• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I KONSEP DASAR PERENCANAAN PARTISIPATIF 1.1 Komptetensi Dasar - BAB I Konsep Dasar Perencanaan Partisipatif.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I KONSEP DASAR PERENCANAAN PARTISIPATIF 1.1 Komptetensi Dasar - BAB I Konsep Dasar Perencanaan Partisipatif.pdf"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

KONSEP DASAR PERENCANAAN PARTISIPATIF

1.1 Komptetensi Dasar

Setelah membaca modul ini, mahasiswa/praja akan dapat Menjelaskan konsep dasar perencanaan partisipatif.

1.2 Sub Pokok Bahasan  Pendahuluan

 Konsep Dasar Perencanaan Partisipatif

o Partisipasi

o Bentuk partisipasi o Jenis-Jenis partisipasi

o Tipologi Partisipasi Masyarakat dan Individu  Perencanaan Partisipatif

o Definisi perencanaan

o Latar belakang munculnya perencanaan paritisipatif o Definisi dan konsep perencanaan partisipatif o Tujuan Perencanaan partisipatif

o Beberapa Perspektif pembangunan paritisipatif

o Permasalahan dan Hambatan dalam perencanaan partisipatif

1.3 Pendahuluan

(2)

keuangan, yudisial, hankam, agama dan urusan lain. Ini artinya pemerintah daerah mempunyai kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sangat luas dan utuh. Luas artinya pemerintah daerah dipersilahkan menyelenggarakan semua urusan sesuai dengan potensi yang dimilikinya tanpa campur tangan langsung dari pemerintah pusat. Utuh artinya daerah diberi kepercayaan penuh untuk mengatur dan mengurus semua urusan yang menjadi kewenangannya tersebut mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya.

Dengan sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang luas dan utuh tersebut daerah dituntut mampu membuat perencanaan pembangunan secara mandiri. Daerah harus mampu membuat perencanaan pembangunan yang sesuai

dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya, rasional, tepat sasaran, dapat dilaksanakan, efisien dan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu, sesuai dengan era demokratisasi pembuatan perencanaan pembangunan juga tidak boleh mengabaikan prinsip demokrasi.

Karena itu, perencanaan tidak lagi menganut pendekatan top down atau dari atas ke bawah tetapi menggunakan pendekatan bottom up atau dari bawah ke atas yaitu dengan melibatkan partisipasi rakyat. Hal ini berangkat dari suatu fakta bahwa rakyatlah yang terkena dampak langsung dari rencana pembangunan tersebut. Perencanaan yang melibatkan partisipasi masyarakat seperti ini dikenal dengan perencanaan pembangunan partisipatif.

Dalam alam otonomi luas dan utuh tersebut, seharusnya pemerintah daerah secara kreatif dan mandiri dapat membuat perencanaan pembangunan daerah. Akan tetapi, karena selama ini pemerintah daerah tidak pernah mempunyai pengalaman membuat perencanaan secara mandiri maka hamper semua daerah belum mampu membuat perencanaan pembangunan daerahnya tanpa petunjuk dari atas. Pemerintah daerah masih memerlukan petunjuk operasional dari kerangka normative dan pedoman standar yang dibuat oleh pemerintah pusat. Mengingat adanya perbedaan karakteristik antara daerah kabupaten dengan daerah kota tersebut maka dalam pembuatan perencanaan pembangunannya,

(3)

mengembangkan sector-sektor tersebut secara terencana untuk menyejahterakan masyarakatnya. Sebaliknya, kota yang basisnya adalah sektor perdagangan/industri/jasa maka rencana pembangunannya adalah pengembangan sector-sektor demi kesejahteraan masyarakatnya.

1.5 Konsep Dasar Perencanaan Partisipasi A. Partisipasi

Istilah Partisipasi menurut Mikkelsen biasanya digunakan di masyarakat dalam berbagai makna umum, diantaranya: (2005, 53-54)

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek (pembangunan), tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan

keputusan.

2. Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.

3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun

kelompok yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai otonomi untuk melakukan hal itu.

4. Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara komunitas lokal dan pihak penyelenggara proyek dalam rangka persiapan, pengimplementasian, pemantauan dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh informasi tentang konteks sosial maupun dampak sosial proyek terhadap masyarakat.

5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam perubahan yang ditentukan sendiri oleh masyarakat.

6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri.

Terdapat tiga unsur penting dalam partisipasi :

1. bahwa partisipasi/keikutsertaan/keterlibatan/peran serta, sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah.

2. kesediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok, ini berarti bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk

(4)

3. unsur tanggung jawab. Unsur tersebut merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi anggota. Diakui sebagai anggota artinya ada rasa “sense of belongingness”.

Sebelum masuk dalam pembahasan perencanaan partisipatif ada baiknya jika kita menyimak model perencanaan yang ada, diantanranya model perencanaan bersifat Top Down dan Bottom Up. Perencanaan dengan model Top Down ini dilaksanakan oleh sekelompok elit politik, melibatkan lebih banyak teknokrat, mengandalkan otoritas & diskresi. Adapun argumentasi top-down adalah:

1. Efisiensi

2. Penegakan aturan (enforcement) 3. Konsistensi input-target-output

4. Publik/masyarakat masih sulit dilibatkan

Perencanaan dengan model Bottom Up ini dilaksanakan secara kolektif, melibatkan unsur-unsurgovernance,mengandalkan persuasi, co-production. Dan argumentasi bottom-up adalah:

1. Efektivitas

2. Kinerja (performance, outcome),bukan sekadar hasil seketika 3. Social virtue (kearifan sosial)

4. Masyarakat diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.

B. Bentuk Partisipasi

Tiga bentuk partisipasi (Chambers dalam Mikkelsen, 2005, 54): 1. Cosmetic Label

Sering digunakan agar proyek yang diusulkan terlihat lebih cantik sehinga lembaga donor maupun pihak pemerintah akan mau membiayai proyek tersebut. 2. Coopting Practice

Digunakan untuk memobilisasi tenaga-tenaga di tingkat lokal dan mengurangi pembiayaan pryek.

3. Empowering Process

Dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan masyarakat lokal untuk melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya,

mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka pilih.

(5)

1. Pikiran (psychological participation) 2. Tenaga (physical participation)

3. Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation) 4. Keahlian (participation with skill)

5. Barang (material participation) 6. Uang (money participation)

D. Tipologi Partisipasi Masyarakat Atau Individu

1. Passive Participation, masyarakat berpartisipasi karena memang diharuskan untuk ikut serta dalam proses pembangunan, tanpa ada kemampuan untuk merubah.

2. Participation in information giving, partisipasi masyarakat hanya sebatas memberikan informasi yang dibutuhkan oleh perencana pembangunan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Namun masyarakat tidak punya kemampuan untuk mempengaruhi mempengaruhi dalam pembuatan pertanyaan, dan

tidak ada kesempatan untuk mencek ketepatan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

3. Participation by consultation, partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk konsultasi, ada pihak luar sebagai pendengar yang berusaha mendefinisikan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan merumuskan solusinya. Dalam proses konsultasi ini tidak ada pembagian dalam penentuan keputusan, semua dikerjakan oleh pihak luar yang diberi mandat untuk mngerjakan ini.

4. Participation for material incentives, partisipasi ini lebih pada masyarakat memberikan sumber daya yang mereka punya seperti tenaga dan tanah, kemudian akan diganti dalam bentuk makanan, uang, atau penggantian dalam bentuk materi lainnya.

5. Functional participation, partisipasi masyarakat terjadi dengan membentuk kelompok-kelompok atau kepanitiaan yang diprakarsai/ didorong oleh pihak luar.

6. Interactive participation, masyarakat dilibatkan dalam menganalisis dan perencanaan pembangunan. Dalam tipe partisipasi ini, kelompok mungkin saja dapat dibentuk bersama-sama dengan lembaga donor dan mempunyai tugas untuk

(6)

luar hanya sebatas membantu dalam penyusunan kerangka kerja. Mereka mempunyai fungsi kontrol penuh terhadap sumber daya yang akan digunakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya.

8. Catalysing change, Partisipasi dengan membentuk agen perubah dalam masyarakat yang nantinya dapat mengajak atau mempengaruhi masyarakatnya untuk melakukan perubahan.

9. Optimum Participation, lebih memfokuskan pada konteks dan tujuan dari pembangunan dan itu akan turut menetukan bentuk dari partisipasi yang akan dipergunakan. Partisipasi akan optimal jika turut memperhatikan secara detail pada siapa yang akan berpartisipasi karena tidak semua orang dapat berpartisipasi, dan dengan metode ini pula dapat membantu menentukan strategi yang optimal dalam

pembangunan.

10. Manipulation, ada sejumlah partisipasi namun tidak memiliki kekuasaan yang nyata, masyarakat membentuk suatu kelompok atau kepanitiaan namun tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan arah pembangunan.

Persyaratan untuk dapat melaksanakan partisipasi secara efektif adalah sebagai berikut :

1. Waktu

Untuk dapat berpartisipasi diperlukan waktu. Waktu yang dimaksud adalah untuk memahami pesan yang disampaikan oleh pemrakarsa atau pimpinan. Pesan tersebut mengandung informasi mengenai apadan bagaimana serta mengapa diperlukan peran serta. Pesan-pesan itu disampaikan melalui komunikasi yaitu usaha dan kegiatan untuk menumbuhkan pengertian yang sama antara pemrakarsa/pimpinan yang disebut “komunikator” dan penerima pesan “komunikan”. Pesan itu disampaikan dengan menggunakan lambang-lambang yang mengandung arti, lambang itu harus dapat saling dimengerti dan dipahami. Penyebaran pesan dilakukan melalui sarana atau media tertentu seperti udara, radio, televise, surat kabar, surat dan sebagainya sehingga komunikasi dapat menerima dan menafsirkannya serta memahami apa yang dimaksud oleh komunikator.

2. Bilamana dalam kegiatan partisipasi ini diperlukan dana perangsang,

(7)

3. Subyek partisipasi hendaklah relevan atau berkaitan dengan organisasi dimana individu yang bersangkutan itu tergabung atau sesuatu yang menjadi perhatiannya/interesnya.

4. Partisipasi harus memiliki kemampuan untuk berpartisipasi, dalam arti kata yang bersangkutan memiliki ruang lingkup pemikiran dan pengalaman yang sama dengan komunikator dan kalaupun belum ada, maka unsure-unsur itu ditumbuhkan oleh komunikator.

5. Partisipan harus memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi timbal balik, misalnya menggunakan bahasa yang sama atau yang sama-sama dipahami, sehingga tercipta pertukaran pikiran yang efektif/berhasil.

6. Para pihak yang bersangkutan bebas didalam melaksanakan peran serta

tersebut sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.

7. Bila partisipasi diadakan untuk menentukan suatu kegiatan hendaknya didasarkan kepada kebebasan dalam kelompok, artinya tidak dilakukan pemaksaan atau penekanan yang dapat menimbulkan ketegangan atau

gangguan dalam pikiran atau jiwa pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini didasarkan kepada prinsip bahwa partisipasi adalah bersifat persuasif.

1.6. Perencanaan Partisipatif A. Perencanaan

Pengertian perencanaan memiliki banyak makna sesuai dengan pandangan masing-masing ahli dan belum terdapat batasan yang dapat diterima secara umum. Pengertian atau batasan perencanaan tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu pada hakekatnya terdapat pada setiap jenis usaha manusia (Khairuddin, 1992 : 47).

2. Perencanaan adalah merupakan suatu upaya penyusunan program baik program yang sifatnya umum maupun yang spesifik, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Sa’id & Intan, 2001 : 44 ).

3. Perencanaan sebagai Analisis Kebijakan (Planning as Policy Analysis) yaitu,

(8)

Perencanaan, meskipun mengandung pengertian masa depan, bukanlah hipotesis yang dibuat tanpa perhitungan. Hipotesis dalam perencanaan selalu didasarkan atas data-data dan perkiraan yang telah tercapai, dan juga memperhitungkan sumber daya yang ada dan akan dapat dihimpun. Dengan demikian, perencanaan berfungsi sebagai pedoman sekaligus ukuran untuk menentukan perencanaan berikutnya. Mosher (1965 : 191) menyatakan bahwa, seringkali perencanaan hanya meliputi kegiatan-kegiatan baru, atau alokasi keuangan untuk kegiatan-kegiatan lama, tanpa menilai kembali kualitasnya secara kritis. Acapkali lebih banyak sumbangan dapat diberikan kepada pembangunan dengan memperbaiki kualitas kegiatan yang sedang dalam pelaksanaan daripada memulai yang baru.

Perencanaan pada dasarnya adalah penetapan alternatif, yaitu menentukan

bidang-bidang dan langkah-langkah perencanaan yang akan diambil dari berbagai kemungkinan bidang dan langkah yang ada. Bidang dan langkah yang diambil ini tentu saja dipandang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, sumber daya yang tersedia dan mempunyai resiko yang sekecil-kecilnya. Oleh sebab itu, dalam

penentuannya timbul berbagai bentuk perencanaan yang merupakan alternatif-alternatif ditinjau dari berbagai sudut, seperti yang dijelaskan oleh Westra (1980) dalam Khairuddin (1992 : 48), antara lain :

1. Dari segi jangka waktu, perencanaan dapat dibedakan : (a) perencanaan jangka pendek (1 tahun), dan (b) perencanaan jangka panjang (lebih dari 1 tahun). 2. Dari segi luas lingkupnya, perencanaan dapat dibedakan : (a) perencanaan

nasional (umumnya untuk mengejar keterbelakangan suatu bangsa dalam berbagai bidang), (b) perencanaan regional (untuk menggali potensi suatu wilayah dan mengembangkan kehidupan masyarakat wilayah itu), dan (c) perencanaan lokal, misalnya; perencanaan kota (untuk mengatur pertumbuhan kota, menertibkan penggunaan tempat dan memperindah corak kota) dan perencanaan desa (untuk menggali potensi suatu desa serta mengembangkan masyarakat desa tersebut).

3. Dari segi bidang kerja yang dicakup, dapat dikemukakan antara lain : industrialisasi, agraria (pertanahan), pendidikan, kesehatan, pertanian, pertahanan dan keamanan, dan lain sebagainya.

(9)

program (program planning) dan (c) perencanaan langkah operational planning.

B. Latar Belakang Munculnya Perencanaan Partisipatif

Perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas sejak munculnya metode partisipatif yang biasa disebut Participatory Rural Appraisal. Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifkasian masalah sampai pada penentuan skala prioritas.

Perencanaan partisipatif saat ini mulai merambah ke tingkat makro atau lebih pada pengembangan kebijakan, biasanya kegiatan ini lebih banyak dilakukan oleh Lembaga Non Pemerintah (NGO’s). Selain itu perencanaan partisipatif banyak

dilakukan di tingkat mikro seperti pada tingkat masyarakat maupun di tingkat individu.

Secara garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari

melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.

Tiga alasan utama mengapa perencanaan partisipatif dibutuhkan, yaitu (Conyers, 1991, 154-155)

1. Alasan pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhandan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. 2. Alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai kegiatan atau

proram pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program tersebut.

3. Alasan ketiga adalah karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan.

Alasan lainnya dikemukakan oleh Amartya Sen dimana Ia mengemukana ada 3 alasan mengapa harus ada demokasi dan Perencanaan Partisipatif (Amartya Sen,

1999:148)

(10)

2. Instrumental role untuk memastikan bahwa rakyat bisa mengungkapkan dan mendukung klaim atas hak-hak mereka, di bidang politik maupun ekonomi 3. Constructive role dalam merumuskan “kebutuhan” rakyat dalam konteks

sosial.

C. Sejarah Partisipasi Dalam Pembangunan

Pada tahun 1960-an, yang dimaksud dengan partisipasi adalah adanya transfer atau alih pengetahuan atau teknologi dari luar untuk menjadikan orang atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri.

Pada tahun 1970-an Partisipasi lebih dikenal sebagai usaha untuk mengentaskan kemiskinan dan berkaitan dengan kases terhadap sumber-sumber pembangunan. Ada 3 perspektif besar:

1. Masyarakat berpartisipasi sebagai pihak yang menerima manfaat dari pembangunan. Partisipasi dilakukan untuk masyarakat, umumnya masyarakat diundang untuk ditanyakan apa kebutuhan mereka yang nantinya akan dimasukkan dalam program pembangunan.

2. Partisipasi dilihat sebagai suatu proses dan di kendalikan oleh orang-orang yang mengenalikan pembangunan. Partisipasi ini berkaitan pula dengan demokrasi dan keadilan.

3. Partisipasi melibatkan bekerja dengan masyarakat daripada bekerja untuk mereka. Partisipasi bentuk ini lebih melihat hubungan antara pelaksana pembangunan dan pemanfaan hasil pembangunan.

Pada tahun 1980-an Partisipasi dikenal dengan istilah Proyek dalam Masyarakat, dan ini menyebabkan semakin dikenalnya partisipasi sebagai suatu pendekatan dalam proyek-proyek dan program-program pembangunan. Terdapat 2 paradigma yang berkembang saat ini, yaitu:

1. Metode yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga seperti Stakeholder analysis, social analysis, beneficiary assessment, logical framework analysis. Semua ini merupakan toolkits yang diterapkan oleh perencana sosial untuk mempromosikan partisipasi ditingkat pemangku kepentingan dalam melakukan pengidentifikasian di tingkat awal.

2. Metode-metode yang dipromosikan oleh pengembang metode partisipatori

(11)

pengetahuan yang mereka miliki serta kondisi mereka dan melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Pada tahun 1990-an Partisipasi lebih dilihat sebagai kemitraan, koordinasi atau kepemilikan dari program dan adanya fungsi kontrol/ kendali dari masyarakat itu sendii terhadap sumber daya yang mereka miliki. Pada dekade ini mulai ada perubahan paradigma mengenai apa yang disebut masyarakat, mulai ada perubahan dari penerima manfaat dari pembangunan kepada pemangku kepentingan, dengan asumsi kalau masyarakat disebut sebagai penerima manfaat sifatnya lebih pasif dibandingkan dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan.

Pada tahun 2000-an Partisipasi mulai berubah yang dahulu hanya berkisar pada lingkungan mikro saat ini mulai merambah ke tataran makro, dengan adanya

partisipasi dalam penentuan atau pembentukan kebijakan. D. Perencanaan Pembangunan Partisipatif

Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi “lebel baru” yang

harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam perkembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat.

Asngari (2001: 29) menyatakan bahwa, penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orang-orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua pihak itu diperlukan : (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis, dan (2) terbinanya kebersamaan. Selanjutnya Slamet (2003: 8) menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Gaventa dan Valderama (1999) dalam Arsito (2004), mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis

yaitu: 1) partisipasi politik Political Participation, 2) partisipasi sosial Social Participation dan 3) partisipasi warga Citizen Participation/Citizenship, ke tiga hal

(12)

1. Partisipasi Politik, political participation lebih berorientasi pada ”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.

2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan

publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial. 3. Partisipasi Warga, citizen participation/citizenship menekankan pada partisipasi

langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “dari

sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran.

E. Permasalahan Dalam Perencanaan Partisipatif

1. Keterlibatan masyarakat akan terjadi secara sukarela jika perencanaan dilakukan secara desentralisasi, dan kegiatan pembangunan selalu diarahkan pada keadaan atau kepentingan masyarakat. Jika hal ini tidak terjadi maka partisipasi masyarakat akan sulit terjadi karena masyarakat tidak akan berpartisipasi jika kegiatan dirasa tidak menarik minat mereka atau partisipasi mereka tidak berpengaruh pada rencana akhir.

2. Partisipasi akan sulit terjadi apabila di dalam suatu masyarakat tidak mengetahui atau tidak mempunyai gagasan mengenai rangkaian pilihan yang

(13)

kemungkinan skala prioritas akan berbeda antara pihak pemerintah dan masyarakat.

3. Batasan dari wilayah kerja dapat menjadi permasalahan, hal ini berkaitan dengan batas wilayah administratif atau batas wilayah komunitas (adat). Terkadang masyarakat yang akan dibina dibatasi oleh wilayah administratif (negara), namun pada kenyataannya masyarakat yang akan dibina mempunyai suatu ikatan (batasan adat) lain yang turut menetukan luas wilayah mereka. Hal ini berkaitan dengan penentuan wilayah kerja dan pelibatan partisipasi masyarakat.

4. Permasalah lain adalah berkaitan dengan perwakilan yang ditunjuk, terkadang wakil masyarakat yang ditunjuk sebagai penentu kebijakan atau dalam

pembuatan perencanaan sosial tidak mengakomodir elemen-elemen yang ada di dalam masyarakat, perlu diingat bahwa masyarakat tidak selalu homogen. Maka akan ada potensi konflik apabila perwakilan yang ditunjuk tidak mengakomodir kepentingan masyarakat.

5. Adanya kesenjangan komunikasi antara perencana sosial dengan petugas lapangan yang bertugas mengumpulkan informasi guna penyusunan perencanaan sosial. Ada usaha untuk melibatkan masyarakay lokal dalam pengumpulan informasi namun tingkat kemampuan masyarakat lokal beragam dan terkadang tidak sesuai dengan harapan para perencana.

6. Tidak terpenuhinya harapan juga turut menghambat adanya partisipasi msyarakat, seperti tidak berpengaruhnya partisipasi mereka terhadap hasil pembangunan, adanya ekspektasi yang berlebih dari masyarakat yang tidak terpenuhi, atau bahkan pelaksanaan tidak sesuai dengan perencanaan yang telah disusun secara bersama.

7. Permasalah lain yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif adalah adanya anggapan bahwa perencanaan partisipatif adalah suatu kegiatan yang tidak efektif dan membuang-buang waktu. Memang perencanaan partisipatif bukanlah suatu perkara yang mudah, karena melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan membutuhkan waktu, uang dan tenaga yang tidak sedikit. Perencanaan partisipatif pun membutuhkan kapasitas organisasi yang tidak

kecil.

(14)

disatu sisi pemerintah pusat memandang bahwa hal tertentu merupakan prioritas utama, namun disatu sisi pemerintah daerah atau masyarakat hal tersebut bukanlah prioritas utama.

F. Perencanaan Pembangunan Masyarakat

Soetomo (2006 : 56) Menjelaskan Bahwa, Pembangunan Masyarakat dilihat dari mekanisme perubahan dalam rangka mencapai tujuannya, kegiatan pembangunan masyarakat ada yang mengutamakan dan memberikan penekanan pada bagaimana prosesnya sampai suatu hasil pembangunan dapat terwujud, dan adapula yang lebih menekankan pada hasil material, dalam pengertian proses dan mekanisme perubahan untuk mencapai suatu hasil material tidak begitu dipersoalkan, yang penting dalam

waktu relatif singkat dapat dilihat hasilnya secara fisik. Pendekatan yang pertama seringkali disebut sebagai pendekatan yang mengutamakan proses dan lebih menekankan pada aspek manusianya, sedangkan pendekatan yang kedua disebut sebagai pendekatan yang mengutamakan hasil-hasil material dan lebih menekankan

pada target.

Secara umum community development adalah kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan berikutnya. Dengan dasar itulah maka pembangunan masyarakat secara umum ruang lingkup program-programnya dapat dibagi berdasarkan kategori sebagai berikut : (1) community service, (2) community empowering, dan (3) community relation (Rudito

& Budimanta, 2003 : 29, 33).

Solihin (2006), mengungkapkan tiga tahapan perencanaan pembangunan yaitu : (1) perumusan dan penentuan tujuan, (2) pengujian atau analisis opsi atau pilihan yang tersedia, dan (3) pemilihan rangkaian tindakan atau kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan telah disepakati bersama. Dari ketiga tahapan perencanaan tersebut dapat didefenisikan perencanaan pembangunan wilayah atau dearah sebagai berikut yaitu : suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku (aktor) baik umum (publik) atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat

(15)

yang pervasif mengenai tingkat intraktabilitas ataupun konflik kepentingan. Dalam perencanaan sosial klien lebih dilihat sebagai konsumen dari suatu layanan (service), dan mereka akan menerima serta memanfaatkan program dan layanan sebagai hasil dari proses perencanaan.

Suzetta (2007) menjelaskan bahwa, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah dijabarkan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 dan No. 40 Tahun 2006. Sistem perencanaan ini diharapkan dapat mengkoordinasikan seluruh upaya pembangunan yang dilaksanakan oleh berbagai pelaku pembangunan sehingga menghasilkan sinergi yang optimal dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka Proses perubahan sosial (atau “pembangunan”) tersebut perlu dilakukan secara terencana, terkoordinasi, konsisten,

dan berkelanjutan, melalui “peran pemerintah bersama masyarakat” dengan memperhatikan kondisi ekonomi, perubahan-perubahan sosio-politik, perkembangan sosial-budaya yang ada, perkembangan ilmu dan teknologi, dan perkembangan dunia internasional atau globalisasi.

G. Hambatan-Hambatan Dalam Perencanaan Partisipatif

Pemerintah Indonesia Telah Meyakini Bahwa Partisipasi Rakyat Dalam Pembangunan Nasional Merupakan Salah Satu Prasyarat Utama Untuk Keberhasilan Proses Pembangunan di Indonesia. Kemauan pemerintah untuk memahami pentingnya partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan langkah maju. Namun walaupun ada kemauan pemerintah, pelaksanaan konsep ini dilapangan masih cukup banyak mengalami hambatan.

Hambatan pertama yang kita hadapi di lapangan dalam usaha melaksanakan

proses pembangunan yang partisipatif adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dan konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan. Definisi partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencana dan pelaksana pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Definisi seperti ini mengasumsikan adanya subordinasi subsistem oleh suprasistem dan bahwa subsistem adalah suatu bagian yang pasif dari system pembangunan

(16)

pembangunan yang dibutuhkan oleh rakyat, sedang proyek pembangunan yang diusulkan oleh rakyat desa dianggap sebagai keinginan. Karena merupakan “kebutuhan” maka proyek pemerintah itu harus dilaksanakan. Sedangkan karena proyek yang diusulkan oleh rakyat hanya berupa keinginan maka proyek itupun memperoleh prioritas yang rendah. Definisi lain dari partisipasi adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Karena partisipasi merupakan suatu kerjasama maka dalam definisi ini tidak diasumsikan bahwa subsistem disubordinasikan oleh suprasistem dan subsistem adalah sesuatu yang pasif dari suatu system pembangunan. Subsistem dalam konteks definisi partisipasi yang kedua diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan

pelaksanaan suatu program pembangunan. Definisi inilah yang berlaku secara universal tentang partisipasi.

Hambatan kedua yang ditemukan di lapangan adalah reaksi balik yang dating

dari masyarakat sebagai akibat dari diberlakukannya pembangunan sebagai ideology

baru di Negara kita. Sebagai suatu ideologi maka pembangunan harus diamankan dan dijaga dengan ketat. Persepsi seperti ini mendukung asumsi bahwa subsistem adalah suatu subordinate dari suprasistem dan membuat subsistem menjadi bagian yang benar-benar pasif. Pengamanan yang ketat terhadap pembangunan menimbulkan reaksi balik dari masyarakat yang merugikan usaha membangkitkan kemauan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Reaksi balik itu berupa berbagai budaya baru yang saat ini tumbuh dalam masyarakat. Di kalangan masyarakat, umpamanya muncul budaya diam yang salah satu manifestasinya adalah keengganan anggota masyarakat untuk mengevaluasi proses pembangunan secara kritis dan terbuka, terlebih-lebih apabila kritik itu diucapkan di muka pejabat. Di kalangan aparat pemerintah sendiri muncul budaya mencari selamat dalam artian ketakutan kehilangan jabatan karena “dianggap gagal” melaksanakan pembangunan. Budaya mencari selamat ini sering menimbulkan sikap otoriter dalam melaksanakan program pembangunan dan tidak terbuka terhadap dinamika pembangunan yang hidup dalam masyarakat. Ini dapat kita lihat dari berbagai “jargon” yang digunakan oleh para pejabat dalam menghadapi dinamika pembangunan, seperti sebutan kata waton

(17)

Disamping kedua hambatan tersebut, lemahnya kemauan rakyat untuk berpartisipasi salam pembangunan berakar pada banyaknya peraturan/perundang-undangan yang meredam keinginan rakyat untuk berpartisipasi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 merupakan contoh dalam hal ini. Undang-Undang ini membuat kekuasaan kepala desa dan pemerintah desa menjadi sedemikian kuatnya, yang menyebabkan menonjolnya sifat aparat pemerintah yang hanya menjalankan perintah dari atasan daripada seorang pengayom rakyatnya. Situasi seperti ini menjadi bertambah kompleks sifatnya dengan masih adanya trauma G 30 S/PKI di kalangan masyarakat pedesaan. Trauma yang membuat rakyat desa enggan untuk mengutarakan pendapat atau kritik yang menyangkut pembangunan di desa mereka. Yang menarik adalah bahwa trauma ini sering dipakai, yang seharusnya justru harus dihilangkan,

untuk meredam dinamika pembangunan yang hidup dalam masyarakat pedesaan. Dari uraian di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan, Pertama, bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah mobilisasi rakyat dalam pembangunan. Partisipasi rakyat dalam pembangunan adalah kerjasama natara rakyat

(18)

Rangkuman :

Istilah Partisipasi menurut Mikkelsen biasanya digunakan di masyarakat dalam berbagai makna umum, diantaranya: (2005, 53-54)

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek (pembangunan), tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

2. Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.

3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun kelompok yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai otonomi untuk melakukan hal itu.

4. Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara komunitas lokal dan pihak penyelenggara proyek dalam rangka persiapan, pengimplementasian, pemantauan dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh informasi tentang konteks sosial maupun dampak sosial proyek terhadap masyarakat.

5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam perubahan yang ditentukan sendiri oleh masyarakat.

6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri.

Terdapat tiga unsur penting dalam partisipasi :

1. bahwa partisipasi/keikutsertaan/keterlibatan/peran serta, sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah.

2. kesediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok, ini berarti bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok.

3. unsur tanggung jawab. Unsur tersebut merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi anggota. Diakui sebagai anggota artinya ada rasa “sense of belongingness”.

(19)

Sering digunakan agar proyek yang diusulkan terlihat lebih cantik sehinga lembaga donor maupun pihak pemerintah akan mau membiayai proyek tersebut. 2. Coopting Practice

Digunakan untuk memobilisasi tenaga-tenaga di tingkat lokal dan mengurangi pembiayaan pryek.

3. Empowering Process

Dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan masyarakat lokal untuk melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka pilih.

Jenis-jenis Partisipasi

1. Pikiran (psychological participation) 2. Tenaga (physical participation)

3. Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation)

4. Keahlian (participation with skill) 5. Barang (material participation) 6. Uang (money participation)

Tipologi Partisipasi Masyarakat atau Individu

1. Passive Participation, masyarakat berpartisipasi karena memang diharuskan untuk ikut serta dalam proses pembangunan, tanpa ada kemampuan untuk merubah.

2. Participation in information giving, partisipasi masyarakat hanya sebatas memberikan informasi yang dibutuhkan oleh perencana pembangunan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Namun masyarakat tidak punya kemampuan untuk mempengaruhi mempengaruhi dalam pembuatan pertanyaan, dan tidak ada kesempatan untuk mencek ketepatan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

3. Participation by consultation, partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk konsultasi, ada pihak luar sebagai pendengar yang berusaha mendefinisikan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan merumuskan solusinya. Dalam proses

(20)

4. Participation for material incentives, partisipasi ini lebih pada masyarakat memberikan sumber daya yang mereka punya seperti tenaga dan tanah, kemudian akan diganti dalam bentuk makanan, uang, atau penggantian dalam bentuk materi lainnya.

5. Functional participation, partisipasi masyarakat terjadi dengan membentuk kelompok-kelompok atau kepanitiaan yang diprakarsai/ didorong oleh pihak luar.

6. Interactive participation, masyarakat dilibatkan dalam menganalisis dan perencanaan pembangunan. Dalam tipe partisipasi ini, kelompok mungkin saja dapat dibentuk bersama-sama dengan lembaga donor dan mempunyai tugas untuk mengendalikan dan memutuskan semua permasalahan yang terjadi di tingkat lokal.

7. Self-mobilization, masyarakat secara mandiri berinisiatif untuk melakukan pembangunan tanpa ada campur tangan dari pihak luar, kalau pun ada, peran pihak luar hanya sebatas membantu dalam penyusunan kerangka kerja. Mereka mempunyai fungsi kontrol penuh terhadap sumber daya yang akan digunakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya.

8. Catalysing change, Partisipasi dengan membentuk agen perubah dalam masyarakat yang nantinya dapat mengajak atau mempengaruhi masyarakatnya untuk melakukan perubahan.

9. Optimum Participation, lebih memfokuskan pada konteks dan tujuan dari pembangunan dan itu akan turut menetukan bentuk dari partisipasi yang akan dipergunakan. Partisipasi akan optimal jika turut memperhatikan secara detail pada siapa yang akan berpartisipasi karena tidak semua orang dapat berpartisipasi, dan dengan metode ini pula dapat membantu menentukan strategi yang optimal dalam pembangunan.

10.Manipulation, ada sejumlah partisipasi namun tidak memiliki kekuasaan yang nyata, masyarakat membentuk suatu kelompok atau kepanitiaan namun tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan arah pembangunan.

Persyaratan untuk dapat melaksanakan partisipasi secara efektif adalah sebagai berikut :

1. Waktu

Untuk dapat berpartisipasi diperlukan waktu. Waktu yang dimaksud adalah

(21)

komunikasi yaitu usaha dan kegiatan untuk menumbuhkan pengertian yang sama antara pemrakarsa/pimpinan yang disebut “komunikator” dan penerima pesan “komunikan”. Pesan itu disampaikan dengan menggunakan lambang-lambang yang mengandung arti, lambang itu harus dapat saling dimengerti dan dipahami. Penyebaran pesan dilakukan melalui sarana atau media tertentu seperti udara, radio, televise, surat kabar, surat dan sebagainya sehingga komunikasi dapat menerima dan menafsirkannya serta memahami apa yang dimaksud oleh komunikator.

2. Bilamana dalam kegiatan partisipasi ini diperlukan dana perangsang, hendaknya dibatasi seperlunya agar tidak menimbulkan kesan “memanjakan”, yang akan menimbulkan efek negatif.

3. Subyek partisipasi hendaklah relevan atau berkaitan dengan organisasi dimana individu yang bersangkutan itu tergabung atau sesuatu yang menjadi perhatiannya/interesnya.

4. Partisipasi harus memiliki kemampuan untuk berpartisipasi, dalam arti kata

yang bersangkutan memiliki ruang lingkup pemikiran dan pengalaman yang sama dengan komunikator dan kalaupun belum ada, maka unsure-unsur itu ditumbuhkan oleh komunikator.

5. Partisipan harus memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi timbal balik, misalnya menggunakan bahasa yang sama atau yang sama-sama dipahami, sehingga tercipta pertukaran pikiran yang efektif/berhasil.

6. Para pihak yang bersangkutan bebas didalam melaksanakan peran serta tersebut sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.

7. Bila partisipasi diadakan untuk menentukan suatu kegiatan hendaknya didasarkan kepada kebebasan dalam kelompok, artinya tidak dilakukan pemaksaan atau penekanan yang dapat menimbulkan ketegangan atau gangguan dalam pikiran atau jiwa pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini didasarkan kepada prinsip bahwa partisipasi adalah bersifat persuasif.

Definisi Perencanaan adalah sebagai berikut :

1. Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis

(22)

2. Perencanaan adalah merupakan suatu upaya penyusunan program baik program yang sifatnya umum maupun yang spesifik, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Sa’id & Intan, 2001 : 44 ).

3. Perencanaan sebagai Analisis Kebijakan (Planning as Policy Analysis) yaitu, merupakan tradisi yang diilhami oleh logika-logika berpikir ilmu manajemen, administrasi publik, kebangkitan kembali ekonomi neoklasik, dan teknologi informasi yang disebut sibernetika (Aristo, 2004).

Tiga alasan utama mengapa perencanaan partisipatif dibutuhkan, yaitu (Conyers, 1991, 154-155)

1. Alasan pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhandan sikap masyarakat setempat yang

tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. 2. Alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai kegiatan atau

proram pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program

tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program tersebut.

3. Alasan ketiga adalah karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan.

Alasan lainnya dikemukakan oleh Amartya Sen dimana Ia mengemukana ada 3 alasan mengapa harus ada demokasi dan Perencanaan Partisipatif (Amartya Sen, 1999:148)

1. Demokrasi dan partisipasi sangat penting peranannya dalam pengembangan kemampuan dasar.

2. Instrumental role untuk memastikan bahwa rakyat bisa mengungkapkan dan mendukung klaim atas hak-hak mereka, di bidang politik maupun ekonomi 3. Constructive role dalam merumuskan “kebutuhan” rakyat dalam konteks

sosial.

Terdapat tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: 1) partisipasi politik Political Participation, 2) partisipasi sosial Social Participation dan 3) partisipasi warga

Citizen Participation/Citizenship, ke tiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

(23)

pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.

2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan

mobilisasi sosial.

3. Partisipasi Warga, citizen participation/citizenship menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “dari

sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran.

Permasalahan Dalam Perencanaan Partisipatif :

1. Keterlibatan masyarakat akan terjadi secara sukarela jika perencanaan dilakukan secara desentralisasi, dan kegiatan pembangunan selalu diarahkan pada keadaan atau kepentingan masyarakat. Jika hal ini tidak terjadi maka partisipasi masyarakat akan sulit terjadi karena masyarakat tidak akan berpartisipasi jika kegiatan dirasa tidak menarik minat mereka atau partisipasi mereka tidak berpengaruh pada rencana akhir.

2. Partisipasi akan sulit terjadi apabila di dalam suatu masyarakat tidak mengetahui atau tidak mempunyai gagasan mengenai rangkaian pilihan yang seharusnya

(24)

yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan mereka. Jadi ada kemungkinan skala prioritas akan berbeda antara pihak pemerintah dan masyarakat.

3. Batasan dari wilayah kerja dapat menjadi permasalahan, hal ini berkaitan dengan batas wilayah administratif atau batas wilayah komunitas (adat). Terkadang masyarakat yang akan dibina dibatasi oleh wilayah administratif (negara), namun pada kenyataannya masyarakat yang akan dibina mempunyai suatu ikatan (batasan adat) lain yang turut menetukan luas wilayah mereka. Hal ini berkaitan dengan penentuan wilayah kerja dan pelibatan partisipasi masyarakat.

4. Permasalah lain adalah berkaitan dengan perwakilan yang ditunjuk, terkadang wakil masyarakat yang ditunjuk sebagai penentu kebijakan atau dalam

pembuatan perencanaan sosial tidak mengakomodir elemen-elemen yang ada di dalam masyarakat, perlu diingat bahwa masyarakat tidak selalu homogen. Maka akan ada potensi konflik apabila perwakilan yang ditunjuk tidak mengakomodir kepentingan masyarakat.

5. Adanya kesenjangan komunikasi antara perencana sosial dengan petugas lapangan yang bertugas mengumpulkan informasi guna penyusunan perencanaan sosial. Ada usaha untuk melibatkan masyarakay lokal dalam pengumpulan informasi namun tingkat kemampuan masyarakat lokal beragam dan terkadang tidak sesuai dengan harapan para perencana.

6. Tidak terpenuhinya harapan juga turut menghambat adanya partisipasi msyarakat, seperti tidak berpengaruhnya partisipasi mereka terhadap hasil pembangunan, adanya ekspektasi yang berlebih dari masyarakat yang tidak terpenuhi, atau bahkan pelaksanaan tidak sesuai dengan perencanaan yang telah disusun secara bersama.

7. Permasalah lain yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif adalah adanya anggapan bahwa perencanaan partisipatif adalah suatu kegiatan yang tidak efektif dan membuang-buang waktu. Memang perencanaan partisipatif bukanlah suatu perkara yang mudah, karena melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan membutuhkan waktu, uang dan tenaga yang tidak sedikit. Perencanaan partisipatif pun membutuhkan kapasitas organisasi yang tidak

kecil.

(25)

disatu sisi pemerintah pusat memandang bahwa hal tertentu merupakan prioritas utama, namun disatu sisi pemerintah daerah atau masyarakat hal tersebut bukanlah prioritas utama.

Hambatan-Hambatan Dalam Perencanaan Partisipatif :

Hambatan yang sering ditemui dalam implementasi perencanaan partisipatif antara lain :

Hambatan pertama yang kita hadapi di lapangan dalam usaha melaksanakan

proses pembangunan yang partisipatif adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dan konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan.

Hambatan kedua yang ditemukan di lapangan adalah reaksi balik yang datang

dari masyarakat sebagai akibat dari diberlakukannya pembangunan sebagai ideologi baru di Negara kita.

Disamping kedua hambatan tersebut, lemahnya kemauan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan berakar pada banyaknya

peraturan/perundang-undangan yang meredam keinginan rakyat untuk berpartisipasi.

Latihan :

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan partisipasi. 2. Sebutkan unsur-unsur penting dalam partisipasi. 3. Sebutkan bentuk-bentuk partisipasi.

4. Sebutkan jenis-jenis partisipasi.

5. Apa yang anda ketahui tentang tipologi partisipasi masyarakat, jelaskan. 6. Jelaskan persyaratan untuk dapat melaksanakan partisipasi secara efektif. 7. Jelaskan pengertian tentang perencanaan.

8. Jelaskan latar belakang munculnya perencanaan partisipatif.

9. Terdapat tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis, jelaskan.

10. Sebutkan permasalahan-permasalahan dalam perencanaan partisipatif. 11. Sebutkan hambatan-hambatan dalam perencanaan partisipatif.

(26)

Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Cet 1. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.

Conyers, Diana. (1991). Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga : Suatu Pengantar. Ed 2. (Penerjemah: Susetiawan). Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Mikkelsen, Britha. (2005) Methods for Development Work and Research: A New Guide for Practitioners. 2nd Ed. California: Sage Publication

Sumber: http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2010/05/03/perencanaan-partisipatif/ Nurdin, Hk, et al. 1983. Perubahan Nilai-nilai di Indonesia. Bandung : Alumni. Shabir, C.G. and Rondinelly, Dennis, ed. 1983. Decentralization and Development.

Policy Implementation in Development Countries. Sage. London.

Siahaan, E. Ihud. 2002. Filosofi Perencanaan Pembangunan Kota Sesuai Paradigma Baru di Indonesia : Hakekat Ilmu untuk Pemberdayaan dan Paradigma Peningkatan Peran Serta Masyarakat. www.csis.com.

Turner, M. dan David Hulme. 1997. Governance, Administration and Development. Kumarin. Connecticut USA.

Tjokroamidjojo, B. 1980. Perencanaan Pembangunan. Jakarta : Gunung Agung. ……….. 2003. Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang tersebut maka pada penelitian ini akan dibuat briket arang dari tempurung kawista menggunakan variasi jenis perekat yaitu tepung beras, tepung ketan,

Jika setelah berakhirnya perjanjian kerja ke-2 ternyata PIHAK KEDUA tidak diajukan untuk pengangkatan sebagai karyawan tetap oleh PIHAK PERTAMA, maka perjanjian kerja kontrak

Gambaran kondisi eksisting di Kabupaten Bengkalis, yang mencakup kondisi terkait peraturan daerah (Tabel 5.13), kegiatan penataan lingkungan permukiman

Yang kita butuhkan di sini adalah besaran yang selaras dengan konsentrasi, yaitu jumlah sebenarnya ion yang ada yang mengungkapkan kemampuannya menentukan

Dengan demikian perlu dilakukan penelitian menggunakan kerangka kerja manajemen risiko pada industri pengolahan batu kapur menjadi pupuk dolomite atau kapur pertanian

dan reputasi perusahaan akan pembelian suatu produk maka Samsung sebagai. produsen smartphone terbesar yang ada saat ini perlu menjaga

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia (DRPM UI) melalui dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA – tahun 2008) – Dikti menyelenggarakan pemberian

Dalam model PSI dan Inkuiri keterampilan sosial dan keterampilan dasar permainan bola basket realisasinya memberikan perbedaan, karena meskipun konsep kedua model