang menjelaskan adanya hubungan antara patron dan klien melalui suatu pertukaran yang saling menguntungkan. Secara harfiah, patron berasal dari bahasa latin yaitu “patronas” atau yang kita kenal dengan arti bangsawan, sedangkan klien berasal dari kata “cliens” yang berarti pengikut. Dalam bahasa Spanyol, istilah “patron” secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan, status, wewenang dan pengaruh besar. Sedangkan “klien” berarti bawahan atau orang yang diperintah.28

Terdapat banyak ahli ilmu sosial yang membahas praktik hubungan patronase dan klientalisme, pada umumnya tidak terdapat perdebatan dalam mendefenisikannya. Setidaknya ada tiga ciri-ciri dari hubungan patronase yang disepakati, yakni: adanya ketimpangan dalam pertukaran (posisi patron lebih kuat dari klien); bersikap tatap muka (saling mengenal, percaya); serta luwes dan meluas.29 Patronase secara

sederhana dapat diartikan sebagai sebuah aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang bersifat asimetris. Perbedaan ‘derajat’ antara patron dan klien dapat berupa status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (subordinat) dan patron menempati kedudukan lebih tinggi. Dalam patronase, terdapat hubungan timbal-balik yang bersifat saling menguntungkan. Patron biasanya mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya melalui dukungan umum dan bantuan yang diberikan oleh klien, setelah itu patron pun memberikan perlindungan atau keuntungan-keuntungan tertentu berdasarkan otoritas atau kekuasaan yang dimilikinya kepada klien sebagai imbalannya.

Praktik patronase pada umumnya terjadi dalam kerangka sistem birokrasi-politik yang masih patrimonial seperti di Indonesia. Meskipun demikian, praktik patronase juga terjadi di negara-negara dengan sistem birokrasi-politik yang rasional 28 James C. Scott (1972), Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia, American Political Science Review, 66 hal.92

(11)

seperti di Amerika Serikat (AS). Di AS, Presiden, Gubernur, dan Walikota memiliki dan menerapkan hak untuk menunjuk pendukung-pendukung setianya dalam pemilihan umum untuk menduduki berbagai posisi politik dan pemerintahan sebagai balas jasa. Hubungan patronase ini disebut spoils system, yang memungkinkan pendukung-pendukung petahana memiliki posisi yang lebih besar dalam menentukan arah politik dan kebijakan. Perbedaannya, praktik patronase demikian termasuk legal karena diatur dengan tertib dan diawasi secara ketat. Orang-orang yang dikenal lebih dekat akan jauh lebih loyal sehingga praktik patronase demikian bersifat fungsional bagi berjalannya sistem politik, apalagi jika yang dipilih merupakan orang-orang yang memang kompeten di bidangnya.30

Namun, pada kebanyakan kasus, patronase politik bersifat non-demokratis karena distribusi sumber-sumber daya publik yang diberikan oleh pejabat politik kepada pendukung-pendukungnya tidak mempedulikan berbagai prosedur administratif, aturan hukum serta kriteria kompetensi. Loyalitas lebih diutamakan ketimbang kompetensi klien, sehingga mengabaikan hak-hak dan kebutuhan warga. Patronase seringkali menimbulkan korupsi oleh karena individu-individu yang berhutang pada patron dipaksa untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang ilegal dengan meraup sumber-sumber daya publik demi akumulasi kekuasaan politik-ekonomi.

Dalam konteks politik lokal (pemilukada) di Indonesia, kita dapat merujuk Aspinall dan Sukmajati (2015) yang membagi praktik patronase menjadi dua, yakni prapemilihan dan pascapemilihan. Bentuk patronase prapemilihan antara lain berupa pembagian uang, sembako, bantuan pendirian tempat ibadah, ataupun pemberian bantuan sosial lainnya. Sementara itu bentuk patronase pascapemilihan, antara lain pemberian proyek-proyek pemerintah kepada para tim sukses ataupun jabatan-jabatan strategis lain yang dilakukan setelah pemilihan. Imbalan yang dapat diberikan juga dapat berupa perizinan untuk kegiatan usaha, termasuk di dalamnya ialah perizinan konversi lahan untuk usaha perkebunan.31

Pada penelitian ini, kepala daerah/bupati Kabupaten Langkat, Ngosesa Sitepu diposisikan sebagai patron yang memiliki otoritas kekuasaan yang mampu ‘mengendalikan’ (‘rent seizing’) proses birokratis sedemikian rupa, sehingga ia

30 Deky Lioman dan Ida Oetari P, Reformasi Kepegawaian Negeri di Amerika Serikat, paper di download dari www.academica.edu pada 28 Mei 2016, pukul 19.00 WIB

(12)

memperoleh kewenangan/akses secara langsung atas aset negara dan kemudian memberikannya dalam bentuk pemberian izin konversi lahan kepada klien yang dalam hal ini merupakan pengusaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Langkat yang memiliki kepentingan untuk melakukan ekspansi perluasan lahan bisnisnya. Sedangkan sebagai imbalannya, para pengusaha tersebut memberikan dukungan bagi bupati untuk mempertahankan kekuasaannya melalui pendanaan dalam kontestasi pemilukada.

b. Defenisi Konsep Deforestasi

Estimasi mengenai luas areal deforestasi di Indonesia sangatlah berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh penggunaan defenisi deforestasi yang kurang jelas dan tidak konsisten. Dalam makalah yang diterbitkan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) misalnya, beberapa kesulitan utama dalam penggunaan istilah ‘deforestasi’ seperti misalnya, apakah ‘deforestasi’ hanya berarti hilangnya tutupan hutan secara permanen, atau baik permanen maupun sementara? Apakah ‘deforestasi’ berarti hilangnya tutupan hutan untuk segala macam penggunaan, atau apakah artinya hilangnya tutupan hutan yang tidak dapat menghasilkan karya? Serta, apakah ‘deforestasi’ berarti hilangnya tutupan hutan saja, atau apakah juga berarti hilangnya berbagai ciri-ciri kelengkapan hutan, misalnya kelebatannya, strukturnya dan komposisi spesiesnya?32

Dengan memakai defenisi ‘deforestasi’ sebagai hilangnya tutupan hutan secara permanen maupun sementara misalnya, maka dengan demikian praktik perladangan berpindah yang sebenarnya akan kembali menjadi hutan sekunder juga dipandang sebagai deforestasi. Dua diantara penelitian utama yang secara tersirat menggunakan defenisi ini ialah penelitian yang dilakukan oleh FAO (1990) serta World Bank (1990), sehingga hasil penelitian menganggap peran petani rakyat yang kerap menggunakan praktik perladangan berpindah sebagai penyebab utama deforestasi.

Perbedaan defenisi konsep ‘deforestasi’ menyangkut hilangnya tutupan hutan saja, atau berarti pula hilangnya berbagai ciri-ciri kelengkapan hutan juga memiliki implikasi yang memunculkan kekisruhan. Bila menyangkut tutupan hutan saja, luas kawasan yang hilang lebih kecil dari pada bila yang dimaksud menyangkut hilangnya berbagai ciri-ciri kelengkapan hutan. Degradasi hutan merupakan masalah penting dalam penilaian perbandingan efek lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan

(13)

pertanian rakyat dan kegiatan pembalakan. Pada sistem perladangan berpindah, misalnya, lahan yang ditanami sering dikatakan sebagai lahan yang telah mengalami ‘deforestasi,’ namun lahan ini kelak dapat kembali menjadi tutupan hutan. Hutan-hutan yang ditebang dalam kegiatan pembalakan secara besar-besaran sering tidak dianggap telah mengalami ‘deforestasi,’ hanya karena masih banyak pohon yang tegak setelah tebang pilih, tetapi dalam beberapa kasus mungkin banyak sekali fungsi lingkungan yang telah hilang dari hutan tersebut.33

Pemakaiaan defenisi konsep seputar ‘deforestasi’ sangatlah erat kaitannya dengan pandangan peneliti yang mewakili kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian haruslah ada upaya untuk mempertegas defenisi konsep ‘deforestasi’ sebagai prasyarat dalam meningkatkan kualitas penelitian mengenai perubahan tutupan hutan. Dalam makalahnya, CIFOR menganjurkan pemakaian metodologi yang dikembangkan oleh FAO (1996) untuk menganalisa perubahan tutupan hutan. Metodologi ini mencakup definisi yang tepat mengenai “hutan” dan “deforestasi” yang apabila diterapkan secara sistematis menurut mereka dapat mencegah kekisruhan dan interpretasi selektif atas data tutupan hutan.

Defenisi ‘hutan’ dan ‘deforestasi’ yang dipakai oleh FAO (1996) ialah sebagai berikut: ‘hutan’ dijabarkan sebagai hutan alam (baik hutan yang luas atau yang terfragmentasi/terpotong-potong); ‘non-hutan’ merujuk pada lahan-lahan lain yang berhutan, termasuk semak belukar dan lahan dalam masa bera pendek; serta vegetasi berkayu buatan manusia mencakup perkebunan tanaman keras.34 Studi ini memakai

tiga tingkatan defenisi ‘hutan’ dan ‘perubahan tutupan hutan,’ sesuai dengan berbagai tujuan peneliti. ‘Hutan’ dijabarkan sebagai: ‘hutan tertutup’; ’hutan tertutup + terbuka + 2/3 potong/terfragmentasi’; atau ‘hutan tertutup + terbuka + terpotong-potong/terfragmentasi + lahan dalam masa bera yang panjang.35

Adapun ‘perubahan tutuan hutan’ (deforestasi) didefenisikan sebagai berikut:36

 Deforestasi kotor (gross deforestation) dihitung sebagai “jumlah seluruh areal transisi dari kategori-kategori hutan alam (utuh dan terpotong-potong) ke semua kategori-kategori lain.”

33 Op cit, William D. Sunderlin dan Aju Pradnja Resosudarmo (1997). hal. 8

34 FAO, Forest Resource Assessment 1990: Survey of Tropical Forest Cover and Study of Change Processes. hal. 20

(14)

 Deforestasi neto dihitung sebagai “luas areal deforestasi kotor dikurangi

seluruh areal transisi dari kategori-kategori lain ke kategori-kategori hutan alam.”

 Degradasi neto hutan alam dihitung dari areal transisi dalam kategori-kategori

hutan alam, dengan menjumlahkan semua perubahan yang berhubungan dengan degradasi dikurangi semua perubahan yang berhubungan dengan perbaikan kondisi hutan (amelioration).37

Adapun untuk penyebab perubahan tutupan hutan harus diklasifikasi dalam tiga tingkatan penjelasan, yakni: pelaku; penyebab langsung; dan penyebab yang mendasari perubahan tutupan hutan.38 Pelaku merujuk kepada orang-orang atau

organisasi, misalnya petani rakyat, perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mempunyai peran fisik dan atau peranan membuat keputusan langsung dalam perubahan tutupan hutan. Penyebab langsung perubahan tutupan hutan adalah parameter-parameter keputusan yang mempunyai pengaruh langsung pada perilaku para pelaku.

Contoh dari parameter-parameter yang dimaksud adalah: harga-harga relatif; akses relatif ke sumberdaya dan pasar; ketersediaan teknologi; peraturan-peraturan mengenai penggunaan sumber daya; dan tradisi kebudayaan. Penyebab yang mendasari perubahan tutupan hutan mencakup kekuatan-kekuatan nasional, regional, atau internasional yang dapat mengatur pengaruh parameter-parameter keputusan. Contoh dari kekuatan-kekuatan demikian adalah struktur sosial, hubungan kekuasaan, pola akumulasi modal, ketentuan-ketentuan perdagangan, dan perubahan-perubahan demografis dan teknologi.39

Akan tetapi untuk alasan praktis, penelitian ini tidak akan menggunakan seluruh parameter untuk menjelaskan perilaku para pelaku penyebab perubahan tutupan hutan (deforestasi), melainkan terfokus pada penggunaan salah satu parameter saja, yakni hubungan kekuasaan. Pola relasi patron-klien antara kepala daerah dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit akan diuji sebagai variabel x (dependent) terhadap laju perubahan tutupan hutan (deforestasi) sebagai variabel y

37 Degradasi didefenisikan sebagai “turunnya kelebatan atau meningkatnya gangguan dalam kelas-kelas hutan” dan perbaikan kondisi hutan (amelioration) didefenisikan sebagai “peningkatan kelebatan atau turunnya gangguan dalam kelas-kelas hutan.” FAO 1996: hal. 21

(15)

(independent) di Kabupaten Langkat pada era kepemimpinan Ngosesa Sitepu dalam rentang antara tahun 2009-2014.

VI. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, yang berarti memiliki implikasi berupa penggunaan model-model pengukuran terhadap variabel-variabel yang membentuk sebuah fenomena sosial untuk diuji berdasarkan asumsi/argumen penelitian dengan cara yang sah berdasarkan kriteria yang ilmiah. Dalam hal ini subjek penelitian ialah kawasan tutupan hutan di Kabupaten Langkat, dengan laju deforestasi sebagai variabel bebas ( y ) sedangkan variabel yang mempengaruhinya ialah praktik patronase antara kepala daerah dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit ( x ).

Dalam penelitian ini perlu dirumuskan sebuah skala kuantifikasi yang dapat menjadi instrumen pengukuran agar dapat menjelaskan secara sah berdasarkan kriteria ilmiah, hubungan antara variabel x (patronase kepala daerah dengan pengusaha kelapa sawit) terhadap variabel y (deforestasi di daerah). Untuk itu dipakai formulasi sebagai berikut:

x . c=y

x=xa . xb

Maka,

y

=

xa . xb .c

Dimana,

x adalah hubungan patronase KD-Pengusaha PKS

xa adalah adanya PKS yang memperoleh izin IUP/perluasan HGU (2009-2014)

xb adalah adanya dukungan Pengusaha PKS kepada KD dalam kontestasi politik

c adalah izin IUP/perluasan HGU PKS berada di kawasan tutupan hutan

y adalah laju deforestasi yang disebabkan oleh praktik patronase KD-Pengusaha PKS

(16)

kampanye calon kepala daerah petahana dalam pemilukada yang dilaksanakan pada tahun 2014 ( xb ). Sedangkan untuk mencapai kesimpulan adanya deforestasi ( y

), maka perlu dikonfirmasi apakah perluasan izin konversi lahan perkebunan kelapa sawit yang diberikan dalam pola relasi patron-klien tersebut berada di kawasan tutupan hutan ( c ) dengan merujuk pada defenisi konsep tutupan hutan yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya.

Seluruh variabel yang hendak diuji akan memiliki jawaban ya atau tidak, yang kemudian dikonversikan dalam bentuk angka (ya=1, tidak=0) untuk memudahkan proses kuantifikasi. Jika nilai y =1, maka temuan penelitian sesuai dengan argumen/hipotesis, sebaliknya jika nilai y =0, maka temuan penelitian tidak sesuai dengan argumen/hipotesis. Dengan demikian, untuk membuktikan adanya deforestasi di Kabupaten Langkat yang disebabkan oleh praktik patronase kepala daerah– pengusaha perkebunan kelapa sawit dalam rentang 2009-2014, seluruh variabel

dependent harus bernilai 1 (terbukti).

Dalam penelitian ini, seluruh perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Langkat merupakan populasi yang hendak diteliti. Penelitian ini sedapat mungkin akan menguji keseluruhan perusahaan yang berada di Kabupaten Langkat dengan menggunakan model kuantifikasi yang telah ditetapkan di atas. Dengan demikian penelitian ini tidak menggunakan penarikan sampel yang hanya mengambil sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit saja. Hal ini dilakukan untuk menghindari kekhawatiran bias hasil temuan di lapangan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Adapun data-data hasil temuan dalam penelitian ini akan disajikan dalam model tabulasi seperti contoh berikut:

Perusahaan PKS

x

c y

xa xb

PT. A 1 1 0 0

PT. B 0 1 1 0

PT. C 1 1 1 1

PT. D 0 0 1 0

dst...

Tabel 1.0: Contoh model tabulasi hasil temuan penelitian, ya=1, tidak=0

(17)

laju deforestasi di Kabupaten Langkat, maka dipergunakanlah formulasi sebagai berikut:

y

T ×100=k

Dimana,

y adalah agregat laju deforestasi yang disebabkan oleh praktik patronase KD-Pengusaha PKS

T adalah total keseluruhan perusahaan PKS yang beroperasi di Kabupaten Langkat

k adalah besarnya signifikansi pengaruh antara praktik patronase KD-Pengusaha PKS terhadap laju deforestasi (dalam persen)

Dengan ketentuan bobot kriteria, sebagai berikut: 0-35% = Tidak Signifikan

36-70% = Signifikan

71-100% = Sangat Signifikan

Untuk itu diperlukan beberapa data yang penting untuk dikumpulkan dalam penelitian ini, antara lain ialah: daftar seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Langkat; informasi mengenai pemilik/pengusaha swasta seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Langkat; informasi mengenai adanya dukungan pemilik/pengusaha perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Langkat dengan Bupati Ngosesa Sitepu dalam pemilukada 2014; serta seluruh penerbitan izin konversi lahan,40 berdasarkan

perusahaan perkebunan dalam rentang antara tahun 2009-2014 beserta status lahan yang diberikan izin (termasuk kawasan hutan atau non-hutan).

Untuk memperoleh daftar seluruh perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di daerah serta daftar penerbitan izin konversi lahan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Langkat dalam rentang antara 2009-2014, peneliti akan memintanya dari instansi yang memiliki otoritas terkait, seperti Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Langkat. Adapun untuk memperoleh informasi seputar pemilik/pengusaha swasta yang memiliki perkebunan kelapa sawit tersebut, status lahan yang digunakan (termasuk kawasan hutan/non-hutan), serta informasi seputar dukungan yang diberikan kepada calon bupati petahana yang diberikan oleh pemilik/pengusaha kelapa sawit, maka peneliti akan menempuh dua cara, yakni: dengan melakukan studi kepustakaan berupa informasi-informasi yang ada di media (baik cetak, maupun

(18)

daring); serta dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci (baik dengan tokoh masyarakat setempat, peneliti yang telah melakukan studi terkait, jurnalis yang memiliki informasi terkait, pihak pemerintah daerah, maupun dengan pihak perkebunan kelapa sawit sendiri).

VII. Sistematika Penulisan

a. Pada Bab I Pendahuluan akan diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis/argumen, kerangka teori, serta sistematika penulisan.

b. Pada Bab II akan diuraikan tentang gambaran umum seputar kabupaten langkat terutama menyangkut pembagian penguasaan geospasial oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit, kaitan antara pengusaha-pengusaha perkebunan kelapa sawit (terutama yang swasta) dengan bupati, serta penjabaran seputar kondisi perubahan tutupan hutan yang ada di Kabupaten Langkat selama era kepemimpinan Ngosesa Sitepu periode pertama (2009-2014).

c. Pada Bab III akan dijelaskan analisis berdasarkan pengujian hasil temuan dan data-data dengan kerangka teori untuk mencari hubungan antara praktik patronase kepala daerah dengan pengusaha kelapa sawit terhadap laju deforestasi di Kabupaten Langkat.

d. Pada Bab IV Kesimpulan akan berisi kesimpulan hasil-hasil temuan serta implikasi teoritis yang terjadi berdasarkan temuan penelitian.

VIII. Daftar Pustaka

Aspinall, Edward dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia (Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014, Yogyakarta: Polgov, 2015

Aspinall, Edward dan Gerry van Klinken (eds.). 2011. The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press

Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Langkat Dirinci Menurut Fungsi Hutan (Ha), berdasarkan survei 2012-2014, (langkatkab.bps.go.id)

(19)

Badan Pusat Statistik, Luas Tanaman Perkebunan Besar Menurut Jenis Tanaman di Indonesia, berdasarkan survei tahun 1995 – 2014, (www.bps.go.id)

Badan Pusat Statistik, Produksi Perkebunan Menurut Provinsi dan Jenis Tanaman, berdasarkan survei tahun 2013 (www.bps.go.id)

Badan Pusat Statistik. 2014. Luas Kawasan Hutan Indonesia, (www.bps.go.id) Burgess, Robin. et. al. 2011. The Political Economy of Deforestation in The Tropics

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, Luas Tanaman Kelapa Sawit, data berdasarkan survei tahun 2011, (dishutbun.langkatkab.go.id)

FAO. 1990. Situation and Outlook of the Forestry Sector in Indonesia. Volume 1: issues, findings and opportunities. Ministry of Forestry, Government of Indonesia; Food and Agriculture Organization of the United Nations, Jakarta.

FAO. 1996. Forest Resources Assessment 1990: Survey of Tropical Forest Cover and Study of Change Processes. FAO Forestry Paper 130. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

James C. Scott, Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia, American Political Science Review, 66 (Maret 1972)

Lioman, Deky dan Ida Oetari P, Reformasi Kepegawaian Negeri di Amerika Serikat, (www.academica.edu)

McCarthy, John. 2004. Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-legal Configurations in Central Kalimantan, Indonesia. Working Paper 101. Asia Research Centre, Murdoch University.

Mietzner, Marcus. 2011. Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in Indonesia's LocalElections. In Indonesia. Leiden: KITLV Press

Neuman, W. Lawrence. 2013. Metodologi Penelitian Sosial; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Edisi 7, Jakarta: PT Indeks

Nordholt, Henk Schulte and Gerry van Klinken (eds.), 2007. Renegotiating Boundaries: LocalPolitics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press

Ross, Michael L. 2004. Timber Booms and Institutional Breakdown in Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.

(20)

Sunderlin, William D. dan Aju Pradnja Resosudarmo. Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia: Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya, CIFOR, Occasional Paper No. 9 (I) Maret 1997

Valescchi, M. 2012. Local Elections and Corruption during Democratization: Evidence fromIndonesia

Varkkey, H. 2012. Patronage politics as a driver of economic regionalism: The Indonesian oilsector and transboundary haze

World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forests, Land, and Water. The World Bank, Washington, DC

Media/Blog Daring:

id.wikipedia.org kabar24.bisnis.com utamanews.com www.antaranews.com www.dw.com

www.indonesia-investments.com www.langkatonline.com

Gambar

Tabel 1.0: Contoh model tabulasi hasil temuan penelitian, ya=1, tidak=0

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH LATIHAN YOGA TERHADAP TINGKAT KONSENTRASI PESERTA LATIH KELAS YOGA SADAGORI BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

karimah dan adab islami dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan pembelajaran aqidah akhlak di MIN 6 Tulungagung ternyata tidaklah mudah. Adanya anggapan bahwa aqidah

Analisis Reaksi Pasar (Investor) Terhadap Kebijakan Inisiasi Dividen Pada Perusahaan-Perusahaan Go-Public Di Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas

Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa perbedaan pola tanam berpengaruh nyata terhadap beberapa parameter antara lain tinggi tanaman jagung pada 6 MST, tinggi

kini lembaga penyiaran telah lemah dan lalai dalam memonitoring penyiara di Indonesia. Hukum etika penyiaran dan s yari’at penyiaran dalam Islam tidak beda jauh. Sama

Penelitian akuntansi keuangan pada periode lampau menuai banyak kritik, antara lain penelitian pasar modal irelevan dengan perilaku individu, metode penelitian yang

Kombinirano zdravljenje z everolimusom in zaviralcem aromataze eksemestanom je ena od možnih oblik zdravljenja bolnic s hormonsko odvisnim razsejanim RD po napredovanju bolezni

Hasil pengujian ini menunjukkan: 1) Laba bersih kejutan, arus kas bersih kejutan dan nilai buku ekuitas kejutan memiliki relevansi nilai untuk investor saham; 2) relevansi nilai