• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Agama (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Agama (1)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SLB

(Study pada pembelajaran akhlak anak tunarungu)

By: Muhammad Gus Nur Wahid1

NIM:16790003

E-mail: gusnurwahid@gmail.com.

No hp: 085758923720.

Abstract

Writing this articel based on the observation of the author conducted on Children Deaf, related to the religious condition, this observation is done from October 2014 until September 2015. Observing some cases that occurred in front of the author at the time to see the reality of the field that is related to understanding of worship, Muamalah. And understanding Islamic morals. So based on these conditions, it is very necessary to raise a title: Learning Approach to Islamic Religious Education in SLB (case study on the religious condition of children with hearing impairment). Based on the survey results in the field can be described some criteria of children with hearing impairment, deaf children are very theoretical children, the truth according to them is what is most viewed and felt based on their social experience with parents, teachers, and society. Based on the discussion then in the moral learning of the most important teachers should try to create a sense of security, this condition needs to be because deaf children have the nature of easy prejudice to others this is due to the learning of children with hearing impaired more use of the senses of sight and touch.

Keywords: Learning Morals, Approach Deaf Children

Abstrak

Penulisan articel ini didasari atas pengamatan penulis yang dilakukan pada Anak Tunarungu, terkait tentang kondisi keagamaannya, pengamatan ini dilakukan sejak bulan Oktober tahun 2014 sampai dengan bulan September 2015. Mengamati beberapa kasus yang terjadi dihadapan penulis pada saat melihat kenyataan dilapangan yaitu terkait pemahaman ibadah, pemahaman muamalah. Dan pemahaman akhlak Islami. Maka berdasarkan kondisi tersebut, dirasa sangat perlu mengangkat sebuah judul: Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SLB(Study kasus pada kondisi keagamaan anak tunarungu). Berdasarkan hasil survey dilapangan dapat digambarkan beberapa kriteria anak tunarungu, anak tunarungu merupakan anak yang sangat teoritis, kebenaran menurut mereka adalah apa yang paling banyak dilihat dan dirasakan berdasarkan pengalaman pergaulan mereka dengan orang tua, guru, dan masyarakat. Berdasarkan pembahasan maka dalam pembelajaran akhlak yang paling

(2)

utama guru harus berusaha menciptakan rasa aman, kondisi ini perlu dikarenakan anak tunarungu memiliki sifat mudah berperasangka buruk kepada orang lain hal ini disebabkan karena pembelajaran anak tunarungu lebih banyak memakai indra penglihatan dan perabaan.

Kata Kunci: Pembelajaran Akhlak, Pendekatan Akhlak Anak Tunarungu. A. Latar Belakang Masalah.

Penulisan articel ini didasari atas pengamatan penulis lakukan pada Anak Tunarungu, terkait tentang kondisi keagamaannya, pengamatan ini dilakukan sejak bulan Oktober tahun 2014 sampai dengan bulan September 2015, Dan pada saat itupun penulis diminta untuk mengajari anak-anak tunarungu setelah agenda penelitian selesai pada bulan Mei 2015.

Pada proses pengamatan, penulis mengamati beberapa kasus yang terjadi dihadapan penulis pada saat melihat kenyataan dilapangan yaitu terkait pemahaman ibadah, pemahaman muamalah. Dan pemahaman akhlak Islami. Ternyata pada kenyataan dilapangan Pendidikan Agama Islam belum mampu memasuki kehidupan anak-anak tunarungu bukan hanya sebagai pemahaman teoritis namun juga sebagai bentuk yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini sesuai dengan pendapat Husni Rahim, “Kita belum memiliki data tentang Implementasi Pendidikan agama Islam di SLB–SLB tersebut, hal ini disebabkan belum tersedianya guru Pendidikan agama Islam yang memiliki

ketrampilan khusus yang siap diterjunkan ke sekolah–sekolah luar biasa, kecuali yang pernah dilakukan oleh Departemen Agama dengan membuka PGA-LB untuk tuna netra yang ditutup tahun 1976, penutupan itu terjadi karena sulitnya mengangkat guru Pendidikan agama Islam untuk diterjunkan ke sekolah– sekolah luar biasa, dan belum tersedianya buku-buku teks atau pedoman Pendidikan agama Islam khusus yang diberlakukan bagi sekolah–sekolah luar biasa”.2

Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat digambarkan bahwa belum tersedianya tenaga pengajar pendidikan agama Islam untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki ketrampilan khusus yang siap ditempatkan untuk mengajar di sekolah-sekolah luar biasa seperti SLB-A (tuna netra), SLB-B (Tunarungu), SLB-C (tuna grahita), D (tuna daksa), SLB-E (tuna laras) dan SLB-G (tuna ganda).3

Salah satu faktor penyebab pendidikan agama Islam pada anak tunarungu mengalami kendala dalam memperoleh pengetahuan tentang agama

2Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), hlm. 98–99.

(3)

Islam karena dunia Sekolah Luar Biasa khususnya SLB B (Tunarungu), mengalami dilema yang cukup serius terkait tenaga pengajar Pendidikan Agama Islam. Apabila pengajar PAI itu berangkat dari lulusan Pendidikan Luar Biasa maka hanya beberapa Lulusan PLB yang menguasai Materi-materi PAI secara mendalam. Begitupun sebaliknya jika pengajar berangkat dari lulusan Tarbiyah mereka tidak mengerti tentang cara mengajari anak tunarungu.

Hal ini seperti pendapat Monica J. TAYLOR “agak sedikit yang diketahui tentang bagaimana orang biasa benar-benar berpikir, merasa, dan tindakan dalam kaitannya dengan kepedulian moral dan masalah kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, upaya pendidikan Kohlberg, yang intensif dan moral fokus sekolah saja Community, yang terkait dengan siswa ' Pengalaman moral yang sebenarnya hidup dalam kelompok, kurang mendapat perhatian oleh para peneliti dan pendidik, karena tuntutan khusus mereka di guru dan konteks sekolah.”4

Kurangnya perhatian para peneliti Khususnya dalam pengembangan keilmuan keislaman, lulusan sarjana

4Monica J. Taylor, Marking Moral Education: Some Reflections and Issues, Education Journal《教育學報》, Vol. 36, Nos. 1–2, Summer–Winter 2008, 121–136© The Chinese University of Hong Kong 2009,Institute of Education University of London. hlm. 124.

pendidikan Islam tidak cukup dibekali dengan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga membutuhkan ilmu kependidikan atau ilmu psikologi. Selama ini keilmuan keislaman sudah mulai dikembangkan dengan baik melalui kajian diskusi, seminar, dan sebagainya. Sekarang saatnya keilmuan psikologi juga perlu pengembangan. Sebab, ke depan sarjana pendidikan Islam dituntut mampu melakukan tugasnya dengan baik, yaitu memberikan pembelajaran yang tepat untuk siswa-siswanya. Di lapangan nanti lulusan Jurusan Tarbiyah tidak hanya mengajari anak-anak normal, tetapi juga akan bertemu dengan anak yang tidak normal yang butuh perhatian lebih.5

Berangkat dari dilema tersebut sudah tentu yang menjadi guru pendidikan agama Islam pada Anak tunarungu adalah tamatan tarbiyah, yang sama-sekali tidak belajar mengenai pendekatan-pendekatan pengajaran PAI pada anak tunarungu, sehingga terjadi beberapa kasus seperti, terdapat beberapa anak yang melakukan kegiatan buruk seperti mengambil hak orang lain namun mereka berkata meminjam, dan menyukai lawan jenis namun kegitan tersebut dilakukan seperti-halnya orang yang

5Muzdalifah M. Rahman, Keberbakatan Anak Berkebutuhan khusus di SLB B Purwosari Kudus, Jurnal Penelitian, Vol. 9, No. 2, Agustus 2015, STAIN Kudus, Jawa

Tengah, Indonesia,

(4)

sudah menjadi suami-istri seperti berciuman, pegang-pegangan dan adapula yang melakukan hubungan intim. Namun mereka tidak mengetahui bahwa ternyata itu adalah perbuatan yang dilarang oleh agama.

Kondisi tersebut terjadi karena cara belajar anak tunarungu lebih banyak memakai indra pengelihatan dan perabaan daripada indra pendengaran sekalipun menggunakan alat bantu dengar, sehingga apa yang dilihat merupakan kebenaran mutlak yang di yakini daripada kebenaran yang tertulis dibuku dan samar dalam prakteknya, maka berdasarkan kondisi tersebut, dirasa sangat perlu mengangkat sebuah judul: Pendekatan Pembelajaran PAI pada Anak Tunarungu. (Study pada pembelajaran Akhlak anak tunarungu) B. Kajian Teori

1. Konsep Tunarungu.

a. Pengertian Ketunarunguan

Anak tunarungu, adalah salah satu sebutan bagi kaum difabel yang memiliki kesulitan pendengaran yang berorientasi pada pendidikan, tuli (deaf) adalah mereka yang memiliki kesulitan pendengaran sehingga tidak mungkin berhasil memproses informasi linguistik melalui pendengaran (audition), baik dengan maupun tanpa alat bantu Sementara itu, orang yang mengalami kesulitan pendengaran (hard of hearing) adalah mereka yang masih memiliki sisa

pendengaran sehingga masih mampu memproses informasi linguistik melalui pendengaran (audition) dengan menggunakan alat bantu dengar, anak tunarungu lebih banyak menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. sehingga anak tunarungu kesulitan memahami ungkapan lisan dari lingkungannya dan lingkungan juga kesulitan memahami bahasa isyarat yang dipergunakan oleh anak tunarungu6

Anak yang mengalami gangguan Tunarungu mereka tidak mungkin berhasil memproses informasi linguistik melalui pendengaran (audition), baik dengan maupun tanpa alat bantu,

6Priska Nur Asriani dan Riama Maslan Sihombing, Metoda Pembelajaran Musik Untuk Anak Tuna rungu melalui buku Pop– Up “Ada Bunyi”, jurnal tingkat sarjana, Institut Teknologi Bandung, ITB, Fakultas Seni Rupa dan Desain. Tt. dalam http;// www.googlecendikia.com. Diambil Kamis 18 September 2014. Lihat juga. Stela Bunga Parmawati, Tesis Efektifitas Pendekatan Modifikasi Perilaku dengan Teknik Fading dan Token Economy dalam Meningkatkan KosaKata Siswa Tuna Rungu Prelingual Profound” (Depok: Fakultas Psikologi program Studi Psikologi Profesi Peminatan Psikologi Pendidikan Pascasarjana Universitas Indonesia: 2012), hlm .21. dalam http;//www.googlecendikia.com. Diambil Kamis 13 November 2014. Lihat juga. Nichcy, Deafness & Hearing Loss, is the National Dissemination Center for Children with Disabilities. Disability Fact Sheet No. 3 January 2004. NICHCY P.O. Box 1492 Washington, DC 20013, hlm. 1. Lihat juga, Bushra Akram, dkk, “Scientific Consep of Hearing and Deaf Students of Grade VIII”,

(5)

sedangkan orang yang mengalami kesulitan pendengaran (hard of hearing) adalah mereka yang masih memiliki sisa pendengaran dan masih mampu memproses informasi linguistik melalui pendengaran (audition) dengan menggunakan alat bantu dengar.

b. Etiologi Anak Tuna-rungu

Informasi mengenai beberapa penyebab ketunarunguan adalah sebagai berikut:.

“Faktor hereditas, penyakit cacar air, campak (Maternal rubella, Gueman measles), lahir Prematur, radang selaput otak, ketidaksesuainan rhesus antara anak dan Ibu yang mengandungnya, keracunan pada darah (toxoemia) yang berpengaruh pada rusaknya plasenta dan janin yang dikandungnya, pemakaian anti biotik (overdosis), infeksi setelah lahir misalnya terkena penyakit tifus, stuip, dan campak, otiti media kronis adalah tertimbunnya cairan-carian yang berwarna kekuning-kuningan di dalam telinga bagian tengah, penggunaan tang sebagai alat bantu melahirkan dan infeksi pada alat-alat pernapasan”.7

Berdasarkan penjelasan faktor-faktor penyebab ketunarunguan diharapkan guru dapat mengenal kondisi fisiknya, sehingga dalam proses kegiatan

7Muhammad Efendi, Pengantar PsikoPedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet. 3, hlm. 64-69, lihat juga, T. Sujihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: Refika Aditama, 2009), cet. 3, hlm. 94-95.

belajar-mengajar guru tidak terlalu memaksakan murid harus menguasai materi yang diajarkan.

c. Karakteristik anak Tunarungu

Tunarungu adalah istilah yang menunjukan pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seorang anak, kondisi ini menyebabkan mereka memiliki karakteristik yang khas, berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya, beberapa karekteristik anak tunarungu dari “segi fisik, segi bahasa, intelektual dan sosio-emosional.”8

Berdasarkan beberapa

karekteristik anak tunarungu di atas lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1) Segi fisik

Cara berjalannya kaku dan agak

membungkuk, yang disebabkan karena terjadinya permasalahan pada organ keseimbangan di telinga, pernapasan yang pendek dan tidak teratur karena tidak bisa mendengar dengan baik sehingga mengakibatkan anak tidak bisa mengatur pernapasan dengan baik, dan cara pengelihatannya agak bringas hal ini disebabkan karena pengelihatan merupakan salah satu indra paling

dominan yang menunjukan

keingintahuannya. 2) Segi bahasa

Miskin akan kosa kata.

Sulit mengartikan kata-kata yang

mengandung ungkapan atau idiomatik. Tatabahasanya kurang teratur.

8Laili S cahya, Buku Anak untuk ABK,

(6)

3) Intelektual

Kemampuan intelektualnya normal

namun karena keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan intelektualnya menjadi lamban, hal ini pula yang menjadi penyebab keterlambatan dalam perkembangan akademiknya.

4) Sosial-emosional

Sering merasa curiga dan berperasangka,

sikap ini terjadi akibat kelainan fungsi pendengaran sehingga mereka tidak dapat memahami apa yang dibicarakan orang lain sehingga mereka mudah curiga. Sering bersikap agresif.

Sering bersikap impulsive (tindakan yang

tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati.

Selalu khawatir dan ragu-ragu.

Melihat karateristik anak tunarungu maka metode pembelajaran untuk anak tunarungu dengan memfaaatkan kondisi fisik, intelektual, dan sosial-emosianal untuk menanbah kosa kata mereka.

d. Klasifikasi Anak Tunarungu

Berdasarkan tingkat daya dengar anak tunarungu ada dua pandangan yang berbeda mengenai pembagian anak tunarungu.

1) Menurut The National Child

Traumatic Stress Network,

mengemukakan pembagian deaf child sebagai berikut.

Degree of Deafness Possible Effects on Communicative Functioning

Mild The child may have

difficulty hearing faint speech at a distance, may miss up to 10% of speech signal when speaker is at a distance greater than three feet or if the environment is noisy, and is likely to experience some difficulty in group education settings. Moderate The child can understand

conversational speech at a distance of three-to-five feet in quiet settings. A hearing aid may help the child hear most speech sounds. Without a hearing aid, 50% to 100% of speech signal may be missed.

Moderate to Severe If hearing loss occurs before spoken language is learned, the child’s spoken language development and speech may be severely delayed unless early intervention has occurred. With an adequate hearing aid, the child should be able to detect the sounds of speech and identify

environmental sounds.

(7)

and is likely to rely on vision for communication. Use of a sign language or a signed system can promote and

enhance language

development.

Profound The child will primarily rely on vision rather than hearing for communication and learning. Speech and oral language will not

develop spontaneously

without early intervention and extensive training. Use of a sign language or a signed system should

promote language

development, but speech intelligibility is often greatly compromised. A hearing aid can be useful for alerting the child to environmental sounds.9

Berdasarkan pembagian tunarungu tersebut di atas dengan

9National Child Traumatic Stress Network (2006), White paper on addressing the trauma treatment needs of children who are deaf or hard of hearing and the hearing children of deaf parents. (Los Angeles, Calif, and Durham, NC: National Child Traumatic Stress Network, 2006), hlm. 15. Lihat juga: Elindra Yati, Peningkatan Ketajaman Pendengaran Siswa Tunarungu Melalui Pembelajaran Tari Pendidikan, Jurnal Seni “Aristika” Vol 1 No 1 Juni–September 2011 ISSN 9771411305012 (Jakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta , 2011), hlm. 85-87.

melihat kemampuan daya dengarnya, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Kategori mild anak mungkin

mengalami kesulitan mendengar pidato samar di kejauhan, mungkin kehilangan hingga 10% dari sinyal suara ketika pembicara pada jarak 2) lebih dari tiga meter atau jika

lingkungan berisik, dan kemungkinan akan mengalami beberapa kesulitan dalam pengaturan pendidikan kelompok .

3) Kategori sedang anak dapat memahami pidato percakapan pada jarak tiga sampai lima meter dalam pengaturan yang tenang, sebuah alat bantu dengar dapat membantu anak mendengar. 4) Kategori sedang sangat parah, Jika

gangguan pendengaran terjadi sebelum bahasa lisan dipelajari, pengembangan bahasa lisan mungkin tertunda kecuali penanganan awal telah terjadi, melalui alat bantu dengar yang memadai, anak mampu mendeteksi suara dan mengidentifikasi suara lingkungan. Penggunaan bahasa isyarat atau sistem yang dibakukan dapat mempromosikan dan meningkatkan perkembangan bahasa.

(8)

bahasa isyarat harus meningkatkan perkembangan bahasa.

Berdasarkan pembagian

kemampuan daya dengar tersebut di atas maka dapat disimpulkan apabila anak tunarungu mengalami gangguan pendengaran 90db lebih maka Individu mungkin mendengar suara yang sangat keras tetapi tidak dapat mendengar suara percakapan sama sekali. Penglihatan adalah modal utama dalam berkomunikasi. Ucapan individu, kalaupun berkembang, tidak mudah dipahami. pembelajaran memanfaatkan indra pengelihatan, yaitu dengan metode oral, isyarat dan tulis.

Adapun kondisi kemampuan daya dengar tersebut, dalam kehidupan sehari-hari dapat disetarakan dengan hal-hal sebagai berikut:

Tingkat kemampuan daya dengar.10 Gambar: 1.1.

Decibel Levels of Noice In American Evirontment

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa kondisi anak normal yaitu antara: 0 sampai 26 db, ini masih

10Diunduh di.

http://www.slideshare.net/happyarun/understa nding-the-deaf-community-focus-india, and http://www.evdcweb.org/lessons/ts/audiogra m.html, pada tanggal. 11 Oktober 2015, hlm. 7.

mampu mendengar suara burung yang terbang, suara jam dinding, dan

percakapan normal. Sedangkan

kemampuan daya dengar anak gangguan pendengaran anatara: 100 sampai 120 db, ini hanya mampu mendengar suara mobil besar, konser musik, dan mesin pesawat terbang dengan ketentuanbenda tersebut berda dekat dengan anak, namun sebenarnya anak masih belum bisa mendengar suarnya tapi getaranya sampai kegendang telinga.

e. Kelemahan Anak Tunarungu.

Beberapa kelemahan wicara anak tunarungu terjadi karena: “adanya gangguan pendengaran dan gangguan pada organ bicara sebagai penyebab utama dan selanjutnya tidak mendapatkan latihan atau pembinaan yang sebaiknya.11

Berdasarkan penjelasan di atas organ-organ wicara seperti otot-otot lidah, ketegangan pada mulut secara berlebihan serta kekakuan lidah sangat mengganggu dalam berbahasa anak tunarungu. Kondisi ini menyebabkan perlunya latihan dan pembinaan kepada anak tunarungu secara

berkelanjutan dan memberikan

pembelajaran bertahap tanpa adanya unsur-unsur paksaan dan menggunakan penerapan pembelajaran yang mengerti kondisi anak-anak tunarungu.

(9)

2. Karakteristik dan Tujuan Mata Pelajaran PAI

Setiap mata pelajaran memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu yang dapat membedaknnya dengan mata pelajaran lainnya, begitu juga halnya mata pelajaran PAI.

Menurut Zakiyah Daradjat, pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu mengahayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.12

Tayar Yusuf mengartikan pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar generasi tua untuk mengalihkanpengalaman, pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi manusia bertakwa kepada Allah Swt.13 Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, pendidikan Agama Islam adalah bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang agar ia berkembang

12Pandi Kuswoyo, Ketuntasan Belajar Siswa pada Mata Pelajaran PAI Melalui Metode Kisah, Jurnal Pendidikan Islam: Volume I, Nomor 1, Juni 2012/1433 ISSN: 2301-9166.Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga. hlm. 73-74.

13Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir,

Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm 130

secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.

Karakteristik mata pelajaran PAI sebagaimana dijelaskan dalam buku pedoman khusus PAI (Depdiknas, 2002) adalah sebagai berikut: (1) PAI merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok agama Islam, (2) PAI Bertujuan membentuk peserta didik agar beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, serta memiliki akhlak mulia, (3)PAI mencakup tiga kerangka dasar, yaitu aqidah, syari`ah, dan akhlak. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep iman; syari`ah merupakan penjabaran dari konsep Islam, syari`ah memiliki dua dimensi kajian pokok, yaitu ibadah dan muamalah; dan akhlak merupakan penjabaran dari konsep ihsan.14

Dari ketiga prinsip dasar itulah berkembang berbagai kajian keislaman (ilmu-ilmu agama) seperti ilmu kalam (theologi Islam, ushuluddin, ilmu tauhid) yang merupakan pengembangan dari aqidah. Ilmu fiqh merupakan pengembangan dari syari`ah. Ilmu akhlak (etika Islam, moralitas Islam) merupakan pengembangan dari akhlak, termasuk kajian-kajian yang terkait dengan ilmu dan teknologi serta

(10)

seni dan budaya yang dapat dituangkan dalam berbagai mata pelajaran.

Azra mengemukakan bahwa karakteristik pendidikan Islam menekankan kepada: pertama, pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah SWT. setiap muslim diwajibkan mencari ilmu pengetahuan untuk dipahami dan dikembangkan dalam kerangka ibadah guna kemaslahatan umat manusia sebagai suatu proses yang berkesinambungan dan berlangsung sepanjang hayat (life long education). Kedua, nilai-nilai akhlak. Dalamkonteks ini kejujuran, tawadlu’, menghormatisumber-sumber

pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip yang perlu dipegang setiap pencari ilmu. Ketiga, pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembangdalamsuatu kepribadian.

Setiap pencari ilmu dipandang sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni agar potensi-potensinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya. Keempat, pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat.15 Disini pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan, melainkan

15Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999), hlm. 10.

sekaligus dipraktikkan dalamkehidupan nyata sehari-hari.

(11)

bentuk silabus dari berbagai materi yang akan diberikan.16

Dengan demikian, melalui mata pelajaran PAI diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradabandan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yangmuncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional, maupun global.

Adapun kebijaksanaan yang harus dijadikan arahan dalam pelaksanaan PAI sebagaimana yang dikemukakan Firdaus Basuni dalam Shaleh, adalah sebagai berikut:

Pertama, PAI harus mampu mengembangkan aqidah sebagai landasan keberagamaan siswa dalam meningkatkan iman, takwa, dan akhlak mulia.Kedua, PAI harus mengembangkan konsep keterpadua antara ketercapaian kemampuan yang bersifat kognitif, afektif, maupun psikomotorik. PAI bukan hanya bersifat hafalan, melainkan juga praktik dan amalan.Ketiga, PAI harus mampu mengajarkan agama sebagai landasan dasar dan inspirasi siswa untuk mengembangkan bidang

16Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi, hlm. 8-9.

keilmuan dari semua mata. pelajaran dan bahan kajian yang diajarkan di sekolah.Keempat, PAI harus dapat menjadi landasan moral dan etika sosial dalam kehidupan sehari-hari siswa.17

Berdasarkan penjelasan diatas, pelaksanaan PAI pada dasarnya akan bermuara pada terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak yang mulia (budi pekerti yang luhur). Akhlak mulia ini merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. di dunia. Dengan demikian, pendidikan akhlak (budi pekerti) adalah jiwa PAI. Mencapai akhlak yang karimah (mulia) adalah tujuan sebenarnya dari pelaksanaan Pendidikan Agama Islam. Hal ini tidak berarti bahwa Pendidikan Agama Islam tidak memperhatikan jasmani, akal, ilmu ataupun segi-segi praktis lainnya, tetapi maksudnya adalah bahwa Pendidikan Agama Islam memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak seperti juga segi-segi lainnya. Peserta didik membutuhkan kekuatan dalam hal jasmani, akal, dan ilmu, tetapi mereka juga membutuhkan pendidikan budi pekerti, perasaan, kemauan, cita rasa, dan kepribadian. Sejalan dengan konsep ini maka semua mata pelajaran atau bidang studi yang diajarkan

(12)

kepada peserta didik haruslah mengandung muatan pendidikan akhlak dan setiap guru haruslah memperhatikan akhlak atau tingkah laku peserta didiknya.

Menurut Zuhairini, bahan atau materi pembelajaran pendidikan Agama Islam. Sebagaimana diketahui ajaran pokok Islam meliputi:

a. Masalah keimanan (Aqidah) adalah bersifat I’tikad batin, mengajarkan keEsaan Allah.

b. Masalah keislaman (Syari’ah) adalah hubungan dengan alam lahir dalam rangka mentaati semua peraturan dan hukum Tuhan, guna mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan mengatur pergaulan hidup dan kehidupan bangsa.

c. Masalah ihsan (Akhlak) adalah suatu amalan yang bersifat pelengkap penyempurnaan bagi kedua diatas dan mengajarkan tata cara pergaulan hidup manusia. Tiga inti ajaran pokok ini kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, rukun Islam dan akhlak.Dari ketiga hal tersebut lahirlah beberapa keilmuan agama yaitu: ilmu tauhid,ilmu fiqh dan ilmu akhlak.

Tiga kelompok ilmu agama ini kemudian dilengkapi dengan pembatasan rukun Islam dan materi pendidikan agama Islam yaitu: al-Qur’an dan

Hadits, serta ditambah dengan sejarah Islam (tarikh) sehingga secara berurutan: (1) ilmu tauhid atau ketuhanan, (2) ilmu fiqih, (3) al-Qur’an, (4) hadits, (5) akhlak, (6) tarikh18.

Dalam penyusunan materi pokok dalam kurikulum pendidikan Agama di sekolah pengembangannya dilakukan melalui pendekatan dalam:

a. Hubungan manusia dengan Tuhan b. Hubungan manusia dengan manusia c. Hubungan manusia dengan alam19

.Ruang kingkup pembahasan, luas dan mendalam tergantung kepada jenis lembaga pendidikan yang bersangkutan, tingkatan kelas, tujuan kemampuan anak-anak sebagai konsumennya. Sementara itu secara empirik dalam pelaksanaan pendidikan Agama masih dirasakan terjadinya kesenjangan antara peran dan harapan yang ingin di capai dengan terbatasnya alokasi waktu yang disediakan. Untuk sekolah-sekolah agama tentunya pembahasannya lebih luas, mendalam dan terperinci dari pada sekolahan umum, demikian pula perdebatan untuk tingkatan rendah dan tingginya kelas yang tinggi.

3. Pendekatan Pembelajaran Akhlak. Sebelum memahami pendekatan pembelajaran moralterlebih dahulu

18Zuhairini, dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hlm.60-61

(13)

pahami makna menurutJaap Schuitema, Geert ten Dam and Wiel Veugelers “pendidikan moral mengacu pada ajaran yang disengaja tentang nilai-nilai tertentu,sikap dan disposisi untuk merangsang perkembangan prososial dan moral siswa.20

Kecerdasan moral bukan salah satu dari kecerdasan majemuk Gardner, tetapi terkait dengan dua nyaoriginal tujuh - intrapersonal dan interpersonal - serta salah satu candidates-- mungkin nya kecerdasan spiritual. Meskipun kecerdasan moral mengandung aspek interpersonal Gardner (Kemampuan untuk mengenali niat, perasaan dan motivasi

dari orang lain) dan

intrapersonal(kemampuan untuk memahamidiri sendiri dan menggunakan informasi tersebut untuk mengatur kehidupan) kecerdasan sendiri dan untuk konstruksi terkait kecerdasan sosial dan emosional, itu berbeda. Perbedaan utama adalah bahwa kecerdasan emosional dan sosial yang bebas nilai, sedangkan kecerdasan moral adalah nilai berpusat.21

20Jaap Schuitema, Geert ten Dam and Wiel Veugelers, Teaching strategies for moral education: a review, Universiteit van Amsterdam, Graduate School of Teaching and Learning, Wibautstraat 2—41091 GM Amsterdam, The Netherlands, hlm. 6.

21Rodney H Clarken, Moral Intelligence in the Schools, Paper presented at the annual meeting of the Michigan Academy of Sciences, Arts and LettersWayne State University, Detroit, MI, March 20, 2009, School of Education, Northern Michigan University, Clarken, Moral Intelligence,hlm.

Pendidikan moral adalah sekolah apapun lakukan untuk inffluence bagaimana siswa berpikir, merasa, dan bertindak mengenai masalah rigth dan sekolah umum Amerika yang salah memiliki tradisi panjang keprihatinan tentang pendidikan moral, dan baru-baru kekhawatiran ini telah berkembang lebih intens22

Pendekatan umum untuk pendidikan nilai-nilai biasanya digambarkan dan kontras di litera-yangmendatang (misalnya, Halstead, 1996; Solomon, Watson & Battistich, 2001). Pendekatan tradisionalmenekanka n transmisi dewasa moral masyarakat

melalui pendidikan karakter,

langsungmengajar, nasihat, dan penggunaan imbalan dan hukuman (Durkheim, 1961).23

2.

22ASCD Panel On Moral Education,Moral Education in the Life of the School. A Reportfrom the ASCD Panel on Moral Education.ndria, Va.REPORT NO ISBN-0-87120-152-6 ED 298 651 EA 020 327 April 1988. Association for Supervision and Curriculum DevelopmentAlexandria, Virginia. hlm 7.

23Robert Thornberg and Ebru Oğuz, Teachers' views on values education: A qualitative study in Sweden and Turkey,Mimar Sinan Fine Arts University, Istanbul, Turkey, Robert Thornberg and Ebru Oğuz, Teachers' views on values education: A qualitative study in Sweden and Turkey, 2013, International Journal of Educational

Research, (59), 1,

49-56.http://dx.doi.org/10.1016/j.ijer.2013.03.00

5 Copyright: Elsevier

(14)

Tujuannya adalahuntuk mengajar dan mendisiplinkan siswa untuk mengembangkan karakter yang baik dan kebajikan, dan sesuai dengannilai-nilai yang dominan, aturan yang sah, dan otoritas masyarakat. Contoh kebajikan untuk incul-cate dalam pendidikan karakter yang "jujur, pekerja keras, mematuhi otoritas yang sah,baik, patriotik dan bertanggung jawab.

Sebaliknya,progresif atau konstruksiPendekatan tivist "menekankan konstruksi aktif anak-anak dari makna moral dan pembangunanmental dari komitmen pribadi untuk prinsip-prinsip keadilan dan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain melalui proses interaksi sosial dan wacana moral "(Solomon et al., 2001, hal. 573).Penalaran dan penjelasan, diskusi deliberatif tentang dilema moral, dan partisipasidalam proses pengambilan keputusan dipandang metode sebagai khas untuk pendekatan ini (Dewey, 1916;Nucci, 2006; Power, Higgins & Kohlberg, 1989). 24

Tujuannya adalah untuk mempromosikan otonomi moral,berpikir rasional, keterampilan moral yang penalaran, dan nilai-nilai demokrasi dan kompetensi di antarasiswa. Namun

http://urn.kb.se/resolve?

urn=urn:nbn:se:liu:diva-91056, hlm. 3-4. 24Robert Thornberg and Ebru Oğuz, Teachers' views on values education, hlm. 3-4

demikian, perbedaan ini telah dikritik karena menyederhanakan lapangan dan program pendidikan atau pendekatan

dapat, misalnya, jatuhantara

tradisionaldan pendekatan konstruktivis. Lebih-lebih, pendekatan ketiga atau posisi di bidang pendidikan nilai adalah dilihat-kritisPendekatan, yang mengklaim bahwa pengaruh moral di sekolah, terutama dalam praktek sekolahdisiplin dan dalam kurikulum tersembunyi, bisa dipertanyakan dan memiliki efek luas tanpaketahuan (Bernstein, 2000; Giroux & Penna, 1983; Jones, 2009;). Jones (2009) benar-benarmembuat perbedaan antara orientasi kritis dan postmodern pendidikan nilai-nilai, diyang pertama adalah tentang melibatkan siswa lebih aktif dalam isu-isu keadilan sosial dan politikaktivisme, sedangkan nanti "nikmat ajaran berbagai

perspektif tentang isu-isu

danpengetahuan, dan orientasi dekonstruktif kritis terhadap nilai-nilai sosial dan Praktekseperti hegemoni atau diskursif kebenaran/ asumsi setiap waktu atau budaya tertentu yang re-vealed "(hal. 42). 25

Pendekatan lain mengenai pembelajaran Akhlak melalui Metode kisah ialah metode pendidikan dan pengajaran Islam melalui kisahkisah peristiwa yang telah terjadi pada masa

(15)

lalu. Metode kisah sangat erat kaitannya dengan metode al-ibrah, yaitu merenungkan dan memikirkan kejadian-kejadianyangada.Karenaumumnya yang direnungkan dan difikirkan adalah kejadiankejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalamkisah-kisah masa lalu, makakedua metode ini digabungkan menjadi satu.26

Melalui berta`ammul dan bertafakkur melalui kisah-kisah itu dapat dicapai oleh setiap orang yang memiliki pikiran yang cerdas. Dengan perkataan lain, orang yang cerdas pikirannya tentu akan bisa mengambil hikmah atau pelajaran kebenaran yang terkandung dibalik kisah-kisah itu.

KomunitasSekolahpeduli.pembent ukan karakter dimulai dengan hubungan peduli, pertama di rumah dan kemudian di sekolah. Hubungan peduli membentuk jembatan dari orang dewasa ke anak melalui mana pengaruh timbal balik dapat terjadi(Greenspan & Shanker, 2005). Seorang anak yang dirawat kemungkinan akan merawat orang lain dan terlibat sebagai warga negara dalam kehidupan moral masyarakat. Kualitas hubungan guru-murid awal dapat memiliki pengaruh yang kuat pada hasil akademik dan sosial

26Pandi Kuswoyo, Ketuntasan Belajar Siswa pada mata Pelajaran PAI Melalui Metdoe Kisah, Volume 1, Nomor 1, Juni 2012/1433- ISSN 2301-9166, Jurnal Pendidikan Islam (JPI), UIN Sunan Kalijaga, E-mail: jurnaljpi@yahoo.co.id. hlm. 75.

yang bertahan melalui kelas delapan (Hamre & Pianta, 2001). Dalam sebuah studi dari siswa sekolah menengah Wentzel (2002) menunjukkan bahwa mengajar gaya yang sesuai dengan dimensi pengasuhan yang efektif adalah prediktor signifikan dari tujuan akademis siswa, minat di sekolah dan orientasi belajar penguasaan (bahkan setelah mengendalikan faktor demografi, seperti jenis kelamin dan ras, dan keyakinan kontrol siswa). Secara khusus, guru-guru yang memiliki harapan yang tinggi cenderung memiliki siswa yang mendapatkan nilai yang lebih baik tetapi juga mengejar tujuan prososial, mengambil tanggung jawab dan

menunjukkan komitmen untuk

penguasaan belajar.Sebaliknya, guru yang kasar kritis dan dianggap tidak adil memiliki siswa yang tidak bertindak secara bertanggung jawab sehubungan dengan peraturan kelas dan tujuan akademik.27

Komunitassekolah menurut pandangan di atas harus senantiasa memperhatikan faktor demografi, seperti jenis kelamin dan ras, dan keyakinan kontrol siswa, kondisi individu siswa, dan

(16)

selalu memberikan image positif pada semua siswa baik kondisinya normal atau tidak.

Selain komunitas sekolah peduli adalah Seperti Goleman (2004, p. Viii) mengatakan, "Sosial dan program pembelajaran emosional membuka jalan untuk belajar akademik yang lebih baik.Mereka mengajarkan anak-anak social dan keterampilan emosional yang sangat erat terkait dengan perkembangan kognitif."Keterampilan sosial dan emosional memfasilitasi kehidupan sehari-hari,yang mempengaruhi hubungan dan sekolah prestasi-keterampilan dalam komunikasi, resolusi konflik, pengambilan keputusan dan kerjasama (Catalano, Haggerty, Oesterle, Fleming, & Hawkins, 2004).28

Program pembelajaran emosional yang terencana dapat membentuk ketrampilan sosial memfasilitasi

kehidupansehari-hari, yang

mempengaruhi hubungan dan sekolah prestasi-keterampilandalam komunikasi, resolusi konflik, pengambilan keputusan dan kerjasama.

Pendidikan

Etisintegratif.Integrative Etis Pendidikan (IEE) Model memadukan beberapa temuan kunci dari ilmu empiris untuk memberikan kerangka langkah-demi-langkah untuk budidaya karakter moral

28Darcia Narvaez and Daniel K. Lapsley, Teaching Moral, hlm. 2-4

(Narvaez, 2006; di tekan)29. Langkah-langkah dapat diambil satu per satu atau semua pada once.Within konteks jenuh dengan harapan yang tinggi untuk membangun perilaku dan prestasi, pendidik deliberatively dalam kelas dan sekolah, sebagai berikut:

Langkah 1: gambaran iklim yang mendukung bagi perilaku moral dan prestasi yang tinggi.

Langkah 2: Menumbuhkan keterampilan etika.

Langkah 3: Gunakan pendekatan magang untuk instruksi (pemula-ke-pakar praktek dipandu).

Langkah 4: Nurture keterampilan self-regulation

Langkah 5: Membangun struktur dukungan dengan masyarakat

Melalui langkah-langkah tersebut dapat

diaplikatifkan dalam rangka

mengembangkan pembelajaran

pendidikan moral pelajar, khususnya untuk anak tunarungu dengan melihat kondisi psikologis, dan tata cara

memperoleh pengatahuan anak

tunarungu.

Pendekatandomain di pendidikan moral memfasilitasi siswa untuk memahami dunia sosial dengan menyelidiki isu-isu sosial penting dalam domain konvensi sosial dan domain moral.Sebagai domain ini berbeda, siswa tentu harus mengembangkan kedua

(17)

domain sehingga mereka bisa mengembangkan diri sebagai warga negara yang konstruktif dengan nilai-nilai moral yang tinggi umumnya dan individu secara spesifik.Domain Pendekatan persis berfokus pada pengembangan penilaian perilaku refleksif dalam hubungan dengan domain konvensi moral dan sosial (Nucci, 2001).30

4. Domain Pembelajaran Akhlak untuk Anak Tunarungu.

Yang pertama dari domain ini adalah Basis Aman (SB).istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengasuh. SB ini akan memberikan aman atau Pengalaman lampiran tidak aman. SB terkait dengan kelangsungan hidup karena setiap bayi kebutuhan dasar, apakah itu aman atau tidak aman, untuk tetap hidup.Tanggapan SB untuk marabahaya bayi di perasaan terancam dan kondisi psikologis yang Hasil bayi di, menentukan lampiran aman atau tidak aman.The disinternalisasi SB representasi didirikan pada masa kanak-kanak menentukan dewasa internal dan Pengalaman lingkungan, yang merupakan posisi default internal dan

30Chander Vengadasalam, dkk. Domain Approach: An Alternative Approach in Moral Education, Malaysian Online Journal of Educational Science Volume 2, Issue 4, Faculty of Education, University of Malaya. hlm. 2

dikembalikanuntuk pada saat stres (Bowlby, 1973, 1998; Holmes, 2001).31

Domain kedua diberi label Eksplorasi dan Kenikmatan. Untuk mengeksplorasidan bermain memerlukan beberapa tingkat keamanan. Ketika orang merasa terancam negara merekamaka fisiologis normal terhambat dan mereka akan mencari tempat aman (SB) untuk membantu kesungguhan mereka. anak tidak aman merasa sulit untuk bermain dan menikmati diri mereka sebagai mereka pra-sibuk dengan keberadaan pengasuh mereka. domain ini menimbulkan kekhawatiran tentang pengelolaan kedekatan dalam angka dua HC / DC karena dengan kemampuan gangguan dari pengasuh tuli untuk menanggapi isyarat lisan dari anak.32

Domain tiga: protes dan kemarahan; menunjukkan bahwa kemarahan diungkapkan saat ada ancaman pemisahan dan digunakan sebagai agen untuk menjaga lampiran ikatan yang aman. Seorang anak yang terus-menerus dalam ketakutan

31 Anna Ward, The psycho-social impact on hearing children of deafness in their primary caregiver, Primary Supervisor: Margot Solomon, Dissertation submitted to Auckland University of Technology in partial fulfilment of the requirementsfor the degree of Master of Health Science in PsychotherapyDecember 2009. hlm. 21-22, di

unduh di

http://aut.researchgateway.ac.nz/bitstream/han dle/10292/900/WardA.pdf?sequence=3

(18)

pemisahan mungkin memiliki banyak tanggapan terhadap pemisahan yang nyata atau dibayangkan.Biasanya mendasari pengalaman adalah kecemasan kronis yang memanifestasikan protes atau marah. Jika respon dari pengasuh terhadap bayi dalam keadaan ini tidak konsisten atau tidak sensitif yang bayi akan menginternalisasi marabahaya. Teori ini menyoroti pertanyaan apakah pengasuh tuli adalah mampu menjadi responsif dan karena itu sensitif terhadap anak.33

C. Pembahasan

Berdasarkan pembahasan di atas maka dalam pembelajaran akhlak yang paling utama guru harus berusaha menciptakan rasa aman, kondisi ini perlu dikarenakan anak tunarungu memiliki sifat mudah berperasangka buruk kepada orang lain hal ini disebabkan karena pembelajaran anak tunarungu lebih banyak memakai indra penglihatan dan perabaan.

Untuk membangun perilaku dan prestasi, pendidik deliberatively dalam kelas dan sekolah, sebagai berikut:

Langkah 1: gambaran iklim yang mendukung bagi perilaku moral dan prestasi yang tinggi.

Langkah pertama ini diwujudkan dalam bentuk memberikan gambaran iklim yaitu berupa penerimaan seorang

33Anna Ward, The psycho-social impact on, hlm 21-22.

guru yang baik terkait kondisi anak tunarungu, yang tercermin dalam image wajah yang ditampilkan guru, dan memberikan penilaian yang positif terhadap perkembangan tingkah laku anak dengan memberikan jempol dua atau jempol satu apapun bentuk perkembangan baik itu sekalipun sedikit.

Apabila perkembangan yang terjadi jelek maka guru memberikan sikap jangan atau larangan yang dicerminkan melalui melambaikan tangan pertanda tidak boleh dilakukan dan beri alasan sederhana yang dapat dipahami melalui tulisan.

Langkah 2: Menumbuhkan keterampilan etika.

Langkah kedua ini diwujudkan melalui guru memberikan contoh dan kebiasaan-kebiasaan tingkah-laku yang baik serta memberikan alasan yang mudah dipahamai kenapa harus melakukan tingkah-laku itu seperti contoh: guru ikut serta membuang sampah pada tempatnya.

Langkah 3: Gunakan pendekatan magang untuk instruksi (pemula-ke-pakar praktek dipandu).

(19)

tumbuhan (magang ini diartikan belajar dari Alam).

Langkah 4: Nurture keterampilan self-regulation

Untuk membentuk akhlak yang baik dan terencana serta dapat meresap dalam jiwa anak tunarungu bukan hanya sebagai tingkah-laku namun juga sebagai kerangka teoritis yang di bangun melalui berbagai pengalaman penglihatan anak tunarungu, pembacaan literasi dan melihat contoh-contoh dari guru serta peran masyarakat dan keluarga untuk menerima keberadaan anak tunarungu serta bersama-sama menjaga anak-anak tersebut dengan cara memberikan gambaran-gambaran penerimaan terhadap anak tunarungu yang positif.

Langkah 5: Membangun struktur dukungan dengan masyarakat

Dengan ikut serta mengawasi perkembangan pergaulan anak tunarungu, di media sosial, dan lingkungan, serta

memberikan pencegahan yang

disampaikan ketika anak tunarungu sudah tidak dalam keaadaan emosi, dan sampaikan larangan itu, dengan menyampaikan pula dampak dan alasan yang nalar.

D. Kesimpulan

Pihak sekolah dan masyarakat serta orang tua ikut serta menampilkan kebenaran-kebenaran tentang akhlak dilapangan yang disesuaikan dengan teori akhlak, seperti contoh: terkait pemahaman

anak mengenai batasan pacaran, seharusnya masyarakat dan keluarga ketika dihadapan anak tunarungu dapat menampilkan pacaran secara islami, dalam artian tidak melakukan ciuman secara bebas, pegang-pegangan, dan hal-hal negatife lainnya.

E. Implikasi

Pembelajaran akhlak yang paling utama guru harus berusaha menciptakan rasa aman, kondisi ini perlu dikarenakan anak tunarungu memiliki sifat mudah berperasangka buruk kepada orang lain hal ini disebabkan karena pembelajaran anak tunarungu lebih banyak memakai indra penglihatan dan perabaan.

F. Saran.

Untuk membentuk akhlak yang baik dan terencana serta dapat meresap dalam jiwa anak tunarungu bukan hanya sebagai tingkah-laku namun juga sebagai kerangka teoritis yang di bangun melalui berbagai pengalaman penglihatan anak tunarungu.

G. Daftar Pustaka

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama &Pembangunan Watak

Bangsa, Jakarta:

RajagrafindoPersada, 2005.

(20)

the degree of Master of Health Education in the Life of the School. A Reportfrom the ASCD Panel on Moral Education.ndria, Va.REPORT

Bushra Akram, dkk, “Scientific Consep of Hearing and Deaf Students of Grade VIII”, Jornal of Elemntary Education Vol. 23, No. 1 pp. 1-12.

University of Gujarat, University of Mangement and Technology Lahore, and University of the Science Volume 2, Issue 4, Faculty of Education, University of Malaya. Darcia Narvaez and Daniel K. Lapsley,

Teaching Moral Character: Two Strategies for Teacher Education,

Please address correspondence to Dr. Narvaez at this address: Center for Ethical Education, 118 Haggar melalui Pendekatan Broad-Based

Education (Draft). Jakarta:

Departemen Pendidikan

Elindra Yati, Peningkatan Ketajaman Pendengaran Siswa Tunarungu Melalui Pembelajaran Tari Pendidikan, Jurnal Seni “Aristika” Vol 1 No 1 Juni–September 2011 ISSN 9771411305012 Jakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta , 2011. Hermanto, Optimalisasi Pelaksanaan Bina

Wicara untuk Mendukung Kemampuan Berkomunikasi Anak Tuna Rungu, JUR TP UNY, Oktober. 2008, dalam http;// www.googlecendikia.com.Diambil Kamis 18 September 2014.

Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2001. Jaap Schuitema, Geert ten Dam and Wiel

Veugelers, Teaching strategies for moral education: a review,

Universiteit van Amsterdam, Graduate School of Teaching and Learning, Wibautstraat 2--41091 GM Amsterdam, The Netherlands. Laili S cahya, Buku Anak untuk ABK,

Yogyakarta: Familia, 2013.

Monica J. Taylor, Marking Moral Education: Some Reflections and Issues, Education Journal《 教 育 學 報 》, Vol. 36, Nos. 1–2, Summer– Winter 2008, 121–136© The Chinese University of Hong Kong 2009,Institute of Education University of London.

Muhammad Efendi, Pengantar

PsikoPedagogik Anak Berkelainan, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Muzdalifah M. Rahman, Keberbakatan Anak Berkebutuhan khusus di SLB B Purwosari Kudus, Jurnal Penelitian, Vol. 9, No. 2, Agustus 2015, STAIN Kudus, Jawa Tengah, Indonesia,

(21)

National Child Traumatic Stress Network (2006), White paper on addressing the trauma treatment needs of children who are deaf or hard of hearing and the hearing children of deaf parents. Los Angeles, Calif, and Durham, NC: National Child Traumatic Stress Network, 2006. Nichcy, Deafness & Hearing Loss, is the

National Dissemination Center for Children with Disabilities. Disability Fact Sheet No. 3 January 2004. NICHCY P.O. Box 1492 Washington, DC 20013. Pandi Kuswoyo, Ketuntasan Belajar Siswa

pada Mata Pelajaran PAI Melalui Metode Kisah, Jurnal Pendidikan Islam: Volume I, Nomor 1, Juni

2012/1433 ISSN:

2301-9166.Fakultas Tarbiyah dan

Keguruan UIN Sunan Kalijaga. Priska Nur Asriani dan Riama Maslan

Sihombing, Metoda Pembelajaran Musik Untuk Anak Tuna rungu melalui buku Pop–Up “Ada Bunyi”, jurnal tingkat sarjana, Institut Teknologi Bandung, ITB, Fakultas Seni Rupa dan Desain. Tt.

dalam http;//

www.googlecendikia.com. Diambil Kamis 18 September 2014.

Robert Thornberg and Ebru Oğuz, Teachers' views on values education: A qualitative study in Sweden and Turkey,Mimar Sinan Fine Arts University, Istanbul, Turkey, Robert Thornberg and Ebru Oğuz, Teachers' views on values education: A qualitative study in Sweden and Turkey, 2013,

International Journal of

Educational Research, (59), 1, 49-56.http://dx.doi.org/10.1016/j.ijer.2 013.03.005 Copyright: Elsevier http://www.elsevier.com/ Postprint available at: Linköping University

Electronic Press

http://urn.kb.se/resolve?

urn=urn:nbn:se:liu:diva-91056.

Rodney H Clarken, Moral Intelligence in the Schools, Paper presented at the annual meeting of the Michigan Academy of Sciences, Arts and LettersWayne State University, Detroit, MI, March 20, 2009, School of Education, Northern Michigan University, Clarken, Moral Intelligence,

Shaleh, A.R. Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Stela Bunga Parmawati, Tesis Efektifitas Pendekatan Modifikasi Perilaku dengan Teknik Fading dan Token Economy dalam Meningkatkan KosaKata Siswa Tuna Rungu

Prelingual Profound” Depok:

Fakultas Psikologi program Studi Psikologi Profesi Peminatan Psikologi Pendidikan Pascasarjana Universitas Indonesia: 2012. dalam http;//www.googlecendikia.com. Diambil Kamis 13 November 2014. T. Sujihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: Refika Aditama, 2009.

Zuhairini, dkk, Metodik Khusus

Pendidikan Agama, Surabaya:

Referensi

Dokumen terkait

After showing the tendency and majority of learning styles on the two faculties, there are some suggestions the writer would make for the learners and the

Dari hasil analisis regresi dan korelasi linier diketahui bahwa kemampuan kinerja siswa berpengaruh positif terhadap hasil belajar kognitif siswa dan sebesar

Kontrak Pintar Syariah merupakan salah satu inovasi teknologi yang efisien dan berpotensi mengurus risiko Syariah dalam transaksi dan penawaran produk di

Pramila, model pasinaon snowball throwing kalihan media audio visual saged ngindhakaken proses kalihan kasil pasinaon kaprigelan maos endah sekar macapat

Aktifitas proses bisnis (lihat Gambar 2)dimulai dengan login oleh asisten dimana asisten bertanggung jawab atas manajemen data diantaranya mengupload modul, tugas serta

Selain itu juga di era sekarang untuk melamar pekerjaan ada beberapa instansi khususnya Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang memiliki syarat tidak diperbolehkan

Dalam hal ini pendidik khususnya guru pendidikan agama Islam memiliki strategi yang sangat penting dalam upaya memelihara toleransi antar umat beragama berbasis

Dalam Pemilu Kepala Daerah ada 3 (tiga) indikasi titik rawan yang perlu di cermati, yaitu: 1) Pada tahap proses pengusulan bakal calon pasangan Kepala Daerah dan Wakil