Krisdinar Sumadja
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 2
ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN DALAM PENGENDALIAN DEGRADASI MORFOLOGI SUNGAI CIPAMINGKIS
Oleh : Krisdinar Sumadja
ABSTRAK
Sungai Cipamingkis adalah salah satu Sungai yang terletak di Provinsi Jawa Barat dan melintas di wilayah administrasi Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Upaya optimalisasi pelestarian pemanfaatan Sungai Cipamingkis dilakukan melalui pembangunan check dam, bendung, talud dan lain-lain. Namun demikian beberapa bangunan di Sungai Cipamingkis mengalami penurunan fungsi, bahkan mengalami kerusakan berat. Kerusakan infrastruktur tersebut selain disebabkan oleh alam seperti curah hujan yang tinggi tetapi juga disebabkan oleh faktor kerusakan lingkungan. Kerusakan berbagai infrastruktur juga menunjukkan pengaruh aspek ekonomi yang memicu masyarakat untuk mengeksploitasi lingkungan demi memperoleh keuntungan. Terdapat kecenderungan bahwa aspek ekonomi lebih mendapat penekanan dibanding aspek lingkungan. Diperlukan strategi perancangan pengendalian degradasi morfologi Sungai Cipamingkis yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan-sosial-ekonomi secara seimbang-dinamis, dan memperhatikan pembangunan spesifik lokal, serta bersifat partisipatif
Pengelolaan lingkungan terbagi menjadi tiga aspek utama antara lain pengelolaan lingkungan biotik, abiotik, dan sosial budaya. Setiap unsur akan memberikan daya tarik dan daya dorong yang berbeda antara satu dengan lainnya terhadap kelestarian lingkungan di sekitar aliran Sungai Cipamingkis.
Penelitian yang dilakukan di Aliran Sungai Cipapimingkis pada bulan September s.d November 2011 ini mengungkap kondisi lingkungan dan sosial ekonomi yang dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam upaya melakukan pengendalian degradasi morfologi Sungai Cipamingkis.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Daerah aliran sungai (DAS) dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi tempat berlangsungnya
proses-proses biofisik hidrologis maupun kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang kompleks.
Proses-proses biofisik hidrologis DAS merupakan proses alami sebagai bagian dari suatu daur hidrologi atau
yang dikenal sebagai siklus air. Sedang kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat merupakan bentuk
intervensi manusia terhadap sistem alami DAS, seperti pengembangan lahan kawasan budidaya. Hal ini tidak
lepas dari semakin meningkatnya tuntutan atas sumberdaya alam (air, tanah, dan hutan) yang disebabkan
meningkatnya pertumbuhan penduduk yang membawa akibat pada perubahan kondisi tata air DAS.
Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu sistem bio-fisik lahan memiliki fungsi produksi, fungsi ekologi,
fungsi habitat dan , fungsi estetika. Fungsi produksi DAS tidak hanya berupa produk hasil budidaya lahan, akan
tetapi juga berupa air, suatu sumber daya mengalir dengan berbagai manfaatnya bagi manusia dan
lingkungannya. Pemanfaatan sumber daya air umumnya telah begitu meluas sejalan dengan perkembangan
pembangunan disekitar sumberdaya air.
Pemanfaatan sungai mencakup spektrum yang luas, mulai dari petani di pedesaan dan penduduk di
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 3
bagian hulu. Pemanfaatan yang semakin meluas baik dari jenis maupun lokasi tersebut menyimpan potensi
konflik antar pemanfaat air, apabila tidak ada mekanisme kompensasi konservasi jasa lingkungan yang jelas dan
diterima oleh berbagai pihak yang berkepentingan. DAS memikul beban yang sangat berat sejalan dengan
meningkatnya kepadatan penduduk di sekitar DAS dan meningkatnya pemanfaatan atau eksploitasi sumber daya
alam secara intensif sehingga kondisi DAS mengalami degradasi. Degradasi morfologi sungai perlu dicermati
mengingat sungai memiliki peran penting sebagai salah satu sumber daya alam pendukung kehidupan manusia.
Selain penurunan kualitas air, terjadi pula kecenderungan peningkatan bencana di sekitar DAS, seperti tanah
longsor, erosi dan sedimentasi.
Sungai Cipamingkis adalah salah satu Sungai yang terletak di Provinsi Jawa Barat dan melintas di
wilayah administrasi Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Upaya optimalisasi pelestarian pemanfaatan
Sungai Cipamingkis dilakukan melalui pembangunan check dam, bendung, talud dan lain-lain. Begitu pula
telah banyak bangunan jembatan yang melintas diatasnya . Namun demikian beberapa bangunan di Sungai
Cipamingkis terindikasi mengalami penurunan fungsi, bahkan mengalami kerusakan berat. Kerusakan bangunan
tersebut telah mempercepat degradasi morfologi Sungai Cipamingkis yang membahayakan ekosistem
disekitarnya. Beberapa indikasi degradasi morfologi Sungai Cipamingkis menurut Balai Besar Wiulayah Sungai
Citarum (2008) antara lain sebagai berikut :
1. Lapisan dasar sungai berupa tanah aluvial dapat dikatakan sudah tidak ada lagi batuan besar sebagai
peredam kecepatan aliran air yang sangat deras, sehingga batuan dasar yang terdiri dari pasir dan
kerakal dapat terdegradasi, sedangkan lapisan tebing sungai yang terdiri dari pasir hingga kerakal
mudah runtuh atau longsor.
2. Lapisan dasar tidak mampu menahan benturan akibat aliran dari drop structure yang terlalu tinggi, hal
ini nampak dengan munculnya cekungan yang cukup dalam sehingga lapisan dasar dapat terkuak,
hal ini dapat memicu adanya piping/rooping yang semakin kuat.
3. Dasar pondasi infrastruktur sungai tidak sepenuhnya berada pada lapisan batuan dasar dan masih
berada pada lapisan tanah alluvial berupa pasir hingga kerakal akibat adanya tekanan air yang besar
dapat menyebabkan terjadinya proses piping/rooping, lambat laun lapisan dasar pondasi terbawa
aliran air, dan pondasi bangunan menjadi menggantung, dimana bangunan pasangan batu akan
patah.
Eksploitasi lingkungan yang terjadi antara lain oleh pengambilan batu dan pasir di beberapa tempat aliran
Sungai Cipamingkis yang berdekatan dengan infrastuktur sungai mengakibatkan beberapa infrastruktur seperti
jembatan dan talud sungai runtuh. Kerusakan berbagai infrastruktur juga menunjukkan pengaruh aspek ekonomi
yang memicu masyarakat untuk mengeksploitasi lingkungan demi memperoleh keuntungan.
Oleh sebab itu diperlukan strategi pengendalian degradasi sungai yang memperhatikan aspek-aspek
lingkungan-sosial-ekonomi secara seimbang-dinamis, dan memperhatikan pembangunan spesifik lokal, serta
bersifat partisipatif. Pada saat ini, terjadi kecenderungan bahwa aspek ekonomi lebih mendapat penekanan
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 4
meliputi pola produksi dan konsumtif yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif terhadap sumberdaya alam
vegetasi, tanah, dan air. Pola pemanfaatan tersebut telah menurunkan daya dukung,fungsi lingkungan dan
karakteristik Daerah Aliran Sungai itu sendiri
Pengelolaan lingkungan secara umum bertujuan untuk memastikan lingkungan tetap lestari dan
mewujudkan keberlanjutan fungsional dari lingkungan tersebut. Pengelolaan lingkungan terbagi menjadi tiga
aspek utama antara lain pengelolaan lingkungan biotik, abiotik, dan sosial budaya. Setiap unsur akan
memberikan daya tarik dan daya dorong yang berbeda antara satu dengan lainnya.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari dilaksanakannya studi lingkungan, sosial ekonomi pada upaya pengendalian degradasi
morfologi Sungai Cipamingkis adalah melakukan penggalian (ekplorasi) informasi kondisi Abiotik, biotik dan
budaya. Hasil studi diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi
dalam upaya pengendalian degradasi morfologi Sungai Cipamingkis.
1.3. Kerangka Pendekatan
Pengelolaan Sungai Cipamingkis setidaknya melibatkan dua daerah otonom, yaitu Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Bekasi. Pengelolaan Sungai Cipamingkis menjadi perlu dicermati sejalan dengan terjadinya
degradasi morfologi sungai yang antara lain disebabkan pemanfaatan lahan dan sungai yang tidak terkendali.
Proses degradasi ini cenderung terus berlanjut karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang
dilakukan dari sektor-sektor yang berkepentingan di Sungai Cipamingkis. Kecenderungan untuk
mengkotakkotakan DAS ke dalam wilayah administratif yang terpisah satu sama lain, serta ke dalam wewenang
sektoral yang terpisah-pisah merupakan sebuah problematika dalam penataan ruang disekitar Sungai
Cipamingkis.
Sebenarnya perubahan UU No. 22 Tahun 1999 ke UU No. 32 Tahun 2004 merupakan perubahan yang
cukup substansial dalam pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah. Bila sejak tahun 1999
pemerintahan di daerah seolah mendapat kewenangan besar dalam pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan, maka UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan adanya urusan yang bersifat diurus bersama oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau disebut urusan concurrent. Oleh karena itu terjadi pengertian
desentralisasi yang berbeda dengan pengertian pada UU No. 22 Tahun 1999. Perubahan ini secara esensial
merupakan upaya penyeimbang wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Adanya redefinisi
dari pengertian desentralisasi ini membuka peluang adanya pengelolaan DAS secara terpadu yang dapat
mendukung keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Kerangka pendekatan studi ini didasarkan pada pemikiran bahwa terjadinya degradasi Sungai
Cipamingkis disebabkan antara lain oleh terganggunya hubungan timbal balik yang positif antara aspek
penyusun lingkungan hidup yaitu aspek bio-fisik (biotik dan abiotik) serta aspek sosial budaya masyarakat
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 5
Lingkungan hidup dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Salim, E. (1993). Salah
satu komponen dari ekosistem yang memiliki hubungan erat dengan manusia adalah sumberdaya alam.
Sumberdaya alam dapat dibagi menjadi 2 bagian menurut bahan penyusunnya yaitu sumberdaya mineral (air,
tanah, udara, jebakan bahan tambang, dan jebakan energi) dan sumberdaya hayati (masyarakat, hewan, dan
tumbuhan) (Tejoyuwono Notohadiningrat, 2006).
Upaya pengendalian degradasi sungai Cipamingkis bertujuan untuk kelestarian pemanfatan sungai bukan
hanya didasarkan pada kondisi fisik lingkungan sebagai dasar rekayasa sipil teknis tapi perlu pula didasarkan
pada kondisi sosial budaya masyarakat dan ekonomi. Rumusan strategi pengelolaan lingkungan sangat
diperlukan agar hubungan timbal balik positif diantara aspek penyusun lingkungan hidup mampu mendukung
keberlanjutan pemanfaatan Sungai Cipamingkis dan meminimalisir dampak negatifnya.
Upaya pengendalian degradasi morfologi untuk kelestarian pemanfaatan sungai hendaknya terkait
dengan keseimbangan antara tiga aspek, penyusun lingkungan hidup yaitu aspek abiotik, biotik, sosial erkonomi
dan budaya. Strategi perancangan kawasan yang memperhatikan hubungan timbal balik aspek-aspek
lingkungan hidup secara seimbang-dinamis, pembangunan spesifik lokal, serta bersifat partisipatif tersaji pada
Gambar 1.1
Gambar 1.1
Pengelolaan lingkungan untuk pelestarian pemanfaatan sungai
1.4. Metodologi Studi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey yaitu observasi langsung berupa survei
kerusakan lingkungan. Pengukuran dan pengambilan data berdasarkan batas satuan pemetaan satuan
geoekosistem di daerah studi yang berbasis pada satuan bentuk lahan. Selanjutnya dikorelasikan dengan data
sekunder wilayah studi maupun data dari instansi yang terkait.
Metode survey ini dimungkinkan untuk melakukan pengukuran yang lebih rinci dan cermat terhadap
berbagai aspek penyusun lingkungan hidup. Studi ini terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama studi kasus
sebagai ilustrasi keterkaitan permasalahan DAS dengan kondisi masyarakat (social, ekonomi dan budaya) yang
bertinggal di sekitar Sungai Cipamingkis. Bagian kedua merupakan merupakan tinjauan permasalahan DAS
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 6
1.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Survey sosio- ekonomi dilakukan antara lain melalui pengumpulan data primer dari responden dan data
sekunder dari instansi dan literatur terkait. Pengumpulan data dan informasi guna memperoleh gambaran
tentang kondisi sosial, ekonomi dan budaya dilakukan dengan metode gabungan beberapa teknik pengumpulan
data baik primer maupun sekunder. Teknik tersebut meliputi studi pustaka, pengamatan (observasi) dan Rapid
Rural Appraisal (RRA).
Instrumen pengumpulan data pada teknik RRA adalah pedoman wawancara mendalam (indepth -
interview guide). Pengumpulan data primer diperoleh dengan jalan wawancara langsung dengan penduduk dan
berpedoman pada daftar pertanyaan (kuisioner) terstruktur. Teknik pengumpulan kondisi biofisik (abiotik dan
biotik) dilakukan melalui observasi lapangan dan data sekunder
1.4.2 Teknik Penentuan responden
Penentuan responden pada metode RRA lebih ditekankan pada pada pemilihan sumber informasi
(informan) yang tepat dibandingkan dengan pada penekanan jumlah responden, Unit terkecil dari kerangka
sampling survey adalah daftar rumah tangga/kepala keluarga dalam setiap desa terpilih. Penentuan rumah
tangga terpilih dilakukan dengan cara acak sistematik (systematic random sampling.). Selain itu responden
ditentukan dengan mengacu pada pemilihan informan kunci khususnya pada pengumpulan data informasi yang
bersifat deskripsi seperti persepsi, budaya, adat istiadat, norma sosial. Informan kunci didasarkan pada
Posisi informan dalam masyarakat, baik yang merupakan tokoh pimpinan formal maupun informal,
Pengetahuan informan tentang permasalahan yang ada, dan
Informasi masyarakat tentang informan kunci yang terpilih sebagai responden/nara sumber.
Daftar Kartu Keluarga (KK) yang ada di setiap desa terpilih dijadikan sebagai kerangka sampling terkecil
dalam proses penentuan responden terpilih yang akan diwawancarai. Responden yang akan diwawancarai
adalah anggota keluarga/rumah tangga terpilih yang berusia minimal 17 tahun atau sudah menikah di luar
pembantu dan/atau orang yang kost. Proses penentuan responden untuk diwawancarai dalam setiap rumah
tangga (household) terpilih dilakukan dengan bantuan metoda Kish Grid. Sehingga komposisi responden laki-laki
dan perempuan yang akan diwawancarai melalui survai ini ditentukan secara berimbang. Jumlah responden
ditetapkan 300 orang yang tersebar di 17 desa yang teraliri sungai Cipamingkis.
1.4.3 Komponen Lingkungan dan Sosial Ekonomi
Komponen lingkungan sosial ekonomi yang dikaji secara mendalam meliputi komponen-komponen
lingkungan sosial, ekonomi, kelembagaan, budaya serta persepsi masyarakat yang diperkirakan akan terkena
dampak penting terhadap kelestarian lingkungan di sekitar Sungai Cipamingkis.
a. Komponen Lingkungan diindikasi oleh kondisi abiotik yang terdiri atas tanah, air dan udara. Sedangkan
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 7
b. Kondisi sosial diindikasikan oleh struktur Kependudukan yang meliputi jumlah kelamin, umur, pendidikan,
maupun pekerjaan, tingkat ketergantungan penduduk (dependency Ratio) ndan lain-lain
c. Kondisi Ekonomi diindikasikan oleh struktur ekonomi wilayah, kesempatan berusaha, pola
kepemilikan/penguasaan sumberdaya alam, pola pemanfaatan sumberdaya alam, prasarana dan sarana
perekonomian, tingkat pendapatan, dan mata pencaharian, Tekanan Penduduk, Mand Land Rasio, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), Pemerataan pendapatan.
d. Sosial Budaya meliputi tatanan kelembagaan masyarakat, hubungan antar daerah/lokasi dan antar
golongan masyarakat, adat istiadat masyarakat, budaya dan suku serta tradisi dan budaya etik.
e. Persepsi dan aspirasi masyarakat terhadap pengetahuan, manfaat/dampak, kelestarian, keterlibatan pada
perencanaan, pelaksanaan monitoring pengendalian degradasi morfologi Sungai Cipamingkis serta
pemanfaatan Sungai Cipamingkis
1.4.4 Analisis Data
Secara prinsip data sosial ekonomi budaya di analisis dengan dua metode analisis yaitu analisis
kuantitatif dan analisis kualitatif. Metode analisis kuantitatif umumnya dilakukan melalui analisis tabulasi silang
(cross tabulation) yang disajikan dalam bentuk tabel maupun grafik. Sedangkan analisis kualitatif adalah analisis
yang menggambarkan secara rinci dan utuh deskripsi atau peristiwa, proses, fenomena, atau
hubungan-hubungan sosial yang dilandasi oleh persepsi, sikap, etika, sistem nilai dan norma yang dianut oleh suatu
komunitas/masyarakat.
1.4.5 Lokasi Studi
Lokasi studi di wilayah sepanjang aliran Sungai Cipamingkis yang termasuk pada wilayah administrasi
Kabupaten Bogor (Kecamatan Jonggol, Cariu) dan Kabupaten Bekasi (Kecamatan Ciabarusah, Serang Baru,
Cikarang Pusat, Bojongh Manggu . Studi dilakukan pada Bulan Juni sampai dengan Bulan September 2011
II. KONDISI UMUM SUNGAI CIPAMINGKIS
Sungai Cipamingkis terletak di Kabupaten Bogor dan Bekasi. Sungai ini memiliki panjang kurang lebih 59.31 Km
dengan luas DAS ±287,55 Km2. Sungai ini mengalir dari arah selatan (Desa Warga Jaya, Kec. Jonggol, Kab.
Bogor) menuju utara dan bermuara di Sungai Cibeet (Desa Pasirranji, Kec. Cibarusah, Kab. Bekasi). Sungai
Cipamingkis ini mempunyai banyak anak sungai antara lain S. Cipanyairan, S. Cilodong, S. Cibuntu, S. Cihowe,
S. Citapen, S Ciirateun, S. Cihiyeuna, S. Cihampelas, S. Citiis, S. Cilandak, S. Cisewu, S. Cisurian, S. Cisore, S.
Ciherang, dll. Panjang sungai keseluruhan (S. Cipamingkis dan ana-anak sungainya) ± 541,88 km, dengan
kerapatan sungai 1,88. Sungai ini banyak dimanfaatkan oleh penduduk antara lain untuk irigasi dan
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 8
2.1 Topografi
Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 (Lembar Pangkalan, Jonggol, Dayeuh kaum dan
Cipanas) S. Cipamingkis mengalir dari ketinggian ±900 m dpl pada bagian selatan hingga ±20 m dpl pada
bagian utara. Pada bagian hilirnya hingga sekitar Jembatan Cibarusah kemiringan sungainya relativ datar
dengan elevasi ± 20 m s/d ± 50 m dpl. Dari Jembatan Cibarusah hingga sekitar Bendung Cipamingkis
kemiringan sungainya agak sedikit terjal dengan elevasi ± 50 m s/d ±105 m dpl. Selebihnya, di atas Bendung
Cipamingkis hingga ke hulu kemiringan sungainya relative terjal dengan elevasi ± 105 m s/d ±900 m dpl.
Secara topografi dari bagian tengah s/d hilir DAS Cipamingkis (Jembatan Cibarusah hingga muara
Cipamingkis) merupakan daerah dataran landai dan atau bergelombang lemah. Dari pertemuan S. Cisurian
dengan S. Cipamingkis hingga Jembatan Cibarusah merupakan daerah perbukitan berlereng landai. Dari
pertemuan S. Cidurian dengan S. Cipamingkis ke arah hulu merupakan daerah perbukitan agak terjal hingga
terjal.
2.2 Geoteknologi
Sungai Cipamingkis berhulu di bagian barat laut Lembar Cianjur, menoreh kearah timur laut dan bermuara
ke Sungai Cibeet di Lembar Karawang. Sungai ini merupakan Sub DAS Sungai Cibeet yang merupakan bagian
DAS Sungai Citarum.
Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Cianjur, Jawa (Skala 1 : 100.000, oleh Sudjatmiko, 1972) dan
Peta Geologi Lembar Karawang, Jawa (Skala 1 : 100.000, oleh A. Achdan dan D. Sudana, 1992) Sungai
Cipamingkis ini dari hulu hingga daerah Ciledug, menoreh Satuan Batuan Volkanik G. Limo (Qyk), Formasi
Cantayan (Mttb), Formasi Jatiluhur anggota Napal dan Batupasir Kwarsa (Mdm), dan Formasi Subang Anggota
Batulempung (Msc/Tms). Ruas Ciledug hingga muara ditempati oleh Endapan Sungai Muda (Qa).
Secara fisiografi daerah studi termasuk ke dalam Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949) yang memanjang
dari Barat ke Timur melalui Bogor, Purwakarta, dan menerus hingga ke Bumiayu di Jawa Tengah, dengan lebar
zona mencapai 40 km. Sedimen yang berumur Neosen mengalami perlipatan kuat dan membentuk perbukitan
antiklinorium. Sebagian inti antiklinorium pada zona ini terdiri dari perlapisan batuan yg berumur Miosen,
sedangkan sayapnya ditempati oleh satuan batuan yang berumur Plio-Plistosen. Beberapa intrusi yang terbentuk
berupa boss dan neck, membentuk bukit-bukit terisolir.
Ruas Cibarusah kearah hilir hingga di pertemuan dengan S. Cibeet, ditempati oleh Lempung dan
Lempung Pasiran [Ac(cs) yang merupakan endapan limpah banjir dan pantai, dengan ketebalan 2 sampai 15 m
dan makin menebal kearah hilir dan/atau utara. Satuan ini berwarna abu-abu kehijauan dan abu-abu kehitaman,
lunak sampai teguh, plastisitas rendah sampai tinggi, mempunyai permiabilitas rendah sampai kedap air, daya
dukung yang diijinkan rendah sampai sedang, mudah digali secara manual, serta muka air tanah bebas dangkal.
Ruas Cibarusah kearah hulu ditempati oleh Batulempung dan Napal (CS,MR), satuan ini merupakan
sedimen Tersier yang termasuk kedalam Formasi Subang dan Formasi Jatiluhur. Batulempung berwarna
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 9
60 ton/m2, agak sulit digali secara manual. Napal berwarna abu-abu kehitaman, berlapis baik, kekerasan sedang, daya dukung batuan berkisar antara 40 – 80 kg/m2, sulit digali secara manual. Pada satuan ini air tanah bebas langka, stabilitas lereng rendah, potensi longsor tinggi.
2.3 Struktur Geologi
Struktur sesar yang terdapat dihulu bendung Cipamingkis, berupa sesar normal yang berarah Barat –
Timur, menempati Formasi Jatiluhur Anggota Napal dan Batupasir Kwarsa (Mdm), dan juga merupakan kontak
dengan Formasi Subang Anggota Batulempung (Msc/Tms). Struktur lipatan yang juga terdapat dihulu bendung Cipamingkis, berupa antiklin dengan sumbu berarah Barat – Timur dan menunjam kearah Timur. Antiklin ini juga menempati Formasi Jatiluhur Anggota Napal dan Batupasir Kwarsa (Mdm). Sesar dan antiklin tersebut diatas
merupakan struktur utama didaerah studi, kedua struktur ini kemudian dipotong oleh beberapa sesar lebih muda, yang juga berjenis sesar normal yang berarah Baratlaut – Tenggara.
3.4 Geomorfologi
Geomorfologi daerah studi dapat dibagi menjadi 3 satuan morfologi yaitu:
a. Satuan Morfologi Perbukitan Berlereng Agak Curam
Satuan morfologi ini membentang di bagian selatan daerah studi, yaitu mulai dari sekitar pertemuan S. Cisurian
dengan S. Cipamingkis kearah hulu, dengan ketinggian berkisar antara 250 m dpl hingga lebih dari 1.000 m dpl,
dan ditempati oleh : satuan Batuan Vilkanik G. Limo (Qyk), Formasi Cantayan (Mttb), Formasi Jatiluhur anggota
Napal dan Batupasir Kwarsa (Mdm), serta Formasi Subang anggota Batulempung (Msc/Tms). Bagian terbesar
dari anak sungai didaerah ini membentuk pola aliran yg sejajar.
b. Satuan Morfologi Perbukitan Berlereng Landai
Satuan morfologi ini membentang dari pertemuan S. Cisurian dgn S. Cipamingkis kearah hilir hingga di sekitar
jembatan Cibarusah , dengan ketinggian berkisar antara 100 m dpl hingga 300 m dpl, dan ditempati oleh:
Formasi Subang anggota Batulempung (Tms), Formasi Cihoe (Tpc), Satuan Batupasir Konglomeratan (Qoa),
Satuan Batupasir Tufan dan Konglomeratan (Qav), serta Endapan Sungai Muda (Qa). Pola aliran sungai pada
daerah ini cenderung membentuk pola aliran menyudut tanggung.
c. Satuan Morfologi Bergelombang Lemah
satuan morfologi ini membentang dari sekitar jembatan Cibarusah kearah hilir hingga disekitar pertemuan S.
Cipamingkis dengan S. Cibeet, dengan ketinggian berkisar antara 20 m dpl hingga kurang dari 100 m dpl.
III. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
3.1. Kondisi Abiotik
3.1.1 Tanah
Berdasarkan pengamatan lapangan, kajian peta rupa bumi serta hasil analisis foto udara, dapat dikatakan
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 10
pertanian. Penggunaan lahan berupa hutan terdapat di bagian hulu DAS Cipamingkis. Pemukiman banyak
terdapat di sepanjang prasarana transporatasi jalan yang ada di DAS Cipamingkis terutama di bagian hilir DAS.
Kondisi tutupan lahan pada DAS dapat dikatakan banyak yang terbuka atau kurang adanya pohon
sebagai pelindung lahan, sehingga mempunyai kemungkinan terjadinya erosi lahan sangat besar dan juga
memicu terjadinya banjir di waktu hujan dan terjadinya kekeringan pada waktu musim kemarau. Hal tersebut
dapat dibuktikan dengan kondisi yang terjadi di lapangan, pada waktu hujan aliran yang terjadi di Sungai
Cipamingkis membawa sedimen. Hal ini nampak dari warnanya yang coklat pekat, apabila terjadi hujan di bagian
hulu aliran sungai dengan cepat merambat ke hilir dengan debit yang besar, sedangkan apabila tidak terjadi
hujan alirannya kecil bahkan kering untuk di bagian hilir dari pada bendung Cipamingkis.
Jenis tanah diklasifikasikan dalam tujuh kelompok. Kelompok yang paling layak untuk pengembangan
pembangunan memiliki luas sekitar 16.682,25 Ha (81,25%), yang terdiri dari jenis asosiasi podsolik kuning dan
hidromorf kelabu; komplek latosol merah kekuningan, latosol coklat, dan podsolik merah; aluvial kelabu tua;
asosiasi glei humus dan alluvial kelabu; dan asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit.
Klasifikasi cukup layak seluas 3.745,04 Ha (18,24%), terdiri dari jenis tanah asosiasi alluvial kelabu dan alluvial
coklat kekelabuan. Sisanya sekitar 104,71 Ha (0,51%) dari jenis podsolik kuning merupakan areal yang kurang
layak untuk pembangunan.
Ditinjau dari tekstur tanahnya, sebagian besar wilayah ini memiliki tekstur tanah halus sekitar 15.555,04
Ha (75,76%) dan bertekstur sedang sekitar 4.755,21 Ha (23,16%) berada di sebelah utara dan sebelah selatan
yakni, sedangkan sisanya sekitar 221,75 Ha atau 1,08% bertekstur kasar berada di sebelah barat. Tingkat
kepekaan tanah terhadap erosi cukup baik/stabil. Tingkat kepekaan ini diklasifikasikan tiga bagian yakni stabil
(tidak peka), peka, dan sangat peka. Sekitar 17.220,19 Ha (83,87%) dari luas lahan merupakan lahan stabil yang
layak untuk dikembangkan untuk berbagai macam kegiatan perkotaan. Seluas 3.127,02 Ha (15,23%) dari
lahanya memiliki kondisi peka dan masih cukup layak untuk dibangun. Sedangkan di bagian selatan, lahannya
sangat peka terhadap erosi yakni sekitar 184,79 Ha (0,9%), kurang layak untuk dikembangkan.
Erosi tanah merupakan faktor utama penyebab ketidak berlanjutan kegiatan usaha tani di wilayah hulu
sungai. Penggunaan lahan yang intensif tanpa ada upaya konservasi di wilayah hulu sungai khususnya untuk
pertanian telah menyebabkan terjadinya peningkatan erosi yang sangat nyata dari tahun ke tahun. Kondisi ini
menyebabkan kerusakan sumber daya lahan dan lingkungan di wilayah hilir sungai, dan mengganggu beberapa
kegiatan usaha ekonomi produktif di wilayah hilir akibat adanya pengendapan sedimen, kerusakan sarana irigasi,
dan bahaya banjir. Data tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sub DAS Cipamingkis berdasarkan hasil penelitian adalah
TBE Ringan mencapai 85,59%, TBE Sedang 12,93% dan TBE Berat 1,54%. Namun demikian terdapat
kecenderungan TBE Berat semakin meningkat. Dalam lima tahun terakhir.
3.1.2 Air
Ketersediaan air akan sangat dipengaruhi siklus hidrologi yang terkait dengan iklim dan curah hujan.
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 11
penghujan. Pada bulan Juni sampai September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung
uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai Maret arus angin
banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim penghujan.
Berdasarkan data curah hujan dari Sta. Hujan Bendung Cipamingkis, Sta. Cibarusah, Sta. Setu, Sta Tegalwaru
dan Sta. Pangkalan, besarnya curah hujan rerata tahunan daerah studi adalah 1.984 mm. Sedangkan curah
hujan rata-rata bulanannya antara 162,27 mm ~ 335,55 mm.
Pada cakupan Kabupaten Bekasi, kondisi hidrologi Kabupaten. Bekasi dikelompokkan menjadi tiga
kondisi yaitu (1) air tanah yang terintrusi air laut; (2) air tanah dalam; dan (3) air tanah dangkal. Sekitar 19.745 Ha
(15,5%) dari luas lahan di Kabupaten bekasi memiliki air tanah yang terintrusi air laut, terutama pada Kecamatan
Muaragembong dan Tarumajaya. Luas wilayah yang memiliki air tanah dalam seluas 25.605 Ha (20,1%) dan luas
wilayah yang memiliki air tanah dangkal seluas 82.038 Ha (64,4 %). Adanya beberapa sungai yang melewati
wilayah Kabupaten Bekasi merupakan potensi sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sub DAS Cipamingkis dipenuhi oleh 2 (dua) sumber, yaitu air tanah dan air permukaan. Air tanah
dimanfaatkan untuk pemukiman dan sebagian industri. Kondisi air tanah sebagian besar merupakan air tanah
dangkal yang berada pada kedalaman 5 – 25 meter dari permukaan tanah, sedangkan air tanah dalam pada
umumnya didapat pada kedalaman antara 90 – 200 meter. Air permukaan, seperti sungai, dimanfaatkan oleh
masyarakt untuk kebutuhan sehari-hari.
3.1.3 Udara
Pada lokasi studi, rata-rata suhu udara maksimum berkisar 34,1° C pada siang hari dan suhu udara
minimum berkisar 23,5° C pada malam hari. Sedangkan kelembaban udara maksimum rata-rata adalah sebesar
88,0% dan rata-rata minimum sebesar 71,8%. Sejalan dengan perkembangan kawasan industry dan kendaraan
bermotor kualitas udara di kawasan Sub DAS Cipamingkis sudah mulai tercemar. Polusi udara bukan hanya
dilihat dari kualitas udara tetapi juga dari kebisingan.
Semakin bertambahnya kendaraan bermotor terutama kendaraan truk pengangkut batu pasir serta
aktivitas industri menyebabkan tingkat polusi udara semakin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Dinas
Kesehatan Kabupaten Bekasi (2011) bahwa dampak polusi udara tersebut adalah semakin meningkatnya
keluhan penyakit inspeksi saluran pernafasan yang mencapai 500 pasien per hari.
Hasil penelitian Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi (2011) bahwa polusi debu akibat asap dari knalpot
kendaraan dan hasil pembakaran industri telah mencapai tiga kali lipat di atas ambang baku mutu, yaitu
mencapai 945,20 12 mikrogram per nanometer kubik (ug/Nm3). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
41 tahun 1999, tentang Pengendalian Pencemaran Udara, batas normal kualitas debu dalam udara maksimum
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 12
3.2 Kondisi Biotik
3.2.1 Tanaman
Sumberdaya alam (SDA) berkaitan erat dengan aspek biotik wilayah. Secara partisipatif kesesuaian
aspek biotik wilayah dengan sumberdaya alam diindikasikan oleh pemanfaatan SDA oleh masyarakat untuk
berbagai kepentingan. Upaya pengendalian degradasi Sungai Cipamingkis hendaknya mengacu pula pada
kondisi eksisting pemanfaatannya oleh masyarakat, sehingga sejauh mungkin penerapan strategi pengendalian
degradasi tidak bertentangan dengan aspirasi masyarakat dan didukung oleh kemampuan geofisik Sungai
Cipamingkis. Kesesuaian antara daya dukung dengan aspirasi masyarakat dalam pemanfaatannya akan
memberikan kelestarian jasa lingkungan Sungai Cipamingkis dan mampu meminimalisir dampak negative atas
pemanfaatannya tersebut.
Pertanian, perkebunan dan kehutanan adalah industri biologis yang sangat bergantung pada ketersediaan
lahan sebagai media produksinya. Oleh sebab itu gambaran komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan
yang diusahakan masyarakat merupakan gambaran beban sumberdaya untuk mendukungnya. Selain
ketersediaan lahan, ketersediaan air dan pengelolaannya merupakan bagian potensi sumberdaya alam yang
harus tersedia. Ketersediaan air sangat bergantung pada sumber air yang diperoleh dari curah hujan, sungai
dan sumber lainnya serta pengelolaannya. Pemanfaatan yang berlebihan atas sumberdaya lahan dan air yang
tidak efisien pada gilirannya akan berdampak pada percepatan degradasi sumberdaya air yang bersumber dari
aliran sungai.
3.2.1.1 Tanaman Pangan
Komoditas pertanian Pangan yang banyak diusahakan oleh petani dilokasi studi diuraikan sebagai berikut :
1. Padi
Bahan pangan sebagai sumber karbohidrat hingga saat ini masih didominasi oleh beras, walaupun
beberapa komoditas pangan sumber karbohidrat lain seperti jagung dan ubi-ubian dikonsumsi pula oleh
masyarakat, namun masih dikonsumsi sebagai hidangan pelengkap pada saat-saat tertentu saja.. Jagung
dan ubi-ubian (kentang) belum mampu mensubtitusi beras sebagai makanan pokok. Oleh sebab itu komoditas
pertanian yang paling panyak diusahakan di lokasi studi adalah padi. Hampir disepanjang aliran Sungai
Cipamingkis terdapat sawah untuk tanaman padi. Dalam satu tahun dapat ditanami dua kali musim tanam.
Produktivitas lahan untuk menghasilkan padi antara 5 s.d 6 ton per ha. Sebagian besar sawah beririgasi
teknis.
2. Jagung
Selain padi, jagung, merupakan alternatif komoditas yang diusahakan petani di lokasi studi. Upaya ke
arah peningkatan produktivitas dan efisiensi komoditas sumber karbohidrat utama selain beras terus dlakukan
dengan berbagai program teknologi budidaya dan penyediaan benih unggul, sehingga di masa yang akan datang
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 13
pokok. Apabila dilihat dari luas panen dan lahan yang diusahakan maka tampaknya jagung bukan merupakan
komoditas primadona bagi petani di lokasi studi. Dalam hal ini tingkat harga yang tidak menarik bagi petani untuk
secara terus menerus melaksanakan kegiatan usahatani jagung.
3. Kacang-kacangan
Kedelei merupakan komoditas pangan yang sangat penting bagi kebutuhan protein nabati. Oleh sebab itu walaupun
tidak sebanyak dan seluas tanaman jagung dan padi, banyak pula petani di lokasi studi menanam kedelei setelah
menanam padi sebagai selingan. Oleh sebab itu produksi kedelai masih relatif rendah dibandingkan dengan
komoditas padi. Hal ini disebabkan oleh lahan yang ditanam petani masih sangat kecil dibandingkan kebutuhan
kedele. Kondisi ini menggambarkan bahwa kebutuhan kedelai di lokasi studi masih mengandalkan pasokan dari
daerah lain. Hal yang sama dengan komoditas kacang panjang dan kacang hijau walaupun ada petani yang
menanam namun masih belum berarti produksinya dibandingkan dengan lahan yang tersedia dan permintaannya.
4. Komoditas Sayuran dan Buah-buahan
Komoditas sayuran yang diusahakan antara lain adalah cabe, ketimun dan kangkung. Produksi sayuran
masih sangat rendah. Oleh sebab itu kebutuhan sayuran di lokasi studi masih mengandalkan pasokan dari luar.
Dibandingkan dengan komoditas sayuran, Komoditas buah-buahan dilihat dari luas areal tanam masih sangat
rendah. Namun demikian komoditas buah-buahan mempunyai potensi untuk dikembangkan di lokasi studi
khususnya untuk tujuan konservasi tanah. Tanaman buah-buahan yang diusahakan antara lain pisang, mangga,
melon dan semangka.
3.2.1.2 Tanaman Perkebunan
Dilihat dari jenis dan luasan areal tanamnya, komoditas perkebunan di lokasi studi masih sangat kecil. Padahal
dilihat dari potensi lahannya sangat memungkinkan untuk dikembangkan lebih luas. Tanaman perkebunan yang
ditanam untuk tujuan usahatani oleh petani masih terbatas pada tanaman kunyit, dan kencur. Sedangkan
tanaman keras (tahunan) masih belum banyak dilakukan untuk tujuan usaha.
3.2.1.3 Tanaman Kehutanan
Tanaman kehutanan yang banyak diusahakan adalah albasia. Tanaman ini diusahakan karena menurut
petani saat ini banyak permintaan kayu albasia. Tanaman kehutanan lain yang umumnya ditanam adalah jati,
mahoni, dan lain sebagainya.
Hama dan Gulma merupakan suatu hama bagi tanaman pertanian. Hama biasanya adalah serangga
seperti walang dan juga hama perusak tanaman persawahan yaitu tikus. Hama ini menyebabkan produksi
pertanian yang menurun. Semua kasus hama ini terjadi di seluruh pertanian Sub DAS Cipamingkis
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 14
3.2. Fauna
Selain hewan peliharaan yang berupa ayam, banyak penduduk yang memelihara sapi dan kambing
sebagai investasi. Kondisi fisiografis Sub DAS Cipamingkis yang sebagian merupakan daerah lereng,
mengakibatkan belum banyaknya pemanfaatan lahan secara intensif. Kondisi ini memungkinkan
berkembangnya binatang liar. Menurut masyarakat yang berada di kecamatan Jonggol dan Cariu masih sering
ditemukan musang dan babi hutan walaupun tidak terlalu banyak populasinya. Hewan liar yang masih banyak
populasinya diantaranya adalah ular dan burung . Kedua hewan tersebut tidak mendapatkan musuh alami yang
begitu berarti dalam kehidupannya didaerah tersebut.
3.3. Sosial Ekonomi
Data dan informasi kondisi sosial ekonomi dilakukan melalui wawancara dengan responden terhadap
berbagai indikator yang telah dipersiapkan secara terstruktur. Teknik pengambilan responden yang telah
dirancang sebelumnya diharapkan dapat mewakili populasi yang ada di lokasi studi. Pada awalnya penyebaran
kuisioner dilakukan pada 300 responden. Namun setelah dilakukan seleksi berdasarkan pertimbangan validitas
dan kelengkapan informasi, sebanyak 52 responden tidak memenuhi syarat analisis. Dengan demikian hanya
248 responden yang dianggap layak untuk dilanjutkan pada tahap analisis data.
3.3.1 Karakteristik responden
Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan/pemahaman dan akses informasi adalah karakteristik
responden. Jenis kelamin responden mempunyai komposis yang seimbang yaitu 48 persen perempuan dan 52
persen laki-laki. Keseimbangan jenis kelamin responden diharapkan akan memberikan gambaran yang lebih
kongrit mengenai pengetahuan, persepsi dan masyarakat terhadap keberadan Sungai Cipamingkis.
Sebagian responden berumur antara 36 sampai 45 tahun dan 26 sampai 35 tahun. Komposisi umur
tersebut menunjukkan pula bahwa sebagian besar responden termasuk pada usia produktif, sehingga akan
mempunyai kepentingan cukup tinggi terhadap lingkungan yang ada disekitar tempat tinggalnya.
Dilihat dari status perkawinannya, sebagian besar responden berstatus telah menikah. Hal ini disebabkan
karena yang menjadi sasaran responden pada awalnya adalah kepala keluarga. Namun demikian sebagian kecil
responden masih bersatus belum menikah atau tidak menikah. Responden dengan status menikah
menggambarkan bahwa responden mempunyai kewenangan mewakili keluarga dalam merespon berbagai
kebijakan pengendalian degradasi Sungai. Status perkawinan ini menggambarkan pula tingkat kedewasaan
dalam mengambil sebuah keputusan selain umur.
Tanggungan keluarga diharapkan dapat menggambarkan motivasi seseorang dalam merespon
rangsangan (stimulus) yang menyangkut kehidupan diri dan keluarganya. Semakin tinggi tangungan keluarga
maka semakin tinggi pula motivasi untuk merespon stimulus. Khususnya stimulus yang terkait dengan
keberadaan Sungai Cipamingkis. Responden yang mempunyai tanggungan keluarga 4-6 orang lebih banyak
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 15
tinggalnya, dan memonitor berbagai kebijakan yang menyangkut dengan ruang dan tempat tinggalnya. Kondisi
ini menggambarkan pula bahwa motivasi responden dalam merespon kebijakan pengendalian degradasi sungai
akan lebih baik dan rasional sesuai dengan kepentingannya.
Tingkat pendidikan adalah indikator pengalaman belajar yang dapat merubah perilaku seseorang. Secara
umum dinyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan maka semakin baik respon sesorang terhadap berbagai
rangsangan termasuk pula dengan berbagai kebijakan pengendalian degradasi sungai Cipamingkis. sebagian
besar responden berpendidikan Sekolah Dasar (58 persen) dan hanya sebagian kecil saja yang pernah
memasuki perguruan tinggi. Hal ini menggambarkan kondisi yang sebenarnya yang terjadi di lokasi studi.
Kawasan di sepanjang Sungai Cipamingkis merupakan kawasan yang bersuasana desa.
Pendidikan yang relatif tidak telalu tinggi maka sulit mengharapkan masyarakat dapat mengerti secara
cepat subtansi berbagai aturan pemanfaatan ruang yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Konsekuensi dari
tingkat pendidikan yang relatif rendah ini adalah penyampaian pesan kebijakan pengendalian pemanfaatan
Sungai Cipamingkis harus dilakukan lebih praktis dan intensif.
Sebagian besar responden (30%). mengaku tidak bekerja secara tetap yaitu pekerjaan sebagai pekerja
lepas yang tidak terikat, seperti buruh bangunan, ojeg, dan pekerjaan lepas lain. Hanya sedikit repsonden yang
saat ini bekerja sebagai Pengawai Negeri Sipil atau pensiunan negeri sipil dan pensiunan tentara/polisi.
Walaupun lokasi studi terhampar lahan pertanian namun hanya 29% saja yang mengaku sebagai petani.
Responden menganggap sector pertanian tidak dapat memenuhi kebutuhan secara kontinyu. Oleh sebab itu
menjadi petani dilakukan sebagai matapencaharian sampingan.
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan respon terhadap berbagai kebijakan.
Semakin tinggi pendapatan maka semakin mampu memenuhi kebutuhan minimal, sehingga semakin peduli pula
pada berbagai perubahan yang terdapat di sekitar keluarganya. Secara umum dinyatakan bahwa semakin tinggi
pendapatan maka semakin tinggi pula respon terhadap perubahan kebijakan.
Sebagian besar responden ternyata berpendapatan antara 500 s.d 1 juta per bulan, dan hanya sebagian
kecil yang berpendapatan di bawah Rp 500 ribu per bulan. Dengan demikan dilihat dari pendapatannya,
responden diaharapkan dapat merespon baik atas berbagai kebijakan berdasarkan pertimbangannya
masing-masing. Komposisi responden berdasarkan pendapatan per bulan disajikan pada Gambar 4.7
Pada umumnya responden telah bertempat tinggal di lokasi studi lebih dari 25 tahun. Jangka waktu
tinggal merupakan salah satu pertimbangan untuk menentukan respon terhadap berbagai perubahan yang
terjadi. Semakin lama tinggal maka semakn mempunyai kepentingan terhadap kebijakan yang diterapkan di
sekitar tempat tinggalnya. Dengan masyarakat yang sebagian besar mempunyai jangka waktu tinggal lebih dari
25 tahun maka akan semakin mempunyai kepentingan dan mengetahui proses dan sejarah perubahan yang
terjadi di lingkungannya sehingga akan memberikan respon terhadap berbagai kebjakan berdasarkan
pengalamannya tinggal di kawasan tersebut.
Bantaran sungai di lokasi perkotaan banyak yang menjadi lokasi permukiman yang tentunya menambah
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 16
memanfaatkan adanya sungai sebagai fasilitas keseharian mereka bertinggal. Permukiman padat di sepanjang
sungai cenderung mengakibatkan terhambatnya aliran sungai karena banyaknya sampah domestik yang dibuang
ke badan sungai sehingga mengakibatkan berkurangnya daya tampung sungai untuk mengalirkan air yang
datang akibat curah hujan yang tinggi di daerah hulu. Oleh sebab itu karakteristik kepemilikan asset masyarakat
di sekitar sungai merupakan indikasi percepatan degradasi sungai apabila pemiliknya tidak peduli terhadap
kelestarian manfaat sungai.
Kepemilikan asset juga merupakan salah satu pertimbangan dalam merespon kebijakan. Semakin tinggi
asset yang dimiliki maka semakin mempunyai kepentingan terhadap kebijakan yang terkait dengan
lingkungannya. Sebagian besar responden (71 persen) mempunyai asset rumah beserta lahan pekarangannya.
Dengan demikan dilihat dari pemilikan asset, semestinya masyarakat rmempunyai kepentingan untuk memahami
dan merespon berbagai kebijakan pengendalian degradasi Sungai Cipamingkis. Walaupun kawasan di
sepanjang aliran Sungai Cipamingkis mempunyai suasana pedesaan, kepemilikan asset lahan pertanian justru
sangat rendah. Dengan demikian petani yang berada di kawasan lokasi studi sebagan besar adalah petani
penggarap yang tidak memiliki lahan atau buruh tani.
3.3.1 Pengetahuan terhadap pengendalian degradasi sungai
Aspek pertama perilaku adalah pengetahuan masyarakat terhadap berbagai aspek terkait dengan
pengendalian degradasi morfologi sungai. Pada umumnya seseorang akan bersikap sesuai dengan
pengetahuannya
1. Pengetahuan terhadap Rencana Pelaksanaan dan monitoring pengendalian degradasi morfologi Sungai Cipamingkis
Sebagian besar (63%) masyarakat ternyata mengetahui tentang setiap rencana kegiatan pemeliharaan
kelestarian sungai Cipamingkis seperti rencana pembuatan cek dam, jembatan, talud dan lain-lain. Hanya sebagian kecil (5–8%) saja dari masyarakat yang mengetahui waktu dan proses monitoring/evaluasi setiap kegiatan pemeliharaan tersebut.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya terlibat dalam proses
kelestarian sungai. Kondisi ini akan sangat berdampak pada rendahnya rasa memiliki masyarakat terhadap
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 17
Gambar 3.1
Persentase Pengetahuan responden terhadap rencana, pelaksanaan dan monitorin/ evaluasi pembangunan Sungai Cipamingkis
2. Pengetahuan terhadap Kebijakan Pengendalian pemanfaatan Sungai
Salah satu yang menjadi bagian dari kajian ini adalah informasi mengenai peraturan/kebijakan
pengendalian pemanfaatan Sungai Cipamingkis. Sebagian besar responden (80%) tidak tahu adanya peraturan
yang melarang pengambilan batu dan pasir disekitar bangunan pengendalialiran sungai. Selain itu masyarakat
lebih banyak tidak tahu bahwa terdapat larangan untuk mendirikan bangunan di bantaran sungai dan membuang
limbah/sampah. Masyarakat berpendapat bahwa faktanya masih banyak pihak yang melakukan kegiatan
tersebut tanpa mendapatkan sangsi apapun dari pemerintah, sehingga masyarakat menganggap tidak ada
larangan
Gambar 3.2
Persentase pengetahuan responden tentang kebijakan larangan pemanfaatan Sungai yang merusak
3.3.2 Peranserta dalam pengendalian degradasi morfologi Sungai
1. Peran serta dalam tahapan kegiatan pengendalian degradasi dan pemanfaatan sungai Informasi tentang
Rencana Pemeliharaan
Informasi Pelaksanaan Pemeliharaan
Informasi tentang Monitoring dan Evaluasi
63%
8% 5%
37%
92% 95%
Tahu Tidak tahu
Mengambil Batu dan Pasir Mendirikan Bangunan di Bantaran Sungai
Membuang sampah/limbah 20%
10% 5%
80% 90%
95%
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 18
Salah satu yang terkait dengan kegiatan pelestarian fungsi sungai adalah peran serta masyarakat.
Setidaknya hak peran serta masyarakat pada penyusunan rencana, peranserta dalam pelaksanaan kegiatan,
pemeliharaan dan peran serta dalam pemanfaatan sungai.
Kompleksnya permasalahan sosial lingkungan di sepanjang Sub DAS Cipamingkis menuntut pemecahan
masalah secara multidimensi dan komprehensif. Salah satu faktor penentu berhasilnya upaya pemecahan
masalah-masalah itu adalah peran serta seluruh lapisan masyarakat. Pada saat ini keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan hidup di sepanjang Sub DAS Cipamingkis mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan sampai pemantauan/pemeliharaan masih relatif rendah akibat: a) rendahnya tingkat kesadaran dan
pemahaman terhadap persoalan lingkungan, b) lemahnya peran lembaga kemasyarakatan maupun dunia usaha
dalam mendukung program pengelolaan lingkungan, dan c) terbatasnya pendapatan masyarakat menyebabkan
kapasitas peran serta menjadi tidak optimal.
Pembangunan yang bertumpu pada masyarakat atau Community Based Development di DAS
Cipamingkis tampak belum terwujud karena seringkali pendekatan yang dilakukan kurang memperhatikan
kondisi masyarakat yang ada. Selain itu mereka belum mampu menjadi pilar pembangunan karena kondisinya
masih belum berdaya secara fisik, sosial, politis dan budaya.
Dari Gambar 3.3 dapat dilihat bahwa yang paling banyak peran serta masyarakat adalah yang terkait
dengan pemanfaatan. Hanya 13,% responden yang mengaku beperanserta secara langsung dalam
perencanaan. Begitu pula pada proses pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan infrastrukturnya. Namun
demikian sebagian besar reponden (94%) mengaku jika mereka memanfaatkan infrastruktur sungai (seperti
jembatan, cek dam dan lain-lain).
Gambar 3.3
Persentase responden pada peranserta dalam kegiatan pengendalian degradasi morfologi sungai
Sebagian besar penduduk berpendidikan rendah akan terkait dengan kurangnya pemahaman masyarakat
terhadap pentingnya upaya pemeliharaan sungai. Lebih jauh lagi, tampaknya belum terdapat kesadaran bahwa
tindakan yang dilakukan di satu wilayah sungai akan terkait dengan apa yang terjadi di wilayah lain.
Penggalian pasir dan batu yang berlebihan yang akan merusak morfologi sungai dan berakibat bencana
di wilayahnya maupun wilayah lain tampaknya belum dipahami benar oleh masyarakat. Tingkat pendidikan
masyarakat merupakan salah satu aspek yang menentukan sejauh mana masyarakat memiliki kepedulian Perencanaan Pelaksanaan Pemeliharaan Pemanfaatan
13% 11% 21%
94%
87% 89%
79%
6%
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 19
lingkungan pada skala yang lebih luas daripada lingkungan tempat tinggalnya . Dalam kasus masyarakat di
daerah aliran Sungai Cipamingkis yang perlu dicermati adalah seberapa jauh masyarakat menyadari bahwa
tindakan di satu wilayah sungai dapat memberi akibat di wilayah lainnya dari sungai yang sama.
Namun demikian terlalu dini utuk menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan ketidakpahaman
pemahaman aspek kelestarian lingkungan adalah pendorong satu-satunya masyarakat untuk melakukan
kegiatan penggalian pasir dan batu atau perilaku merusak lainnya, sebab factor ekonomi dan permintaan pasar
terhadap pasir dan batu di sekitar sungai relatif sangat tinggi terutama untuk keperluan pembangunan
perumahan dan gedung di wilayah jabodetabek.
2. Peranserta dalam pemanfaatan Infrastruktur sungai bagi masyarakat
Walaupun masyarakat tidak banyak terlibat atau dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan infrastruktur, namun masyarakat merasakan manfaat atas infrastruktur yang dibangun tersebut.
Dari Gambar 3.4. dapat dilihat bahwa pembangunan jembatan dapat dirasakan secara langsung manfaatnya.
Lain halnya dengan infrastruktur cek dam talud dan pintu air, masyarakat tidak secara langsung dapat
memanfaatkan infrastruktur tersebut. Hal ini karena infrastruktur tersebut tidak diperuntukkan untuk
dimanfaatkan langsung oleh masyarakat tetapi untuk pengendalian degradasi sungai. Oleh sebab itu beberapa
masyarakat tidak mengetahui fungsi praktis infrakstruktur yang dibangun bagi masyarakat.
Mengutamakan manusia pada proyek pembangunan untuk menyesuaikan rancangan dengan
pelaksanaan sudah merupakan kebutuhan. Masyarakat tidak diidentifikasi sebagai kelompok sasaran (objek),
tapi harus dipandang sebagai pemanfaat sekaligus subjek yang harus pula bertanggungjawab terhadap
kelestarian manfaat sungai serta pemeliharaannya. Oleh sebab itu sosialisasi terhadap bangunan yang tidak
secara langsung bermanfaat bagi masyarakat perlu terus diintensifkan agar masyarakat lebih paham terhadap
makna bangunan seperti cek dam, talud dan lain-lain t bagi kelestarian sungai dan kehidupan sehari-harinya.
Gambar 3.4
Persentase responden pada manfaat infrastruktur sungai
Jembatan Cek Dam Talud Pintu air Infrastruktur
lainnya
91%
68% 78%
87% 86%
5%
20%
16%
10% 4%
4% 12% 6% 3% 10%
Bermanfaat
Tidak tahu
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 20
3. Peranserta dalam pemanfaatan Sungai Cipamingkis oleh masyarakat
Sebagai sebuah lingkungan, sungai secara alamiah menawarkan berbagai kemungkinan pamanfaatan
bagi manusia. Manusiapun secara alamiah memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan potensi yang ada
pada sungai untuk kepentingannya. Hal ini dapat menjelaskan munculnya berbagai pemanfaatan sungai yang
dilandasi oleh adanya kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada skala yang lebih makro, kebutuhan manusia yang
paling mendasar, mendorong manusia untuk memiliki tempat tinggal yang selanjutnya memunculkan terjadinya
permukiman di sekitar bantaran DAS Cipamingkis.
Pada aspek prasarana fisik lingkungan yang terdiri dari fasilitas WC, sumber air, pembuangan sampah
dan industri, secara garis besar ditemukan di sekitar sungai. Masih terdapat sistem pembuangan limbah oleh
perusahaan industri yang tidak diolah secara memadai baik industri rumah tangga maupun industri besar. Masih
banyak pembuangan limbah (WC) yang langsung dihubungkan ke sungai. Di lain pihak masih banya masyarakat
memanfaatkan sungai sebagai sarana rumah tangga seperti mandi, cuci bahkan sumber air minum. Selain itu,
sampah rumah tangga dibuang ke sungai. Tentu saja perilaku tersebut akan menurunkan kualitas air sebagai
sumber air minum maupun mandi dan cuci.
Data pada Gambar 3.5 menunjukkan adanya kebiasaan masyarakat untuk menganggap sungai sebagai
tempat pembuangan, baik melalui kebiasaan membuang sampah langsung ke sungai (17%) serta kebiasaan
menggunakan kakus (WC) dengan pembuangan langsung ke sungai (16%). Di lain pihak, sungai ternyata juga
memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yaitu pemanfaatan sungai oleh masyarakat
untuk keperluan mandi, mencuci, sebagai bahan baku air minum dan sebagainya.
Keterkaitan sungai dengan masyarakat ini disebabkan, karena sungai merupakan penyedia fasilitas bagi
kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu 8% responden mengaku kehadiran sungai sebagai sumber
matapencaharian secara langsung dengan mengekploitasi pasir dan batu. Ekploitasi tersebut dilakukan secara
individu atau menjadi buruh pada perusahaan penggalian pasir dan batu.
Gambar 3.5
Persentase jenis pemanfaatan Sungai Cipamingkis
Air minum, 15%
Mandi dan Cuci, 12%
Air Irigasi , 19% Mata Pencaharian, 8%
Pembuangan Sampah, 17% Kakus (WC), 16%
Transportasi, 2%
Lain-lain, 2%
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 21
Walaupun hanya sedikit masyarakat yang terlibat dalam pemanfaatan langsung sungai sebagai sumber
mata pencaharian melalui penggalian pasir dan batu namun menurut masyarakat dampaknya terhadap
kerusakan bangunan dan degradasi sungai sangatlah besar.
Terlihat adanya indikasi perilaku yang tidak memelihara sungai yang nampaknya terkait dengan tingkat
pendidikan yang rendah belum tentu benar sepenuhnya. Karena kondisi lapangan kerja sektor pertanian yang
tidak memerlukan tingkat pendidikan tinggi semakin sulit dilakukan. Hal ini terkait pula dengan proses alih fungsi
lahan pertanian ke non pertanian khususnya pembangunan perumahan di sekitar wilayah sungai. Proses
pembangunan perumahan oleh developer tersebut ternyata meningkatkan permintaan atas pasir dan batu yang
memicu ekplorasi pasir dan batu di Sungai Cipamingkis, bukan saja oleh masyarakat secara individu tetapi juga
oleh perusahaan resmi yang mempunyai ijin dari pemerintah daerah.
Permasalahan Sungai Cipamingkis termasuk pencemaran kualitas sumberdaya airnya sangat terkait
dengan kebiasaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Permukiman padat di sepanjang sungai
cenderung mengakibatkan terhambatnya aliran sungai karena banyaknya sampah domestik yang dibuang ke
badan sungai. Kebiasaan membuang kotoran, sampah, lebih disebabkan pandangan yang keliru dari masyarakat
terkait dengan fungsi sungai, yang dianggap sebagai halaman belakang rumah (backyard area). Kebiasaan
masyarakat semacam ini banyak ditemui di hampir seluruh desa lokasi studi. Hal ini mengindikasikan
ketidakpedulian masyarakat terhadap pentingnya memelihara sungai.
3.3.1 Budaya
1. Suku dan etnis di masyarakat Bekasi
Bekasi mengalami proses asimilasi dan akulturasi kebudayaan dari berbagai daerah seperti Bali, Melayu,
Bugis, dan Jawa. Pengaruh etnis tersebut tersebar di wilayah Bekasi, antara lain :
a. Suku Sunda banyak bermukim terutama di wilayah Lemahabang; Cibarusah, Setu sebagian
Pebayuran dan sebagian Pondik Gede.
b. Suku Jawa dan Banten banyak bermukim di Kecamatan Sukatani dan sebagian Cabang Bungin.
c. Suku bangsa Melayu banyak bermukim di Kecamatan Bekasi (daerah kota), Cilincing (sekarang
masuk Jakarta), Pondok Gede, Babelan, Tambun, Cikarang, Cabang Bungin, dan Setu.
d. Suku Bali terdapat di sebuah kampung di Kecamatan Sukatani, bahkan sampai sekarang namanya
masih Kampung Bali.
Keberadaan penduduk yang berasal dari berbagai etnis tersebut, telah mempengaruhi pola hidup dan
bahasa. Walaupun Bekasi memiliki penduduk Non-Islam, namun kehidupan Islami sangat kental dalam budaya
masyarakat Bekasi. Sikap toleransi pun menjadi ciri khas Bekasi, bentuk toleransi tersebut diwujudkan dengan
sikap konkrit, misalnya:
a. gaya hidup sederhana, tidak berlebihan
b. solidaritas dan gotong royong
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 22
2 Kearifan lokal
Tradisi pantangan dan kualat merupakan salah satu bentuk kearifan lokal, yang tidak diketahui siapa
pencipta dan asalnya, pantangan ini digunakan sebagai saran atau himbauan. Kearifan lokal tersebut
biasanyanya mendukung terhadap kelestarian lingkungan, diantaranya adalah :
a. dilarang membuang sampah ke sungai, jka ada buaya yang memangsanya itu adalah kuwalat
baginya karena telah mencemarkan sungai.
b. untuk mencegah sepasang buaya putih penunggu sungai marah, masyarakat etnis Melayu Betawi di
Bekasi melakukan "nyugu" dengan membawa sesajen kembang tujuh rupa, telor ayam mentah,
bekakak ayam, dan nasi kuning.
c. tradisi menghormati sepasang buaya putih, masih tercermin dalam adat perkawinan Melayu Betawi
yang mengharuskan dalam pinangan pihak mempelai laki-laki membawa sepasang roti buaya.
d. sampah harus ditabun, maka nabun atau membakar sampah merupakan kebiasaan sebagian
masyarakat Bekasi dan menebang pohon pun tidak boleh sembarangan, karena dalam pohon kayu
yang besar terdapat penunggu yang akan marah bila pohon kayu itu ditebang secara sembarangan.
e. Adanya anggapan bahwa Sungai Cipamingkis adalah Sungai “lalakina”. Anggapan ini sebenarnya
himbauan kepada masyarakat agar jangan merusak Sungai Cipamingkis karena jika rusak akan
mengakibatkan Sungai ini marah dan merusak wilayah yang ada disekitranya.
Pendekatan menyeluruh DAS terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan
proses koordinasi antara lembaga terkait. Selain itu juga perlu memandang penting partisispasi masyarakat
dalam pengelolaan DAS mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemanfaatan.
Perencanaan DAS tidak dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral saja, melainkan harus ada keterkaitan
antar sektor baik dalam perencanaan APBN, program kerja maupun koordinasi pelaksanaan.
Selanjutnya, untuk melengkapi gambaran tentang pengelolaan DAS dan keterkaitan antara kondisi DAS
pada satu wilayah dengan wilayah lain, perlu dilakukan kajian terhadap peranan DAS dan kaitannya dengan
kehidupan keseharian manusia yang berada di sekitar DAS. Bantaran sungai di lokasi perkotaan banyak yang
menjadi lokasi permukiman yang tentunya menambah beban masalah sungai. Terbatasnya fasilitas umum yang
disediakan pemerintah menyebabkan masyarakat memanfaatkan adanya sungai sebagai fasilitas keseharian
mereka bertinggal. Permukiman padat di sepanjang sungai cenderung mengakibatkan terhambatnya aliran
sungai karena banyaknya sampah domestik yang dibuang ke badan sungai sehingga mengakibatkan
berkurangnya daya tampung sungai untuk mengalirkan air yang datang akibat curah hujan yang tinggi di daerah
hulu. Sesuai dengan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung, kriteria sempadan sungai adalah
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 23
pemukiman, sedangkan untuk sungai di kawasan permukaan berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup
untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 meter.
Pada kenyataannya , semuanya tidak memenuhi kriteria sempadan tersebut. Jarak bangunan dan garis
sempadan sungai umumnya hanya sekitar 5-25 meter. Pelanggaran ini terkait dengan masalah klasik, yaitu
pertumbuhan penduduk yang pesat dan daya tarik ekonomi di perkotaan yang kuat sehingga menyebabkan
terjadinya perambahan lahan di sepanjang DAS. Lambatnya upaya penegakan hukum dari pemerintah
mengakibatkan sulitnya upaya pembenahan. Di sisi lain, walaupun tidak ada aspek legal atas kepemilikan tanah,
fasilitas utilitas tetap diberikan oleh pihak pemerintah (listrik dari PLN dan telepon dari Telkom). Tampaknya
Pemda pun mengambil manfaat dari penduduk liar ini dengan mengenakan PBB. Bahkan identitas KTP pun
dengan mudahnya didapat oleh penduduk liar di sepanjang DAS Cipamingkis
Permukiman padat di sepanjang sungai cenderung mengakibatkan terhambatnya aliran sungai karena
banyaknya sampah domestik yang dibuang ke badan sungai. Kebiasaan membuang kotoran, sampah, lebih
disebabkan pandangan yang keliru dari masyarakat terkait dengan fungsi sungai, yang dianggap sebagai
halaman belakang rumah (backyard area). Kebiasaan masyarakat semacam ini ditemui hampir diseluruh desa
lokasi studi. Hal ini mengindikasikan ketidakpedulian masyarakat terhadap pentingnya memelihara sungai,
meskipun di lain pihak sungai juga memiliki peranan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bencana runtuhnya
infrastruktur sungai yang terjadi pun merupakan akibat bencana yang mereka harus alami sebagai penduduk
permukiman di wilayah hilir, yang merupakan akibat kebiasaan serupa di wilayah hulu.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Hasil kajian terhadap Aspek penyusun lingkungan hidup memberikan gambaran lebih jelas tentang
kekuatan, kelemahan, bahkan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam upaya pengendalian degradasi
morfologi Sungai Cipamingkis, melalui pendekatan pengelolaan lingkungan. Gambaran yang lebih jelas tersebut
memungkinkan bagi pengambil keputusan (pemerintah, swasta dan masyarakat untuk menetapkan upaya-upaya
meningkatkan kondisi aspek abiotik, biotic dan social ekonomi masyarakat sehingga mampu mendukung
kelestarian pemanfaatan Sungai Cipamingkis.
Berikut disampaikan hasil studi lingkungan terkait dengan upaya pengendalian degradasi morfologi Sungai
Cipamingkis.
1. Kemiringan alur sungai yang cukup terjal; Kemiringan alur sungai rata-rata rnulai dari hilir Bendung
Cipamingkis sampai pertemuan dengan sungai Cibeet diperkirakan sebesar 0,008, kemiringan alur
yang sangat terjal memicu kecepatan arus sehingga lapisan dasar sungai dapat terdegradasi.
2. Lapisan dasar sungai berupa tanah aluvial dapat dikatakan sudah tidak ada lagi batuan besar sebagai
krisdinar Sumadja - Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungandalam Pengendalian Degradasi Sungai Cipamingkis 24
kerakal dapat terdegradasi, sedangkan lapisan tebing sungai yang terdiri dari pasir hingga kerakal
mudah runtuh atau longsor
3. Lapisan dasar tidak mampu menahan benturan akibat aliran dari drop structure yang terlalu tinggi, hal
ini nampak dengan munculnya cekungan yang cukup dalam sehingga lapisan dasar dapat terkuak,
hal ini dapat memicu adanya piping/rooping yang semakin kuat.
4. Dasar pondasi tidak sepenuhnya berada pada lapisan batuan dasar masih berada pada lapisan tanah
aluvial, sehingga lapisan aluvial berupa pasir hingga kerakal akibat adanya tekanan air yang besar
dapat menyebabkan terjadinya proses piping/rooping, lambat laun lapisan dasar pondasi terbawa
aliran air, dan pondasi bangunan menjadi menggantung, dimana bangunan pasangan batu akan
patah.
5. Sejalan dengan perkembangan aktivitas masyarakat, maka penggunaan kendaraan bermotor
semakin meningkat pula. Begitu pula penggunaan kendaraan truk untuk pengangkutan hasil
penggalian batu di Sungai Cipamingkis. Kondisi ini mengakibatkan terjadi polusi baik udara maupun
kebisingan.
6. Masih terdapat sistem pembuangan limbah oleh perusahaan industri yang tidak diolah secara
memadai baik industry rumah tangga maupun industry besar. Begitu pembuangan limbah (WC) yang
langsung dihubungkan ke sungai sehingga kualitas air Sungai Cipamingkis terindikasi semakin
menurun
7. Sebagian besar penduduk berpendidikan rendah tentunya terkait dengan kurangnya pemahaman
masyarakat terhadap pentingnya upaya pemeliharaan sungai. Lebih jauh lagi, tampaknya belum
terdapat kesadaran bahwa tindakan yang dilakukan di satu wilayah sungai akan terkait dengan apa
yang terjadi di wilayah lain. Tingkat pendidikan masyarakat merupakan salah satu aspek yang
menentukan sejauh mana masyarakat memiliki kepedulian lingkungan pada skala yang lebih luas
daripada lingkungan tempat tinggalnya .
8. Permasalahan DAS Cipamingkis termasuk pencemaran kualitas sumberdaya airnya sangat terkait
dengan kebiasaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Permukiman di sepanjang sungai
cenderung mengakibatkan terhambatnya aliran sungai karena banyaknya sampah domestik yang
dibuang ke badan sungai. Kebiasaan membuang kotoran, sampah, lebih disebabkan pandangan yang
keliru dari masyarakat terkait dengan fungsi sungai, yang dianggap sebagai halaman belakang rumah
(backyard area). Kebiasaan masyarakat semacam ini banyak ditemui di hampir seluruh desa lokasi
studi. Hal ini mengindikasikan ketidakpedulian masyarakat terhadap pentingnya memelihara sungai.
9. Produktivitas lahan pertanian tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan maupun peternakan di
Sub Das Cipamingkis masih sangat rendah. Disebabkan karena penggunaan teknologi pertanian