• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mempertahankan Jawa sebagai Jawa Dwipa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mempertahankan Jawa sebagai Jawa Dwipa."

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

Mempertahankan Jawa sebagai Jawa Dwipa.

Sebuah Analisis tentang Persoalan Penolakan Masyarakat atas Rencana Industriaslisasi Semen di Jawa Tengah dari Perspektif Hukum Adat1

oleh:

Joeni A. Kurniawan

(Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya)

Pendahuluan:

Pulau Jawa adalah pulau yang terpadat penduduknya di antara seluruh pulau yang ada di Indonesia. Jakarta, ibu kota negara Indonesia pun ada di pulau ini. Hal ini adalah fakta-fakta yang sangat erat terkait dengan fakta yang lain yakni bahwa segala macam kegiatan pembangunan selalu diawali dan cenderung dikonsentrasikan di pulau Jawa.

Sejak masa Orde Baru, Indonesia adalah negara yang menitik beratkan pembangunan ekonominya pada industrialisasi. Sebagai sentral pembangunan di Indonesia, pulau Jawa pun kemudian secara otomatis menjadi pusat industrialisasi di negeri ini. Keberadaan pulau Jawa sebagai sentral industri dan perekonomian secara historis bahkan bisa dilacak ke belakang hingga ke era kolonial Hindia Belanda. Hal ini bisa dilihat dari adanya kebijakan tanam paksa

(cultuurstelsel) yang intinya memberikan kewajiban bagi para petani khususnya petani di

Jawa untuk mengalokasikan sebagian tanah sawahnya untuk ditanami tanaman-tanaman perkebunan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial untuk nantinya dijadikan bahan perdagangan dan diekspor ke Eropa.

Industrialisasi di Jawa yang bahkan terjadi sejak masa kolonial inilah yang kemudian mungkin sedikit banyak membuat karakteristik sosio-kultural masyarakat Jawa menjadi berbeda dari masyarakat Indonesia di luar Jawa. Masyarakat Jawa cenderung lebih bersifat heterogen dibandingkan masyarakat lain di luar Jawa. Hal ini tentu bisa dipahami mengingat industrialisasi selalu memicu terjadinya migrasi. Pulau Jawa pun kemudian menjadi pemikat masyarakat lain di luar Jawa untuk hijrah ke Jawa. Dinamika sosio-kultural pun menjadi terjadi lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lain di luar Jawa sehingga tidak berlebihan kiranya jika disebutkan bahwa pulau Jawa adalah pulau yang paling banyak memiliki keberagaman budaya dibanding wilayah-wilayah yang lain.

Namun, hal tersebut tidak menghalangi sebagian masyarakat Jawa untuk terus mempertahankan nilai-nilai adat dan tradisi mereka, khususnya masyarakat Jawa yang masih menekuni diri sebagai petani pemilik sawah. Berada di tengah-tengah himpitan industrialisasi yang begitu masif yang terjadi sejak dulu kala secara niscaya menekan keberadaan masyarakat Jawa yang masih bertahan sebagai masyarakat petani berikut dengan nilai-nilai tradisi petani mereka ini. Adanya tekanan inilah yang kemudian membuat masyarakat ini melakukan perlawanan atas berbagai rencana industrialisasi yang dilakukan di Jawa. Salah satunya adalah rencana pendirian pabrik semen di Provinsi Jawa Tengah seperti halnya yang

1

(2)

2 terjadi di Pati dan Rembang saat ini. Mengapa masyarakat petani Jawa khususnya di Jawa Tengah ini begitu gigih melakukan perlawanan? Hal ini tiada lain karena adanya nilai-nilai tradisi petani yang masih mereka pegang teguh, di mana nilai-nilai ini sangat bertentangan dengan kegiatan industrialisasi itu sendiri. Pertentangan antara nilai-nilai tradisional masyarakat petani di Jawa dengan kegiatan industrialisasi inilah yang akan menjadi fokus analisis dalam tulisan singkat ini.

Sekilas tentang Kasus Penolakan Industri Semen di Jawa Tengah

Persoalan konflik sosial berupa penolakan masyarakat atas rencana industrialisasi pendirian pabrik Semen di Jawa Tengah bermula dari adanya rencana P.T. Semen Gresik untuk menjadikan areal karst di Pegunungan Kendeng Utara, tepatnya di Desa Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, sebagai areal baru penambangan bahan baku semen sekaligus areal pendirian pabrik semen yang baru di tahun 2008. Rencana P.T. Semen Gresik ini sesungguhnya mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Daerah setempat, baik itu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang mengeluarkan Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030 yang menetapkan Pegunungan Kendeng Utara di Desa Sukolilo Kabupaten Pati sebagai area industri dan pertambangan, maupun Pemerintah Kabupaten Pati yang mengeluarkan Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) kepada P.T. Semen Gresik (Kristianto, 2009, p. 11).

Namun, walaupun mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Daerah yang ada, rencana P.T. Semen Gresik ini pada akhirnya harus dibatalkan akibat adanya penolakan yang begitu keras yang dilancarkan oleh warga Desa Sukolilo di Kabupaten Pati. Adanya penolakan yang begitu gigih dilakukan oleh warga Sukolilo ini salah satu faktor penyebabnya adalah akibat adanya komunitas tradisional Sedulur Sikep yang hidup dan tinggal di desa ini yang dalam persoalan rencana pendirian pabrik semen ini menjadi motor utama penolakan warga Sukolilo atas rencana tersebut. Gunretno, tokoh muda komunitas Sedulur Sikep di Desa Sukolilo, adalah sosok yang memiliki peran penting dalam gerakan perlawanan warga Sukolilo atas rencana pendirian pabrik semen di desa Sukolilo. Ia lah yang kemudian menjadi koordinator sebuah wadah yang didirikan dalam rangka untuk memfasilitasi gerakan seluruh warga (tidak hanya meliputi anggota komunitas Sedulur Sikep, melainkan juga termasuk warga non Sedulur Sikep) untuk menyelematkan Pegunungan Kendeng Utara dari rencana pertambangan yang dinamakan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).

Adanya gerakan penolakan yang gigih dari warga di Sukolilo Pati ini kemudian membuahkan hasil. Gugatan Tata Usaha Negara (TUN) yang dilayangkan oleh warga Sukolilo dalam mempersoalkan ijin penambangan yang diberikan kepada P.T. Semen Gresik dimenangkan di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Hal ini mengakibatkan P.T. Semen Gresik secara hukum harus membatalkan rencananya untuk membangun pabrik dan areal penambangan bahan baku semen yang baru di Desa Sukolilo Kabupaten Pati.

(3)

3 resmi membatalkan rencananya untuk mendirikan pabrik dan areal pertambangan bahan baku semen di Desa Sukolilo, di tahun 2010 muncul proposal baru pendirian pabrik dan arael penambangan bahan baku semen yang lain yang kali ini disodorkan oleh perusahaan bernama P.T. Sahabat Mulya Sakti (P.T. S.M.S.) yang konon adalah anak perusahaan dari P.T. Indocement. Rencana ini tidak lagi diusulkan untuk dilaksanakan di Desa Sukolilo, melainkan di desa lain yakni Desa Kayen dan Desa Tambakromo yang masih berada di bawah wilayah administrasi Kabupaten Pati. Sampai tulisan ini dibuat, proses perlawanan warga di Desa Kayen dan Desa Tambakromo yang diwujudkan dalam bentuk gugatan TUN di PTUN Semarang atas ijin yang dikeluarkan Pemerintah Daerah setempat kepada P.T. S.M.S. masih berlangsung.

Di sisi lain, pembatalan rencana P.T. Semen Gresik (yang kemudian berganti nama menjadi P.T. Semen Indonesia) untuk mendirikan pabrik dan areal pertambangan bahan baku semen di Kabupaten Pati tidak berarti menghentikan sama sekali rencana perusahaan ini. Beralih dari Kabupaten Pati, kini P.T. Semen Gresik melirik Kabupaten Rembang sebagai area pendirian pabrik dan area penambangan bahan baku semen mereka yang baru, yakni tepatnya di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Pati, dukungan penuh dari Pemerintah Daerah setempat juga diberikan atas rencana P.T. Semen Gresik ini, yakni dengan dikeluarkannya berbagai ijin yang diperlukan oleh P.T. Semen Gresik untuk merealisasikan rencana pembangunannya. Salah satu ijin tersebut adalah ijin lingkungan kegiatan penambangan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tertanggal 7 Juni 2012. Di sisi lain, sebagaimana yang juga terjadi pada kasus di Kabupaten Pati, rencana P.T. Semen Gresik di Kabupaten Rembang ini juga mendapatkan perlawanan berupa penolakan keras dari warga beberapa desa di Kabupaten Rembang yang berpotensi terkena dampak dari pendirian pabrik semen oleh P.T. Semen Gresik (yang sudah mulai dilaksanakan berbekal ijin lingkungan penambangan) tersebut. Perlawanan secara hukum pun juga dilakukan oleh para warga Rembang yang menolak industri semen di wilayah mereka ini dengan melakukan gugatan TUN atas dikeluarkannya ijin lingkungan penambangan sebagaimana di atas di PTUN Semarang. Pada tingkat pertama, warga Rembang yang melayangkan gugatan tersebut kalah, dan kini hingga tulisan ini dibuat proses hukum yang dilakukan masih dalam rangka banding di PT TUN Jawa Timur.

(4)

4 penulis atas kasus penolakan rencana industrialisasi semen di Desa Sukolilo Kabupaten Pati yang dimotori oleh komunitas Sedulur Sikep yang ada di sana, ditemukan fakta penting bahwa penolakan atas rencana industrialisasi semen ini juga karena dipengaruhi faktor sosio-kultural masyarakat yakni nilai-nilai tradisional masyarakat agraris (masyarakat petani) yang dimiliki dan dipegang teguh oleh warga yang melakukan penolakan industrialisasi semen atas Pegunungan Kendeng Utara ini.

“Tanah adalah Ibu”. Nilai-Nilai Masyarakat Tradisional-Agraris atas Tanah

Secara tradisional, basis ekonomi-sosial-budaya masyarakat Jawa adalah bidang agraria alias bidang pertanian. Inilah yang membuat istilah “Jawa” itu sendiri adalah istilah yang diambil dari bahasa Sanskrit yakni yava yang artinya adalah tanaman padi-padian (Anonymous). Sehingga, tidak mengherankan jika ada masyarkat Jawa yang berusaha mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya, maka mereka biasanya adalah masyarakat yang berusaha keras mempertahankan diri untuk berprofesi sebagai petani (yang menggarap lahan milik mereka sendiri). Hal ini disebabkan karena menjadi petani adalah bagian dari nilai-nilai tradisional masyarakat Jawa itu sendiri. Ini bisa dibuktikan dari adanya sebuah norma yang masih dipegang teguh oleh komunitas Sedulur Sikep, sebagai salah satu komunitas tradisional di Jawa seperti halnya yang hidup dan tinggal di Desa Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah, yang mewajibkan mereka untuk hanya bekerja sebagai petani saja dan melarang diri mereka untuk bekerja pada bidang pekerjaan di luar bertani (Kurniawan, 2014, p. 96).

(5)

5 tiada lain adalah tanggung jawab untuk senantiasa menjaga dan melindungi keselamatan tanah/bumi sebagai ibu mereka (Koesnoe, 2000, p. 11). Oleh karena itu, segala perbuatan yang sifatnya merusak tanah atau bumi akan dipandang sebagai kegiatan yang “memperkosa sang ibu” dan oleh karenanya masyarakat yang tinggal di wilayah itu yang berperan sebagai “anak-anak dari sang ibu” akan memiliki kewajiban untuk melakukan segala hal yang diperlukan guna mencegah dan menghentikan kegiatan-kegiatan yang sifatnya dapat merusak tanah atau bumi tersebut.

Lebih jauh lagi, berdasarkan adanya nilai filosofis tanah sebagai ibu sebagaimana di atas, bagi masyarakat agraris-tradisional yang hidup dengan mengandalkan sumber penghidupan dari tanah, adanya hak untuk mengambil sumber penghidupan dari tanah akan berbanding lurus dengan tanggung jawab yang diberikan oleh alam untuk menjaga dan melindungi kelestarian tanah atau bumi dan lingkungan hidup (Koesnoe, 2000, p. 22). Selain itu, adanya pandangan filosofis tanah sebagai ibu ini juga membawa konsekuensi tentang sifat eksklusifitas hak atas tanah dan sumber daya alam. Ibu akan selalu dimiliki secara ekslusif oleh anak-anaknya saja. Begitu pula dengan tanah. Tanah dalam pandangan adat akan selalu bersifat ekslusif dalam arti bahwa kekuasaan atas tanah dan sumber daya alam yang ada di dalamnya secara ekslusif hanya dimiliki oleh komunitas masyarakat yang hidup dan tinggal di wilayah tersebut. Inilah yang dalam teori hukum adat disebut sebagai hak ulayat atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai beschikkingsrecht (Koesnoe, 2000, p. 22) (Sudiyat, 1981, p. 2) (Wignjodipuro, 1979, p. 248). Berdasarkan sifat ekslusifitas penguasaan tanah sebagai konsekuensi normatif dari adanya hak ulayat ini, maka menurut hukum adat tanah hanya boleh dinikmati hasilnya oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut sebagai pemegang hak ulayat atas tanah dan lingkungan yang bersangkutan, dan pada saat yang sama, tanah menjadi bersifat terlarang bagi siapapun yang bukan anggota komunitas adat masyarakat pemegang hak ulayat tersebut (Koesnoe, 2000, p. 39) (Wignjodipuro, 1979, p. 250). Berdasarkan adanya ketentuan normatif inilah maka secara hukum adat, menjual tanah kepada orang asing dalam artian kepada orang yang bukan anggota komunitas pemegang hak ulayat atas tanah yang bersangkutan adalah hal yang terlarang (Wignjodipuro, 1979, p. 250).

(6)

6

Refleksi

Dalam paradigma moderenitas yang serba bersifat positif (serba bersifat material) sebagai narasi besar paradigma masyarakat industrialis, nilai-nilai agraria tradisional sebagaimana yang dipaparkan di atas, yang menjadi salah satu latar belakang penolakan warga petani di Pegunungan Kendeng Utara atas industrialisasi yang dilaksanakan di wilayah ini, mungkin hanyalah narasi kecil yang seringkali terlewatkan begitu saja dalam diskursus yang berkembang di masyarakat moderen-industrialis seperti sekarang ini.

Namun di sisi lain, ada semacam “fakta yang kurang menyenangkan” yang bersifat positif (fakta yang bisa dipastikan) tentang masa depan suram yang dihadapi masyarakat industri hari ini sebagai konsekuensi langsung dari industrialisasi itu sendiri, yakni adanya ancaman pemanasan global (global warming).2 Bisa dikatakan bahwa dalam semua diskursus ilmiah yang dilakukan para ahli menyangkut fenomena pemanasan global ini, hampir semua para ilmuwan bersepakat bahwa ancaman pemanasan global ini bukan lagi ancaman yang akan terjadi di masa yang akan datang tetapi sudah menjadi ancaman yang telah berlangsung saat ini. Dampak dari fenomena pemanasan global ini adalah bencana yang luar biasa merusak baik bagi lingkungan maupun manusia, yakni di antaranya adalah perubahan iklim dan mencairnya es di kutub utara dan selatan yang akan membawa konsekuensi naiknya ketinggian air laut yang –jika tidak dihentikan- akan mengubah kondisi geografis benua-benua yang ada di bumi ini di mana wilayah-wilayah yang secara geografis adalah dataran rendah akan tenggelam.

Sebagai konsekuensi langsung dari industrialisasi, kajian-kajian ilmiah menunjukkan bahwa salah satu faktor determinan dari munculnya fenomena pemanasan global adalah persoalan gaya hidup, yakni apakah kita sebagai warga penghuni planet bumi terus melanjutkan gaya hidup yang sifatnya eksploitatif pada alam (sebagai ciri khas dari gaya hidup industri) atau sebaliknya kita mulai mengembangkan gaya hidup yang menjaga alam. Hampir semua pegiat ekologi bersepakat bahwa hanya gaya hidup yang kedua inilah yang merupakan jalan satu-satunya yang tersedia jika kita tidak ingin menjadi korban atas bencana ekologis yang kita hasilkan sendiri.

Masyarakat tradisional, termasuk masyarakat tradisional-agraris di Pegunungan Kendeng Jawa Tengah, adalah masyarakat petani yang menggantungkan hidupnya dari alam. Namun, karena mereka hidup dari alam, maka mereka juga memiliki gaya hidup yang menjaga alam. Gaya hidup ini dapat terjaga dan terus terlestarikan dari generasi ke generasi karena mereka memandang alam (tanah, bumi, dan sumber daya alam) bukan sebagai obyek material, melainkan sebagai subyek sakral yang harus senantiasa dihormati dan dijaga keselamatannya sebagaimana kita menghormati dan menjaga keselamatan sesama manusia. Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka baru nampak bagi kita semua sebuah urgensi besar di balik narasi

2

(7)

7 kecil nilai-nilai agraria tradisional yang terus dipertahankan dan diperjuangkan oleh masyarakat petani di Pegunungan Kendeng ini.

Pertanyaannya sekarang bagi kita adalah, gaya hidup manakah yang kita pilih?

---

Bibliografi

Anonymous. (n.d.). Malay Words of Sanskrit Origin. Retrieved 6 10, 2015, from Vedic Knowledge Online: http://veda.wikidot.com/malay-words-sanskrit-origin

Koesnoe, M. (2000). Prinsip-Prinsip Hukum Adat tentang Tanah. Surabaya: Ubhara Press.

Kristianto, E. D. (2009). Menyelamatkan Lingkungan Berakhir di Penjara (Kriminalisasi 9

Warga Penolak Semen di Kabupaten Pati). Semarang: YLBH-Lembaga Bantuan

Hukum (LBH) Semarang.

Kurniawan, J. A. (2014). Contested Land Contesting Laws. A Context of Legal Pluralism and Industrialization in Indonesia. Sortuz. Onati Journal of Emergent Socio-Legal Studies, 93-106.

Sudiyat, I. (1981). Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila siswa merasa sejahtera karena kebutuhan dasar ( School well -being ) di lingkungan sekolah terpenuhi maka akan menciptakan suatu keterikatan dengan sekolah (

Pembelajaran Berbasis … (Siti Wahidah, 173:186) 177 Secara umum hasil penelitian tindakan kelas menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar dan aktivitas mahasiswa,

Sehubungan dengan hal tersebut kami mohon sudi kiranya Bapakllbu berkenan mengiiinkan untuk menyebarkan angket di tempat Bapak/lbu yang selanjutnyd akan digunakan

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan dan memverifikasi pengaruh tingkat pendidikan dan pola asuh orang tua terhadap prestasi belajar IPA. Penelitian

Laporan Surat Keluar Per-jenis Surat adalah laporan yang berfungsi untuk menyajikan informasi seluruh surat yang keluar dari Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera

Gubernur Bank Indonesia, Agus Marto- wardojo, meyakini bahwa tahun ini merupakan tahun yang tepat untuk membahas redenominasi rupiah seiring dengan

Maskara dan eyeliner terdiri dari satu atau lebih pembentuk film, pigmen, dan pembawa yang sebagian besar menguap untuk memungkinkan film untuk mengatur (Barel, dkk., 2001)..

Medan makna dalam register dunia penyiaran radio dalam buku Broadcasting Journalism 2004, Teknik dan Komunikasi Penyiar Televisi Radio MC 1995, dan sumber dalam jaringan ( online