• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEWENANGAN HAK ATAS TANAH PEMER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS KEWENANGAN HAK ATAS TANAH PEMER"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEWENANGAN HAK ATAS TANAH

PEMERINTAH KOTA BATAM DAN OTORITA

PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM

(OTORITAS BATAM)

DISUSUN OLEH

SIGIT ATMO ARWENDO

NIM : 091414453005

PROGRAM STUDI

MAGISTER SAINS HUKUM DAN PEMBANGUNAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia

yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber

penghidupan maupun sebagai tempat berpijak manusia dalam kelangsungan

kehidupan sehari-hari. Tanah sangat erat hubungannya dengan manusia, karena

mempunyai nilai ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia dalam rangka

menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Dalam rangka mengatur dan menertibkan masalah pertanahan telah

dikeluarkan berbagai peraturan hukum pertanahan yang merupakan pelaksanaan

dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

Agraria (UUPA) sebagai Hukum Tanah Nasional.

Secara umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok Agraria (UUPA) membedakan tanah menjadi:1

1. Tanah Hak

Tanah hak adalah tanah yang telah dibebani sesuatu hak diatasnya, tanah hak juga dikuasai oleh negara tetapi penggunaannya tidak langsung sebab ada hak pihak tertentu diatasnya.

2. Tanah Negara

Tanah negara adalah tanah yang langsung dikuasai negara. Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain diatas tanah itu, tanah itu disebut juga tanah negara bebas.

Landasan dasar bagi pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menyusun

politik hukum serta kebijaksanaan dibidang pertanahan telah tertuang dalam

1

(3)

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan

ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) makna dikuasai

oleh negara bukan berarti bahwa tanah tersebut harus dimiliki secara keseluruhan

oleh negara, tetapi pengertian dikuasai itu memberi wewenang kepada negara

sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk tingkatan yang tertinggi

untuk:2

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan

dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang

disebut dengan permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur

tanah dalam segala aspek, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu

tanah dalam penegertian yuridis disebut hak. Tanah bagian dari bumi disebut

dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok Agraria (UUPA) yaitu “Atas dasar hak menguasai dari Negara

sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas

permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai

oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta

badan-badan hukum”.3

2

Muchsin dan Imam Koeswahyono, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruangan,Jakarta : Sinar Grafik,2008, Hal. 49

3

(4)

Dengan demikain, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah

permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu

permukaan bumi yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Sedangkan ruang dalam pengertian yuridis yang terbatas, berdimensi tiga yaitu

panjang, lebar, tinggi, yang dipelajari dalam hukum tata ruang. Sedangkan yang

dimaksud dengan hak atas tanah itu sendiri adalah hak yang diberi wewenang

kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat tanah

yang dihakiki.

Perkataan “mempergunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas

tanah itu digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan

perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah

digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.

Sistem dalam UUPA menentukan bahwa macam hak atas tanah bersifat terbuka,

artinya masih terbuka peluang adanya penambahan macam hak atas tanah baru

yang akan ditetapkan dengan Undang-undang. Penambahan macam hak atas tanah

baru disebabkan oleh dinamika pembangunan.4

Bermacam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)

UUPA dan Pasal 53 UUPA. Hak atas tanah yang dapat dikuasai oleh Pemerintah

Daerah adalah Hak Pakai. Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal

43 UUPA. Lebih lanjut tentang Hak Pakai diatur dalam Pasal 39 sampai dengan

Pasal 58 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak

4

(5)

Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Pengertian Hak Pakai disebutkan

dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA, yaitu:5

“Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari

tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang

memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan

perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa

atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan

dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini”.

Persoalannya adalah dizaman era pembangunan dan industrialisasi

keberadaan tanah makin rumit yang cenderung menimbulkan potensi gejolak

konflik. Pendekatan pemecahannya tidak semata bersifat problem hukum dari

aspek teknis yuridis, tetapi juga menyangkut pertimbnagn sosial ekonomis.

Normal peraturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) yang dalam konsepsi hukumnya tanah

nasional menjadi sebagai dasr dan acuan, namun demikian setelah UUPA berlaku

kurang lebih 55 tahun cukup pantas untuk menilai dari aspek seberapa jauh UUPA

telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan aspek apakah yang membuat

UUPA masih tetap valid secara hukum maupun sosial sebagai sarana bagi

penataan kembali struktur dan penguasaan tanah dan aspek apakah UUPA masih

dapat mengakomodas tuntutan masyarakat dalam masa transisi kearah zaman era

pembangunan dan industrialisasi.6

5

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana, 2008, hal 103

6

(6)

Seperti uraian yang di atas, dalam hal ini Kota Batam yang sering juga kita

kenal dengan pulau Batam merupakan wilayah Indonesia yang tidak lepas dari

problematika pertanaham yang kerap terjadi di nusantara. Berbagai khasus Hak

atas tanah masih menyisakan persoalan-persolan yang harus diselesaikan secara

bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan baru.

Di tengah sulitnya akses dalam memperoleh hunian yang layak, sementara

kebutuhan akan tempat tinggal tidak bisa di hindari lagi, jalan singkat mendirikan

tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi hunian

menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini dilihat dari lemahnya

pengawasan yang dilakukan pemerintah yang berakibat hunian-hunian liarpun

bermunculan, tanpa usaha untuk mencegahnya.

Disamping itu kepemilikan rumah tempat tinggal bagi WNA (Warga

Negara Asing) yang tinggal di Batam juga menambah rumitnya persolan.

Menghadapi fenomena ini, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah

Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang

Asing yang Berkedudukan Di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

1996 tersebut merupakan pengecualian UUPA yang pada dasarnya berkaitan

dengan status pemilikan hak pakai atas tanah negara.7

Keadaan ini juga selanjutnya di perjelas dengan pemberian otonomi

daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah diganti

dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam hal ini memberi kekuasaan yang amat besar kepada masing-masing daerah

7

(7)

untuk mengatur urusan rumah tangga sendiri. Pemberian otonomi daerah dalam

bidang pertanahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.8

Dengan berbekal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka

Pemerintah Kota Batam menginginkan kebijakan yang berhungan dengan

pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam. Terhadap hal ini,

Otorita Batam mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang

Daerah Industri Pulau Batam yang memberi kewenangan kepada Otoritas Batam

termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara pemerintah Kota Batam

dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan sudah saatnya kewenangan

bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam.

Berdasarkan rumusan pasal 9 ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah, disebut bahwa Urusan pemerintahan

konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.

Disini jelas dikatakan provinisi dan kabupaten/kota dapat mengatur daerahnya

masing-masing termasuk diantaranya adalah pelayanan pertanahan.

Status hukum hak pengolahan atas seluruh areal yang terletak di Pulau

Batam termasuk dalam gugusan Pulau Janda Berhias, Pulau Tanjung Sauh, Pulau

Ngenang, Pulau kasem, dan Pulau Mo-moi yang diperoleh Otorita Batam

berdasarkan Keputusan Menteri Dalama Negeri Nomor 77 Tahun 1977 tanggal 18

8

(8)

Febuari 1977 menjadi dipertanyakan, termasuk kewenangan bidang pertanahan di

Pulau Rempang dan Galang.9

Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum

terhadap peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Otorita Batam

apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintahan Kota Batam.

Mengingat pentingnya pemahaman yang konprehensif dalam menyikapi

problematika pertanahan tersebut yang amat bertautan dengan masalah yuridis,

maka pemulis mencoba mengupas sedikit tentang dan masalah pertanahan yang

melibati dua istitusi yaitu Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Pengembang

Daerah Perindustrian Pulau Batam ( Otorita Batam ).

Berdasarka uraian diatas maka Dengan ini saya mengambil judul karya

ilmiah ini tentang “ Analisis Kewenangan Hak Atas Tanah Pemerintah Kota

Batam Dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (Otoritas

Batam)”.

1.2. Rumusan Masalah

Tanah merupakan suatu hal yang paling utama bagi hidup manusia,

dimana tanah sekarang bukan lagi kebutuhan sekunder melainkan sudah

kebutuhan primer dalam berlangsungnya hidup manusia dizaman sekarang ini.

Apalagi di era pembangunan dan industrialisasi, tanah semakin rumit dan bakal

menimbulkan konfilik dalam kepemilikannya, apalagi didaerah Kota Batam yang

memiliki tempat strategis dan sentralnya Industri dan perdagangan bagi Indonesia

sendiri. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka yang menjadi

pokok dalam makalah ilmiah ini adalah

9

(9)

1. Bagaimana kewenangan pertanahan antara pemerintah Kota Batam dan

Otorita Batam

2. Bagaimana status hukum dalam pengaturan pertanahan di Pulau Batam

3. Apakah status hukum peraturan bidang tanah Kota Batam apabila terjadi

(10)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Kewenangan Pertanahan antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita

Batam

1. Pemerintah Kota Batam

Pada tahun 1983 pulau batam menjadi kota adminitrasi berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983 dengan tiga sub distrik

(kecamatan), yakni Belakang Padang, Batam Barat, dan Batam Timur.10

Derasnya tuntutan otonomi dan kisah melunaknya kekuasaan sentralistik

mendorong perubahan sejarah pemerintah di Batam, tanggal 4 Oktober 1999

menjadi momentum perubahan Kota Batam. Wilayah semula berstatus

pemerintah kota administratif dengan keunikan sebagai daerah khusus industri

ditetapkan menjadi pemerintah yang otonom melalui Undang-Undang Nomor

53 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak,

Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Karimun,

Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam.11

Diberikannya status kota otonom kepada Batam, juga sesuai dengan

kehendak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah pada masa itu. Sehingga Batam memiliki kewenangan untuk mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa sendiri

sesuai denga aspirasi masyarakat.

10

Pemerintah Kota Batam, Op.Cip. hal. 9

11

(11)

Dengan demikian, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan

diganti kembali dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintah Daerah. Mengakibatkan perubahan status Kota Batam yang semula

sebagai Kota Administratif Batam menjadi Kota Batam. Pengertian Kota

menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan daerah otonom

yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.12

Pemerintah Kota Batam melaksanakan kewenangan bidang pertanahan

melalui Dinas Pertanahan berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 3

Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang

menerangkan tentang bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan

yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dijabarkan lebih

lanjut dalam keputusan Kepala Badan Pertanahan Nomor 2 Tahun 2003

tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenagan

Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota. Kewenangan tersebut antara lain :13

a. Pemebrian izin lokasi

b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pemebangunan,

c. Penyelesaian sengketa tanah garapan

d. Penyelesaian tanah ganti kerugian dan santunan tanah untuk

pembangunan,

e. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah,

12

Indonesia, Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dan sudah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah

13

(12)

f. Ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee

g. Penetapan dan penyelesaian tanah ulayat,

h. Pemanfaatan penyelesaian tanah kosong

i. Pemeberian izin membuka tanah

j. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

Berkaitan dengan adanya hak pengolahan yang dimiliki oleh Otorita

Batam atas seluruh tanah di Pulau Batam, kewenangan Pemerintah Kota Batam

yang di selenggarakan oleh Dinas Pertanahan berdasarkan Keputusan Presiden

Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan

dalam hal ini izin lokasi tidak berlaku.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasidalam pasal 2 ayat 2 disebut

bahwa izin lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dimiliki oleh

perusahaan yang bersangkutan dalam hal tanah yang akan diperoleh berasal

dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai

dengan rencana tata ruang kawasan pengembang tersebut.

Namun, kewenangan lainnya di luar pemberian izin lokasi tersebut tetap

dapat dilaksanakan oleh pemerintah Kota Batam Keputusan Presiden Nomor

34 Tahun 2003 yang dijabarkan lebih lanjut dalam keputusan Kepala Badan

Pertanahan Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme

Ketatalaksaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang

(13)

2. Otorita Batam.

Keberadaan Otorita Batam tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pusat

untuk memperlakukan Pulau Batam secara Khusus demi memacu iklim

investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dengan memanfaatkan potensi

dan letak strategis Pulau Batam.

Berkaitan dengan hal ini, pemerintah menerbitkan sejumlah keputusan

yang menjadi dasar hukum bagi keberadaan Otorita Batam. Keputusan tersebut

antara lain :14

a. Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1970 tentang Proyek

Pengembangan Pulau Batam Sebagai Dasar Logistik Lepas Pantai Untuk Kegiatan Pengeboran Oleh Pertamina

b. Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pembangunan

Pulau Batam

c. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri

Pulau Batam yang sudah lima kali diganti ( Kepres Nomor 45 tahun 1978, Kepres Nomor 58 Tahun 1989, Kepres Nomor 94 Tahun 1998, Kepres Nomor 113 Tahun 2000, Kepres Nomor 25 Tahun 2005)

d. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1974 tentang Penunjukan

Beberapa Lokasi di Sekupang, Batu Ampat, dan Kabil sebagai Bonded Ware House

e. Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1977 tentang Pengolahan dan

Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam

f. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan Seluru

Pulau Batam Sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone)

g. Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1984 tentang Perluasan Wilayah

Kerja Otorita Batam Meliputi Lima Puluh Pulau Kecil di sekitar Pulau Batam

h. Keputusan Presiden Nomor 7 Thaun 1984 tentang Hubungan Kerja

Antara Pemerintah Kotamadya Batam dengan Otorita Batam,

i. Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992 tentang penambahan

Wilayah kerja Otorita Batam Meliputi Pulau Rempang, Pulau Galang,

14

(14)

Pulau Galan Baru dan beberapa pulau disekitar dan Penetapannya Sebagai wilayah Usaha Kawasan Berikut (bonded Zone)

Dalam bidang pertanahan, kepada Otorita Batam diberikan hak pengolahan

Otorita Batam. Hak pengolahan Otorita Batam diatur dalam Keputusan

Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Industri Pulau Batam dan Keputusan

Mentri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengolahan dan

Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam.

Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 tentang Kedudukan Pulau

Batam dan Mengatur Peruntukan dan penggunaan tanah di Pulau Batam. Pada

pasal 6 ayat 1 Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 disebutkan bahwa

peruntukan dan penggunaan tanah di daerah Industri Pulau Batam untuk

keperluan Pembangunan, Usaha, dan Fasilitas yang liannya yang bersangkutan

pada pelaksanaan pembangunan Pulau Batam, didasarkan atas suatu rencana

tata guna tanah dalam rangka pengembangan Pulau Batam menjadi daerah

industri.

Dalam pasal 6 ayat 2 Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 bahwa hal

yang bersangkutan dengan pengurusan tanah di dalam wilayah Daerah Industri

Pulau Batam dalam rangka ketentuan tersebut diatur lebih lanjut oleh Menteri

Dalam Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

bidang agraria dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan

hak pengolahan kepada ketua Otorita Pengembang Industri Pulau

(15)

2. Hak Pengelolaan tersebut memberi wewenang kepada Ketua Otorita

Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk:

a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut,

b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan

tugasnya.

c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak

ketiga dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA

d. Menerima uang permasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan

Adapun beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Otorita Batam

sebagai berikut :15

a. Hak pengelolaan diberikan untuk jangka waktu selama tanah

digunakan untuk kepentingan penerima hak dan terhitung sejak didaftarkan pada kantor pertanahan setempat.

b. Hak pengolahan diberikan untuk dipergunakan sebagai

pengembangan daerah industri, pelabuhan, pariwisata, permukiman, pertenakan, dan usaha lain-lain yang berkaitan dengan itu

c. Apabila di atas areal tanah yang diberikan dengan hak pengolahan

masih terdapat tanah, bangunan, dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru.

d. Penerima hak untuk pemberian hak pengelolaan tersebut diharuskan

membayar biaya administrasi.

e. Dalam rangka pemberian hak pengolahan, tanah yang telah

dibebaskan dari hak-hak rakyat harus diberi tanda-tanda batas sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan Menteri Agraria Nomor 8 Tahun 1961 untuk kemudian dilakukan pengukuran oleh kantor pertanahan setempat.

f. Terhadap area tanah yang diberikan dengan hak pengelolaan dan

telah dilakukan pengukuran sehingga telah dapat diketahui luasnya dengan pasti, harus didaftarkan pada kantor pertanahan setempat untuk kemudian dapat dikeluarkan sertifikat tanda bukti haknya menurut ketentuan dalam peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966

15

(16)

g. Hak pengolahan yang telah diterbitkan sertifikat tanda bukti hak memberikan wewenang kepada pemegang haknya (Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam) untuk :

i. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut ;

ii. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan

tugasnya;

iii. menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengolahan tersebut

kepada pihak ketiga dengan hak guna bangunan dan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan agraria yang berlaku.

h. Tanah yang diberi dengan hak pengolahan tersebut harus dipelihara

sebaik-baiknya.

i. Pemindahan hak atas tanah yang diberikan oleh hak pengolahan ini

kepada pihak lai dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan kecuali dengan izin Menteri Dalam c/q. Direktoral Jendral Agraria.

j. Penerima hak wajib memberikan area tanah yang dikuasai dengan

hak pengolaha tersebut seluruhnya atau sebagai kepada negara apabila areal tanah tadi tidak dipergunakan lagi untuk keperlukan sebagaimana mestinya.

k. Pemberian hak pengolahan dapat ditinjau kembali atau dibatalkan

apabila:

i. Luas tanah yang diberikan dengan hak pengolahan tersebut

ternyata melebihi keperluan

ii. Tanah tersebut sebagian atau seluruhnya tidak diperlukan

iii. Dipelihara sebagai mana mestinya.

l. Segala akibat, biaya, untung dan rugi yang timbul karena

pemeberian hak pengolahan ini menjadi beban/tanggungan sepenuhnya dari penerima hak.

Terhadap hak pengolah Otorita Batam, harus didaftarkan oleh kantor

pertanahan Kota Batam untuk kemudian dikeluarkan sertifikas tanda bukti

haknya.

Wilayah kerja Otorita Batam yang sebelumnya hanya meliputi Pulau Batam,

ditambah dengan Pulau Rempang dan Pulau Galang Melelui Keputusan

(17)

Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapan Wilayah Uasaha Kawasan

Berikut (Bonded Zone) dengan bunyi Keputusan Sebagai Berikut :16

a. Wilayah lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam

sebagaimana dimaksud dengan keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 ditambah dengan Pulau Rempang dan Pulau Galang

b. Berarapa pulau kecil tertentu di sekitar Pulau Rempang dan Pulau

Galang yang secara teknis diperlukan bagi perencanaan dan pengembangan Pulau Rempang dan Pulau Galang dengan Keputusan Presiden dapat ditetapkan pula sebagai bagian dari wilayah lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam.

c. Pulau-pulau yang ditambahkan sebagai wilayah lingkungan kerja

Dearah Industri Pulau Batam merupakan wilayah usaha kaasan berikut (bonded zone) daerah industri Pulau Batam

d. Pelaksanaan penggunaan Pulau Galang ke wilayah lingkungan kerja

Daerah Industri Pulau Batam dilakukan secepatnya dengan memperhatikan penyelesaian maslah pengungsian di pulau tersebut.

e. Penyusun rencana pengembangan wilayah Pulau Rempang dan

Pulau Galang sebagai wilayah lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam dilaksanakan sebagai satu kesatuan dan dalam rangka penyempurnaan Daerah Industri Pulau Batam yang ditetapkan Presiden.

f. Hal-hal yang bersangkutan dengan pengelolaan dan pengurusan

tanah di dalam wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang, termasuk usaha-usaha pengamanan, penguasaan, pengalihan, dan pemindahan hak atas tanah diatur lebih lanjut oleh Kapala Badan Pertanahan Nasional.

Pemerintah menyatakan kesediaan memberikan hak pengelolaan atas

seluruh areal tersebut berdasarkan keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nomor 9-VIII-1993 tentang pengolahan dan pengurusan tanah

didaerah industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau lain disekitar

dangan bunyi keputusan menyatakan kesediaan untuk memberikan hak

16

(18)

pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan

pulau-pulau disekitar dengan syarat-syarat dan ketentuan sebagai berikut :

a. Segala akibat, biaya, untung dan rugi yang ditimbulkan karena memberi

hak pengolahan tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya penerima hak

b. Hak pengolahan tersebut akan diberi untuk waktu selama tanah

dimaksud dipergunakan untuk pengembangan daerah industri, pelabuhan, pariwisata, pemungkiman, perternakan, perikanan, dan lain-lain usaha berkaitan dengan itu terhitung sejak didaftarkan kepala kantor pertanahan setempat.

c. Apabila di atas area tanah yang akan diberikan dengan hak pengolahan

tersebut masih terdapat tanah, bangunan, dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti rugi wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemungkiman baru atas dasar musyawarah

d. Dalam rangka kesedianaan pemebrian hak pengolahan tersebut

tanah-tanah yang telah bebas atau telah dibebaskan dari hak-hak rakyat harus diberi tanda-tanda batas sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan Menteri Agraria Nomor 8 Tahun 1961 untuk kemudian dilakukan pengukuran oleh kantor pertanahan setempat.

e. Terhadap areal tanah yang akan diberikan dengan hak pengolahan dan

telah dilakukan pengukuran sehingga dapat diketahui luasnya dengan pasti, akan diberi dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional secara bertahap (persial) dan harus didaftarkan pada kantor pertanahan setempat untuk memperoleh tanda bukti berupa sertifikat dengan membayar biaya pendaftaran menurut ketentuan berlaku.

f. Penerima hak dalam penyerahan bagian dari hak pengolahan kepada

pihak ketiga diwajibkan memenuhi/tunduk pada ketentuan-ketentuan peraturan Menteri Dalam Negari Nomor 1 Tahun 1977.

Status Hak Pengelolaan Otorita Batam saat ini dapat dibedakan menjadi dua

jenis yakni :17

17

(19)

1. Hak Pengelolaan yang sudah terdaftar dan

Hak Pengelolaan yang sudah terdaftar dan diatasnya telah diterbitkan hak

milik. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 menegaskan bahwa

hak-hak yang ada diatas Hak Pengelolaan tetap berlaku sampai masa

berlakunya berakhir. Jelas sekali maksudnya untuk hak-hak yang

berjangka waktu seperti Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang ada

diatas Hak Pengelolaan Otorita Batam yang dialihkan kewenangannya

kepada Badan Pengusahaan Kawasan Batam. Sedangkan Hak Milik tidak

berjangka waktu, Hak Milik berlaku terus menerus dan dengan demikian

Hak Milik tidak termasuk jenis hak yang dimaksudkan oleh Peraturan

Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007, sehingga tidak termasuk yang akan

dialihkan kepada Badan Pengusahaan Kawasan Batam.

2. Hak Pengelolaan yang belum didaftar.

Hak Pengelolaan yang belum didaftarkan. Karena belum didaftarkan maka

secara yuridis belum berlaku. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43

Tahun 1977 menegaskan Hak Pengelolaan berlaku sejak didaftarkan.

Demi hukum Otorita Batam wajib melakukan pendaftaran ke Kantor

Pertanahan Kota Batam supaya Hak Pengelolaannya berlaku dan

memenuhi syarat hukum. Dengan demikian tanah Hak Pengelolaan yang

belum didaftarkan secara yuridis belum berlaku dan karena itu belum

dapat dikatakan sebagai Hak Pengelolaan Otorita Batam. Maka untuk

memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007

(20)

dialihkan, hendaknya Otorita Batam terlebih dahulu melakukan

pendaftarannya.

2.2. Status Hukum Dalam Pengaturan Pertanahan Di Pulau Batam

1. Status Hukum Kewenangan Bidang Pertanahan di Batam

Pada tahun 1999, Pemerintah bersama DPR RI menerbitkan

Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam dan

Kedudukan Otorita Batam dalam Pembangunan Batam. Dengan diterbitnya

Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 , posisi Otorita Batam selaku badan

pembangunan di Pulau Batam semakin kuat kedudukannya karena keberadaan

dicantumkan dalam Undang-Undang tersebut. Namun, rumusan beberapa pasal

justru makin memperkuat keberadaan Pemerintah Kota Batam sesuai dengan

terbentuknya Otonomi Daerah.

Penetapan Status Pulau Batam sebagai zona industri menyebabkan

terjadinya perubahan dalam kebijakan di bidang industri termasuk bidang

pertanahan. Dengan perubahan tersebut, kebijakan pertanahan menjadi

kewenangan Otorita Batam lewat pengolahan sebagaimana dituangkan pada 43

Tahun 1977 tentang Pengolahan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri

Pulau Batam.18

Keadaan ini dalam perjalanannya sempat diperuncing dengan pemberlakuan

Otonomi Daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah

diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tantang Pemerintah

Daerah. Dimana dijelaskan masing-masing Daerah dapat mengatur urusan

18

(21)

daerahnya masing atau disebut juga Rumah Tangganya

masing-masing.19

Berbekal Undang-Undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan

kebijakan yang berhubungan dengan Pertanahan menjadi kewenangan

Pemerintah Kota Batam. Terhadap hal ini Otorita Batam tetap memegang

penuh pada Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 tentang Penetapan

Batam sebagai Zona Industri dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43

Tahun 1977 tentang Pengolahan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam yang

memeberikan kewenangan kepada Otorita Batam termasuk kewenangan bidang

pertanahan.

Sementara itu, Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah

berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang 23

Tahun 2014 tentang Pemeritah Daerah, menyimpulkan bahwa sudah saatnya

kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kota

Batam.

Jika sebelumnya, Otorita Batam mengikutsertakan Pemerintah Kota Batam

dalam Menjalankan Tugas pemerintahan dan pembangunan, kini justru

sebaliknya justru Pemerintah Kota Batam diamanatkan untuk

mengikutsertakan Otorita Batam. Pada pertimbangan lainnya juga ditegaskan

bahwa mengingat di Kota Batam pada saat berlakunya Undang-Undang ini,

penyelenggara sebagian tugas dan kewenangan dilaksanakan oleh Otoritas

Batam dalam rangka mendudukan tugas, fungsi, dan kewenangan sesuai

19

(22)

dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,

diperlukan pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan

Badan Otorita Batam untuk menghindari tumpang tindih penyelenggara

pemerintah dan pembangunan.

Terhadap hal ini, posisi Pemerintah Batam seakan diperkuat dengan

Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam

yang diinterprestasikan memberikan peralihan kewenangan kepada Pemerintah

Kota Batam. Ini tertuang pada pasal 17 ayat 2 bahwa kewenangan wajib terdiri

dari perkerjaan umum, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, pertanian,

perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,

pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.

Bahkan dalam penjelesan pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 53 Tahun

1999 dinyatakan bahwa keikutsertaan Badan Otoritas Batam dimaksudkan

untuk kesinambungan berbagai kemajuan pembangunan di kawasan Batam

sebagai kawasan industri, alih kapal, pariwisata, dan perdagangan yang selama

ini dilakukan oleh Badan Otorita Batam. Pada ayat 2 disebutkan bahwa status

dan kedudukan Badan Otorita Batam yang mendukung kemajuan

pembangunan nasional dan daerah Kota Batam.

Sementara itu, hak pengolahan yang dimiliki oleh Otorita Batam membatasi

ruang gerak Pemerintah Kota Batam. Dalam hal pembangunan sarana

pemerintah seperti kantor-kantor dan sekolah-sekolah negeri, Pemerintah Kota

Batam harus mengajukan permohonan kepada Otorita Batam. Sering kali

(23)

oleh Pemerintah Kota Batam. Bahkan aset-aset Pemerintah Kota Batam bentuk

tanah, tidak memiliki sertifikat termasuk Kantor Walikota Batam.20

Saat ini kewenangan bidang pertanahan tetap masih kewenangan Otorita

Batam melalui hak pengolahan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41

Tahun 1973 tentang kedudukan Pulau Batam sebagai Daerah Industri. Hak

pengolahan tersebut memberi wewenang kepada Ketua Otorita Pengembang

Industri Pulau Batam untuk :

a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah

b. Menggunakan tanah tersebut sebabai keperluan pelaksanaan

tugasnya

c. Menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga

d. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan yang

langsung dimaksukkan khas negara

Dalam hal ini Pemerintah Kota Batam sebagai Institusi Pemerintahan yang

otonom dengan berdasarkan kekuatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

berkesimpulan bahwa terbitnya undang-undang tersebut memperkuat posisinya

dalam mengurus roda pemerintahan termasuk kewenangan pertanahan. Namun

harus diperhatikan bahwa Pulau Batam merupakan salah satu daerah yang

memiliki kekhususan dengan keberadaan Otorita Batam. Hanya saja, keberaaan

Otorita Batam tidak didukung dengan legalitas formal yang cukup kuat

terutama dalam menghadapi perubahan sistem ketatanegaraan dan

penyelenggaraan pemerintah saat ini.

Apabila tetap mempertahankan kedudukan Otorita Batam di samping

adanya Pemerintah Kota Batam, kedudukan Otorita Batam perlu dilengkapi

dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang mampu memposisikan

20

(24)

kedudukan Otorita Batam secara jelas termasuk kewenangan bidang

pertanahan. Perturan tersebut perlu dibuat dengan memperhatikan tata urutan

peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah yang terjadi di Pulau

Batam sehingga tidak menimbulkan multi tafsir dan tumpang tindih

kewenangan.

Sejak dulu masalahnya Batam memang adalah tentang perencanaan tata

ruang dan manajemen kota, serta pembagian tugas antara Otonomi Batam yang

mengembangkan daerah yang ditugasnya menangani administrasi kota dan isu

keamanan.

Dalam hubungan antara negara dan warga negara, keadilan sosial

mengandung pemahaman bahwa warga negara mempunyai kewajiban untuk

memberikan sumbangan kepada negara demi terwujudnya kesejahteraan

umum, dan bahwa negara berkewajiban untuk memberi kesejahteraan kepada

para warga negaranya sesuai dengan jasa atau kemampuan dan kebutuhan

masing-masing secara profesional. Bila hal itu dilaksanakan dalam kebijakan

pertanahan, berbagai ketentuan yang dibuat hendaklah memberikan landasan

bagi setiap orang untuk mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk

menerima bagian manfaat tanah baik bagi diri sendiri maupun keluarga

sehingga mendapatkan kehidupan yang layak. Khusus dalam konsep keadilan

sosial adalah hal yang paling tepat untuk memberi tempat kepada keadailan

berdasarkan atas kebutuhan, mengingat secara keseluruhan lebih banyak

masyarakat yang bernasib kurang beruntung.21

21

(25)

Dalam rangka pembangunn dan pengembangan wilayah selalu dijumpai

kaedah dinamikapenggunaan tanah (dynamics of land use) yang sejalan dengan

kaidah the higbest and best use of land. Sektor atau kegiatan intensitas

ekonomi dari penggunaan tanah. Dalam proses industrialisasi sebagai gejala

yang tidak dapat dielakkan dalam pembangunan negara kita, dalam bebrbagai

kegiatan ekonomi tampil tiga pelaku di dalamnya yakni: negara/pemerintah,

pihak swasta dan masyarakat, yang masing-masing mempunyai posisi

tawar-menawar yang berbeda karena karena perbedaan di dalam akses terhadap

modal dan akses politik berkenaan dengan sumber daya alam yang berupa

tanah yang terbatas.22

2. Status Hukum Kewenangan Bidang Pertanahan di Pulau Rempang, Pulau

Galang dan Pulau-Pulau yang lain disekitarnya.

Saat ini kewenangan bidang pertanahan di Pulau Rempang dan Galang

masih status quo. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992

tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam

dan penetapan sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikut (Bonded Zone), bagi

Otorita Batam Keputusan Presiden tersebut memberi kewenangan bidang

pertanahan kepadanya. Namun, hal ini sebenarnya merupakan penambahan

wilayah kerja dan bukan meruapakan hak pengolahan Otorita Batam. Hal ini

tercermin dari penetapan keenam keputusan presiden tersebut yang

menyebutkan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan pengolahan dan

pengurusan tanah di dalam wilayah Pulau Rempang dan Galang, termasuk

22

(26)

usaha-usaha pengamanan, penguasaan, pengalihan dan pemindahan hak atas

tanah diatur lebih lanjut melalui Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Cara berpikir konprehensif masyarakat bahwa dalam setiap pembentukan

undang-undang, garis besar hal-hal yang kelak harus dimuat dalam peraturan

pelaksanana, sebaiknya sudah dirancang sekaligus. Pembangunan hukum yang

dilandasi dengan sikap yang proaktif didasarkan pada hasil penelitian dan

kebutuhan hukum akan menghasilkan penelitian dan kebutuhan hukum akan

menghasilkan produk hukum yang efektif.

Disamping itu, pemerintah perlu mengakulisasikan asas dekosentrasi di

bidang pertanahan. Artinya, untuk masa yang akan datang, pemerintah akan

tulus dan mempunyai iktikad baik untuk memberikan pelimpahan wewenang

kepada daerah dalam hal urusan di bidang pertanahan.23

Pengalaman selama ini yang terjadi menunjukkan bahwa sikap pemerintah

yang kerap berubah memunculkan krisis kepercayaan terhadap aturan hukum

Indonesia.24 Padahal, tujuan hukum itu adalah menegaskan artinya perlidungan

kepentingan manusia untuk menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang

tertib dan teratur.25

23

Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 2004, Hal 131

24

Markus Gunawan dan Lisya Anggraini, Batam Problematika Multidimensial, Batam, Karya Mandiri, 2004, hal 105

25

(27)

3. Kewenangan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dan

Implikasinya Terhadap Kebijakan Pertanahan di Pulau Batam.

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang

Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam Dan Implikasinya

Terhadap Kebijakan Pertanahan Di Pulau Batam dan Sekitarnya. Menetapkan

Pulau Batam, Pulau Bintan, dan Pulau Karimun sebagai kawasan perdagangan

bebas dan pelabuhan bebas. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan konsep

kebijakan pembangunan di pulau tersebut, khusus di Pulau Batam.

Sehingga likuidasi terhadap Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau

Batam dinyatakan pada pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007

yang menyebutkan bahwa semua aset Otorita Pengembangan Daerah Industri

Pulau Batam diahlikan menjadi aset Badan Pengusahaan Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, kecuali aset yang sudah

diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam dan pegawai Otorita

Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam diahlikan menjadi pegawai Badan

Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.

Kendati Batam serta Pulau-Pulau kecil yang ada sekitarnya telah memenuhi

kriteria untuk ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan

bebas, agar lebih memaksimalkan pelaksanaan pengembangan serta menjamin

kegiatan usaha di bidang perekonomian yang meliputi perdagangan, maritim,

industri, perhubungan, perbankan, pariwisata dan bidang-bidang lain dalam

kawasan tersebut, pengembangan harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang

(28)

Dalam hal ini kebijakan pertanahan, ditetapkan pengelolaan atas tanah yang

menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan

hak pengolahan atas tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam

yang berada di kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

beralih pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan

Bebas Batam (BPK) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak-hak

atas pengolahan tanah tetap berlaku sampai masa berlakunya habis

Kendati Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan

Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam dibentuk menurut peraturan

pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 yang sudah

dirubah atas Undang-Undang nomor 1 Tahun 2007 tentang kawasan

perdagangan bebas dan pelabuhan bebas menjadi Undang-Undang peraturan

teknis di bidang pertanahan tetap harus disesuaikan dengan kebijakan

pertanahan nasioal sehingga tidak menimbulkan ketimpangan peraturan.

2.3. Status Hukum Terhadap Peraturan Bidang Pertanahan Apabila Terjadi

Peralihan Kewenangan.

Berdasarkan keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 tentang Daerah

Industri Pulau Batam diatur melalui status hak pengolahan tersebut antara lain

sebagai berikut :

1. Hak pengolahan diberikan untuk jangka waktu selama tanah

digunakan untuk kepentingan penerima hak dan terhitung sejak didaftarkan pada kantor pertanahan setempat.

2. Hak pengolahan diberikan untuk dipergunakan sebagai pengembang

(29)

3. Penerima hak wajib mengembalikan areal tanah yang dikuasai dengan hak pengolahan tersebut seluruhnya atau sebagiannya kepada negara apabila areal tanah tidak digunakan lagi untuk keperluan sebagaimana mestinya.

4. Pemberian hak dapat ditinjau kembali atau dibatalkan apabila :

a. Luas tanah yang diberikan dengan hak pengolahan tersebut

ternyata melebihi keperluan.

b. Tanah tersebut sebagian atau seluruhnya tidak dipergunakan.

c. Tidak dipelihara sebagaimana mestinya

d. Salah satu syarat atau ketentuan dalam surat keputusan ini

tidak dipenuhi sebagaimana mestinya.

Dalam pelaksanaan tugas Otorita Batam seluruh areal tanah yang terletak

di Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan kepada Ketua Otorita

Batam yang mempunyai wewenang untuk:26

a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;

b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;

c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga

dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria;

d. menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan.

Apabila pemerintah memiliki kebijakan yang lebih menekankan semangat

otonomi daerah, peran Pemerintah Kota Batam perlu lebih dioptimalkan.

Apabila hal ini terjadi, akan timbul permasalahan tentang status hukum

terhadap pengaturan bidang pertanahan di Pulau Batam. Selanjutnya, hak

pengolalaan tersebut dapat diberikan kepada pemerintah Kota Batam atau

dikembalikan menjadi tanah negara. Demi adanya kepastian hukum, perlu

juga diatur tentang bagian hak pengolahan yang telah diberikan kepada pihak

ketiga sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru.

26

(30)

BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia

yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber

penghidupan maupun sebagai tempat berpijak manusia dalam kelangsungan

kehidupan sehari-hari. Tanah sangat erat hubungannya dengan manusia, karena

mempunyai nilai ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia dalam rangka

menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Dalam rangka menjamin keberlangsungan proses pembangunan ekonomi

jangka panjang dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan,

Indonesia tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian, perkebunan dan perikanan

tanpa proses industrialisasi dan perdagangan yang mendukung. Walapun hal itu

bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya merupakan salah satu strategis yang

ditempuh pemerintah untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna

mencapai kemakmuran rakyat Indonesia yang berkeadilan sosial.

Pada era industrialisasi dan globalisasi seperti sekarang ini kebutuhan

tanah bernilai strategis karena bertujuan untuk mengatur kembali penguasaan,

pemikiran, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya tanah dalam tercapainya

kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh

(31)

Tetapi, bicara tentang tanah tidak jarang tanah menjadi suatu pemicu

permasalahan dan konfilik yang terjadi baik masyarakat dengan pemerintah dan

pemerintah dengan pemerintah, salah satunya Kota Batam yang sering juga kita

kenal dengan pulau Batam merupakan wilayah Indonesia yang tidak lepas dari

problematika pertanaham yang kerap terjadi di nusantara. Berbagai khasus Hak

atas tanah masih menyisakan persoalan-persolan yang harus diselesaikan secara

bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan baru.

Disamping itu kepemilikan rumah tempat tinggal bagi WNA (Warga

Negara Asing) yang tinggal di Batam juga menambah rumitnya persolan.

Ditambah tumpa tindih antara kewenangan pemerintah pusat dan daerah menjadi

salah satu penyebab terjadinya permasalahan yang ada dibidang pertanahan di

Pulau Batam yaitu antara Otorita Batam yang dibentuk melalu Keputusan

Presiden Nomor 25 Tahun 2005 dan Pemerintah Daerah melalui Undang-Undang

Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam dan Kedudukan Otorita

Batam dalam Pembangunan Batam ditambah dengan berlakunya Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Menambah panjang

permasalahan pertanahan yang ada di Pulau Batam.

Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum

terhadap peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Otorita Batam

apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintahan Kota Batam. Sehingga

perlunya kordinasi yang dilakukan oleh setiap institusi pemerintah, masyarakat

dan pihak pengembang yang harus dilakukan agar tidak menjadi permasalahan

(32)

3.2. SARAN

Kota Batam atau yang kita kenal Pulau Batam adalah daerah Industrilisasi

yang perbatasan langsung dengan Negara Singapur yang memiliki potensi

pengembangan perdagangan dan pelabuhan yang sangat pesat melalui

Industralisasi didaerahnya. Namun hal itu juga sering menjadi permasalahan jika

hal itu diatur dan diurus dua pemerintahan didalamnya yaitu Otorita Batam (BP)

dan Pemerintah Kota Batam, terutama pada masalah tanah yang terjadi

didalamnya. Hal ini yang harus cepat diselesaikan oleh Pemerintah Pusat alias

Perkerjaan Rumah agar entarnya tidak menimbulkan problem yang akan timbul

jika harus ditunda-tunda.

Letak yang strategis dan perbatasan langsung dengan Negara Tetangga

melirik beberapa pengusaha dalam melakukan penanaman modal ke Daerah Pulau

Batam, tetapi jika hal yang diharapkan pengusahan alias pemilik modal mendapat

kendala terutama masalah tanah. Bisa-bisa mereka memikir ulang dalam

melakukan penanaman modal dalam pembukaan usaha di daerah tersebut.

Oleh karena itu peran aktif dan saling kordinasi dan berbagi informasi

kepublik yang harus dilakukan pemerintah sangatlah penting dalam permasalahan

yang terjadi jika harus menyangkut tentang pertanahan dalam mengembangkan

dan memajukan Pulau Batam sebagai sentral Perdagangan Bebas dan Pelabuhan

(33)

DAFTAR BACAAN

1. Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta :Kencana,

2010

2. Muchsin dan Imam Koeswahyono, Aspek Kebijaksanaan Hukum

Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruangan,Jakarta : Sinar Grafik,2008

3. Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada

Media, 2005

4. Urip Santoso, Pengaturan Hak Pengelolaan, Yogyakarta : Jurnal Media

Hukum Fakultas Hukum UMY, 2008

5. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta :

Kencana, 2008

6. Hambali Thalib, Sangsi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan,Jakarta:

Kencana, 2009

7. Hutagalung dan Arie Sukanti, Serba Aneka Masalah Tanah dalam Kegiatan

Ekonomi Suatu Kumpulan Karangan. Jakrta: Falkutas Hukum UI, 2002

8. Freddy Roeroe, Et. al. Batam Komitmen Setengah Hati. Jakarta: Aksara

Kurnia, 2003

9. Hutagalung. Arie Sukanti dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di

Bidang Pertanahan, Jakarta: Rajawali Pers. 2009

10.

http://gambiri67.wordpress.com/2009/03/14/bpk-dan-hak-pengelolaan-otorita-batam

11.Sumardjono,Maria. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi.

(34)

12.Mustofa, Sutarman, Penggunaan Hak Atas Tanah untuk Industri, Jakarta: Sinar Grafika, 2013

13.Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah,

Bandung: Alumni, 2004

14.Markus Gunawan dan Lisya Anggraini, Batam Problematika Multidimensial,

Batam; Karya Mandiri, 2004

15.Sudikno Mertokusumo, mengenal hukum suatu pengantar, Yogyakarta:

Liberty, 2002

PERATURAN-PERATURAN

1. Peraturan Pemerintah tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, PP No. 41 Tahun 1996

2. Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004 (Batam: Pemerintah

Kota Batam, 2004)

3. Amirudin A.T, Kepala Dinas Pertanahan Pemkot Batam. , Profil Batam

Madani 2004 (Batam: Pemerintah Kota Batam, 2004)

4. Indonesia, Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dan sudah direvisi menjadi

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah

5. Kementerian Dalam Negeri, Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang

(35)

6. Indonesia, Keputusan Presiden tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone), Keppres No.28 Tahun 1992

7. Indonesia, Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan

Referensi

Dokumen terkait

(3) Tatacara, pembatalan atau pengurangan ketetapan pajak dan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Gubernur atau

Dari data indikator yang diperoleh dalam memahami materi ajar yang ada didalam kurikulum sekolah pada pernyataan penyusunan rencana pembelajaran sebesar 50% dengan

Jika tanah tersebut telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak atas tanahnya oleh instansi pertanahan (BPN) sesuai dengan jenis hak atas tanah

30 Bila orang tua membuat saya kesal, saya akan memberikan kritikan dengan kata-kata yang halus agar mereka tidak tersinggung. SS S

diperoleh kesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien SKA adalah status penyakit dislipidemia, diabetes melitus, hipertensi dan profil

Pekerjaan pemasangan bekisting sloof pada rumah tinggal dua lantai dapat dilakukan dengan dua material yang berbeda, yaitu menggunakan material kayu berupa multiplek dengan kaso

The scientific method as a method of intervention to improve the character education of elementary school students is more directed to the affective domain in the field of

Penelitian ini didasarkan pada fenomena banyaknya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh pelajar SMP yang mengemudikan sepeda motor tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi